Connect with us

INDEPTH

Mengapa Masyarakat Adat Menolak Dibohongi Dua Kali

Published

on

 25 Januari 2019


Oleh: Andre Barahamin


 

ALIANSI MASYARAKAT Adat Nusantara (AMAN), organisasi terbesar masyarakat adat di Indonesia, memutuskan tidak akan mendukung kandidat presiden manapun pada perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) pada April 2019 nanti. Sikap itu secara resmi diambil oleh AMAN setelah melakukan evaluasi menyeluruh secara organisasional.

Dalam konsolidasi internal untuk para kader AMAN yang maju sebagai calon anggota parlemen dan anggota senat, yang dihelat 14 Januari 2019, Rukka Sombolinggi yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jendral (Sekjend) AMAN, menegaskan bahwa perjuangan masyarakat adat adalah langkah strategis yang tidak terbatas pada iven elektoral semata.

“Perjuangan kita melampaui Pilpres. Mari kita fokus dan menangkan caleg (calon legislatif, red) utusan masyarakat adat. Ini semua harus kita kerjakan,” kata Rukka.

Sikap politik AMAN tentu ikut mempengaruhi peta politik di Indonesia. Pada Rapat Kerja Nasional AMAN ke V, Maret 2018, yang diadakan di Minahasa, Sulawesi Utara, AMAN kini menjadi organisasi payung dari 2.366 komunitas adat di seluruh Indonesia. Diperkirakan, lebih dari dua puluh juta orang menjadi anggota organisasi ini.

AMAN juga sejauh ini telah memiliki tiga organisasi sayap, yaitu Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Perempuan AMAN dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). BPAN bertugas mengorganisir sektor pemuda anggota komunitas-komunitas adat yang menjadi anggota AMAN, juga menghimpun darah segar di luar AMAN dari mereka yang ikut bersolidaritas, berbagi nilai, paham dan ideologi perjuangan masyarakat adat. Jika Perempuan AMAN merupakan lengan penggerak di sektor perempuan, maka PPMAN dibentuk sebagai kelung atau perisai masyarakat adat yang menghadapi ancaman kriminalisasi hukum negara ketika berupaya mempertahankan hak atas tanah ulayat mereka.

 

Jalan Panjang Dua Dekade

AMAN adalah salah satu dokumen dinamis mengenai sejarah perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Dimulai pada pertengahan dekade 1980-an, ketika eskalasi perjuangan masyarakat adat tengah memuncak akibat represi negara. Awalnya, perjuangan komunitas-komunitas ini masih bersifat sporadis, sebelum muncul inisiatif untuk menghubungkan titik-titik perlawanan ini.

Di tahun 1993, bertempat di Toraja, Sulawesi Selatan, sebuah wadah bernama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) dibentuk. Para inisiatornya adalah individu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang. Aktivis akar rumput di komunitas adat, pejuang lingkungan dan pegiat isu agraria yang bekerja bersama masyarakat, para pendamping hukum hingga akademisi yang bersolidaritas langsung dengan perjuangan tersebut.

JAPHAMA juga hadir sebagai respon atas tren penguatan gerakan masyarakat adat di level global, terutama di Amerika Latin dan Afrika.

Butuh enam tahun bagi gerakan ini menajamkan bentuk organisasionalnya. Di Jakarta, bertempat di Hotel Indonesia, pada 17-22 Maret 1999, dilangsungkan konsolidasi nasional untuk pembentukan organisasi payung masyarakat adat di Indonesia. Selama lima hari, lebih dari 400 orang yang datang dari berbagai komunitas dan latar belakang perjuangan sosial, merumuskan langkah maju untuk merapatkan barisan.

Pertemuan ini membahas beragam isu. Benang merahnya adalah urgensi mengenai ancaman yang tengah dihadapi berbagai komunitas adat di seluruh Indonesia yang diakibatkan oleh kebijakan negara yang otoriter, militerisme tanpa ampun yang menjadi tukang pukul, investasi yang abai pada daya dukung ekologis, sosial dan budaya, serta pelecehan dan diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat adat akibat keteguhan menjalankan tradisi dan nilai warisan leluhur.

Konsolidasi ini meyoroti soal perampasan tanah dan sumber daya alam di wilayah ulayat, pengabaian dengan sengaja hak-hak anggota komunitas masyarakat adat sebagai individu dan kelompok, serta narasi pembangunan nasional dan lokal yang memarjinalisasi masyarakat adat.

Mengambil momentum perubahan politik di tingkat nasional dengan lengsernya junta militer yang dipimpin Soeharto, pertemuan masyarakat adat di tahun 1999 itu dikenal sebagai Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang melahirkan AMAN. Organisasi ini dimandatkan untuk secara strategis menjadi perpanjangan gerakan sipil sektor masyarakat adat yang disubordinasi dan dipandang sebelah mata.

Ketika berjumpa di Kampung Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, pada Maret 2017, Abdon Nababan, mengenang momentum pembentukan AMAN sebagai salah satu titik balik dalam kehidupannya.

“Saat itu, kami bersepakat bahwa jika negara tidak mengakui masyarakat adat, maka masyarakat adat juga tidak perlu mengakui negara,” kenang Nababan.

Abdon Nababan adalah salah satu sosok yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Pria kelahiran Humbang, Tano Batak, Sumatera Utara ini di kemudian hari menjadi Sekjend AMAN selama satu dekade (2007-2012, 2012-2017) setelah dua kali terpilih. Ia adalah salah satu saksi hidup jatuh bangun perjuangan AMAN sebagai organisasi payung bagi masyarakat adat di Indonesia sejak awal berdiri.

Kini, Maret 2019 mendatang, AMAN akan berumur dua dekade.

Sebagai organisasi, bertahan hingga dua puluh tahun bukan hal yang sepele. Terutama sebagai organisasi yang besar dalam segi keangotaan dan memiliki agenda politik strategis yang tidak pernah mudah. Salah satu capaian penting AMAN dalam perjalanan dua dekade berjuang mengadvokasi kepentingan bersama masyarakat di Indonesia adalah saat Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian judicial review UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Dengan keputusan ini, MK menegaskan hutan adat bukan hutan negara.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kata ―negara dalam Pasal 1 angka 6 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Akil Mochtar, Ketua MK saat membacakan amar putusan, Kamis sore, 16 Mei 2013.

Dengan keputusan ini, kata ‘negara’ dalam Pasal 1 angka 6 itu tidak memiliki kekuatan hukum dan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Pada pasal 2 ayat 3 UU Kehutanan, juga bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara yang diatur UU.

Sulistiono, Ketua Tim Pengacara AMAN mengatakan, keputusan sangat penting bagi masyarakat adat telah dibuat MK dengan menyatakan hutan adat bukan hutan negara plus bonus penjelasan Pasal 5 ayat 1 juga masuk menjadi pertimbangan.

“Apresiasi bagi MK. MK meletakkan kembali hutan adat bukan hutan negara, bahkan MK meredaksional kata negara itu,” kata Sulistiono.

Abdon Nababan yang saat itu menjabat Sekjend AMAN menyambut gembira keputusan ini.

“Ini perubahan penting bagi masyarakat adat di Indonesia. Keputusan ini setidaknya memulihkan semangat masyarakat adat yang selama ini sudah hampir putus asa,” kata Nababan.

Dengan diakuinya hutan adat bukan hutan negara, hak mengelola dan memanfaatkan ada pada masyarakat adat. Sebelum putusan MK 35/2012, pengertian hutan negara telah memarjinalisasi masyarakat adat. Di wilayah hutan adat, pemerintah memberi izin-izin pengelolaan hutan kepada perusahaan-perusahaan tanpa persetujuan komunitas pemilik hak ulayat. Konflik-konflik lalu bermunculan dan banyak anggota komunitas masyarakat adat ditangkap.

“Jadi tepat, jika Kementerian Kehutanan meminta maaf kepada masyarakat adat atas dampak dari UU Kehutanan. Ternyata setelah diuji, pasal-pasal itu tidak konstitusional. Sudah 14 tahun itu berjalan,” kata Nababan.

Dengan keputusan MK ini, AMAN lalu mendorong terbentuknya One Map Policy. Alasannya, hutan-hutan terbaik di Indonesia sebagian besar berada di wilayah masyarakat adat. Diperkirakan terdapat lebih dari 40 juta hektar yang status hukumnya menjadi tak jelas setelah keputusan MK 35/2012. Sebagai bentuk intervensi langsung, di tahun 2016, AMAN dan organisasi sekutu strategis, menyerahkan kepada negara hasil kajian mengenai klaim wilayah masyarakat adat dalam bentuk peta.

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Nasional, berharap agar pemerintah mau menjadikan peta tersebut sebagai acuan untuk menentukan wilayah yang menjadi hak masyarakat adat.

“Penyerahan peta inikan sebelumnya bahwa kita ingin menyampaikan soal keberadaan masyarakat ada dan wilayah masyarakat adat. Supaya peta-peta wilayah adat yang dibuat oleh masyarakat adat ini juga menjadi informasi yang harus dirujuk oleh Pemerintah untuk pelaksanaan kebijakannya di masing-masing sektor mereka,” ujarnya.

BRWA sendiri adalah lembaga tempat pendaftaran wilayah adat. Dibentuk tahun 2010 atas inisiatif bersama AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch.

Lembaga ini dibentuk karena data dan informasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat hasil pemetaan partisipatif tidak terdokumentasi secara baik. Selain itu, pemerintah juga selama ini tidak memiliki peta dan data sosial keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Tentu saja ini menjadi persoalan, baik di pemerintah dan juga di masyarakat ketika dilakukan upaya mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Awalnya, BRWA adalah salah satu Badan Otonom AMAN. Hingga akhirnya pada 21 Februari 2017, diadakan pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan lima lembaga pendiri BRWA. Keputusan dari temu itu adalah menetapkan BRWA sebagai lembaga independen.

Saat ini BRWA memiliki tiga Kantor Wilayah (Kanwil), yaitu Kanwil BRWA Kalimantan Barat, Kanwil BRWA Sulawesi Tengah dan Kanwil Sulawesi Selatan. Kanwil-kanwil tersebut adalah upaya pengembangan layanan registrasi wilayah adat di Kalimantan dan Sulawesi. Di tingkat lokal, BRWA bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang juga menaruh perhatian terhadap upaya mendata dan mendokumentasikan teritori ulayat komunitas adat, seperti Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif (UKP3), Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) dan lembaga lainnya yang melakukan pemetaan wilayah adat.

Namun, harapan itu masih bertepuk sebelah tangan. Hingga kini, pengakuan wilayah ulayat komunitas-komunitas adat di Indonesia masih jauh dari harapan AMAN.

Rukka Sombolinggi, Sekjend AMAN (tengah). Foto: AMAN

 

Nawacita: 6 Poin Harapan yang Diingkari

Di tahun 2017, Nababan menerima Ramon Magsaysay Award, untuk dedikasi dan kontribusinya dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia.

Ramon Magsaysay Award adalah penghargaan yang mulai dihelat sejak Mei 1957, setelah sebulan sebelumnya dibentuk dengan dukungan Rockefeller Brothers Fund (RBF) yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat. Penghargaan ini diberikan kepada organisasi atau individu di Asia tanpa dibatasi oleh ras, suku, agama, jenis kelamin atau kewarganegaraan. Oleh banyak pihak, Ramon Magsasay sering disinonimkan sebagai Penghargaan Nobel di Asia.

Nababan menerima penghargaan Magsaysay Award untuk kategori Community Leadership, yang diperuntukkan bagi sosok-sosok yang dianggap telah berjasa bagi komunitasnya. Penghargaan ini pertama kali dipersembahkan kepada Vinoba Bhave, dari India, di tahun 1958.

Kepada Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia, Abdon Nababan mempersembahkan perhargaan itu kepada ribuan orang yang telah bersama dirinya memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Ia menolak klaim bahwa Magsaysay Award adalah pencapaian pribadi. Bagi Nababan, pengakuan atas kerja-kerja yang dilakukannya adalah refleksi dari jalan panjang perjuangan masyarakat adat di Indonesia.

“Saya hanya seorang wakil atau simbol dari penderitaan dan perjuangan mereka semua,” kata Nababan.

Ada banyak kerja yang dilakukan Nababan bersama AMAN. Salah satunya adalah ikut mengawal pencantuman enam poin tuntutan masyarakat adat di dalam Nawacita, Joko Widodo (Jokowi) ketika mencalonkan diri sebagai presiden di tahun 2014. Sebagai gantinya, secara organisasional AMAN mendukung Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Saat itu, ada sekitar dua belas juta anggota AMAN yang memiliki hak pilih, dimobilisasi untuk memenangkan Jokowi.

“Itu pertama kalinya saya memilih,” kata Rukka. Saat itu ia melihat ada harapan untuk perbaikan nasib masyarakat adat di Indonesia.

Jokowi kemudian terpilih sebagai presiden. Tapi janji merealisasikan enam poin tuntutan masyarakat adat yang disodorkan AMAN tak juga dipenuhi. Sebaliknya, angka kekerasan yang diakibatkan konflik agraria disertai dengan kriminalisasi terhadap masyarakat adat semakin meningkat.

Tanda-tanda itu mulai terlihat sejak Jokowi baru beberapa bulan setelah dilantik.

Di bulan Mei 2015, Jokowi justru meluncurkan mega-proyek Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP) di Merauke. Program ini menargetkan lebih dari satu juta hektar hutan tropis dan tanah ulayat suku Marind-Anim untuk diubah menjadi sawah. KSPP diserahkan kepada MEDCO yang dikomandani Arifin Ponogoro untuk bertanggungjawab. Sebagai tenaga bantuan, tentara dikerahkan untuk pembukaan lahan.

Tujuannya, menyasar kawasan sagu yang menjadi sumber pangan utama komunitas adat dan lebih tampak sebagai upaya beras-isasi Papua. Orang-orang Marind-Anim dipaksa harus menghadapi kenyataan bahwa setelah hutan-hutan sagu mereka dihancurkan oleh megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang merampas tanah ulayat mereka seluas dua juta hektar.

Oktober 2015, Jokowi mengunjungi Orang Rimba. Kunjungan simbolis pada Oktober 2016 itu, berakhir anti-klimaks. Tanah ulayat mereka yang dirampas untuk perkebunan sawit sejak dekade 1970-an, tak jua dikembalikan. Pemerintah malah memiliki ide untuk “merumahkan” Orang Rimba yang masih berkarakter semi-nomaden.

Di tahun 2015, untuk pertama kalinya Jokowi diharuskan menghadapi krisis asap akibat kebakaran hutan. Ini adalah salah satu kebakaran hutan terburuk yang pernah dialami Indonesia. Penyebab kebakaran adalah pemain lama dalam bisnis deforestasi dan perambahan wilayah masyarakat adat, yaitu perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas. Sebuah penelitian dari Harvard University dan Columbia University memperkirakan bahwa sekitar 100.000 primata menjadi korban tragedi kebakaran hutan tersebut.

Dunia internasional mencibir pemerintah Indonesia yang tak becus menangani kasus ini. Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia terdampak serius dari paparan kabut asap akibat kebakaran hutan.

Sebagai responnya, Jokowi yang panik, di awal tahun 2016 meluncurkan larangan untuk membakar lahan. Larangan ini menuai protes dari AMAN karena merupakan kebijakan “pukul rata” yang abai terhadap tradisi di banyak komunitas adat adat.

Mina Susana Setra, Deputi Sekjend AMAN, menilai bahwa kebijakan tersebut adalah sikap lepas tanggungjawab pemerintah atas kewajibannya untuk melindungi masyarakat adat.

”Berladang adalah benteng terakhir pertahanan budaya. Pemerintah memiliki kewajiban melindungi mereka dan melindungi segala tradisi. Larangan membuka ladang menimbulkan potensi ancaman kelaparan. Apalagi masyarakat tak berladang karena takut ditangkap aparat,” kata Mina.

Larangan tersebut memang bermasalah. Aktivitas membuka ladang oleh masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan perilaku korporasi yang membakar lahan. Perbedaannya, selain terletak dalam soal luasan wilayah yang dibakar, juga meyangkut sistem perlindungan dan pencegahan rembesan api yang dimiliki oleh masyarakat adat. Model pencegahan ini yang tidak dimiliki oleh perusahaan pembakar hutan.

Total, hanya dua dari enam poin menyangkut isu masyarakat adat yang “sedikit” lebih beruntung. Salah satunya adalah kelanjutan proses legislasi Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) dan pemastian mengenai proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya. AMAN menuntut agar berbagai undang-undang (UU) dan RUU dapat sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 35, tahun 2012. (MK 35, No. 35/2012)

RUU PPHMA sendiri sejak 2014 telah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir, sebelum nanti ditetapkan sebagai Undang-undang. Namun hingga kini, nasibnya tak kunjung jelas. Menurut Mina Susana Setra, permasalahan menggantungnya pengesahan RUU PPHMA karena ketiadaan inisiatif dari pemerintah. Jokowi dan administrasinya sebagai eksekutif, hingga kini belum juga menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). AMAN yang berupaya melakukan klarifikasi terkait hal ini kepada Kementerian terkait, juga tidak mendapatkan titik terang.

Saat ini pembahasan RUU Masyarakat Adat stagnan di Pemerintah. Padahal, Presiden Jokowi menegaskan UU Masyarakat Adat harus terwujud. Namun DIM dari Pemerintah sebagai syarat pembahasan bersama DPR RI tak kunjung tiba. Hal ini memperlihatkan tidak ada itikad baik dari Pemerintah untuk serius mengesahkan RUU ini. Masyarakat Adat kembali dikecewakan.

“Untuk memberikan DIM saja Pemerintah tidak mampu, apalagi melayani Masyarakat Adat,” tegas Rukka.

Ironisnya, ketika harapan masyarakat adat sedang di ujung tanduk pengkhianatan, RUU Perkelapasawitan yang masih jadi kontroversi dan banyak menuai protes dari komunitas-komunitas adat justru melaju mulus.

 

Tak Ingin Dua Kali Ditipu

Hampir lima tahun berkuasa, Jokowi dalam pandangan AMAN, tak memenuhi standar harapan yang disampirkan ke pundaknya ketika menerima dukungan di tahun 2014. Ketidakjelasan nasib masyarakat adat, serta meningkatnya angka kriminalisasi dan konflik agraria adalah faktor utama. Hal yang sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak tahun pertama Jokowi berkuasa.

Pada 11 Desember 2015, Jokowi berpidato di istana negara. Presiden menjanjikan optimisme menyangkut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penyelesaian konflik agraria, penghormatan terhadap masyarakat adat. Optimisme itu seakan menguatkan janji yang ditawarkan pada 25 Juni 2015, ketika AMAN diundang bertemu Presiden. Kala itu, Presiden sepakat untuk mendorong pembentukan Satgas Masyarakat Adat.

AMAN lalu bergegas menyerahkan peta wilayah adat kepada KLHK. Luasnya mencapai 8,3 juta hektar. Terbagi ke dalam lebih dari 700 peta indikatif yang tersebar di seantero Indonesia.

Tapi setahun berikutnya, AMAN dan masyarakat adat di Indonesia yang menunggu penuh harap kembali ditelikung.

Pada peluncuran laporan akhir tahun AMAN di Medan, 22 Desember 2016, Abdon Nababan yang saat itu menjabat Sekjend AMAN mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintahan Jokowi. Terutama menyangkut penetapan wilayah adat yang belum dieksekusi di level nasional, sementara di tataran lokal, AMAN telah berhasil mendorong sejumlah Peraturan Daerah (Perda) masyarakat adat.

“Janji memang banyak. Tapi realisasi masih nol dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan -red),” kata Nababan.

Hingga tahun 2016 berakhir, tak ada satupun penetapan hutan adat. Tragedi itu menjadi catatan tambahan atas rapor merah yang diberikan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) saat menutup tahun 2016. KPA mencatat bahwa ada 450 kasus konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2016.

Ketika 2017 hampir usai, AMAN bersama lembaga jaringan lain yang bernaung dalam Komite Nasional untuk Pembaruan Agraria (KNPA) kembali memberikan catatan buruk untuk pemerintahan Jokowi. Pada konferensi pers yang dihelat di Jakarta, 25 Oktober 2017, KNPA menyoroti soal terbitnya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 (Perpress 88/2017) tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Selain itu, KNPA juga menggarisbawahi langkah gegabah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Ekonomi) pada 19 Oktober 2017, yang mengikat kerjasama dengan World Wild Fund (WWF). WWF ditunjuk sebagai pelaksana manajemen proyek dari reforma agraria dan perhutanan sosial. Meski kerjasama tersebut dibatalkan lima hari setelahnya, langkah ini terlanjur menuai reaksi negatif dari hampir semua organisasi masyarakat sipil, serikat tani dan komunitas masyarakat adat.

Secara umum, KNPA mengemukakan beberapa persoalan mendasar dari upaya pemerintahan Jokowi terkait reforma agraria dan pengakuan atas hak masyarakat adat.

Pertama, terkait Tanah sebagai Objek Reforma Agraria (TORA).

Dalam analisis KNPA, lokasi-lokasi yang direncanakan pemerintah dalam kerangka reforma agraria bukan merupakan lokasi yang selama ini mengalami: konflik berkepanjangan; ketimpangan struktur agraria; serta kemiskinan rakyat akibat ketiadaan kontrol dan hak atas tanah. Kriteria dan alokasi TORA dibangun secara top-down dan sepihak tanpa melibatkan organisasi masyarakat sipil. Akibatnya, tidak terdapat irisan dengan masalah-masalah pokok agraria yang dihadapi masyarakat di tingkat tapak.

Lokasi-lokasi yang dialokasikan oleh KLHK untuk TORA belum menyasar wilayah konflik agraria dan area tumpang-tindih kewilayahan masyarakat dengan klaim kawasan kehutanan/pertambangan. Kesalahan berikut adalah proses penentuan TORA dengan menggunakan UU Kehutanan sebagai kiblat. Hal tersebut menutup peluang komunitas masyarakat adat di Jawa, Lampung dan Bali dari akses sebagai penerima manfaat reforma agraria. Dasar pengecualian adalah porsi tutupan hutan yang dinilai sama atau kurang dari 30%, dianggap justru menyulitkan koreksi terhadap Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) di Jawa, yang banyak menimbulkan konflik dan menyengsarakan petani.

Persolan berikut yang berhasil diidentifikasi KNPA adalah kepentingan pembangunan perkebunan skala besar yang  berhasil “sembunyi” di dalam lemahnya kriteria TORA kawasan hutan. Wilayah perkebunan skala besar (termasuk milik Badan Usaha Milik Negara dan PT Perkebunan Nusantara) yang selama ini bersengketa dan telah merampas tanah rakyat, perkebunan terlantar dan HGU bermasalah, tidak menjadi target reforma agraria kebijakan pemerintah.

Orientasi utama TORA yang masih bersifat juga sektoral juga menjadi sorotan. Bagi KNPA, tujuan reforma agraria haruslah merupakan medan multi dan lintas sektoral. Sehingga perlu dirancang juga penyelesaian ketimpangan struktural di wilayah pertambangan, pesisir, kelautan, pulau-pulau kecil dan masalah agraria perkotaan.

Jokowi juga dinilai gagal memahami esensi reforma agraria bagi masyarakat adat dengan simplifikasi masalah legalisasi aset melalui bagi-bagi sertifikat tanah. Aksi yang dilakukan tanpa adanya proses pemeriksaan dan penataan ulang struktur penguasaan tanah terlebih dahulu. Bagi-bagi sertifikat juga tidak diikuti dengan program pendukung seperti penataan produksi dan pengembangan ekonomi pasca-sertifikasi. Bagi AMAN dan KNPA, tanpa adanya penataan produksi dan pengembangan ekonomi, sertifikat tanah hanya akan berakhir di bank. Membiarkan hal itu terjadi, artinya pemerintah secara tidak langsung telah mendorong liberalisasi tanah.

Persoalan berikut yang dihadapi oleh reforma agraria Jokowi adalah ketiadaan lembaga ad-hoc. Yaitu lembaga otoritatif langsung di bawah presiden untuk mempersiapkan, melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan reforma agraria. Akibatnya, ego sektoral antar Kementerian masih nampak yang berakibat pada lemahnya koordinasi dan tumpang tindih tanggung jawab. AMAN dan anggota KNPA yang lain juga menyoroti soal tidak dilibatkannya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bagi organisasi seperti AMAN, keterwakilan kepentingan perempuan dalam komposisi kelembagaan reforma agraria adalah syarat utama. Sebab ketimpangan gender bagi AMAN, juga diakibatkan oleh ketimpangan akses atas tanah.

Puncak kekecewaan AMAN bermuara dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 21 Desember 2018. Konferensi pers yang mengusung tema “Senjakala NAWACITA dan Masa Depan Masyarakat” itu sekaligus menjadi ajang peluncuran laporan akhir tahun AMAN.

Menurut Sekjend AMAN, Rukka Sombolinggi, dalam beberapa tahun terakhir, situasi masyarakat adat sungguh tidak nyaman. Hal ini terkait dengan belum direalisasikannya komitmen Jokowi.

“Situasi dalam beberapa tahun ini adalah situasi di mana Masyarakat Adat betul-betul tidak nyaman. Realisasi komitmen Jokowi-JK (Jusuf Kalla -red) jauh dari harapan. Padahal saya pribadi, sewaktu Pemilu 2014 lalu pertama kali menggunakan hak saya untuk memilih, dan itu karena Jokowi. Saya melepaskan ‘keperawanan’ hak politik saya demi Jokowi,” kata Rukka.

Dalam hal melindungi hak-hak masyarakat adat misalnya, komitmen tersebut justru kontradiktif dalam realisasinya. Konflik perampasan wilayah adat dan kriminalisasi masih marak terjadi. Sepanjang 2018 setidaknya AMAN mencatat sebanyak 262 warga anggota komunitas adat dikriminalisasi karena mempertahankan haknya dari gerusan perusahaan.

“Dalam beberapa tahun terakhir, pejuang-pejuang kita masih dipenjara, wilayah-wilayah adat masih dirampas. Di Laman Kinipan misalnya, bahkan kami mengemis-ngemis ke Pemerintah untuk mengatasi konflik perampasan wilayah adat,” lanjut Rukka.

Hal lain yang menjadi sorotan AMAN adalah rencana pembentukan Satgas Masyarakat Adat yang dinilai masih sangat jauh dari harapan.

“Berulang kali Pemerintah bilang, pengesahan Satgas tinggal menunggu paraf Jokowi. Namun hingga akhir masa pemerintahan Jokowi, Satgas tak kunjung direalisasikan. Entah di meja Presiden yang mana dokumen pengesahan Satgas itu,” tanya Rukka.

 

Melampaui Pilpres

Dari dua pasang kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), AMAN menilai tidak ada yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat adat. Menurut Rukka, perjuangan masyarakat adat saat ini melampaui pemilihan presiden (pilpres) dan melampaui rezim yang berkuasa.

“Jadi, tidak ada alasan untuk Masyarakat Adat mendukung siapa pun dalam Pilpres 2019 ini. Kita (masyarakat adat -red) ada, dan bahkan tetap ada. Perjuangan kita (masyarakat adat -red) melampaui Pilpres, melampaui rezim yang berkuasa. Yang terpenting kita terus komitmen memperjuangkan kedaulatan Masyarakat Adat,” tutup Rukka.

Direktur Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, menganalisis bahwa masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang kokoh dalam visi dan misi kedua pasang kandidat capres dan cawapres. Hal tersebut dikhawatirkan Teguh akan menjadi gambaran buruk pembangunan yang akan dilakukan di masa depan.

“Kami khawatir terhadap agenda pembangunan nantinya jika masyarakat adat tidak secara kokoh masuk dalam visi-misi kedua kandidat capres dan cawapres ini,” ungkap Teguh.

Namun tidak mendukung capres dan cawapres, tidak berarti AMAN memilih jadi kelompok non-partisan yang absen dari gelanggang politik.

Sejak tahun 2018, AMAN juga melakukan penyiapan Kader Masyarakat Adat untuk maju ke dalam arena politik elektoral. Dalam laporan akhir tahun 2018 AMAN, disebutkan ada 156 Kader AMAN yang akan bertarung untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di berbagai level pemerintahan. Penyiapan Kader Masyarakat Adat ini dianggap AMAN sebagai langkah penting dalam menyongsong Pemilu 2019. Sebab bagi AMAN, Pemilu 2019 adalah iven politik yang harus disikapi dengan serius karena hasilnya akan sangat berpengaruh terjadap masa depan masyarakat adat.

Tahun 2018 juga menjadi tahun di mana AMAN membangun dan mengembangkan berbagai kerjasama di arena-arena strategis. Kerja-kerja itu dinilai jauh lebih penting dari soal melabuhkan dukungan terhadap salah satu pasang calon capres dan cawapres.

Langkah itu misalnya diinisiasi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN ke V, Maret 2018, yang berlangsung di Koha, Minahasa, Sulawesi Utara. Di Rakornas tersebut, AMAN mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyampaikan materi tentang korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA).

Hal ini dilakukan karena AMAN menyadari bahwa korupsi merupakan faktor penting yang menghambat proses-proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-haknya atas SDA di wilayah adat. Kehadiran KPK di forum Rakernas AMAN dinilai memberikan suntikan semangat kepada masyarakat adat untuk terus memperjuangkan hak-hak atas wilayah adat mereka. Usai Rakernas AMAN, sebagai bentuk tindak lanjut kerjasama, KPK membuka pintu dengan memberikan latihan kepada kader-kader masyarakat adat dari berbagai wilayah. Latihan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman lebih jauh tentang korupsi termasuk di dalamnya melakukan pemantauan dan pelaporan kasus-kasus korupsi yang terjadi kepada KPK.

Menyongsong Pemilu 2019, AMAN bersama Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, dan beberapa organisasi masyarakat sipil lain yang selama ini aktif dalam advokasi isu-isu demokrasi termasuk Pemilu, AMAN melakukan diskusi, riset dan kampanye. Tujuannya adalah untuk memastikan agar tidak ada diskriminasi terhadap masyarakat adat dalam menggunakan hak politiknya.

Menindaklanjuti temuan tersebut, AMAN melakukan komunikasi intensif dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU).

Bersama KPU dan BAWASLU, AMAN menemukan bahwa hak pilih sebagian masyarakat adat terancam tidak dapat digunakan. Hal tersebut disebabkan oleh limitasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, perluasan partisipasi politik masyarakat adat juga dilakukan dengan melibatkan dalam kerja-kerja pemantauan Pemilu 2019 secara independen. Tercatat sebanyak 207 kader AMAN terdaftar sebagai pemantau pemilu di BAWASLU.

Memilih tidak mendukung kandidat presiden dalam Pilpres 2019, menurut Rukka Sombolinggi membuat AMAN bisa memfokuskan energinya untuk memenangkan kader-kader yang maju sebagai calon anggota parlemen di berbagai tingkatan dan calon anggota senator. Dengan begitu, AMAN dapat melebarkan ruang pertarungan di parlemen. Sebab dengan memiliki lebih banyak anggota parlemen yang memiliki komitmen terhadap perjuangan masyarakat adat, peluang untuk menggolkan RUU PPHMA menjadi undang-undang.

“Lebih banyak anggota parlemen yang paham, peduli dan ikut memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, maka peluang RUU Masyarakat Adat untuk menjadi UU akan juga semakin besar,” kata Rukka.(*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Golput 2019: Siapa pun yang Menang, Rakyat Tetap Kalah – Kelung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *