CULTURAL
Menyelami Makna Air Dalam Rano I Casuruan dan Tata Cara Kematian
Published
2 years agoon
21 November 2022
“Tou Minahasa meyakini bahwa air adalah simbol untuk membersihkan segala sesuatu. Baik kekurangan, kesalahan, keteledoran, kekeliruan selama hidup di kayobaan (dunia).”
Penulis: Josua Wajong
AIR merupakan sumber kehidupan. Bagi tou (orang) Minahasa itu merupakan kebutuhan penting, sekaligus simbol tempat menyimpan pengetahuan. Tak heran jika segala aktivitas tou Minahasa, sejak zaman para leluhur, sumber air adalah hal yang paling utama.
Salah satu contoh, misalnya dalam aktivitas berkebun. Sebelum melakukan proses menanam, tou Minahasa harus memastikan kelayakan tempat itu dengan melihat akses air.
Selain itu juga, air menjadi pertimbangan utama ketika akan memilih tempat tinggal. Demi kesejahteraan hidup, tempat yang akan ditempati harus memiliki sumber air. Mengamati jejak-jejak pemukiman tua di Minahasa, terlihat jelas jika air menjadi perhatian penting saat mendirikan wanua (kampung). Banyak mawale atau pemukiman tua dan wanua–wanua yang kini ada, posisinya berada di dekat sungai atau mata air.
AIR DAN RITUS DI MINAHASA
“Isozo mo me un dano unipi lewo’ wo u rawoy e royor, genang weresi.
Isezu mo me undano katutuan wo kalalawizen royor, genang weresi.
Mengaley–ngaley uman e pakatuan wo pakalawizen, genang weresi…”
Sayair ini merupakan penggalan doa yang selalu didendangkan leluhur Minahasa di masa lampau, dalam berbagai ritus atau ritual-ritual adat. Biasa, syairnya dilantunkan ketika ingin membasuh diri di sasarongsongan, tempat air mengalir. Tou Minahasa yang masih setia menjalankan tradisi pengetahuan leluhur hingga hari ini, juga tetap mengingat dan mendendangkan syair yang sama saat membasuh diri di sumber air.
“Arti syair ini,’Hendaklah terbawa hanyut oleh air, segala mimpi buruk dan letih lelah, dan terbitlah umur panjang dan kesejahteraan’,” kata budayawan Minahasa, Rinto Taroreh, 3 Januari 2022, di Watu Pinawetengan, Tompaso.
Dalam tradisi Minahasa, syair ini merupakan doa kepada Empung Wailan Wangko (Sang Maha Kaya) untuk memohon berkat, serta kelayakan diri. Dalam alam berpikir tou Minahasa, hidup itu adalah suci. Sehingga yang suci ini mengisyaratkan bahwa manusia harus terus berupaya melayakan hidup.
“So bagimana kata itu Tuhan suci, karena torang adalah turunan dari Tuhan, maka torang juga harus suci,” kata Taroreh.
Di Minahasa, ritus membasuh diri ini masih terekam dan sering dilakukan oleh banyak tou hingga hari ini. Salah satunya saat momen peralihan tahun. Sebelum memasuki tahun yang baru, tou Minahasa biasanya akan melakukan pembasuhan di pancuran air.
Ritual dimulai dengan mengaley, meminta restu dari Kasuruan Wangko (Sang Sumber Segala Sesuatu) agar layak hidup di tahun yang baru. Sebagai simbol pembersihan, mereka akan membasuh wajah, tangan, bahkan kaki mereka dengan air, sembari mendendangkan syair-syair itu.
Tou Minahasa meyakini bahwa air adalah simbol untuk membersihkan segala sesuatu. Baik kekurangan, kesalahan, keteledoran, kekeliruan selama hidup di kayobaan (dunia).
Selain saat pergantian tahun, foso (ritus) membersihkan diri dengan air di pancuran juga dilakukan saat malam berlalu, dan mentari pagi hendak merekah.
Dalam kepercayaan tou Minahasa, mimpi-mimpi serta bayangan-bayangan saat tidur malam, bisa terjadi dalam kehidupan nyata. Itu kemudian akan mengganggu aktivitas di pagi hari. Karena itulah, tata cara membasuh diri penting dilakukan sebelum beraktivitas, memulai kehidupan yang baru.
“Dalam konteks ini, ketika torang bangun pagi, ibarat di saat torang tidor, torang masuk di dunia antara. Bisa saja terjadi ada hal-hal tertentu yang nyanda menyamankan torang pe hidop deng torang pe pikiran. Contohnya mimpi, bayangan. Untuk itu ketika torang bangun pagi harus cuci muka atau mandi, supaya kita menemukan lagi tu kesegaran, dan semangat, tetapi juga kekuatan yang baru,” tutur Fredy Wowor, Budayawan Minahasa asal Sonder, dalam sebuah diskusi di ‘Wale Papendangan Sonder’, 29 Januari 2022.
Kehidupan tou Minahasa hari ini dan masa lampau memang tidak bisa dilepaskan dari air. Sama halnya ketika ampuhan, peristiwa banjir besar atau air bah melanda Tu’ur in Tana’ (daerah peradaban awal tou Minahasa) di era Malesung (sebutan untuk Minahasa di masa lampau). Peristiwa itu dalam pemahaman tou Minahasa mengandung makna yang sama. Air menjadi media membersihkan, untuk menata kehidupan yang baru.
“Dari mite-mite, legenda-legenda tentang banjir besar yang melanda Minahasa juga bermakna untuk membersihkan atau juga menata kehidupan yang baru,” kata Wowor.
AIR PEMBERIAN SANG KHALIK
Bukit Tonderukan yang berada di Desa Pinabetengan, Tompaso, Minahasa, terdapat sebuah pancuran air. Tempat itu merupakan situs yang sangat penting bagi tou Minahasa.
Pancuran air itu berbentuk tiga tingkat. Mata airnya bersumber dari puncak Tonderukan. Masyarakat Minahasa di daerah Tombulu menyebutnya ‘Tapahan Telu’. Sementara orang Tontemboan menyebutnya ‘Rano I Casuruan’ (air dari Sang Khalik).
Selain situs Rano I Casuruan, di kawasan Tonderukan ada juga dua situs penting yang tak bisa dipisahkan dalam tata cara foso tou Minahasa. Watu Pahwetengan I Nuwu (Watu Pinawetengan) dan Watu Kekeretan.
Dalam tradisi turun-temurun, tempat-tempat sakral itu merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Sebelum melakukan ritual di Rano I Casuruan, upacara harus bermula dari Watu Pinawetengan,untuk mengaley (sembahyang) meminta berkat serta perlindungan dari Kasuruan Wangko.
Tata cara ini selalu dilakukan dalam berbagai upacara adat. Ritual di Watu Pinawetengan itu biasanya disebut sumigi’ (penghormatan) kepada Sang Khalik dan leluhur yang dipercaya sebagai awal pengetahun yang tersimpan dalam ingatan Watu Pinawetengan. Paling penting, di tempat itu adalah proses awal mengaley.
Di Minahasa, Rano I Casuruan berada di wilayah adat Tontemboan. Dalam bahasa Tontemboan, rano berarti air, casuruan dari kata dasar suru’ yang berarti benih, tunas atau keturunan.
“Disebut Rano I Casuruan karena air itu dipercaya adalah pemberian Tuhun secara langsung melaui media alam. Casuruan atau kasuruan dalam konsep Tontemboan, suru’ itu adalah sumber. Sumber yang hakiki,” sebut Fredy Wowor.
Manurutnya, Rano I Casuruan merupakan air pemberian dari Sang Khalik melalui media alam untuk memberikan kehidupan bagi tou Minahasa.
“Jadi dari sumber ini dia memediasi berkat lewat mata air. Dalam alam berpikir seperti itulah, orang-orang bijak kita atau Tonaas, memilih tempat itu untuk melakukan ritual. Karena air itu alami, dia murni, suci dan harmoni,” jelas Wowor.
Hari ini, Rano I Casuruan dipilih sebagai pusat ritual pengobatan. Para Tonaas biasanya menjadikan tempat itu untuk mengobati tou yang sedang mengalami sakit.
Rano I Casuruan juga dipercaya sebagai tempat khusus, sebagai media untuk berhubungan langsung dengan Sang Pencipta.
“Kalau dalam konsep bahasa, tempat sakral itu sering disebut kapeli’an. Dalam artian tempat tersebut merupakan daerah khusus yang tidak bisa sembarang untuk melakukan aktivitas ritual,” terang Wowor.
Saat melakukan ritual di tempat itu, harus berdasarkan tata cara yang diwariskan leluhur Minahasa. Terlebih harus memiliki nga’asan, niatean wo mawai’.
Nga’asan berarti harus berpikir bijakasana dan bersih. Niatean berarti harus memilik hati yang tulus, dan murni. Sedangkan mawai’, dalam artian harus memiliki kekuatan fisik ataupun mental.
“Mata air karunia dari Sang Khalik, untuk itu sebagai manusia harus memiliki prinsip yakni tou ni nga’asan wo tou ate sama’,” ucap Wowor.
AIR DAN TRADISI KEMATIAN
Tradisi dalam foso kematian, bagi tou Minahasa sangatlah penting untuk diperhatikan. Pada peristiwa ini seringkali para orang tua berpesan kepada anak-anak mereka agar di setiap aktivitas, baik usai melayat di rumah duka, ataupun pergi mengunjungi makam, jangan lupa untuk membasuh diri.
Biasanya sebelum kembali ke rumah, mereka yang terlibat dalam aktivitas itu harus mencari mata air atau singgah ke pancuran. Di tempat itu, tata cara pembasuhan akan dimulai dengan membasuh wajah, tangan, kaki, dan telinga.
Dalam tata cara turun-temurun, proses itu dilakukan dengan membasuh sebanyak tiga kali. “Proses pembasuhan dimulai dari atas ke bawah, menggunakan telapak tangan, sambil menyebutkan doa-doa yang telah diwariskan,” kata Rafael Taroreh, pemuda adat Minahasa yang kini memelihara tradisi itu dalam praktek hidup sehari-hari.
Doa yang terangkai dalam syair akan mengiringi proses pembasuhan yang dilakukan. “Syair itu dituturkan dalam bahasa daerah, sesuai yang diwariskan para leluhur sejak dulu. Dalam bahasa Indonesia, arti syair itu, ‘Sebagaimana air ini mengalir dan menghanyutkan, begitu juga semua malapetaka, sakit-penyakit, dan kesialan yang akan mendekat, akan hanyut dibawa air’,” ujar Rafael.
Fredy Wowor menjelaskan, dalam alam berpikir tou Minahasa, yang hidup dan yang sudah meninggal memiliki kehidupan berbeda.
“Ketika manusia mendapat restu di dunia, dan secara khusus di tempat tertentu, dalam dinamika kehidupan ini ada yang datang dan ada yang pergi. Yang so lebe dulu ini dia kase tampa pekuburan,” tutur Wowor.
Pekuburan sendiri dalam konsep Minahasa, itu wilayah tersendiri dan secara hidup sudah berbeda. Sehingga dari pemahaman itu kemudian muncul tradisi ‘membasuh diri’ usai kembali dari pemakaman.
“Ketika melakukan aktivitas di tempat tersebut, berarti terjadi perlintasan. Dalam konsep filosofis spiritual, pengetahuan itu yang mewadai sehingga torang pe orang tua bilang, ‘Kalo so bale dari kubur, jang lupa cuci muka.’ Ato ‘Melayat jo, nda usah mo ka kubur’,” kunci Wowor. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan