KISAH
Menikmati Aroma Liberika Terakhir di Kaki Lokon
Published
2 years agoon
30 Mei 2023
“Kehadiran tunas baru dari bibit yang disemai kini tengah dinanti. Tanda-tanda itu tidak hanya akan menghadirkan kegembiraan, tapi juga keyakinan bahwa proses untuk mengembangkan Liberika dari kaki Lokon itu akan bisa terwujud.”
Penulis: Rikson Karundeng
RUANGAN kedai 8 x 6 meter terasa hangat. Tempat nyaman untuk berteduh dari serangan hawa dingin malam pegunungan Tomohon yang baru selelesai dibasahi hujan. Pancaran samar cahaya lampu vintage dan aroma kopi yang menyeruak, mengantar peregangan saraf-saraf yang sejak pagi telah mengencang.
“Coba rasa akang dulu!”
“Baru ini, Mon?”
“Tes jo dulu!”
Lembar pesanan belum juga tiba, tapi secangkir kopi sudah tersaji di meja. Josua Wajong, salah satu pelanggan setia di kedai itu berinisiatif untuk mengecapnya lebih dulu.
“Hem, rupa ada rasa-rasa nangka,” kata Josua. Jurnalis yang juga penggerak Sekolah Adat Tou Mu’ung Wuaya itu coba menerka sensasi rasa yang baru saja menyentuh lidahnya.
“Coba lei ini satu,” kata Emon, barista yang menyajikan kopi.
“Kalu ini ada rasa nangka, mar ada rasa-rasa asam juga,” ujar Belarmino Lapong, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Tomohon.
“Ini kopi Liberika Tomohon. Cangkir kedua itu memang asam. Da campur deng lemong (jeruk) kwa sadiki,” ungkap Emon.
Nama lengkapnya, Almontana Maesa Paat. Pemilik Elmonts Coffee & Roastery yang terletak di jalan Sreko, Kolongan, Tomohon Tengah, Kota Tomohon. Tempat usaha itu dikelola bersama sang istri, Elizabeth Luise dan adiknya Yeremia Toar Paat.
Buah Dari Pohon Era Belanda
Kamis, 25 Mei 2023. Usai beraktivitas seharian, saya dan beberapa teman mampir ke Elmonts Coffee & Roastery. Salah satu tempat favorit para aktivis dan pegiat budaya di kota Tomohon.
Selain Josua dan Belarmino, duduk semeja Ketua Sanggar Kanaraman, Richard Ering, Ketua Komunitas Peduli Disabilitas “Mahkaria”, Dani Lantang, penggerak Komunitas Waraney Wuaya, Tuha Petuyang, serta tiga jurnalis yang juga aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, Hendro Karundeng, Reinhard Loris dan Edzar Tulung.
Sajian kopi itu menjadi pembuka percakapan kami tentang sejarah kopi di Sulawesi Utara, bersama Emon. Seorang petani dan pelaku usaha muda yang aktif dalam gerakan masyarakat adat di Minahasa bersama AMAN.
Menurut Emon, kopi Liberika di kedainya pertama kali didapat dari seorang costumer yang biasa mampir ke kedainya. Pelanggan yang gemar minum kopi di Elmonts Coffee & Roastery. Namanya, Irgi. Seorang musisi seperti dirinya.
“Awalnya Irgi menginformasikan jika masih ada satu pohon kopi yang bertumbuh di depan rumahnya, di Kelurahan Wailan, Tomohon Utara. Hanya saja dia tidak mengetahui jenis kopi yang tumbuh di samping rumahnya itu,” kata Emon.
Informasi itu memantik energi positif dari jiwa kopinya. Emon dan Irgi kemudian bersepakat untuk sama-sama mempelajari jenis kopi yang diketahui tinggi pohonnya sudah mencapai sekira 9 meter lebih.
Dari cerita yang didapat dari keluarga Irgi, pohon kopi di kaki Gunung Lokon itu sudah ada sejak zaman kakek dari kakeknya. Diperkirakan, kopi itu ditanam pada masa kolonial Belanda.
“Kami bisa pastikan itu, sebab kondisi pohonnya sudah seperti ‘tiang raja’ rumah. Kalau orang membangun rumah dan menggunakan tiang raja, pohonnya sudah sebesar itu. Buahnya tumbuh di cabang seperti buah mangga yang tumbuh di cabangnya. Buah kopi ini ada di cabang seperti itu,” ungkap Emon.
Pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan di memori mengisyaratkan jika kopi itu jenis Liberika. Sebab kalau jenis kopi Arabika dan Robusta, per ruas biasa muncul dua daun, baru muncul buahnya. Tapi kalau Liberika, dia punya identitas sendiri. Dia bisa tumbuh di batang primer dan batang sekunder.
“Batang primer itu yang tegak lurus dari bawah ke atas, dan sekunder itu yang seperti tangan. Dia bisa tumbuh di situ dan tidak di ruas, malah di batang. Itu ciri-ciri secara bentuk dari Liberika,” sebut Emon.
Analisa lain yang meyakinkan jika itu jenis Liberika adalah bentuk bijinya. Biasa kalau Robusta ada garis satu yang lurus di dalam. Kopi ini juga sama. Ada satu garis, tapi ukurannya lebih kecil dari Robusta. Bentuknya lonjong, kemudian sedikit lancip di atas.
“Dilihat dari buah memang Liberika kelihatan lebih besar dari Robusata dan Arabika. Tapi jika sudah dijemur, biji Liberika lebih kecil. Ini yang membedakan sehingga kita kemudian memastikan ini jenis Liberika,” ujarnya.
Pengujian selanjutnya semakin meyakinkan pendapatnya. Ketika melalui proses pasca panen seperti yang dipelajarinya dari para ahli di Kementerian Pertanian, rasanya betul-betul memiliki karakter seperti buah nangka.
Ia paham, karakter nangka ada pada Liberika dari sumber manapun. Sebab itu sudah jadi cirikhasnya. Mau di manapun, orang pasti bilang Liberika itu rasanya seperti nangka.
“Di Minahasa ada kopi salak karena terbuat dari biji salak, tapi ini memang karakter rasa betul-betul kopi nangka. Mau keliling di Indonesia, kalau ada kopi Liberika, karakternya pasti nangka,” tegasnya.
Menanam Liberika Dari Induk Terakhir
Sekian tahun menelusuri jejak kopi di wilayah Tomohon, Emon tak pernah menemukan jenis Liberika. Itulah mengapa ia sangat yakin jika pohon yang ditemukan di Wailan adalah satu-satunya pohon kopi Liberika yang masih hidup dan berbuah hingga hari ini di Tomohon.
Keyakinan itu mendorong dirinya untuk coba mengembangkan kopi Liberika Tomohon. Sebulan yang lalu, niat itu sudah berproses. Sepuluh buah bibit mulai disemai.
“Berpikir jika ini justru menjadi pohon satu-satunya yang masih ada di Tomohon, khususnya di Wailan, dan produksinya masih baru sekali, sekarang kita mulai membuat bibit baru. Mudah-mudahan bibit ini jadi dan bertumbuh baik,” ucapnya penuh harap.
Emon dan Irgi secara sadar memulai dengan sepuluh pohon saja. Menurutnya, kalau untuk bibit memang tidak bisa langsung dibuat banyak.
“Minimal kita cari yang unggul dulu. Sehingga jika mau membuat bibitnya, seperti pada kentang kita cari G0 sampai G1. Ini yang kita bikin bibit unggul,” terangnya.
Pengalaman di dunia pertanian, Emon biasanya mencari buah yang paling bagus untuk dijadikan bibit. Bibit yang disemai itu kemudian harus mendapatkan perawatan dan perlakuan khusus, tidak dibiarkan begitu saja.
“Itu kalau mau membuat bibit baru memang seperti itu. Karakter tanaman sebenarnya mirip-mirip. Mudah-mudahan bibit Liberika ini boleh berkembang,” ujarnya.
Kehadiran tunas baru dari bibit yang disemai kini tengah dinanti. Tanda-tanda itu tidak hanya akan menghadirkan kegembiraan, tapi juga keyakinan bahwa proses untuk mengembangkan Liberika dari kaki Lokon itu akan bisa terwujud.
“Bibit baru kami semai di belakang kedai Elmonts Coffee and Roastery. Sudah kurang lebih satu bulan. Kita tinggal melihat, kalau sudah keluar tanda-tanda tunasnya, itu berarti sudah jadi. Tinggal kita kembangkan,” tandasnya.
Walau berhasrat ingin mengembangkan Liberika Tomohon, Emon tak bermaksud mengembangkannya secara masif. Kondisi pasar menjadi pertimbangan utama.
“Kembangkan tidak juga secara masif, tapi kita harus melihat pasar Liberika. Sejauh mana pasar kopi ini diterima masyarakat. Karena sebelum kita merambah ke pasar, harus kita lihat dulu kualitasnya, apakah mampu pasar menikmati kopi ini,” jelasnya.
Kalaupun kopi yang akan dikembangkannya nanti tidak begitu diterima pasar, Emon berpikir paling tidak bisa menghadirkan sesuatu yang unik dari Liberika Tomohon.
“Walau ia hanya jadi pelengkap, misalnya kopi Liberika dicampur dengan Captikus (minuman alkohol sulingan tradisional khas Minahasa), bisa juga campur jeruk. Kalaupun dia hanya sampai di situ, setidaknya dia bisa punya keunikan tersendiri untuk dibuat minuman varian seperti itu,” ucap Emon.
Sajian Liberika di Elmonts, Idelaisme Kopi dan Tuntutan Pasar
Bagi para penikmat kopi, kehadiran Liberika Tomohon adalah sebuah sensasi baru. Pengalaman baru, sekaligus pengetahuan baru yang sangat penting bagi literasi kopi di daerah ini.
“Sangat gembira bisa menikmati kopi jenis Liberika di kedai ini. Lebih menyenangkan lagi setelah tahu jika kopi jenis ini ternyata masih ada di Tomohon. Tapi kalu ngana sandiri, bagimana depe rasa setelah bisa menghadirkan Liberika di kedai ini, Mon?” tanya Josua.
Kopi jenis Liberika yang dipanen dari satu-satunya pohon peninggalan masa lampau di kaki Gunung Lokon, kini sudah tersedia di Elmonts Coffee & Roastery. Sang pemilik kedai merasa bersyukur telah melewati proses yang bermakna bagi hidupnya, hingga aroma Liberika itu bisa dinikmati para penikmat kopi.
“Puji Tuhan, Liberika Tomohon ini sudah ada. Dia hadir di kedai kami melalui seorang costumer, penikmat kopi, kemudian dia mempertahankan kopi Liberika yang ada padanya, sampai akhirnya dia sudah punya usaha sendiri. Kami memang punya visi, seperti ajaran leluhur kami di Minahasa, memanusiakan manusia. Bukan karena uang, tapi karena mindset,” kata sosok yang dikenal bagian dari Wirausaha Unggulan yang tersertifikasi dan Petani Unggulan binaan Bank Indonesia.
Ia mengaku gembira, karena proses dialektika bersama Irgi telah membawa sahabatnya itu maju jauh ke dalam dunia wirausaha.
“Awalnya kawan ini membuka usaha burger. Mindset usahanya hasil sharing dengan kami di Elmonts. Sama seperti gerakan kebudayaan di Minahasa, awalnya kita sharing-sharing, kemudian ada ide, dan ide itu langsung dibuat,” ungkap Emon.
Ketua penyelenggara Klinik Wirausaha Sulawesi Utara ini menceritakan, kehadiran kopi Liberika di Elmonts Coffee & Roastery, telah melalui sebuah proses standar. Usai dipanen, dicuci, kemudian dijemur kering bersama kulitnya.
“Sekarang panas bagus, jadi kita buat natural hanya karena supaya dia punya rasa varian. Ternyata, biarpun sudah dibuat proses seperti itu, namanya karakternya nangka, itu dia bawa terus. Tipikal kopi ini demikian. Namanya karakternya nangka, ya tetap nangka. Begitupun Robusta. Namanya dia punya rasa cokelat pahit, dia tetap akan punya cokelat pahit selamnya,” urainya.
Di Elmonts Coffee & Roastery, Liberika Tomohon yang telah digiling akan diseduh menggunakan filter. Ada juga yang dicampur untuk dibuat espresso.
“Kembali lagi, di sini kami masih belajar bagaimana Liberika Tomohon ini bisa diterima di pasar. Bukan mau mengharuskan orang menyukai kopi Liberika, tapi bagaimana kita masih menciptakan agar pasarnya tetap ada,” tuturnya.
Belarmino merespons lebih lanjut penjelasan Emon. Ia masih penasaran, bagaimana Emon akan menciptakan pasar Liberika tetap ada. “Kira-kira bagimana depe cara supaya kopi Liberika ini diterima pasar, Mon? Ada kiat atau strategi khusus untuk itu?” tanya Belarmino.
Bagi Emon, salah satu cara penting adalah bagaimana tanggung jawab mereka sebagai tukang seduh kopi. Sesuatu yang menurutnya sangat penting. Sama seperti bicara kopi tanpa gula. Bagaimana hospitality ke pelanggan supaya pelanggan bisa menikmati kopi tanpa gula, menurutnya dari cara para barista menyeduhnya.
“Kalau dia tidak terlalu suka asam tinggi, itu tanggung jawab kita sebagai tukang seduh kopi. Jadi bukan sekadar idealis kita bahwa dia harus paten seperti ini. Idealismenya kita bawa tanpa gula, tapi konteks pasar kita harus menyesuaikan karakter dari costumer kita. Kalau dia tidak terlalu suka asam, itu tanggung jawab kita. Kalau dia suka asam tinggi, kita harus buat asam tinggi. Entah diatur apakah bermain di gilingan halus atau kasar, itu ciri khas masing-masing,” terangnya.
Kisah Liberika Tomohon terus mengalir bersama waktu. Tak terasa, jam di handphone telah menunjukkan pukul 24:00 Wita. Masih ada bayak tanya yang tersipan dalam benak. Tapi tak harus terburu-buru mengejarnya, sebab episode Liberika Tomohon pasti masih bisa tersaji bersama sensasi karya seduh para barista di Elmonts Coffee & Roastery. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan