KISAH
Menyelami Parepei dan Wale Mapatik, Menguak Rahasia Sejarah
Published
2 years agoon

22 Juni 2023
“Hal yang sangat penting, belajar sejarah bisa membantu agar tidak kehilangan identitas dan wilayah suatu bangsa. Karena belajar sejarah adalah bagian dari bagaimana mempertahakan identitas dan peradaban suatu bangsa.”
Penulis: Rikson Karundeng
MATAHARI baru mulai merebah sejengkal ke ufuk barat. Rombongan kecil pencari pengetahuan bergerak dari Wale Mapatik, Kolongan, Tomohon Tengah, Kota Tomohon. Menuju Desa Parepei, Remboken, Kabupaten Minahasa yang berjarak sekira 15 Km. Ada yang menggunakan kendaraan roda dua, ada roda empat.
Jumat, 24 Mei 2023, hari pertama Sekolah Mapatik. Sebuah aktivitas yang rutin digelar Komunitas Penulis Mapatik. Kali ini, para peserta diajak untuk belajar menulis sejarah, secara khusus sejarah lokal Minahasa.
Workshop menulis sejarah ini dijadwalkan selama tiga hari, 24-26 Mei 2023. Saya bersama sejarawan Ivan R. B. Kaunang dan budayawan Minahasa Rinto C. Taroreh, memandu langsung para peserta. Mereka penulis dan aktivis pemuda adat dari kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, kota Manado, Bitung, dan Tomohon. Ada Belarmino Lapong, Nanda Montolalu, Gerard Tiwow, Hendro Karundeng, Reinhard Loris, Tuha Petuyang, Dani Lantang, Ricahard Ering, Etzar Tulung, serta sejumlah pemuda adat lainnya.
Kegiatan pelatihan ini dimulai dengan “ziarah kultura” ke Parepei. Salah satu desa “tua” di wilayah adat Minahasa, yang dipenuhi berbagai macam situs sejarah peninggalan masa lampau. Bukti pendirian awal pemukiman, hingga jejak peradaban yang memberi gambaran tentang kehidupan, teknologi, hingga religiusitas masyarakat di tempat itu.
Gerard Tiwow, salah seorang peserta berpendapat, sangat bagus workshop menulis sejarah diawali dengan menelusuri jejak peradaban masa lampau. Mereka boleh melihat objek kajian lebih dulu, bisa bertanya-tanya secara langsung ke narasumber di tempat situ-situs itu berada.
“Ditambah kalau ziarah kultura lebih dulu, kita bisa merasakan situs yang ada, sehingga bisa merasakan secara langsung vibes di situ. Contoh, kalau kita ke situs, kita bisa merasakan tapi kadang tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Sampai di rumah, kita baru bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan tentang itu,” kata Gerard.

Belarmino Lapong di Watu Panibe (menhir) Parepei.
Baginya, menulis sebuah objek sejarah dengan hadir secara langsung di tempat itu, akan sangat membantu penulis agar tidak mengira-ngira.
“Penting melihat objek secara konkret, karena di pikiran itu abstrak. Kalau kita ada di objek, akan mudah menyusun pikiran itu dalam kata-kata. Tidak berapriori, mengira-ngira,” jelas penulis asal Tomohon ini.
Hendro Karundeng, peserta lainnya dari Minahasa Selatan juga punya pendapat senada. Ia mengaku senang dengan metode belajar menulis sejarah di Komunitas Mapatik. Peserta belajar dalam suasana santai, tapi tetap serius.
“Sambil jalan-jalan, kita menerima materi dari para guru yang memang sejarawan dan terutama penulis sejarah. Sambil melihat situs-situs sejarah dari dekat, kita mendengar berbagai cerita dari para tokoh dan tetua di lapangan, kemudian langsung mendapat penjelasan tentang berbagai teori penulisan sejarah dari para guru yang mendampingi,” ujar Hendro.
Ketika kembali melanjutkan kelas menulis di Wale Mapatik, peserta bisa tetap duduk santai menikmati materi pendalaman soal menulis sejarah, ditemani kopi panas.
“Jadi, materi kami nikmati dengan hati gembira. Dia masuk dan meresap bersama kopi dan kue khas Minahasa yang kami nikmati. Saya lebih senang juga, karena di Mapatik kita akan langsung dituntun untuk mengerjakan sebuah penelitian sejarah, hingga menghasilkan sebuah tulisan sejarah,” tandasnya.

Rinto Taroreh melihat dari dekat situs watu Toitou “Rorong Kere” di Desa Parepei.
Pentingnya Belajar Sejarah
Sepanjang kegiatan, Ivan R. B. Kaunang menjelaskan banyak hal terkait pentingnya belajar sejarah. Menurutnya, ada sederet hal positif yang bisa didapat ketika belajar sejarah. Salah satunya, menghindari agar tidak terjerembab pada lubang yang sama.
“Kata Khongfutze, belajar sejarah menjadikan orang bijaksana. Bijaksana dalam hal apa? Supaya kita mengetahui masa lalu kita, dan kita memperbaiki untuk masa yang akan datang. Artinya, seperti keledai tidak akan menginjakkan kaki di lubang yang sama,” ujarnya.
Dosen sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini menjelaskan, belajar sejarah penting untuk pendidikan. Kisah-kisah sejarah menyimpan banyak pesan yang dapat menjadi pelajaran penting bagi sebuah kehidupan.
“Kalau kita bicara pendidikan, itu dalam konteks arti yang sangat luas. Di dalamnya ada moral, ada etika, ada pengetahuan yang luas, ada yang kemudian bisa merubah cara hidup seseorang dari tidak tahu menjadi tahu,” jelasnya.
Hal yang sangat penting, belajar sejarah bisa membantu agar tidak kehilangan identitas dan wilayah suatu bangsa. Karena belajar sejarah adalah bagian dari bagaimana mempertahankan identitas dan peradaban suatu bangsa.
“Jika tidak menguasai sejarah, sebagaimana tulisan-tulisan sekarang yang sudah beredar, yang sebenarnya sejak dulu sudah ada, suatu saat kita akan kehilangan. Jika kita tidak mengetahui atau belajar sejarah, kita tidak hanya akan kehilangan identitas, tapi akan kehilangan tanah kita, bangsa kita,” tegasnya.
Ivan mencontohkan, ada banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana satu negara kalah dalam sebuah konfrontasi terkait perbatasan. Negara akhirnya harus kehilangan wilayahnya karena ketidaktahuan tentang sejarah.
“Sebagaimana bangsa ini dalam perang-perang perbatasan, kalau kita mengetahui sejarah, maka pulau-pulau terluar kita tidak akan diambil bangsa-bangsa lain. Karena kita mengetahui sejarahnya bahwa ini kepemilikan kita,” terangnya.
Kenapa Penting Menulis Sejarah?
Literasi sejarah memang tak bisa diabaikan. Salah satu bagian penting dari itu adalah menulis sejarah. Ada banyak manfaat yang boleh dinikmati dari sebuah karya sejarah yang ditulis oleh seseorang.
“Kenapa penting menulis sejarah? Menulis sejarah kan bagian dari, kalau sekarang disebut literasi. Tetap saya selalu sampaikan, mari kita belajar misalnya ke kitab-kitab Injil, kepada rasul dan nabi. Karena karya mereka, kita bisa tetap belajar Injil sampai hari ini. Itu kalau kita lihat dari perspektif pengetahuan, itu (Kitab Injil) juga sejarah toh? Sejarah yang suci,” ujar Ivan.
Menulis sejarah juga untuk mewarisi berbagai hal. Karena manusia silih berganti, dan manusia ada unsur kelupaan.
“Jadi sejarah itu bagian dari pengarsipan, peninggalan yang sangat berharga. Atau orang kemudian mengutip, ‘Kalau kita tidak tahu sejarah, maka kita tidak tahu tentang sejarah itu, kita akan mengulangi kesalahan yang dilakukan generasi sebelumnya’,” tandasnya.
Pakar kajian budaya ini juga menegaskan soal pentingnya hari ini menulis sejarah lokal. Terutama oleh para penulis yang ada di wilayah objek tulisan sejarah yang dibuat. Ia meyakini, sejarah yang ditulis oleh orang dari luar akan sangat berbeda dengan yang ditulis oleh penulis di tempat itu.
“Kenapa penting menulis sejarah kita, karena kelokalan itu kita yang paling tahu. Orang lain boleh menulis, tapi insting, rasa, tidak akan sama. Seperti yang saya katakan, susah kalau anda belum membaca kemudian saya terangkan. Tidak akan bisa masuk. Tapi kalau anda sudah membaca, saat saya terangkan, anda langsung mengerti bahwa ini yang saya maksud,” jelasnya.
Sebagaimana analisis-analisis yang dilakukan terhadap benda-benda budaya yang ditemukan, rasa yang dialami oleh penulis lokal akan berbeda dengan yang dirasakan penulis lain. Sebab mereka punya sense terhadap alam di mana ia hidup.
“Kita punya pengalaman-pengalaman kultural yang berbeda dengan orang lain, terhadap bukti-bukti sejarah yang kita jumpai. Kalau kita melihat situs di tempat kita, kita sudah tahu ini maksudnya apa, ini maksudnya begini. Tapi Ketika orang lain lihat, yang itu dianggap batu biasa saja, tidak punya pengaruh, dan lain sebagainya,” kata Ivan, sembari menegaskan jika sejarah lokal itu sangat penting, suatu kekhasan dari daerah tertentu yang akan membedakan dengan kelokalan yang lain, lokasi yang lain, suku bangsa yang lain.

Para peserta dan pemateri “Workshop Menulis Sejarah” berdiskusi bersama Hukum Tua (Kepala Desa) Parepei Harter Kasenda, pegiat budaya Parepei, Litha Abas dan Harnes Kaloh.
Bagaimana Menulis Sejarah?
Ada banyak tips, petunjuk, pedoman yang bisa dipelajari dan digunakan dalam rangka menulis sejarah. Bagi Ivan, penulis sejarah yang telah menghasilkan banyak buku sejarah, dalam pengalamannya ada dua hal penting yang harus dimiliki lebih dahulu seseorang untuk menulis sejarah. Pertama, minat dan kedua rasa.
“Kalau anda punya minat dan rasa ingin tahu yang tinggi, itu kemudian modal dasar sehingga tanpa menjelaskan teoritis konseptual, pasti anda bisa menjadi sejarawan otodidak,” ucap Ivan.
Menulis sejarah itu sebenarnya sama dengan menulis yang lain. Hanya, ada kata sejarah di situ. Ketika ada sejarah, maka unsur-unsur historis harus dipenuhi. Insting sebagai seorang sejarawan juga harus dimiliki. Hal itu tentu dapat diperoleh dengan pengalaman, keterampilan dalam menulis.
Ivan memaparkan bagaimana agar bisa menulis sejarah. Kalau orang awam, ia menyarankan untuk menulis saja sampai selesai. Baru kemudian menggunakan “kamus 5W 1H”. What (apa), why (mengapa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), dan how (bagaimana).
“Anda bertanya dan anda jawab, dan lihat dalam tulisan anda. Misalnya, apa itu? Oh, sejarah desa Parepai. Siapa? Siapa yang merintis, mendirikan desa Parepei. Kemudian, Di mana? Di mana desa Parepei pertama kali berdiri menjadi sebuah pemukiman. Bagaimana? Bagaimana proses berdirinya. Mengapa? Mengapa berdirinya di sini? Tapi, setiap tahap selalu 5W 1H itu ada. Jadi misalnya, pada tahap siap yang mendirikan, ia harus mulai dengan, apa itu? Oh, mendirikan. Siapa yang mendirikan? Ya, itu sudah terjawab karena itu pada tahap siapa. Bagaimana ia mendirikan, mengapa ia mendirikan di sini, kapan dia mendirikan, bagaimana proses pendiriannya? Begitu juga di tahap di mana dia mendirikan. Di mana dia mendirikan? Oh, di sini. Apa yang dia dirikan? Kalau di mana, sudah terjawab. Mengapa di situ? Dan seterusnya. Ini standar sekali,” papar Ivan.
Menulis sejarah karena keterampilan. Karena itu kata Ivan, penulis harus selalu menulis untuk mengasah keterampilan itu. Kemudian, hal kedua, alat sejarawan itu data.
“Kalau anda punya data, itu kelebihan anda,” kata Ivan.
Data sejarah itu bisa diperoleh dari berbagai sumber. Misalnya seperti yang mereka lakukan saat di ziarah kultura, observasi di lapangan. Itu data lapangan. Kedua, wawancara kepada tokoh, kepada mereka yang dianggap kapabel untuk menjelaskan sesuatu yang diteliti.

Berbagi pengetahuan menulis sejarah di Wale Mapatik Kolongan, Tomohon.
Data sejarah juga bisa dari buku-buku, pengetahuan sekunder, untuk memperkuat data lapangan. Selain sumber primer seperti arsip dan dokumen.
“Arsip itu tulisan tangan, dokumen itu naskah ketikan. Misalnya seperti teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dokumen proklamasi itu naskah ketikan. Tapi kita lebih suka arsip proklamasi. Walau itu ada coret-coret, itu asli. Kalau sudah diketik, bisa ditambah atau dikurang oleh si tukang ketik. Itu perbedaan arsip dan dokumen,” terangnya.
Ivan memberi saran kepada seorang penulis sejarah yang pada awal belum banyak pengetahuan tetang apa yang akan ditulisnya. Jika merasa belum banyak mengetahui, boleh melakukan focus group discussion (FGD). Mengumpul orang-orang yang tahu tentang sejarah itu, tentang sejarah yang akan ditulis, lalu si peneliti atau penulis menjadi moderator.
“Kemudian sejumlah pertanyaan, secara kualitatif sudah dia susun dan berusaha hafal baru mulai bertanya. Dari sana dia bisa tahu, peta data dari informan ini, yang kemudian di-folow up untuk melakukan wawancara secara khusus lagi secara person, empat mata,” jelasnya.
Ivan memberi pesan tegas bagi mereka yang baru berminat atau baru mulai akan menulis sejarah. Katanya, “Kembali lagi ke laptop”. Minat harus kuat dan rasa ingin tahu harus tinggi. Sebab jika tidak punya rasa ingin tahu, sulit sekali untuk bertanya secara kritis.
“Kritis itu misalnya, orang-orang dari mana yang datang dan kemudian bermukim di Parepei? Kalau ada yang jawab, ‘Dari Tontemboan!’ Kita akan pertanyakan, masakkan dari Tontemboan? Maksudnya, coba terangkan. Tontemboan mana? Jadi kita bertanya secara kritis, sampai tidak lagi ada jawaban yang baru. Itu filsafat sejarah toh? Sebab yang satu ada sebab sebelumnya,” tegasnya.
Sejarawan harus kristis, sebab kalau tidak, data bisa tidak terlalu dalam dan bisa dibantah oleh banyak orang.
“Terakhir adalah memburu data. Jadi, seperti yang kita laksanakan di ziarah kultura ini. Kalau sudah ada waktu, jangan ditunda. Langsung cepat diburu. Jangan sampai narasumber penting kita sudah meninggal dunia, hilang bukti sejarah, tidak bisa lagi kita berkisah tentang kelampauan itu untuk menghidupkan masa kini. Jadi, ketika ada ide, langsung gas. Karena manusia itu pelupa. Kenapa dilakukan kanonisasi terhadap kitab-kita dalam Alkitab? Supaya tidak hilang,” kuncinya.
