Connect with us

CULTURAL

Merajut Makna Sinarongsongan Wene Hingga Nimawanua Sarongsong

Published

on

18 Januari 2025


“Sinarongsongan berarti jalur, jalan, aliran, atau akses, sedangkan wene berarti beras. Kami sendiri memaknai ini sebagai tempat saluran berkat, sebab apa yang didoakan serta diminta para tetua dahulu, datang melewati tempat ini”


Penulis: Hendro Karundeng


PAGI masih menahan raga tuk bangkit menyambut sang fajar. Rintik hujan jadi benang jahitan, bekap badan menempel di kasur empuk. Tapi mata sudah enggan kembali terkatup. Gurauan serta tawa terdengar keras di luar kamar. Paksa hapus kantuk sisa malam Sabtu.

Saat membuka hordeng kain tenun Minahasa yang menggantung di depan pintu kamar, tiupan angin semriwing membelai kulit. Rahang pun enggan menutup, berderak bagai adegan di film kartun. Terlihat beberapa kawan sudah duduk sambil berdiskusi ringan di meja oval sepanjang dua meter di ruang kerja Wale Mapantik, Kaaten, Tomohon. Kantor serta rumah bersama kami, para penulis, jurnalis, aktivis serta akademisi.

Enam cangkir kopi berdiri manis di samping para penikmatnya. Ada Rikson Karundeng, Director Komunitas Penulis Mapatik yang juga aktif dalam dunia budaya serta seorang peneliti dan jurnalis handal; Hendra Mokorowu, penulis yang sudah sering menantang ombak dalam lautan jurnalis yang kini aktif sebagai pemimpin redaksi manadoxpress.com; Gerard Tiwow, penulis kelung.id dan pegiat budaya Minahasa yang aktif ‘bermain’ di kancah internasional; Melvin Makalew, teman jurnalis asal Minahasa bagian utara yang melatih tari kawasaran untuk Taretumou Waleo; Marlon Politton, pencinta Minahasa dan berbagai warisan peradabannya yang tinggal di tepi Danau Tondano dan ada nyaku (saya) Hendro Karundeng, ‘penulis klamaring’ asal pucuk Nialeran yang kini menyambung hidup di tanah Tombulu, dataran kaki Gunung Lokon. 

Beberapa hal kami bahas untuk perkembangan kantor, Wale Mapantik ke depan, serta berbagai kegiatan yang akan kami gelar. Di antaranya lumales (ziarah kultura) bersama teman komunitas budaya kami di kota Tomohon, Sarongsong Wuaya.

Tak terasa, tubuh mulai hangat dengan nikmatnya secangkir kopi yang kini ludes mengiringi diskusi kami di Sabtu pagi, 11 Januari 2025.

Berteduh di Galeri Sinarongsongan Wene

Dari Wale Mapantik, kami beranjak ke rumah salah satu teman penggiat budaya Sarongsong Wuaya, menaiki mobil kijang klasik milik Rikson yang sudah dihias dengan kekinian. Mobil ‘sejuta umat’ di awal milenium itu, terbungkus stiker gambar salah satu gim paling hits di era gawai sekarang, Mobile Legends.

Kurang lebih sepuluh menit perjalanan dengan roda empat kami tempuh menyusuri dinginnya Kota Bunga. Wajah langit somu-somu membuat jaket penghangat badan tetap menempel di tubuh. Kami pun tiba Wanua Lansot, Walak Sarongsong, tepatnya di galeri Sinarongsongan Wene, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon.

Saat mobil hendak kami parkir, terlihat makawale yang memakai jaket hitam, mengeluarkan kendaraan roda dua dari halaman rumahnya. Seperti ingin bepergian. Diusik hentakan klakson si kijang, ia melirik dan berbalik menghampiri.

Dengan senyum hangat, kami disambut Vian Wuwung, pegiat budaya asli Sarongsong, yang kami sapa dengan hormat, ‘Tonaas Vian’. Sang pemilik galeri Sinarongsongan Wene dan pemimpin Komunitas Budaya Sarongsong Wuaya.

Sembari berjabat tangan, Wuwung mengajak kami masuk ke lantai dua galeri. Dengan ramah mengajak duduk serta menyuguhkan beberapa toples kue dan sebotol captikus, minuman beralkohol buatan asli Minahasa untuk menghangatkan tubuh di tengah hujan yang mulai turun membasahi tanah.

“Aduh, untung kita belum keluar, karena tadi sempat ada panggilan rapat. Mari masuk, ini ada kue kelebihan dari Natal dan Tahun Baru. Minumnya tinggal sedikit ini, biar hanya menghangatkan badan,” ujar Wuwung penuh senyuman.

Niatan kami untuk bercerita dengan Wuwung semakin meningkat saat berada di antara berbagai artefak dan benda-benda peninggalan Minahasa masa lampau yang menghiasi setiap sudut wale itu. Ruangan seluas lima meter persegi dengan dinding yang terbuka di bagian depan dan samping, mendatangkan rasa nyaman serta penasaran bagi para pengunjungnya.

Dari pintu masuk, sudah terlihat beberapa pasang baju kawasaran (tarian keprajuritan Minahasa) menghiasi dinding sebelah kanan ruangan. Di sebelah kiri ruangan, terdapat dua lemari kaca, tepat di samping sofa tamu. Lemari itu memajang artefak-artefak khas Minahasa di dalamnya. Di dinding, terpampang berbagai barang peninggalan yang jauh lebih tua dari negara Indonesia sendiri.

Saat duduk melingkar di bagian depan ruangan, kami mulai berbagi cerita. Rikson menanyakan ke Wuwung tentang apa sebenarnya arti dari nama yang dilekatkan ke galeri ini, serta apa yang dimaknai oleh teman-teman Sarongsong Wuaya dari nama itu.

“Ya, tempat ini namanya Sinarongsongan Wene, yang artinya ‘saluran berkat’. Jadi ceritanya begini, di Nimawanua (kampung tua Sarongsong) dulu sempat kekurangan pangan, sehingga para tetua di waktu itu berdoa, meminta berkat berupa pangan. Akhirnya, wilayah Sarongsong waktu itu mulai kelimpahan pangan. Nah, di sini merupakan jalur tempat lewatnya pangan ke kampung tua dulu,” ujar Wuwung.

Sinarongsongan berarti jalur, jalan, aliran, atau akses, sedangkan wene berarti beras. Kami sendiri memaknai ini sebagai tempat saluran berkat, sebab apa yang didoakan serta diminta para tetua dahulu, datang melewati tempat ini,” terangnya.

Gerimis hujan terus menemani kami di siang itu. Mengalir dalam kisah bersama waktu, hingga captikus di atas meja kandas di dasar botol. Berbagai obrolan tentang kisah masa lampau, situs budaya, artefak-artefak khas Minahasa, pengetahuan warisan leluhur, tersaji dalam tutur serius. Sesekali terselip sedikit gurauan, mewarnai diskusi menyenangkan itu. 

Langit masih basah, namun mentari kian meninggi. Kami pun mengajak Wuwung agar bisa segera bersama ke lokasi lumales, lokasi ziarah kultura yang memang menjadi agenda perjalanan kelung.id hari ini.

Lewat tengah hari, kami beranjak dari markas Kawasaran Sarongsong Wuaya. Gerimis berkabut benar-benar menghadirkan hawa dingin yang menusuk hingga ke sela-sela baju. Tapi tidak menghalangi niat dan perjalanan kami menuju ke lokasi yang hendak dituju. Terlihat Wuwung mengambil topi dan sandal gunung, serta parang kecil, lalu ikut naik ke dalam mobil bersama kami.

Ingatan Leluhur di Watu Tula’u

Tak membutuhkan waktu lama, kurang lebih sepuluh menit dari galeri Sinarongsongan Wene, kami telah sampai di titik masuk lokasi. Dari jalan raya Lansot-Pinaras, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Selama hampir lima belas menit perjalanan, Tonaas Vian terus berbagi cerita tentang Watu Tula’u, situs yang akan kami tuju.

“Watu Tula’u ini merupakan tempat patalinga’an (mendengar tanda alam) para tetua dahulu dalam menentukan nama kampung. Di sini mereka berkumpul dan melakukan ritus, meminta petunjuk untuk nama sebuah pemukiman baru. Hasil dari ritus itu, melahirkan dua kampung baru yakni Lansot dan Tumatangtang,” ungkapnya.

“Namanya sendiri mengikuti kebiasaan masyarakat zaman dulu. Ketika orang tua ingin membawa zezeta’an atau sesuatu yang ingin diserahkan sebagai simbol persembahan kepada leluhur, orang tua di sana selalu mengatakan ‘tula’u mo witu’. Artinya ‘taruh saja di situ’ atau ‘tinggal saja di situ’. Hal ini menjadi suatu kebiasaan dan terbawa hingga sekarang,” sambung Wuwung sembari menuntun jalan menuju lokasi.

Jalan selebar satu setengah meter dengan batu kerikil jadi alas sepanjang jalan. Di musim hujan seperti sekarang, deretan kubangan air berlumpur juga turut menyemarakkan jalan perkebunan itu. Pohon aren yang dikenal di Minahasa dengan ‘akel’, serta pohon-pohon lain khas hutan Minahasa menghiasi jalan kami. Mereka seperti turut serta menunjukkan jalan bagi kami.

Sepuluh menit berlalu, Wuwung perlahan melambatkan langkah dan berhenti. Ia kembali mengingatkan kami tentang cerita yang dianggap sakral di masa lampau tentang situs tua Sarongsong itu. Dengan nada pelan ia mengajak kami berhenti sejenak dan mulai bercerita.

“Jadi dulu, di sini juga selain tempat orang meletakkan zezeta’an, ada kisah menarik lain. Konon katanya, kalau ada yang punya niat yang kurang baik, mereka akan tertinggal di situ,” ungkapnya.

“Jadi nanti teman-teman mungkin bisa untuk memberi penghormatan seperti yang biasa teman-teman lakukan di situs-situs peninggalan leluhur. Walau hanya berkata di dalam hati, sambil menghentakkan kaki tiga kali di tanah. Kami juga punya kebiasaan, ketika sampai, langsung berputar mengelilingi situs walau hanya satu kali,” sambungnya.

Di ujung jalan, terlihat dua pohon besar dengan rerumputan tinggi di sekitarnya. Berdiri perkasa situs Watu Tula’u di belakang rerumputan. Genangan air akibat curah hujan, menutupi sekeliling situs yang tertata bagai dua tiang kokoh sebelah-menyebelah.

Secara spontan semua menanggalkan alas kaki, masuk ke kawasan situs sambil menjalankan tradisi yang telah diingatkan kembali oleh Tonaas Vian sebelumnya.

Kurang lebih setengah jam kami habiskan di sana, berbagi cerita sembari membersihkan sekitaran situs. Membahas berbagai kisah di balik situs ini, termasuk para leluhur yang dahulu meninggalkan jejak di tempat itu. 

Rintik hujan perlahan menipis, angin yang tadinya dingin, kini mulai mereda. Bahkan mulai terasa hangat, sebab sang mentari tampak kian semangat menerobos tebalnya awan. Kami pun mulai bersiap untuk kembali, mengiring langkah, ucap permisi kepada Sang Khalik, alam semesta dan para leluhur, kemudian meninggalkan Watu Tula’u.

Kampung Tua, Nimawanua Sarongsong

Empung Walian Wangko kembali menuntun kami ke salah satu lokasi pemukiman tua di dataran kaki Gunung Lokon. Jaraknya tak jauh. Kurang lebih sepuluh menit berlalu dari jalan tempat memarkir kendaraan, kami pun tiba di lahan luas dekat dengan kantor Kepolisian Resort (Polres) Tomohon. Kawasan itu dikenal masyarakat sebagai kampung tua atau Nimawanua Sarongsong.

Ada belasan situs waruga tersebar di tanah datar ini. Sebagian berdiri di atas tanah, namun sebagian lagi masih ‘terbenam’ di dalam tanah. Kami melihat dari dekat satu persatu waruga-waruga yang ada. Beberapa situs terlihat memprihatinkan, penutup waruga telah bergeser, bahkan berpindah dari badan. Beberapa terlihat hancur, banyak bekas galian jejak aksi tak terpuji para penjarah makam.

“Di sini sebelumnya sudah pernah ada penelitian dan penyelamatan situs oleh Balai Arkeologi. Beberapa situs yang tadinya sudah terkubur di dalam tanah, digali. Ada beberapa kendi serta artefak yang diselamatkan. Waruga yang terbuka, ditutup kembali dan ditata dengan rapi,” jelas Wuwung.

Beberapa kisah ingatan sejarah pun kembali Wuwung tuturkan. Menurutnya, tidak semua pendahulu dimakamkan di dalam waruga. Dahulu hanya orang-orang tertentu saja yang diwarugakan.

“Hanya beberapa, tidak semua. Jadi dulu yang saya tahu, orang yang tidak dimakamkan di dalam waruga, dimasukkan ke dalam semacam kendi. Dan di sini banyak. Mungkin kalau dilakukan penggalian lebih dalam, ada puluhan bahkan ratusan (kendi) di bawah sini, di bawah-bawah waruga-waruga ini,” bebernya.

Wuwung juga mengatakan, lokasi itu dulunya merupakan kampung atau pemukiman tua. Luas wilayah pemukiman tua itu bisa dilihat dari letak kedudukan waruga yang tersebar. Dulunya para leluhur mendirikan waruga di samping tempat tinggal mereka.

Hal menarik yang tidak umum, juga bisa ditemukan di sini. Ada sebuah waruga berbentuk lingkar, berdiri di pojok tanah luas itu. Sebab di tanah adat Tombulu, waruga pada umumnya berbentuk persegi. Menurut Wuwung, makam itu milik seorang leluhur perempuan.

“Nah, ini yang mungkin unik di sini. Kan pada umumnya di Tombulu, waruga berbentuk persegi. Tapi yang ini seperti lingkaran, bulat. Dan setahu saya yang dimakamkan di sini itu perempuan,” ujarnya.

Mentari mulai menunjukkan wajahnya, seakan beri kami pertanda untuk menyudahi ziarah kali ini. Keringat perlahan mulai jatuh dari kening, ingatkan badan tuk istirahat sejenak. Sandal swallow warna putih kini berubah menjadi coklat dibalut lumpur dan tanah. Terdengar sayup kawan mulai mengajak kembali pulang.

Membaca Makna di Ujung Ziarah 

Kami kembali ucap sampai jumpa. Beberapa teman lebih dahulu pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing. Kami singgah sebentar mengantar Wuwung ke markas Kawasaran Sarongsong Wuaya di Lansot. Dari sana kami menuju Wale Mapantik Kaaten.

Sembari melepas lelah, dengan menghisap lintingan tembakau berteman secangkir kopi, kami berbagi kesan tentang kegiatan sepanjang hari itu. Pakakaan kami, Hendra Mokorowu, mulai memantik diskusi dengan pernyataan tentang pentingnya lumales.

“Menurut saya, ini sangat penting di masa sekarang, terutama melibatkan muda-mudi. Ini untuk mengingatkan kembali atau menggali kembali ingatan yang ada di orang Minahasa, khususnya tou Sarongsong. Ada penanda-penanda sejarah perjalanan orang-orang Sarongsong di masa silam. Ada berupa situs batu yang pernah jadi penanda bahwa di situ pernah jadi pemukiman sebelum mereka menamakan diri sebagai tou Sarongsong,” ujar Mokorowu.

Mokorowu pun mengungkapkan kerinduannya tentang sebuah aksi rutin, ziarah ke situs-situs.

“Kegiatan ini, mungkin lebih baik lagi kalau dirutinkan. Lumales atau ziarah kultura, kawan-kawan Sarongsong Wuaya yang jadi tuan dan nyonya rumah di sana, melibatkan teman-teman dari pegiat budaya dan penulis dari Komunitas Mapatik. Kami berharap ke depan, ketika akan ada pelaksanaan lumales, untuk lebih melibatkan anak-anak muda yang ada di Sarongsong. Agar mereka juga bisa mengenal, belajar menghargai dan mencintai situs-situs sejarah peninggalan para leluhur,” harapnya.

Tak lupa, pegiat budaya yang telah lama aktif dalam kerja-kerja pendokumentasian ‘ingatan’ Minahasa ini juga beri apresiasi terhadap teman-teman dari Sarongsong Wuaya dan Tonaas Vian Wuwung yang terus melestarikan, menjaga tradisi serta peninggalan sejarah mereka. 

“Kami mengapresiasi juga untuk teman-teman Sarongsong Wuaya yang selama ini masih peduli dan sangat intens untuk melestarikan berbagai peninggalan masa lampau seperti yang ada di galeri Sinarongsongan Wene. Kemudian Tonaas Vian Wuwung sendiri yang masih rutin melaksanakan ritus-ritus sesuai tradisi tou Sarongsong,” tandasnya.

Kawan kami, Gerard Tiwow pun turut menanggapi dengan ungkapan rasa antusias serta terima kasihnya untuk teman-teman yang bisa meluangkan waktu dalam ziarah kultura kami kali ini.

“Saya sebagai penulis di kelung.id, sangat antusias merespons ajakan teman-teman untuk melaksanakan ziarah kultura. Beberapa persiapan yang dilakukan mungkin terasa masih kurang. Kami sangat berterima kasih untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktu dalam kegiatan kami kali ini. Seperti kata orang bijak, ‘Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?’,” lugasnya.

“Mungkin kita memang tidak bisa menjangkau semua situs yang ada di tanah Minahasa. Tapi menurut saya, sebagai orang Mu’ung, setidaknya kita bisa melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah dan budaya di tanah kita Tomohon,” pungkasnya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *