Connect with us

FEATURE

Mengenang Sittwe

Published

on

28 Januari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Sittwe adalah tempat di mana ambisi dan obsesi berjumpa dalam peperangan demi peperangan berdarah. 

 

Saya terbangun mendadak.

Taksi yang saya tumpangi dari bandara sudah sampai di hotel. Dengan agak malas saya beringsut keluar. Menggendong tas lalu merogoh dompet dan menunaikan pembayaran. Menunggu uang kembalian tanpa tersenyum. Otot-otot wajah saya masih terlalu tegang karena tidak tidur semalaman. Di langit-langit mulut, masih terasa sisa siraman bir tadi malam.

“Bhine”.

Kepala saya mengangguk lemah. Tidak sanggup membalas ucapan terima kasih.

Sittwe Hotel, satu-satunya hotel yang terletak di dekat pantai. Berjarak kurang dari sepuluh menit dari bandara. Seorang kawan merekomendasikan tempat ini. Tidak terlalu mahal dan pemandangannya dinilai dapat membantu otak berpikir lebih jernih. Kejernihan memang adalah kebutuhan utama untuk menyelesaikan pekerjaan selama berada di kota ini. Hotel ini strategis. Tidak jauh dari taman kota yang populer karena menjadi tempat berjumpanya aliran sungai Kaladan dan laut Bengali. Karpet merah menuju samudera Hindia yang mengitari hingga ke Indonesia, tempat darimana saya berasal.

Sittwe bisa ditempuh dengan penerbangan dari Yangon selama satu jam. Kota ini adalah ibukota negara bagian Rakhine, berada di bagian paling barat Myanmar, berbatasan darat dengan Bangladesh. Ada tiga sungai utama yang menjadi marka sejarah: Lay Mro, Mayu dan Kaladan yang muaranya tak jauh dari hotel penginapan saya.

Ini adalah tempat di mana ambisi dan obsesi berjumpa dalam peperangan demi peperangan berdarah. Kita dapat melacaknya dari asal muasal penamaan kota ini yang tidak lepas dari cerita invasi Raja Burma, Bodaipaya di tahun 1784. Perang puputan terjadi, banyak tentara tewas dan Arakan tumbang menjadi koloni Burma. Mengenang para pemberani dari Arakan di masa tersebut, lokasi paling berdarah dari serial peperangan kemudian disebut Site Tway dalam bahasa Rakhine. Lidah orang Bamar memplesetkannya menjadi Sittwe.

“Kami adalah keturunan para pemberani,” kata Dolly Shein.

Sebagai orang Arakan, wajar jika ia mengenang peristiwa tersebut sebagai monumen kegigihan. Kami adalah kawan sekelas. Sebelum datang belajar di Thailand, Dolly adalah seorang tenaga pengajar di sekolah swasta yang didirikan khusus untuk anak-anak Rakhine. Meski mengadopsi kurikulum resmi negara, mereka punya keleluasaan mengajarkan nilai-nilai lokal. Termasuk sejarah dalam versi tutur mereka.

“Kami menolak kolonialisme. Dari dulu hingga sekarang”.

Saya tidak mendebatnya. Cerita tentang Tentara Arakan begitu akrab di telinga beberapa waktu terakhir. Unit gerilya revolusioner ini adalah tandem terbaik Tentara Pembebasan Kachin yang rutin bertempur dengan Tatmadaw atau Tentara Nasional Myanmar. Tuntutan mereka adalah otonomi penuh untuk kelompok-kelompok etnis di wilayah utara Burma.

Wajar jika Dolly tampak begitu romantik mengenang masa lalu orang-orang Arakan. Jejak periode kegemilangan kerajaan Arakan dapat dengan mudah ditemukan. Kuil-kuil dari abad lalu tetap tegak berdiri meski telah berumur ratusan tahun. Bergeser sedikit ke utara Sittwe, terdapat kota Mrauk U yang merupakan dahulu merupakan ibukota kerajaan Arakan. Di masa itu, wilayahnya mencakup seluruh darat negara bagian Rakhine, sebagian wilayah negara bagian Kachin dan Bangladesh timur.

Sittwe juga adalah pusat revolusi politik.

Di tahun 2007, Revolusi Saffron dimulai dari sini. Para biksu muda bersama dengan kelompok demokratik lain membanjiri jalanan dan menuntut demokrasi serta pembubaran junta militer. Selama bulan Agustus hingga Oktober, demonstrasi massa berlangsung intens. Pemicunya adalah keputusan junta militer untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak. Keputusan ini memicu kenaikan harga barang dan bahan kebutuhan pokok hingga 500%. Gelombang protes tanpa kekerasan ini disambut tangan besi militer. Represi masif menyasar mereka yang terlibat. Kenji Nagai, jurnalis asal Jepang terbunuh saat sedang meliput.

Ini adalah tujuan utama mengapa saya singgah di kota ini. Sittwe menduduki posisi penting dalam riset untuk tesis yang sedang saya kerjakan. Sebagai penanda sejarah, Revolusi Saffron adalah model kombinasi yang unik ketika sebuah momentum politik dari gerakan demokratik justru dipelopori oleh biksu-biksu muda. Mereka tentu saja tak sendiri. All Burma Federation of Student Unions (ABFSU) adalah tandem terbaik mereka di lapangan. Sebagai orang yang sedang belajar lebih jauh mengenai gerakan pelajar di Burma, tentu saja tidak mungkin bagi saya untuk mengacuhkan posisi Sittwe yang strategis secara historis dan politik.

Namun jujur, pembicaraan tentang peran Sittwe dalam mendorong demokrasi di Burma kurang mendapatkan sorotan utama.

Orang di luar sana lebih senang membicarakan tentang Rohingya. Tentang bagaimana mereka tidak diakui, menjadi target rentan atas kekerasan para milisi yang disponsori negara, maupun yang langsung dilakukan aktor negara. Terutama di Indonesia, diskusi mengenai Rohingya selalu dibarengi dengan sentimen keagamaan yang merupakan hasil pembiakan dari repetisi argumen ahistoris media.

Ambil contoh, peristiwa yang terjadi pada Sabtu, 26 November 2016. Saat itu, tiga orang Muslim ditangkap. Mereka dituduh sedang merencanakan pemboman di sekitar kota Yangon. Kepada Agence France-Presse, polisi mengatakan bahwa diduga para tersangka adalah anggota kelompok teroris yang berbasis di Rakhine. Operasi tangkap tangan setelah tiga kasus ledakan terjadi selama seminggu terakhir. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan sengkarut politik Myanmar, keterangan polisi secara implisit mengarah pada Tentara Nasional Rohingya (RNA). Organisasi gerilya yang merupakan sayap bersenjata Organisasi Nasional Arakan Rohingya (ARNO). Basis operasi mereka terpusat di Rathedang, Maungdaw dan Butheetaung.

Kondisi memang lagi memanas saat itu di Rakhine.

Pada 9 Oktober, tiga pos tentara yang berada di perbatasan diserang. Sembilan petugas tewas. Lusinan senjata dan amunisi berhasil dirampas. Dua hari kemudian, empat prajurit Tatmadaw (AD Myanmar) terbunuh dalam kontak senjata. Pemerintah negara bagian Rakhine menuduh ARNO-RNA di balik serangan ini.

Tuduhan ini meleset.

17 Oktober, kelompok bernama Aqa Mul Mujahidin (Harakat al-Yaqin) merilis tujuh video dan mengaku bertanggung jawab atas rangkai serangan tersebut. Abu Ammar Junooni pimpinannya. Diduga kuat mereka adalah pelaku dari penculikan dan pemenggalan tiga insinyur pemerintah di perbatasan pada Juni tahun lalu. Empat video di antaranya menyerukan jihad, menuntut pemulihan penuh status kewarganegaraan orang-orang Rohingya, pengembalian wilayah kelola etnis serta menuntut penarikan mundur tentara.

Tatmadaw merespon dengan menggalang milisi. Kelompok sipil yang dipersenjatai ini nantinya akan menjadi petugas di kantor-kantor polisi baru yang akan dibuka di tiap-tiap kampung non-Rohingya. Tujuannya agar setiap kampung dapat mempertahankan diri dari serbuan kelompok-kelompok Mujahid. Relawan yang mengajukan diri menjalani pelatihan singkat di Sittwe -ibukota negara bagian Rakhine.

Konflik bersenjata akhirnya tidak bisa diredam.

Pada 15 November, korban bertambah. Kontak senjata hari itu, 10 polisi, 7 tentara dan 69 lainnya dari etnis Rohingya tewas. Juru bicara pemerintah mengatakan bahwa orang-orang Rohingya yang tewas adalah milisi, namun klaim ini diragukan kelompok-kelompok pro-demokrasi dan HAM.

Pasca peristiwa ini, penangkapan massal terjadi. Pemukiman-pemukiman Rohingya disasar pihak keamanan. Sekitar 250 orang ditangkap secara ilegal. Rumah-rumah dibakar. Perempuan diperkosa. Anak-anak ditempeleng dan dipukuli. Ribuan orang terpaksa harus mengungsi. Sebagian yang mencoba menyeberang ke Bangladesh ditolak. Sebagian lain ditipu. Uang habis menyogok, namun terperangkap di kantong-kantong pengungsian sementara di perbatasan.

Konflik antar etnis di Myanmar memang sudah terentang jauh sebelum ini. Tidak hanya Rohingya, namun kelompok lain seperti Shan dan Kachin juga mengalami nasib yang kurang lebih hampir sama naasnya.

Ketika Burma diganti Myanmar oleh junta militer, umat non-Buddhis menjadi sasaran diskriminasi. Terutama setelah militer menetapkan bahwa agama resmi yang diakui negara adalah Buddhisme. Keputusan ini dipertanyakan oleh etnis Karen, Chin dan Kachin yang mayoritas beragama Kristen, serta Rohingya yang beragama Islam.

Di Arakan, perwira-perwira etnis Rohingya dicopot sepihak. Mereka misalnya dituduh sebagai loyalis kolonialis British. Pada masa tersebut, penangkapan sewenang-wenang terjadi terhadap etnis Rohingya. Pelakunya adalah polisi dan tentara. Mereka dianggap pemalas, biang kerok kemiskinan dan perusuh. Di pasar-pasar, orang-orang Rohingya dituduh sebagai manipulator yang licik dalam berdagang.

Sayang, banyak orang naif yang luput melihat bahwa konflik soal Rohingya tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergolakan yang berlangsung pasca Perang Dunia II hingga awal dekade 1960an. Kekalahan Jerman, Italia dan Jepang ikut memicu sentimen nasionalisme yang menggelinding pada deklarasi negara-negara baru di kawasan selatan yang dahulu menjadi koloni.

Di Asia Tenggara, Indonesia misalnya menyatakan merdeka dari Belanda pada Agustus 1945, beberapa saat setelah dua bom atom menghancurleburkan Hiroshima dan Nagasaki. Di tahun 1946, melalui Perjanjian Manila, Filipina mendapatkan otonomi penuh dari Amerika Serikat.

Di perbatasan antara Asia Tenggara dan Asia Selatan, pada Agustus 1947, sebuah Dominion -istilah ini kurang lebih dapat disetarakan dengan negara bagian- berdiri dengan cakupan wilayah lima provinsi; Balochistan, Punjab Barat, Sindh dan Sarhad dan Bengali Timur. Publik mengenal Dominion ini sebagai Pakistan. Di kemudian hari, provinsi Bengali Timur menyatakan kemerdekaannya dari Dominion dan menyebut dirinya Bangladesh.

Sementara itu, tidak lama setelah Pakistan berdiri, tak jauh dari mereka Serikat Burma mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris pada Januari 1948. Wilayah Burma -yang berbentuk federasi- mencakup wilayah Arakan yang berbatasan dengan wilayah Bengali Timur. Sebagian penduduknya adalah penganut Islam.

Dominion Pakistan yang mayoritas penduduknya beragama Islam -terutama Bengali Timur yang berbatasan darat- menjadi salah satu alasan mengapa para elit Muslim di sebagian wilayah Arakan -Rathedang, Maungdaw dan Butheetaung- mengajukan ide agar mereka diikutkan sebagai provinsi keenam Dominion Pakistan. Di bawah komando Abdul Kaseem, mereka berupaya agar daerah barat laut Arakan diikutkan sebagai bagian dari Pakistan yang baru berdiri tersebut.

Permintaan ini ditolak oleh Muhammad Ali Jinnah, salah seorang pendiri Pakistan.

Jinnah tidak ingin memicu konflik dengan Burma yang saat itu dipimpin Sao Shwe Taik dan U Nu. Kondisinya secara politik dan militer, posisi Burma jauh lebih kuat. Di level internasional, Pakistan yang baru saja resmi menjadi anggota PBB sadar bahwa mereka bukan tandingan Burma. Hitungan Jinnah tidak meleset. Tahun 1961, kelihaian diplomasi Burma sukses besar. Perwakilan Tetap Burma untuk PBB, U Thant diangkat menjadi Sekretaris Jendral PBB. Posisi ini dijabatnya selama 10 tahun.

Penolakan Jinnah tidak melunturkan semangat Kaseem dan para loyalisnya untuk menuntut pemisahan dengan Burma. Salah satu isu yang didorong Kaseem adalah soal posisi Muslim sebagai minoritas. Ini adalah periode di mana Rohingya sebagai terma politik muncul.

Jaminan dari Partai Komunis Burma bahwa minoritas Muslim akan dilindungi hak-hak demokratiknya, tidak sanggup meluluhkan Kaseem. Untuk mencapai tujuannya, Kaseem lalu membentuk kelompok mujahid untuk melancarkan gerilya. Targetnya jelas. Pemisahan permanen dari Burma.

November 1948, darurat militer diberlakukan di negara bagian Rakhine karena intensitas serangan terhadap pos militer dan aparat keamanan oleh kelompok mujahid. Selama periode ini, masyarakat sipil menjadi korban. Orang-orang meninggalkan desa karena ketakutan. Kontak senjata dapat meletus kapan saja. Anak-anak, perempuan dan lansia menjadi kelompok paling menderita.

Juni 1949, kelompok mujahid sudah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Arakan.

Setahun kemudian, tepatnya Maret 1950, operasi militer paling berdarah di sejarah kawasan itu dimulai. Kampanye militer ini berlangsung hingga tahun 1960. Korban di pihak sipil semakin bertambah banyak. Burma mendapat sorotan internasional. Perwakilan dari Tatmadaw menuduh bahwa berlarut-larutnya perang disebabkan karena para mujahid mendapatkan dukungan dari para imigran ilegal yang menyeberang masuk dari Bengali Timur. Klaim ini menjadi salah satu pijakan di kemudian hari soal sengketa tentang asal muasal orang-orang Rohingya di Arakan.

Penyebutan Rohingya memang dilematis.

Terma ini terlanjur dianggap sinonim dengan Islam di kepala banyak orang. Meski awalnya, penyebutan ini adalah cara Francis Buchanan-Hamilton untuk merujuk sebuah wilayah di sekitaran Bengali Timur (Bangladesh hari ini). Rujukan ini penting bagi Buchanan-Hamilton yang sejak 1794 melakukan penelitian di daerah-daerah koloni Inggris. Selama dua puluh tahun, ia bekerja di Layanan Kesehatan Bengal milik Inggris sembari memperdalam pengetahuan mengenai tumbuh-tumbuhan dan binatang. Di kemudian hari, pria asal Skotlandia ini dikenang sebagai salah satu peletak dasar studi mengenai dunia botani dan zoologi di Asia Selatan. Dua karya utamanya, A Journey from Madras through the Countries of Mysore, Canara and Malabar (1807) dan An Account of the Kingdom of Nepal (1819) tetap menjadi rujukan hingga hari ini.

Buchanan menggunakan kata Bengali “Rohang” untuk merujuk pada sebagian wilayah di bagian utara Rakhine yang di masa itu termasuk dalam domain kerajaan Arakan. Rohingya secara literer dapat diartikan sebagai “orang-orang Rohang”. Rujukan geografis ini yang kemudian digunakan Kaseem untuk mengindentifikasi daerah-daerah di barat laut Arakan sebagai wilayah Rohingya.

Setelah pemberontakan bersenjata yang dipimpin Kaseems menemui kebuntuan di awal dekade 1960an, Zaffar Kawwal kemudian membentuk Partai Pembebasan Rohingya (RLP). Ini adalah organisasi bersenjata pertama yang secara terbuka menggunakan terma Rohingya sebagai identitas politik, penanda geografis dan proyeksi kultur.

Muhammad Jafar Habib, seorang intelektual yang menyandang gelar Doktor dari Universitas Rangon, ditunjuk sebagai Sekretaris Jendral. Habib adalah seorang yang berpengaruh dan dinilai sebagai faktor utama mengapa RLP populer di kalangan anak muda. Ia seorang pembicara yang gesit, orator tangguh dan seorang yang dikenal berkepribadian hangat. Banyak pihak mengatakan bahwa berkat Habib, kekuatan RLP meningkat signifikan. Dari 200 orang mujahid di awal pembentukannya, hingga akhirnya memiliki kekuatan antara 500-600 orang dalam tempo kurang dari dua tahun. Basis gerilya utama berada di sekitar hutan Buthidaung, tidak jauh dari perbatasan dengan Bangladesh.

RLP kemudian berhasil dihancurkan oleh Tatmadaw di tahun 1974. Kawwal dan beberapa loyalisnya menyeberang ke Bangladesh. Tapi tidak Habib.

Ia lalu mengkonsolidasikan kembali gerilyawan yang tersisa, tercerai berai dan tengah menderita demoralisasi. Ia mengajak Nurul Islam, seorang pengacara yang baru saja membuka firma hukum di Yangoon. Islam diminta Habib untuk menjadi wakilnya. Mereka berdua lalu mendirikan Front Patriotik Rohingya (RPF) di tahun 1974 dan menunjuk Muhammad Yunus sebagai Sekretaris Jendral. Yunus adalah seorang intelektual yang berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Yangon.

Habib menunjukkan pada sejarah bahwa ia benar-benar tahu apa yang sedang ia perjuangkan. Jika para pendahulunya menggunakan retorika agama -baik secara terbuka ataupun secara malu-malu- sebagai alat propaganda, penyandang gelar master Ilmu Sosial ini justru memperkenalkan pendekatan Marxisme Islam ke dalam kancah gerakan pembebasan Rohingya.

Faktor ini di kemudian hari melatari perpecahan di internal RPF pada awal dekade 1980an.

Yunus yang lebih konservatif kemudian kecewa dan memisahkan diri. Ia lalu membentuk Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO). RSO kemudian menjadi kelompok paling militan dan konservatif. RSO mendapatkan dukungan dari Jamaah Islamiyah di Pakistan dan Bangladesh serta kelompok fundamentalis lain seperti Partai Islam (Hizb e Islami) asal Afganistan. Kuat dugaan, hubungan RSO dan Partai Islam didasarkan pada kesamaan cara pandang anti-komunisme.

RPF sendiri masih bertahan meski kemudian kekuatannya terus tergerus. Tahun 1986, Nurul Islam mengumpulkan sisa-sisa RPF yang tercerai berai oleh operasi militer masif di tahun 1978-1980, beberapa pembelot dari RSO untuk mendirikan Front Islam Arakan Rohingya (ARIF).

Dua organisasi tersebut lalu menjadi pemain utama dalam perjuangan bersenjata yang menuntut otonomi penuh sebagai wilayah tersendiri dalam federasi Myanmar. Hingga akhirnya pada 28 Oktober 1998, ARIF dan RSO memutuskan untuk bergabung dengan Organisasi Nasional Arakan Rohingya (ARNO). ARIF dan RSO menjadi sayap militer dengan nama Tentara Nasional Rohingya (RNA) dan ARNO sebagai sayap sipil-politik dengan kantor pusat di London, Inggris.

RNA hingga kini menjadi aktor utama dalam berbagai serangan terhadap pos-pos Tatmadaw di negara bagian Rakhine. Para gerilyawan RNA sebagian besar berasal dari korban sapu bersih militer di tahun 1978 yang menyasar RPF. Operasi yang diberi nama Raja Naga ini secara membabi buta menyasar warga sipil. Banyak anak menjadi yatim piatu dan kemudian tumbuh dengan dendam terhadap Tatmadaw. Mereka inilah yang kemudian direkrut oleh RSO -dan RNA di kemudian hari- untuk menjadi bagian dari kampanye bersenjata mereka. Hingga hari ini, daerah di bagian utara Rakhine masih merupakan daerah operasi militer.

Ketika hasil hitung cepat menempatkan Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) sebagai pemenang pemilu November 2015, isu mengenai nasib komunitas Rohingya juga ikut menjadi sorotan. Isu ini merupakan salah satu yang paling mendapatkan perhatian internasional, terutama terkait erat dengan meningkatnya aksi kekerasan yang dilakukan terhadap orang-orang Rohingya. Namun jauh sebelum pemilu, NLD dan Suu Kyi sudah memperlihatkan bahwa masalah Rohingya tidak berada di daftar prioritas mereka.

Yang paling mencolok tentu saja adalah fakta bahwa orang-orang Rohingya tidak memiliki hak suara dalam pemilu. Lalu keputusan resmi NLD untuk tidak mencantumkan satupun kandidat Muslim dalam daftar calon anggota parlemen yang disodorkan untuk pemilu. Anehnya bagi sebagian besar komunitas muslim di negara tersebut, Suu Kyi masih digembar-gemborkan sebagai harapan terbaik mereka. Beberapa pemimpin dan tokoh utama komunitas Muslim di Arakan dan Myanmar bahkan berkampanye aktif untuk mendulang suara bagi NLD.

Bahkan setelah pemilu usai, keyakinan tersebut masih tampak jelas.

Menutup mata dan menolak menerima kenyataan bahwa hanya beberapa hari setelah penghitungan suara, Win Htein sebagai juru bicara NLD mengatakan kepada media bahwa ada prioritas lain selain Rohingya. Bagi NLD, isu-isu berskala nasional seperti transisi kekuasaan secara damai, perbaikan kondisi ekonomi dan reformasi konstitusi jauh lebih penting dibanding isu lokal seperti Rohingya.

Namun hal ini tidak mampu menutupi kekhawatiran dunia internasional terhadap makin populer dan menguatnya kelompok garis keras konservatif Buddha yang dipimpin oleh Ashin Wirathu. Di level lokal, antipati terhadap campur tangan asing juga begitu kuat. Orang-orang Arakan di negara bagian Rakhine merasa bahwa masalah Rohingya adalah isu domestik. Myint Soe, seorang pengacara yang berkantor di Sittwe meyakini bahwa problem ini belum membutuhkan penanganan dari sebuah lembaga khusus.

Pendapat Myint Soe adalah respon terhadap manuver mantan Sekjend PBB, Kofi Annan yang diberitakan memimpin sebuah komisi pertimbangan baru terkait permasalahan Rohingya. Komisi internasional ini bertugas mencari solusi yang paling mungkin dapat diambil terkait ketegangan sektarian yang berlarut-larut di negara bagian Rakhine. Rekomendasinya adalah agar pemerintahan baru Myanmar pasca-pemilu 2015 dapat mendengarkan komplain dunia internasional dan sudah harus mulai menunjukkan upaya serius untuk menyelesaikan -atau minimal meredam- konflik. Untuk melancarkan lobi-lobi politik tersebut, presiden AS saat itu Barrack Obama, berkenan mencabut semua sanksi dan embargo yang diterapkan kepada Myanmar.

Kondisi negara bagian Arakan memang menjadi semakin rumit pasca-pemilu. Kelompok garis keras Arakan National Party (ANP) atau Partai Nasional Arakan berhasil memenangkan mayoritas kursi parlemen di Rakhine. Meski begitu, Suu Kyi justru menunjuk seorang anggota parlemen dari NLD bernama Nyi Pu untuk menjadi Menteri Utama Negara Bagian. Manuver politik yang dikecam luas di Arakan dan membuat ANP mempertanyakan legitimasi demokratis dari langkah tersebut. Tapi bagi beberapa orang, ini adalah jaring pengaman untuk mencegah agar Rakhine tidak dikendalikan sepenuhnya oleh kelompok ekstrim.

Sejak beberapa tahun terakhir, kelompok fundamentalis Buddha memang berkembang pesat di Burma. Terutama ketika di tahun 2012, pecah kerusuhan antara etnis Rakhine yang beragama Buddha dengan orang-orang Rohang yang beragama Islam. Akibatnya, sekitar 140.000 orang menjadi korban pengungsian dan terlunta-lunta. Mereka dituduh sebagai orang Bengali yang masuk melalui perbatasan secara ilegal. Meski faktanya Rohingya telah hidup di bagian barat laut Arakan selama bergenerasi. Sementara satu juta lain terperangkap dalam zona militer setelah kerusuhan tersebut. Mereka dilarang meninggalkan kawasan pemukiman dan menjadi tawanan tanpa memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan yang layak.

Hukuman tidak manusiawi ini sampai sekarang belum juga dicabut oleh NLD meski mereka menguasai kursi mayoritas di parlemen. Itu sebabnya, saya mahfum dengan tatapan curiga dari resepsionis saat ia memeriksa paspor.

“Saya Kristen, tinggal di Thailand dan saat ini sedang melakukan riset.”

Saya segera menjelaskan meski tidak pernah ditanya. Lalu saya mengeluarkan kalung salib yang melingkar di leher agar bisa jelas terlihat. Kalung murahan yang saya beli di Yangon atas saran seorang kawan. Ia merasa bahwa saya membutuhkannya sebagai proteksi. Selain itu, saya juga disarankan agar lebih sering menggunakan kaos berlengan pendek agar tato tribal di kedua tangan saya dapat terlihat dengan jelas. Bertato dan berkalung salib setidaknya akan menghindarkan saya dari selusin pertanyaan.

Banyak orang mengira jika semua orang Indonesia adalah Muslim dan tidak memakan babi. Awalnya semua itu terdengar konyol. Namun saya tidak membantah. Intonasi suara peringatan itu menandakan bahwa hal itu memang serius. Lagipulaa, ini pertama kali saya menginjakkan kaki di Sittwe. Saya tak mau gegabah.

“Bamazaga pyaw daq lar?”

“Nèh-nèh. Pyàwdaq badeh.” Saya membalas dengan terbata-bata. Kombinasi antara pengetahuan dasar berbahasa Burma dan kelelahan fisik yang sedang berkulminasi. Ia lalu tersenyum.

“Kamar 204. Sarapan setiap pukul 6.30 hingga 9.30 di restoran,” tangan kanan resepsionis itu menunjuk sebuah ruang kosong di samping kirinya. Saya mengangguk lemas.

“Minga laba.”

“Minga laba”, saya membalas. Tangan saya bergerak malas mengambil kunci dan segera bergegas menuju lift.

Saya ingin segera tidur. Siang ini, berbaring di ranjang adalah hal yang paling saya inginkan. Urusan lain, biar saja saya tuntaskan malam hari. (*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *