CULTURAL
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Published
1 month agoon
1 November 2024
Penulis: Mexie Mario Suot
SABTU, 26 Oktober 2024, ‘Pinaesaan ne Kawasaran’ merayakan hari ulang tahun (HUT) pertama. Komunitas tempat bernaung berbagai tumpukan kawasaran di Minahasa, bahkan dari luar tanah Minahasa ini melaksanakan kegiatan syukur itu di situs sejarah Loji Tondano.
Ratusan penari kawasaran dari kurang lebih 15 sampai 20 komunitas yang berasal dari beberapa sub etnis di Minahasa, seperti Tombulu, Tonsea, Tondano, Tontemboan. Ada Kawasaran Tanarundang, Makapetor, Masenaan Wanua Kema, Pinaesa’an Tou Waleo, Esa Pekasa, Tulap Wuaya, Waraney Wuaya, Siow Pasiowan Woloan, Manguni Raja, Kayu Pute, Pinaesa’an Ne Tounsea, Lalan Douud Sagerat, Sanggar Tumondei, Kawasaran Katar, Kawasaran Wal’intukan, Sumonder Kauneran Raya, Wilidan Lilang, Waraney Wulan Wuaya, Pinaesa’an Ne Siow, Tou Mu’ung Wuaya dan sebagainya. Mereka hadir bersama sejumlah tonaas, orang-orang yang secara tulus memberi diri untuk menjaga kawasaran. Ada Tonaas Supit Karundeng, Frangky Wehantouw, Eldat Pandey, Indri Lengkong, Adri Pandi dan Rinto Taroreh.
Kegiatan yang dimulai pada pukul 2 siang, diawali doa bersama yang dipimpin tetua Minahasa, Tonaas Supit Karundeng. Setelah itu perwakilan-perwakilan komunitas dari beberapa sub etnis di Minahasa memberikan sambutan. Sejumlah catatan penting juga disampaikan para budayawan yang hadir.
Tonaas Supit Karundeng yang diberi kesempatan pertama, berbicara tentang kenapa mereka harus bersatu. Ia kemudian menegaskan tentang apa yang menjadi ciri khas dari Pinaesaan ne Kawasaran. Selanjutnya, dari Kawasaran Siow Pasiowan Wanua Woloan, Tumutuzu Herry Wehantow, bercerita tentang pentingnya mereka untuk menghindari suatu malapetaka ketimbang harus berhadapan dengan ancaman itu.
Tonaas Indri Lengkong dari Tonsea, bicara tentang pentingnya menjaga sakralitas baju kawasaran, karakter yang harus ditampilkan sebagai pemain kawasaran dan pentingnya dokumentasi situs-situs budaya. Sementara, Tonaas Rinto Taroreh menekankan aspek penting ‘Baku-baku bae, bersatu, dan bagaimana menyelesaikan perselisihan secara baik-baik’.
‘Opa Tole’ dari Kawasaran Liningaan yang sering terlihat di Benteng Moraya, bertutur penuh menggunakan bahasa Tondano. Dengan karakter yang berapi-api khas orang Toudano, dia juga menyampaikan pesan ‘maesaan’.
Rangkain nasihat dan motivasi ditutup dengan orasi kebudayan dari Doktor Ivan Kaunang dan eksposur tentang Komunitas Bila Minahasa dari Janny Rotinsulu.
Para peserta tampak memberikan respons penuh semangat. Termasuk para personel kawasaran Masenaan Wanua Kema yang hadir terakhir, dengan ciri khas tengkorak yang mereka buat dari bahan-bahan seadanya, tapi terlihat bagus.
Lilin syukur satu tahun perjalanan dalam tuntunan Opo Empung, dinyalakan. Diawali mangorai oleh Herry Wehantouw dari Woloan. Acara pemasangan lilin itu ditutup dengan ‘kuman wangko’, makan di atas daun, dengan menu ubi, ikan mujair, ayam bulu rica, dan berbagai menu khas Minahasa lainnya.
Setelah itu, pera pegiat budaya Minahasa yang menyatu dalam sukacita itu menyaksikan sajian penampilan Kawasaran Sumanti Kayawu, Tomohon.
Rangkaian kegiatan yang dipandu Gerard Tiwow itu baru berujung sekira pukul 6 sore. Namun, perjumpaan yang terkesan sulit diakhiri masih tetap berlanjut dalam percakapan hangat di Benteng Moraya.
“Hal penting yang didapat dari pertemuan ini, kita bisa berkenalan, saling mengakrabkan diri. Contoh, yang dari Kema sering ditanya cara mereka mendapatkan bahan dari pembuatan baju dan juga tengkorak. Mereka berbagi kisah,” kata Gerard Tiwow.
“Kehangatan kita dapat juga dalam sesi latihan bersama. Dari acara ini, torang dari belum kenal menjadi saling kenal. Berbagi pengetahuan seperti yang sering dibilang, ‘Awean a ico, cawana a nyaku. Awean a nyaku, cawana a ico’ atau ‘Ada pa kita, nda ada pa ngana. Ada pa ngana, nda ada pa kita’. Jadi torang saling melengkapi di situ,” jelas Gerard, penari kawasaran dari Tou Mu’ung Wuaya yang juga penulis di Kelung.id.
Diakui, perayaan HUT Pinaesaan ne Kawasaran ini juga bisa menjadi ajang refreshing, karena sudah lelah bekerja. Dari Manado, Bitung, Tomohon, Minahasa Selatan, menyatu dan berbagi cerita di Tondano.
Alasan Kehadiran Pinaesaan ne Tou Minahasa
Tonaas Rinto Taroreh, mengisahkan jika Pinaesaan ne Kawasaran sesungguhnya lahir dari keinginan beberapa kelompok kawasaran. Semua berpikir kalau mereka hanya sendiri-sendiri, namun kekuatan gerakan akan sangat terasa jika bersama. Keinginan bersama itu menghadirkan sebuah spirit untuk membentuk satu perhimpunan.
“Tentu dalam komunitas ini ada satu pimpinan dan pemimpin ini adalah masing-masing kelompok ini. Jadi ini akan dibuat gerakan bersama terkait bagaimana upaya menggali, menjaga dan melestarikan kawasaran itu. Kemudian, nilai-nilai dari kawsaran itu, itulah landasan pertamanya,” ujar Taroreh.
Alasan kedua, ada keprihatinan bersama tentang kondisi kawasaran. “Kawasaran itu seolah-olah orang hanya seperti bermain dengan sembarangan. Kemudian, kita melihat bagaimana kawasaran ini dimanfaatkan oleh orang atau kelompok tertentu untuk tujuan politik. Atau hanya untuk dimanfaatkan atau hanya dieksploitasi demi untuk kepentingan pribadi,” ungkapnya.
Penggerak Komunitas Waraney Wuaya itu mengaku gembira, sebab mereka yang mau bersama dalam rumah Pinaesaan ne Kaawasaran, rata-rata memiliki kesadaran tentang kawasaran yang ‘ideal’.
“Prediksi yang hadir di acara ini tidak lebih dari dua ratus orang, tetapi yang hadir itu hingga mencapai empat ratus orang. Itu yang memakai seragam. Ternyata boleh dibilang, sampai detik ini orang yang bergabung maupun yang baru bergabung, memang memahami kawasaran yang ideal, bukan hanya orang permainkan ke kiri dan ke kanan,” sebut Tatoreh.
Mereka memahami kawasaran bukan hanya sekadar menari, tetapi lebih dari itu mau bersama-sama mengali nilainya dan belajar bersama tentang kawasaran.
“Dan itulah yang penting dalam kawasaran ini!”
Spirit Kawasaran dan Pelindung Tradisi
Perayaan HUT Pinaesaan ne Kawasaran pertama ini diambil dasar pada tanggal 9 Oktober 2023. Namun karena berbagai kesibukan anggota komunitas, hingga perayaannya baru dilaksanakan tanggal 26 Oktober 2024.
“Sebenarnya Pinaesaan na Kawasaran sudah ada beberapa waktu sebelumnya. Perayaan ini terhitung sejak pertemuan awal atau pertemuan semua komunitas kawasaran. Tetapi sebelumnya sudah ada pertemuan-pertemuan komunitas, bahkan pertemuan sudah mulai dilakukan sejak zaman virus corona menyerang,” beber Taroreh yang ikut dibenarkan Gerard Tiwow, Danni Wakulu dan Supit Karundeng.
“Tetapi ini bukan hanya soal pertemuan satu tahun, melainkan bagaimana simbolik satu tahun ini torang pakai untuk tujuan awal. Itu yang penting. Tujuan paling awal, bagaimana akan digali, bagaimana mau dilestarikan dan bagaimana mau menjaga kawasaran tetap akan kembali ke hakekat kawasaran itu sendiri,” jelas Taroreh.
Diakui, persiapan kegiatan ini hanya satu minggu dan yang bergerak sebagai ‘panitia’ adalah Kawasaran Tou Lour Waya yang berada di Tondano. Mereka ditopang anggota komunitas dari Bitung.
“Kenapa sampai dibuat di Loji atau di Tondano, karena simboliknya ada dua alasan. Pertama, karena itu adalah titik tengah. Kedua dan terutama, Loji Tondano adalah rumah tua, simbol dari pada orang-orang tua dahulu,” terangnya.
Karena bagi orang Minahasa, ‘rumah tua’ itu rata-rata adalah pelindung tradisi kebudayaan orang Minahasa. Kalau dilihat, rata-rata pusaka warisan turun-temurun orang Minahasa, tersimpan dalam rumah tua. Ketika rumah itu dibongkar, banyak hal yang hilang. Bukan hanya pusaka, tapi terutama ingatan, pengetahuan, nilai tradisi yang menghidupkan. Itulah makna sebenarnya rumah itu, sebagai pelindung, penjaga tradisi.
“Apalagi rumah ini bukan hanya sekadar rumah. Usianya sudah beratus-ratus tahun, dari era kolonial dan dari masa orang-orang tua dahulu. Spirit inilah yang harus torang ambil dan juga,” ujar Taroreh berharap.
Ia juga mengungkapkan, perayaan HUT kali ini, semua yang dipakai, dimakan, bahkan mereka yang datang bersama, pembiayaannya bersumber dari rukup. “Jadi dibelajarkan semua baku tambah, apapun itu. Apakah berupa uang, bahan makanan atau pun tenaga, itu semua bagian dari rukup. Bahkan ada yang memberikan nasi. Jadi semua mempunyai rasa memiliki, spirit ini yang jauh lebih penting,” ungkapnya.
“Kalau ada istilah dana dari pemerintah, kemudian mau berikan makan dan lain-lain, saya pikir ini sudah soal lain. Jadi bagaimana torang menjaga itu idealisme ini,” tegas Taroreh.
Tradisi budaya Minahasa, termasuk kawasaran, harus dijaga dan dihidupkan oleh tou Minahasa sendiri. Tak bisa berharap pada siapapun, apalagi orang dari luar tana’.
“Ada istilah, ‘Siapa lagi kalau bukan kita’. Pelestarian, pengembangan kawasaran dan bahkan produk-produk budaya lainnya yang menjadi kekhasan identitas keminahasaan, harus diperhatikan serius. Tidak hanya oleh komunitas-komunitas, tetapi terutama penentu kebijakan, pemerintah dalam hal ini,” ujarnya.
Pemerintah yang dimaksud dalam arti luas. Dari tingkat atas, pemerintah provinsi sampai di tingkat desa dan instansi-instansi terkait.
“Persoalannya, hanya dengan kekhasan budaya, itu yang membedakan antara kita Minahasa, antara kita Sulawesi Utara dengan provinsi atau daerah lainnya,” kata Taroreh.
Tetap Eksis Menghadapi Tantangan
Rinto Taroreh, penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia kategori pelestari kawasaran, berpendapat ada satu hal yang positif kini. Baik anak-anak, para remaja, pemuda bahkan yang sudah lanjut usia, lintas generasi menyukai tari kawasaran dan ingin bermain kawasaran.
Di sisi lain, dengan perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan seni di era disrupsi ini, maka dibutuhkan kreativitas dan daya inovasi. “Boleh-boleh saja kita katakan ada pergeseran nilai. Itu benar, tapi kalau kita hanya mempertahankan yang tradisional, tanpa mengikuti perkembangan zaman, maka tari kawasaran ini akan ditinggalkan. Maka produk-produk budaya kita akan ditinggalkan oleh generasi yang terus berganti,” nilai Taroreh.
Artinya, menurut Taroreh, orisinalitas tari tradisional yang dimiliki masyarakat Minahasa dalam tari kawasaran itu harus tetap dipertahankan. Tradisi-tradisi tua berkaitan dengan masa lalu, berkaitan dengan tradisi ‘Kelung Umbanua’, berkaitan dengan tradisi ‘mapupuis’, itu adalah sebuah historis legendaris, bagian dari kesakralan roh keminahasaan dalam kawasaran.
“Nah, apa yang kita tampilkan berkaitan dengan kebutuhan pariwisata, kebutuhan pertunjukan, tontonan dan lain sebagainya. Itu memang ada pergeseran nilai, tetapi sebagai orang yang mencintai kawasaran, perlu ada kita lakukan apa yang disebut dengan keseimbangan budaya. Artinya, walaupun itu seni pertunjukan, tapi hal-hal yang menjadi tradisi itu tetap kita perlihatkan,” terangnya.
“Karena hanya dengan kepariwisataan, hanya dengan event-event tertentu, hanya dengan undangan-undangan, maka tari kawasaran itu eksis sampai kini. Coba dibayangkan kalau tidak ada undangan-undangan, tidak ada pentas-pentas, tidak ada permintaan-permintaan, maka tentu kebudayaan kita ini lama kelamaan akan ditinggalkan,” sambungnya.
Karena itulah ia sangat mengapresiasi para penjaga tradisi di jaringan Pinaesaan ne Kawasaran.
“Jadi, seluruh waraney yang tergabung dalam Pinaesaan ne Kawasaran menurut saya luar biasa. Mengapa luar biasa, karena mereka adalah ksatria-ksatria pelindung negeri di masa kini yang masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi nenek moyang, tradisi tua untuk dikembangkan, diteruskan di era kekinian. I yayat u santi!”.
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah