ESTORIE
Mengenang Orde Baru, Pemilu Tanpa Pilihan Ketiga
Published
6 years agoon
By
philipsmarx1 April 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Pemilu di masa Orde Baru adalah pemilihan tanpa pilihan lain, selain yang sudah diatur dan disiapkan oleh rezim, dengan demikian ia bukan Pemilu Luber
PEMILIHAN UMUM (Pemilu) pertama di era Orde Baru dilaksanakan pada 5 Juli 1971. Sekitar 16 tahun dari Pemilu di masa Orde Lama tahun 1955. Jumlah pemilih yang terdaftar waktu itu sebanyak 58,179,245, sementara yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 54,699,509, atau 94 persen.
Soeharto dalam status sebagai Pejabat (Pj) Presiden awalnya berjanji akan menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1968. Tapi, situasi politik tidak memungkinkan Pemilu dilaksanakan tahun itu. Soeharto mendapat legitimasi menjadi Pj Presiden pada Sidang Istimewa – Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (SI-MPRS) tahun 1967.
“MPRS memberikan mandat kepada Soeharto untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan negara berdasarkan Ketetapan (Tap) MPRS No. XI tahun 1966, termasuk menyelenggarakan Pemilu. Status predikat Soeharto adalah sebagai Pejabat Presiden (Pj),” tulis Nur Hidayat Sardini dalam Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia (Fajar Media Press, 2011).
Nanti pada SI MPRS 1967, barulah Soeharto berjanji akan menggelar Pemilu pada tahun 1971. Pada Pemilu inilah mulai disebutkan istilah ‘langsung, umum, bebas dan rahasia’.
Terutama disebutkan pada UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Pada bab I Ketentuan Umum, pasal 1 disebutkan, “Pemilihan Umum untuk Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut D.P.R., Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I selanjutnya disebut D.P.R.D I dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II selanjutnya disebut D.P.R.D. II diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.”
Pada bagian penjelasan UU ini, disebutkan ‘langsung, umum, bebas dan rahasia’ (LUBER) itu adalah asas Pemilu. Namun sebetulnya, untuk pertama kali istilah ini disebutkan adalah pada Tap MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal 1 disebutkan, “Pemilihan Umum yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia diselenggarakan dengan pungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1968.
Pada bagian penjelasan UU No. 15 tahun 1969 diurai makna masing-masing asas itu. “Umum” maksudnya, bahwa semua warga warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih.
“Jadi pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap/semua warganegara, menurut persyaratan azasi (basic) tertentu, seperti tersebut di atas.”
“Langsung” artinya, ”rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya, menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.”
“Bebas” maknanya, “tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun atau dengan apapun.”
“Rahasia” berarti, “para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun, siapapun siapa yang dipilihnya.”
Asas ini kemudian menjadi andalan pemerintah setiap jelang atau pada waktu Pemilu. Presiden Soeharto ketika membawakan pidato upacara pelantikan para Anggota Dewan Pimpinan Lembaga Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Lembaga Pemilihan Umum, Panitia Pemilihan Indonesia dan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat 15 Januari 1981 di Istana Negara, Jakarta menyebutnya lagi.
Dalam pidatonya itu Soeharto menegaskan upaya pemerintah untuk menyempurnakan sistem Pemilu agar, katanya, dapat semakin demokratis. Pemilu waktu itu dilaksanakan tahun 1982, sebagai pemilu ketiga setelah Pemilu pertama tahun 1971, dan Pemilu kedua tahun 1977.
“Dengan berbagai penyempurnaan itu, maka asas-asas Luber – ialah Pemilihan Umum yang terlaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia – benar-benar makin dapat kita wujudkan,” kata Soeharto.
Di sinilah rupanya, mulai dikenal akronim ‘Luber’ sebagai kependekan dari ‘langsung, umum, bebas dan rahasia’.
***
Saya menggunakan hak pilih untuk pertama kali pada Pemilu tahun 1997. Ini justru adalah Pemilu terakhir Orde Baru. Sebagai pemilih pemula, dan sebagai orang muda, waktu itu saya ingin memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan. Pilihan saya adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Meskipun calon-calon anggota legislatifnya saya tidak kenal.
Memilih partai di luar partai pemerintah, yaitu Golongan Karya (Golkar), bagi seorang anak Pegawai Negeri Sipil (PNS) sungguh beresiko. Tapi di baliknya ini adalah sikap protes terhadap kekuasaan yang monolitik dan sentralistik.
“Keluarga PNS itu pemerentah ja kase makang. Jadi so sama deng Golkar ja kase makang,” ini ungkapan yang sering muncul di dalam masyarakat masa Orde Baru. Padahal, tunjangan beras yang diterima oleh setiap PNS adalah beras jenis ransum. Sejenis beras yang tidak enak.
Para PNS adalah sasaran untuk dimobilisasi memenangkan Golkar. Ungkapan lain yang sering muncul di musim kampanye Pemilu di masa Orde baru adalah: “Seratus persen Golkar, maka jalan akan dibuat.”
Maka, jadilah Golkar selalu menjadi pemenang pada setiap Pemilu Orde Baru. Dengan begitu, kursi kekuasaan Soeharto sebagai presiden tak akan pernah tergoyakan.
Sepanjang masa ini, Presiden tidak dipilih langsung. Ia dipilih oleh MPR yang terdiri dari anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Setiap penentuan Presiden di MPR hampir tidak ada suara yang berbeda, selain karena selalu tidak ada calon presiden lebih dari satu, tapi MPR sesungguhnya ia adalah ‘eksekutif’ itu sendiri, bukan legislatif sebagaimana kedudukan dan fungsinya.
Alih-alih berfungsi sebagai lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara, MPR justru seolah berfungsi hanya untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto. Demikian halnya dengan DPR.
Sistem ini sebetulnya sudah dimulai sejak Pemilu pertama tahun 1971. “Pemilu yang diselenggarakan tahun 1971 nampak tidak lagi memenuhi kriteria keterbukaan dan kebebasan seperti pada Pemilu sebelumnya,” kata Nur Hidayat Sardini.
Tapi anehnya, justru UU. No. 15 tahun 1969 yang menjadi payung hukum penyelenggaran Pemilu pertama itu sudah mengatur netralitas para pegawai birokrasi dan pejabat negara pada Pemilu. Ini sebenarnya berbeda dengan Pemilu 1955 yang tidak melarang pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai untuk bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
“Tetapi pada praktiknya pada Pemilu 1971, birokrasi dan pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar,” ungkap Nur Hidayat Sardini.
Mobilisasi massa pemilih dengan tekanan dan politik uang adalah ciri Pemilu di masa Orde Baru.
“Money Politics adalah nilai-nilai, sikap, dan praktek politik yang pada satu sisi sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur politik Orde Baru, sementara pada sisi lain ia melekat sebagai unsur penting budaya politik masa lalu,” tulis Sarwendro Budi Satmoko dan Sulistyaning Indrati dalam Reformasi, Pemilu yang Luber dan Jurdil (Yayasan Indraprasta, 1999).
Pemenang pada Pemilu tahun 1971 adalah Golkar dengan perolehan suara sebanyak 34.348.673 atau sekitar 62,82 persen. Kursi anggota dewan yang diperoleh di pusat sebanyak 236 kursi. Ini kemenangan yang terus dipertahankan hingga Pemilu terakhir Orde Baru tahun 1997.
“Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer,” urai Nur Hidayat Sardini.
Meski nanti menggunakan hak pilih pada Pemilu tahun 1997, sebagai generasi yang lahir pertengahan tahun 1970, saya masih sempat mengamati praktik-praktik yang tidak ‘Luber’ pada beberapa kali Pemilu. Antaranya cara-cara kerja petugas panitia pemungutan suara dari tingkat desa hingga kecamatan. Demi untuk memenangkan Golkar, maka cara yang benar-benar tidak ‘Luber’ diterapkan. Misalya menekan pemilih yang telah diketahui, diidentifikasi atau diduga partisan PDI atau PPP. Pokoknya, mereka yang bakal mengganggu target memenangkan Golkar 100 persen.
Hal lain adalah manipulasi perolehan suara. Di TPS, suara Golkar yang hanya mencapai 80 persen, di tingkat kecamatan dimanipulasi menjadi 100 persen. Tentu ini terkait dengan target yang dibebankan kepada kepala desa atau lurah, dan camat oleh Bupati atau Walikota. Dan untuk mereka oleh Gubernur. Dan seterusnya demikian.
Pada Pemilu pertama Orde Baru partai politik peserta Pemilu berjumlah 10 partai, namun saat dilangsukannya Pemilu kedua tahun 1977 sampai Pemilu terakhir tahun 1997 tinggal berjumlah 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Fusi pertai-partai politik ini dilakukan pada tahun 1973. Sehingga sepanjang masa itu, orang-orang mengenal nama partai dari nomornya saja. Nomor 1 untuk PPP, Nomor 2 untuk Golkar dan nomor 3 PDI.
Dengan demikian, sebetulnya setiap Pemilu di masa orde baru adalah memilih tanpa pilihan ketiga. Sebab yang ada hanyalah Golkar-PPP-PDI yang kesemuanya adalah alat kekuasaan Soeharto. Lalu pilihan keduanya adalah menjadi ‘Golput’ atau Golongan Putih, sebagai protes terhadap sistem kekuasaan yang sedang berlangsung.
“Golput itu memang hak, tetapi sudah tak keren. Kerennya itu golput di Orde Baru,” ujar Komisioner KPU, Viryan Azis kantor KPU, Jakarta, Jumat, 8 Februari 2019, seperti diberitakan Tempo.co.
Menurut Viryan, golput pada masa Orde Baru disebabkan banyaknya manipulasi hasil pemilu. Untuk saat ini, kata dia, tak ada lagi manipulasi-manipulasi hasil pemilu yang membuat orang memilih golput, katanya.
Di era pascaOrde-Baru, semisal Pemilu tahun 2019 ini, benar ada banyak partai, tapi bukankah semua partai itu akhirnya mengerucut pada dua koalisi besar untuk Pilpres, 1 atau 2. Tidak ada pilihan ketiga.(*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
-
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
-
Setelah Tanggal 17, Apa?
-
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955
-
Demokrasi di Minahasa: Tu’ur In Tana’, Pinawetengan, Paesaan In Deken Hingga Pemilihan Ukung
-
Mafia Survei Teror Pemilu 2019