Connect with us

Daerah

Mimpi di Pantai Tertimbun Batu

Published

on


14 Juli 2022


Selamat hari jadi kota Manado, rindu memanggil pulang: pulang, pulanglah. Dan ia pun menangis, mengulum syair tanpa huruf sebab dirinya bisu. Siapa? Pantai ditimbun batu-batu, memori banjir, sampah ada di mana-mana, macet sepanjang hari jadi biasa, nanti ujung tahun obrolan bercampur gulita pemadaman. Branding entah, dari Kota Tinutuan, bergerser ke Kota Cerdas. Kami dari jauh mengintipnya dari tiap corong yang dihembus para tualang datang di sana, bahwa dirimu paling toleran di Nusantara. Tahan, tahan, tetaplah seperti itu…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Rikson Karundeng


Gambar: Mengintai Manado Tua dari satu titik di Sindulang – Foto DAX.


DECADE 2000 dan decade berikutnya – orang-orang bicara reformasi, obrolan di warung captikus juga sama, teriak reformasi, semua mau dirombak jadi baru, ada saat bersengketa nama dan tafsir. Manado selalu update, seperti itu gambaran saya tentang kota itu. Kami, suatu ketika duduk di timbunan batu-batu tepi Mega Smart merayakan sore yang tenggelam. Waktu itu, ada Dedew, Finda, Arthur, Jamal, dan saya, kadang-kadang ada Elang. Di sana kami belajar menulis, sebaris dibalas sebaris, lalu jadi sajak kota, jadi artikel untuk suatu vision, mimpi kota Manado. Markas kami seputar Jl. Sudirman dan Pasar 45. Dari sana, merambahi rimba kota.

Baku-balas kata – Dedew, Finda, Arthur, Jamal, Elang, saya, dan kawan yang punya kenang tentang Manado itu ada pada baris pembuka artikel ini: rindu memanggil pulang. “Ratusan puisi sudah kutulis, berpuluh cerpen dan novelet juga. Bahkan selembar tulisan lepas di media, tak satupun kusimpan. Semuanya entah di mana. Seseorang bertanya, ‘bagaimana bisa?’ Kubilang saja, aku cuma ingin menuliskan segala bahasa hatiku. Sebenarnya pada langit di atasku, tapi tak dapat kujangkau. Sebenarnya juga pada atas permukaan samudera yang luas. Sayangnya selalu sekejap hilang digulung ombak. Sebenarnya juga pada dinding angin yang tak tampak, sayang aku tak tahu bagaimana membuka helainya.” Penggalan diskusi masa silam tentang Manado itu dipicu Elang, 18 Maret 2013. Ah, kawan itu entah di mana belantaranya. Tak ada kabar, Elang Pratapa.

Manado yang elok. Lokon meletus, 14 Juli 2011. Lidah-lidah api dan semburannya seperti firework bagi ulang tahun Manado. Kami memandang asapnya membumbung jauh dari teluk. Kawan dari Amsterdam mengomentari starting topic manakala saya mengunggah gambar letusan itu dari tepi Manado.

Juli di lain waktu, di lain kota. Saya mengulang artikel silam sebagai kenangan – history: benteng Bastille digempur, Revolusi Perancis dimulai, 14 Juli 1789. Kemudian tercatat James Dunlop menemukan galaksi NGC 7793, 14 Juli 1826. Catatan berikutnya, 14 Juli 1969, tentara El Salvador membombardir Tegucigalpa, Honduras. Di negeri kita, jazirah utara Sulawesi, 14 Juli 2011, Gunung Lokon meletus.

Ratusan tahun silam di negeri kita, tercetus ulang tahun. Tahun silam pembahasan itu dapat direka ulang pada dialog Smart Morning Post membahas ‘Kenapa Tanggal Lahir Kota Manado, 14 Juli 1623’ bersama Denni Pinontoan, Direktur Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, Selasa, 13 Juli 2021 – 07.25 Wita. Dalam tajuk itu yang dimuat situs PUKKAT, dikemukakan bahwa, “Hari Jadi Kota Manado yang ditetapkan 14 Juli 1623, merupakan momentum yang mengemas tiga peristiwa bersejarah sekaligus: tanggal 14 yang diambil dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, di mana putra daerah di Manado bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemudian, bulan Juli diambil dari unsur yuridis yaitu pada Juli 1919 terbit Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente. Berikutnya tahun 1623, diambil dari unsur historis di mana pada tahun tersebut terminologi kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi.”

Twilight pada suatu ketika bercengkrama di kedai tuak di tepi kota. Kita bersandar di sofa panjang, dua tangan memeluk dengkul meresap langit merah dan awan-awan dramatis: 1693, Cornelis Chastelein memboyong budak-budak dari Bali, lalu bertanam kopi di belantara Batavia. Kopi sudah ada sejak lama di tanah kita, di Manado. Maka, anak-anak muda pecinta minuman itu menyebut yang mana dalam telusur mereka kopi sudah ada sejak zaman silam sebelum para peneliti dan para pedagang datang di jazirah utara Sulawesi. Kopi sedap dan nongkrong sampai puas ada di kota Manado, ilusi saya langsung mengarah ke Jarod. Dalam kaitan dengan hal itu, warung kopi bertebaran di mana-mana di Manado. Tempat kami merayakan diskusi, toleransi, dan kebebasan. Kritiknya, ketika pameran kopi tingkat dunia, kopi enak yang konon ada di Manado, entah titiknya ada di mana. Padahal info itu sudah tersebar dan dikenal dunia.

Bila ada sampah bertebaran, mungkin lupa diangkat. Yakin anda ada di sana, di kota tercinta. Hujan sudah membawa sisa-sisa, selasatu singgah di timbunan batu-batu depan perbelanjaan yang penuh manusia. “Kekasih kutelefon, ‘Rindu kamu,’ katanya. Apa kau pikir aku tidak? Kupelototi lalu-lalang mobil di depan. Cium, memelasnya manja. Cuma ingin cium kamu, bukan handphone-ku. Seorang kakek meludah, lewat di depanku,” tulis Elang, medio 2011. Diskusi mencari kekasih di kota Manado, Noveline, Kwek Li Na. Saya diam saja. Jangan-jangan kekasih sudah tertimbun sampah perayaan. Kertas, plastik, botol plastik, kemasan bumbu, box makanan, uang parkir, semua melayang tanpa prediksi.

Perayaan, bagi saya yang pernah menulis untuk Manado, seumpama membangunkan yang terlelap: Di sana ada batu-batu dan kenangan ‘mereka yang berhati batu, pemukiman megah dan kumuh – adalah laut, tanpa gerbang; sajakku terurai di deburnya. Hanyut sampai di pelupuk lupa. Besok ada lagi perayaan serupa.

Elang terbang di atas teluk, di atas batu-batu. Elang yang terbang dalam tulisan ini adalah kawan, Jamal dan saya adalah kawan dia. Dan dia tentu punya banyak kawan lain di Manado. Elang itu Angky. Dalam majas dia menyembur kota, “Lewat tengah malam, dirapal mulut tak suci ampun dan pinta menyodok langit. Di pintu ini kutunggu belas – lalu menyerah. Di deras doa-doa mengalir, bumipun terbujur membangkai. Cicipi perihnya taat – manisnya turut. Atau, berulang kisah negeri duka ketika lagu murka bangunkan laut, rengut nyawa – pulang tanpa berkemas. Maka, kubawa ta’zim dan takluk, di rapal doa lewat tengah malam. Cahaya baru telah datang.”

Bagi saya, Manado itu sajak. Tak pernah habis huruf merangkainya. Di depan Fort Rotterdam bertahun silam pernah menulis bagi kawan-kawan di sana. “Kenang yang rapuh, gundukan sampah, tanah dan batu. Lalu ambang pagi di bayang menara, bocah-bocah mengintai pantai. Sunyi. Sunyilah jiwa. Gelombang berderai menyapu bekas tapak, sisa airmata, sisa tertawa, jiwa tertawan nyaris kering. Laut bergelora untuk tanya yang sama: tanah air di mana?”

Pertahanan masa lalu, kenang Nieuw Amsterdam, ada di Manado. Rekam bangsa-bangsa di bumi pernah dan selalu singgah dengan berbagai alasan, datang dan rindu tentunya.Vision adalah pertahanan kita menggempur masa depan yang sudah tiba hari ini di sini, di kota kita.  Apa kabar tinutuan Wakeke, patong Pal Dua, Mantos, Mega Mall, etc.

Manado, di tepi batu-batu yang menimbun pantaimu. Dari tepi yang lain hari ini saya merayakan terminologimu yang belum selesai didebat para pakar. Semangat membatu, keras, deras, melumat beragam kisah cerita. Selamat ulang tahun, tetap dirindu karena toleransimu. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *