Published
6 years agoon
By
philipsmarx29 Desember 2018
Oleh: Denni H.R. Pinontoan
Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon
NANTI TUJUHBELAS APRIL 2019, pemilihan calon anggota legislatif kabupaten, kota, provinsi, dan pusat, serta pemilihan presiden dan wakil presiden digelar bersama. Kosentrasi energi massa besar bernama rakyat dibuat mesti terpusat ke tanggal itu.
Lihat dan hikmati baliho berisi ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru; pernyataan-pernyataan para tim sukses di media; soal dansa, blusukan hingga kadar keagamaan para capres dan cawapres, semua didesain dan menjadi seolah-olah adalah politik. Rakyat sedang dipengaruhi oleh semua kesibukan itu untuk membayangkan sesuatu yang baik atau buruk dapat terjadi jika ia tidak ikut sibuk.
Lalu, apa arti semua itu? Untuk apa semua itu? Apa nilai dari semua itu?
Ada satu frasa untuk semua kesibukan itu, “Menyambut Tahun Politik”. Politik menjadi seolah hanya tentang pertarungan final pada hari dan tanggal Pemilu. Tahun 2019, adalah tahun politik karena di tanggal 17 April rakyat akan menyumbangkan suaranya untuk ‘kekuasaan’. Kira-kira itu maksud di belakangnya.
Kita tengok sejenak masa silam. Kamis, 14 Juni 1951 adalah hari pemungutan suara untuk 25 anggota di dewan Kabupaten Minahasa. Warga di Kabupaten Minahasa beramai-ramai menuju ke tempat pemungutan suara. Cara pemilihan dilakukan secara langsung. Cara ini dapat diterapkan di sini karena mempertimbangkan tingkat melek huruf yang di tinggi orang-orang Minahasa. Daerah lain yang melakukan pemungutan suara waktu itu adalah Yogyakarta. Di sana cara pemilihan dilakukan secara bertingkat. Ini Pemilu uji coba. Negara baru yang belum berusia 10 tahun itu masih harus belajar melaksanakan Pemilu. Pemilu yang dilaksanakan secara keseluruhan kemudian digelar tahun 1955.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia masa itu, Mas Raden Sartono memberi komentar tentang persiapan Pemilu di Minahasa setelah melakukan tinjauan langsung di daerah ini. “Daerah ini dihuni oleh 95% penduduk yang melek huruf, sehingga memberi harapan bagi kondisi yang sangat menguntungkan untuk kelancaran pemilihan, ” kata Sartono seperti diberitakan Algemeen Indisch Dagblad edisi 18 Mei 1951.
Hasil di Minahasa memang lebih memuaskan ketimbang di Yogyakarta. Seperti dipikirkan oleh Sartono, faktor melek huruf yang tinggi mempengaruhi proses dan hasil pemilihan.
***
Politik itu tidak hanya tentang Pemilu. Politik, kata Plato dalam Republik, mesti memiliki empat kebajikan ini: keadilan, kebijaksanaan, moderasi, dan keberanian.
Politik, sejak ia diperbincangkan oleh para bijak dari masa lampau itu, sudah berurusan dengan hal keadilan. Namun, segera setelah itu, masalah dimulai.
Keadilan, bagi para teokrat, aristokrat, pun kemudian bagi para demokrat, semuanya berhubungan dengan siapa yang mesti diuntungkan, dan siapa yang mesti dikorbankan. Politik, seolah-olah hanya soal (ke)kuasa(an) memerintah dan mengatur. Lalu, politik kemudian dipikirkan dan dibincangkan bersama dengan masalah pengelolaan kekuasaan.
Plato lalu menawarkan pemikirannya yang agaknya terlalu ideal. Keadilan, menurutnya, bukanlah keuntungan eksklusif dari setiap faksi polis. Ia mesti berkaitan dengan kebaikan semua orang. Untuk keuntungan bersama semua orang.
Jadi, politik adalah tentang nilai, pengetahuan, kebajikan dan moral yang tinggi. Olehnya, negara ideal bagi Plato mesti dipimpim oleh para filsuf. Jadinya adalah politik tanpa kekuasaan. Sebab, ketika para pemimpin filsuf ini jatuh pada kekuasaan, maka segera setelah itu mereka bukan lagi filsuf. Terlalu ideal. Makanya, ia tidak pernah berhasil menjadi politisi. Plato hanya seorang filsuf politik.
Tapi, Plato tetap menjadi rujukan sepanjang masa ketika memikirkan politik dalam harapan keadilan. “Ketidakadilan menyebabkan perang saudara, kebencian, dan pertempuran, sementara keadilan membawa persahabatan dan perasaan untuk tujuan bersama,” kata Plato.
Politik mesti memiliki misi keadilan untuk visi kebahagian bersama. Sesuatu yang sungguh jauh dari kenyataan praktek politik demokrasi sekarang ini. Politik menjadi urusan elit. Politik seperti perang. Faksi-faksi saling tonjok, bukan adu argumen tentang misi dan visi politik tersebut. Maka, jangan heran Pemilu terasa begitu penting bagi semua orang. Ia dibuat penting, seolah-olah keruntuhan dan kepunahan, atau juga kebangkitan dan kelestarian negara ini semuanya ditentukan oleh Pemilu.
Pemilu di tahun 1951 bersoal dengan tingkat melek huruf. Mungkin di masa itu maksudnya sederhana, yaitu kemampuan mengenal petunjuk memilih dan nama calon yang disampaikan secara tertulis. Ini masih sebatas kemampuan mengenal. Hal yang mestinya berbeda ketika program pendidikan pemerintah, baca dan tulis berhasil meningkatkan melek huruf warga negara. Hal yang diperlukan dalam proses-proses politik kini adalah kemampuan memahami dan menalar. Kata lainnya, kemampuan kritis.
Pada tingkat ini, maka pengetahuan (ber)politik warga negara sudah harus meluas dan mendalam. Tidak hanya tentang Pemilu yang berurusan dengan soal-soal teknis, tapi tentang kemampuan membangun gerakan politik alternatif berbasis gerakan masyarakat sipil. Jika demokrasi hurufiahnya adalah ‘kekuasaan yang berasal dari rakyat’, maka kemampuan kritis dari massa besar inilah yang mesti menjadi faktor penentu untuk mencapai politik yang berkualitas.
***
Plato akan pusing sendiri jika hadir dan menyaksikan praktek politik di negara ini. Teori dan ideal-idealnya sangat sulit dipahami dalam konteks politik yang semakin praktis. Tapi, maksud dari konsensus bersama membentuk negara Indonesia, atau paling tidak terkecil daerah administrasi pemerintah (kabupaten/kota/provinsi) sama seperti refleksi-filosofis dari banyak filsuf dan pemikir politik. Bangunan-bangunan dan ruang-ruang hidup bersama (yang beragam) kesemuanya mesti berdiri di atas fondasi visi dan misi harapan hidup bahagia, sejahtera, setara dan berkeadilan.
Pada fondasi inilah politik yang baik dan luhur berpijak. Politik yang mengutamakan keadilan, kebijaksanaan, moderasi, dan keberanian. Politik yang berorientasi pada kebebasan dan kesetaraan. Sekali lagi, ia membutuhkan kesadaran kritis setiap orang.
Jadi, jika demokrasi itu adalah ‘rakyat yang memerintah’, maka politik yang baik dan luhur itu ada di tangan rakyat. Rakyat yang memiliki kesadaran kritis dan terbuka. Bukan rakyat yang menggantungkan hidupnya pada doktrin-doktrin palsu yang percaya pada hoax. Rakyat yang merdeka! (*)