Connect with us

ECONEWS

Mimpi Buruk Emas di Buru

Published

on

8 Januari 2019


Oleh: Andre Barahamin


Emas selalu jadi harapan meski lebih banyak dampak merusak.

 

SEPERTI DI TEMPAT lain, di pulau Buru, Maluku, emas menjadi magnet. Menghipnotis banyak orang datang mengadu untung meski banyak yang pulang buntung. Para penambang berharap bahwa tambang emas akan mengubah nasib dan memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Setidaknya ada tiga tempat yang menjadi sasaran para penambang liar: Gunung Botak, Gunung Nona dan Gogorea. Akibatnya sudah jelas. Lingkungan rusak berat. November tahun lalu, lahan sawah seluas 326 hektar yang berada Desa Grandeng, Lolongguba, tak jauh dari Gunung Nona dinyatakan tercemar. Laporan ini melengkapi riset soal ambang batas merkuri yang dilakukan Yustinus T. Male, tenaga pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F-MIPA) Universitas Pattimura pada 2012. Male menemukan bahwa konsentrasi merkuri di sedimen sungai yang berada di sekitar Gunung Botak telah menyentuh level 9 miligram per kilogram (mg/kg) lumpur. Ini jelas melebihi batas normal yang mensyaratkan konsentrasi merkuri di alam tidak boleh melebihi 1 mg/kg.

Menurut data dari Dinas Pertanian Maluku, pada 2014, dari produksi padi sebanyak 101.836 ton gabah kering giling, ada sekitar 42,33 persen berasal dari Buru. Padahal, banyak area persawahan di Buru menggunakan air dari sungai yang sudah tercemar itu. Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Krisis Kesehatan Dinas Kesehatan Maluku, Ritha Tahitu, juga mengemukakan temuan merkuri yang melebihi ambang batas di sejumlah lokasi, seperti Teluk Kayeli, tempat pemandian umum di Anahoni, serta sumur bor di Desa Wamsait dan Desa Kayeli. Pada 2014, memang menjadi puncak penyerbuan penambang emas ilegal di Gunung Botak.

Semuanya disebabkan oleh penggunaan merkuri untuk mengayah emas.

Merkuri mengakibatkan timbulnya wabah penyakit akibat pertambangan emas. Limbah karena penggunaan merkuri untuk mengurai material emas dikhawatirkan terserap lalu bercampur air tanah. Pencemaran limbah merkuri logam raksa dapat menyebabkan berbagai penyakit. Sulit tidur, kaki dan tangan merasa dingin, gangguan penciuman, kerusakan pada otak, gagap bicara, hilangnya kesadaran, bayi lahir cacat hingga kematian.

Karena emas, dunia akan selalu mengingat Minamata.

Diambil dari nama sebuah kota di Prefektur Kumamoto, Jepang. Kota kecil yang menghadap laut Siranul. Penyakit ini memperkenalkan diri sebagai wabah kepada dunia pada 1958. Ratusan orang mati di kota Minamata akibat penyakit aneh dengan gejala kelumpuhan syaraf. Riset yang dilakukan ahli kesehatan menemukan bahwa konsumsi ikan laut menjadi penyebab. Ikan-ikan di Teluk Minamata diketahui telah mengandung logam berat merkuri.

Meski keputusan pemerintah Jepang untuk secara terbuka menjelaskan sumber pencemaran dianggap terlambat. Butuh 12 tahun untuk mengakui bahwa tercemarnya ekosistem laut disebabkan limbah yang diproduksi pabrik baterai Chisso. Pabrik itu kemudian dipaksa tutup dan membayar ganti rugi 27 juta dolar.

Di Indonesia, ingatan soal dampak buruk merkuri menemukan wajahnya di Buyat. Teluk kecil yang terletak di pantai selatan Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara. Secara administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa Tenggara.

Buyat merebut perhatian publik karena wabah penyakit yang memiliki kemiripan dengan Minamata yang muncul pada 2004. Penyebabnya adalah aktivitas pertambangan PT Newmont Minahasa Raya, anak perusahaan Newmont Mining Corporation (NMC) yang berdiri pada 1985 dan mulai beroperasi sejak 1996. PT Newmont Minahasa Raya memanfaatkan teluk ini sebagai aliran penempatan tailing (limbah pertambangan) untuk aktivitas pertambangan emasnya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengklaim Newmont menimbun 2.000 ton tailing ke teluk itu setiap hari.

Dalam “Laporan Resmi Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Teluk Buyat-Teluk Ratatotok” yang terbit pada 2004 menyebutkan bahwa klaim PT Newmont Minahasa Raya, adanya lapisan pelindung termoklin tidak ditemukan pada kedalaman 82 meter. Laporan yang sama juga menyimpulkan bahwa Teluk Buyat tercemar arsen dan merkuri dengan mengacu kepada ASEAN Marine Water Quality Criteria. Keanekaragaman hayati di Teluk Buyat juga mengalami penurunan drastis dan menumpuknya merkuri di dalam tubuh makhluk dasar laut (benthos).

Laporan itu juga menggarisbawahi soal kadar merkuri di Buyat Pante berada di level paling tinggi dibandingkan dengan desa-desa sekitar.

Hal ini mendorong WALHI untuk melayangkan gugatan kepada PT Newmont Minahasa Raya dengan tuduhan merusak lingkungan dan meresahkan masyarakat. Indikatornya adalah prosedur dan lokasi Sistem Pembuangan Tailing Dasar Laut (SPDTL) yang berada di lapisan awal zona termoklin yaitu pada kedalaman 82 meter. Sehingga tailing terdispersi dan dapat ditemukan pada kedalaman 20 meter serta sudah tersebar pada radius 3,5 kilometer dari mulut pipa pembuangan tailing.

Indikator lain adalah sistem pembuangan tailing yang salah, menyebabkan kerusakan ekosistem laut, mengakibatkan kekeruhan yaitu pada zona euphotic. Zona tersebut adalah ruang hidup bagi fitoplankton (produsen) yang butuh sinar matahari sebagai proses fotosintesis. Selain itu penurunan jumlah dan kualitas keberadaan terumbu karang di Teluk Buyat dan bioakumulasi (penumpukan terus menerus di dalam tubuh mahkluk hidup) dari sedimen pada biota laut di daerah euphotic.

WALHI juga menyasar soal penurunan kandungan bentos dan plankton (fitoplankton dan zooplankton) akibat tingginya kadar arsen pada sedimen di Teluk Buyat. Termasuk besarnya kematian ikan dalam jumlah lebih dari 100 ekor di sekitar pipa pembuangan tailing di Teluk Buyat maupun yang terdampar di pantai.

Akibatnya, kesehatan masyarakat di Buyat menurun dan berbagai macam penyakit menyerang tubuh mereka, karena konsumsi air minum dan ikan yang mengandung logam berat.

Dalam gugatannya, WALHI menuduh PT Newmont Minahasa Raya telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pasal 41 (1) junto pasal 45, 46 dan 47 UU No. 23/1997 tentang pencemaran lingkungan, dan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

Uniknya, dalam proses persidangan, tepatnya pada 12 Juni 2007, PT Newmont Minahasa Raya menggugat balik WALHI senilai US$ 100.000.

Namun, WALHI tidak bergeming. Kematian Andini yang masih berusia 6 bulan, dan Abdul Rizal Modeong,14 tahun, serta gejala Minamata yang diderita warga lainnya di dusun Buyat Pante dan Kampung Buyat, adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Bahwa aktivitas pertambangan emas hanya berujung pada pencemaran lingkungan.

Namun, bagi banyak orang, emas selalu dipercaya sebagai logam pengubah nasib. Meski sejarah mencatat, pertambangan emas lebih banyak memiliki dampak merusak. Selain kerusakan alam dalam skala massif dan munculnya wabah penyakit, ancaman lain adalah saling bunuh antar penambang atau tewas karena tertimbun longsoran tanah.

Terkait pertambangan emas di pulau Buru, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku, Edwin Huwae kepada media mengatakan bahwa sudah ada 1.600 orang yang jadi korban karena aktivitas pertambangan emas di sana. Sebagian meregang nyawa karena tertimbun di lubang tambang, sedang sejumlah lain tewas karena kasus kekerasan. Rabu, 1 Maret 2017, seorang penambang asal Jepara menambah daftar orang yang tewas karena dibunuh. Sebulan sebelumnya, di sekitar Gunung Botak, penambang asal Minahasa juga menemui ajal.

Permintaan pasar terhadap emas membuat logam mulia ini terus dikejar meski ia lebih banyak membawa mimpi buruk. Demam emas didorong oleh peningkatan konsumsi di negara-negara berkembang dan ketidakpastian pasar finansial. Akibatnya, ekosistem tropis menghadapi ancaman serius, yaitu deforestasi.

Laporan yang dikerjakan Noral L. Alvarez-Berríos dan T. Mitchell Aide pada 2015 dapat dijadikan rujukan. Laporan itu menyimpulkan bahwa deforestasi diakibatkan oleh pertambangan emas di bioma hutan tropis.

Alvarez-Berríos dan Aide menganalisis pola perubahan hutan di lokasi pertambangan emas dari 2001 hingga 2013 di Amerika Latin. Mereka menemukan bahwa sekitar 1.680 kilometer-persegi dari hutan tropis di Amerika Selatan hilang karena aktivitas pertambangan di rentang waktu tersebut. Deforestasi secara signifikan meningkat selama periode 2007-2013, yang terkait erat dengan meningkatnya permintaan emas secara global setelah terjadinya krisis keuangan internasional.

Di Papua, pertambangan emas PT Freeport Indonesia dapat menjadi contoh nyata. Bagaimana tambang pada akhirnya cuma merusak lingkungan, menghancurkan tatanan sosial dan kultural masyarakat sekitar area tambang dan justru memperburuk ketimpangan ekonomi. Gunung Nemangkawi yang hancur dan kasus kekerasan yang menimpa orang-orang Amungme dan Kamoro.

Pilihannya memang sederhana namun sulit dilakukan. Yaitu menolak tambang emas, seutuhnya. (*)

 


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *