ESTORIE
Mimpi Rempah-Rempah yang Buyar di Mactan
Published
5 years agoon
By
philipsmarx28 April 2019
Oleh: Daniel Kaligis
Estreito de Todos os Santos, dikenal sejak 1520 sebagai ‘Selat Seluruh Orang Suci’, jalur yang dilayari Magelhaens mengelilingi bumi, cari rempah-rempah dan harta. Mimpi Magelhaens kandas di Mactan dalam sebuah pertempuran. Lalu tualangnya dilanjut Juan Sebastián Elcano
RIBUAN TAHUN sebelum Fernando de Magelhaens menjejak Filipina, diperkirakan para Negrito sudah menjelajah pulau-pulau dan rimba di sana. Kemudian datang orang-orang Austronesia.
Penghuni Filipina masa lampau diketahui sebagai kelompok pemburu, peramu, masyarakat kesatria, plutokrasi, kerajaan maritim, konfederasi dan kesultanan. Tercatat negara-negara prakolonial adalah kerajaan Butuan, Cebu, Tondo, Maysapan, Maynila, Konfederasi Madyaas, Negeri Mai, Kesultanan Sulu, dan Maguindanao.
Negara-negara kecil itu berkembang paling tidak sejak abad sepuluh. Di masa itu mereka sudah berdagang dan berseteru dengan negara-negara sekitarnya.
Bila berkunjung ke Filipina hari ini, di Punta Engaño, kota Lapu-Lapu, di Cebu, di situ berdiri Lapu-Lapu Shrine. Patung perunggu setinggi dua puluh meter itu didirikan untuk menghormati Lapu-Lapu, pemimpin Mactan gagah berani yang kalahkan armada tentara utusan Spanyol.
Tak diketahui kapan Lapu-Lapu tiba di Filipina. Ronica Valdeavilla, penulis The Culture Trip, dalam wawancaranya dengan pendudwuk lokal yang dipublikasikan 14 September 2018 dengan tajuk ‘The Story of Lapu-Lapu: The Legendary Filipino Hero’, menyebut Lapu-Lapu sebagai pendatang dari Kalimantan yang sangat dihormati.
Lapu-Lapu mengalahkan invasi tentara dan pembajak Borneo, membantu memperkaya pelabuhan perdagangan Cebu dan membela rakyat.
Ketika itu, Rajah Humabon memerintah atas Cebu. Lapu-Lapu meminta kepada Humabon tempat tinggal di kepulauan itu, dan Humabon menawarinya wilayah Mandawili — sekarang dikenal sebagai Mandaue — termasuk daerah Opong.
Lapu-Lapu segera menjadi kepala rakyat di wilayah itu, disebut sebagai Datu Lapu-Lapu dari pulau Mactan. Namun, hubungan memburuk dengan Rajah Humabon manakala Lapu-Lapu menyerbu kapal dagang di Opong.
Perang Mactan
Fernando de Magelhaens tak sengaja menemukan pulau Homonhon, ketika ia sedang dalam pelayaran tuju kepulauan rempah-rempah, Indonesia. Pulau Homonhon itu sekarang dikenal sebagai Samar.
Dalam pelayaran hari itu, 16 Maret 1521 pada penanggalan Julian, Magelhaens memandangi daratan, rimba hijau di kejauhan, pegunungan nan elok. Matahari terbit keesokannya, Magelhaens memerintahkan anak buahnya berlabuh di dekat Pulau Homonhon.
Entah sedari 1521, nama ‘Magelhaens’ penjelajah Portugis itu, jadi ‘suci’ bagi sejarah Spanyol dan Eropa, sebab dia yang membikin raja Humabon dan ratunya dari Cebu dibaptis Katolik.
Fernando de Magelhaens mendarat di Limasawa, Leyte Selatan, 7 April 1521. Di sana dia bertemu penguasa lokal, Raja Colambu.
Raja Colambu memperkenalkan Magelhaens kepada penguasa Pulau Cebu, Rajah Humabon dan kepala sang ratu, Hara Humamay.
Di Pulau Cebu, Minggu, 14 April 1521, kepada penguasa di sana, Magelhaens memberi tiga hadiah: salib, patung perawan Maria terberkati, dan patung Santo Niño sebagai bagian dari ritual pembaptisan, dan aliansi strategis penaklukan wilayah.
Rajah Humabon berganti nama Don Carlos, ratu Hara Humamay dinamai Juana. Seperti itu ditulis Sally Ann Ness pada buku ‘Body, Movement, and Culture: Kinesthetic and Visual Symbolism in a Philippine Community’, terbitan University of Pennsylvania Press, 1992.
Disebut Samuel Eliot Morison dalam buku ‘The Great Explorers: The European Discovery of America, terbitan Oxford University Press, 1986, bahwa, dalam ritual pembabtisan penguasa yang dilakukan pastor Valderrama, turut serta sekitar lima ratus laki-laki, dan empat puluh perempuan. Raja Colambu juga ‘bertobat’ diganti namanya jadi Don Juan, sementara kapten Muslimnya diganti nama jadi Don Cristobal.
Beberapa hari berikut setelah pembaptisan, Fernando de Magelhaens melakukan ekspedisi perang atas nama Don Carlos. Tentara Magelhaens menyerang Pulau Mactan, membakar dusun-dusun yang tidak mau tunduk.
Dalam buku terbitan Garotech Publishing, ‘Introduction To Filipino History’, ditulis Teodoro A. Agoncillo, menyebut bahwa Rajah Humabon dan Datu Zula yang menyarankan agar Fernando de Magelhaens menyerbu Mactan dan memaksa kepala sukunya, Datu Lapu-Lapu, mematuhi perintahnya.
Magelhaens melihat itu sebagai kesempatan memperkuat jalinan persahabatan dengan penguasa di sana.
Mactan diserbu. Penduduk pulau melawan dipimpin Lapu-Lapu.
Tempur di Mactan, ada pada catatan Antonio Pigafetta, sejarawan Italia, kawan Magelhaens, tapi potongan cerita tutur orang-orang di Cebu menyebut duel terjadi Pulau Poro. Di sana, 27 April 1521, Fernando de Magelhaens mati ditombak, diserbu panah beracun dan kampilan terhunus di tangan penempur Mactan.
Jenis senjata kampilan pertama kali disebutkan dalam laporan tentang perjalanan Magelhaens, yakni pada laporan pertempuran Mactan 27 April 1521. Dalam laporan itu disebut kepala suku Filipina, Datu Lapu-lapu berperang melawan Magelhaens menggunakana kampilan dan menyebabkan Magelhaens tewas dalam pertempuran ini.
Kampilan, pedang panjang yang di beberapa lokasi dan penyebutannya hampir mirip. Ada di Filipina, Sulawesi, kepulauan Talaud dan Kalimantan dari abad empat belas. Pedang ini dikembangkan suku Dayak di Kalimantan, dipakai suku Moro di daerah Sulu dan Mindanao, dan sampai sekarang kampilan masih dipakai beberapa suku di Filipina Maguiindanao, dan Moro Maranao.
Berapa sumber sejarah berbeda dalam penulisan tanggal pertempuran. Situs Spanish Colonization misalnya, menulis 27 April 1521. Demikian juga sumber-sumber primer sejarah kedua negara itu menulis tanggal yang sama. Tapi dalam catatan Antonio Pigafetta, tertulis bahwa 28 April 1521 Magelhaens masih mengerahkan empat puluh sembilan pasukan dengan pedang terhunus, kapak, perisai, busur, dan senjata.
Mereka mendekati Mactan, pagi hari 28 April. Pulau bertebing batu, dan karang di dekat pantai, tentara Spanyol tidak dapat mendarat di Mactan. Terpaksa untuk melabuhkan kapal mereka jauh dari pantai, Magelhaens tidak mungkin menurunkan meriam kapalnya untuk menembak serdadu Lapu-Lapu yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 1.500.
“Manakala pagi tiba, empat puluh sembilan dari kami melompat ke dalam air laut yang menggenang sampai ke paha, dan menembus jarak dua tembakan lintas-busur sebelum kami dapat mencapai pantai. Perahu-perahu tidak dapat merapat karena batu-batu ada di mana-mana di air laut. Orang-orang lain tetap di belakang menjaga perahu. Ketika kami tiba, pasukan lawan telah dibentuk dalam tiga divisi dengan jumlah lebih dari seribu lima ratus orang. Ketika mereka melihat kami, mereka menyambut kami dengan teriak memekakan telinga. Para penembak, pasukan panah menyerang dari kejauhan sekitar setengah jam, tetapi sia-sia.” Seperti itu ditulis di EyeWitness to History, The Death of Magellan, 1521, mengutip catatan Antonio Pigafetta.
Antonio Pigafetta adalah ilmuwan dan penjelajah Venesia. Dia lahir di Vicenza, Italia. Dia melakukan perjalanan bersama Magelhaens. Selama ekspedisi, dia menjadi asisten Magelhaens yang berdisiplin dan terus membuat jurnal akurat, yang kemudian berguna baginya dalam menerjemahkan bahasa Cebuano, yaitu salah satu dari bahasa-bahasa di Filipina. Catatannya adalah dokumen tercatat pertama yang dibuat mengenai bahasa tersebut.
Syafii Maarif di situs Batak Tribune menyebut Lapu-Lapu disuruh memilih tiga opsi: taat kepada Raja Spanyol, mengakui raja Kristen sebagai tuannya, dan bayar upeti. Jika tiga opsi dipenuhi, Lapu-Lapu dan pengikutnya akan diperlakukan sebagai teman. Namun bila tidak, pedang Magelhaens akan menebas kepala mereka.
Lapu-Lapu tak mau tunduk pada opsi yang disampaikan Magelhaens. Padahal, senjata yang dimiliki Lapu-Lapu dan pengikutnya hanya bambu runcing, pedang, dan panah beracun. Pertempuran sengit tidak dapat dielakkan.
“Mari kita bertempur! Magelhaens dan banyak pasukannya terbunuh dalam pertempuran pada 27 April 1521 itu, sedangkan mayatnya entah di mana. Lapu-Lapu tidak mau menyerahkan kepada pihak penyerang yang masih hidup, sekalipun telah ditawari hadiah besar,” tulis Syafii Maarif.
Lapu-Lapu sang Pembela Rakyat
Ada yang menyebut dia Kali Pulako. Datu dari Mactan.
Mactan di Filipina, tetangga kita, Indonesia, dekat dari Minahasa.
Kisah tutur menyebut Lapu-Lapu berasal dari Kalimantan. Sebagian orang, entah menyebut dia berasal dari Sama-Bajau, suku yang secara tradisional berasal dari banyak pulau di Kepulauan Sulu di Filipina, wilayah pesisir Mindanao, Kalimantan utara dan timur, Sulawesi, dan di seluruh kepulauan Indonesia bagian timur.
Sejarawan tidak bersepakat untuk nama asli Lapu-Lapu. Ada yang menulis dia sebagai Cilapulapu, Si Lapulapu, Salip Pulaka, Cali Pulaco, dan Lapu Lapu Dimantag.
Sebagai penghormatan atas keberaniannya mengusir pasukan Fernando de Magelhaens yang ingin menguasai Pulau Mactan, rakyat Cebuano mendirikan patung Lapu-Lapu dan mengganti nama kota Opon di Cebu menjadi Kota Lapu-Lapu.
Di Filipina apa pendapat orang-orang di sana tentang Lapu-Lapu? Mereka bilang dia pemimpin Mactan yang berani.
“Pinuno na boleh paninindigan, pemimpin yang bela rakyat. Pemimpin yang berjuang untuk bangsanya. Reputasinya mendahului dia, menenun sejarah dan mitos ke dalam jalinan budaya Filipina modern,” tulis Ronica Valdeavilla, jurnalis The Culture Trip.
Ada yang bilang, usai perang Lapu-Lapu kembali ke Kalimantan. Legenda di tanahnya menyebut Lapu-Lapu tak pernah mati tetapi berubah jadi batu, menjaga lautan Mactan. Nelayan di pulau itu akan melempar koin ke batu berbentuk manusia sebagai cara meminta izin untuk memancing di wilayah sang kepala suku.
Dunia dalam Peta Kuasa Duopoli
Fernando de Magelhaens disebut juga Ferdinand Magellan, berasal dari keluarga bangsawan. Sejak muda telah direkrut sebagai ajudan di istana kerajaan, di mana Raja Portugis, John, berkuasa. Di situ dia belajar langsung prestasi orang-orang seperti Christopher Columbus, yang di masa itu baru saja kembali dari Amerika setelah mencari rute pelayaran laut di sebelah barat ke Kepulauan Rempah, Indonesia.
Raja Portugis John, suka pelayaran. Tapi terbunuh tahun 1495. Pangeran Manuel, naik takhta. Sayang dia lebih berminat harta ketimbang penjelajahan samudera.
Karena alasan tertentu, Manuel tak menyukai Fernando de Magelhaens yang saat itu berusia 15 tahun. Manuel selama bertahun-tahun mengabaikan permintaan Magelhaens untuk berlayar.
Manakala Vasco da Gama kembali dari India membawa muatan rempah-rempah, Manuel mengendus aroma kekayaan berlimpah. Tahun 1505, ia mengizinkan Magelhaens berlayar dan mengambil alih perdagangan rempah para saudagar Arab. Setelah itu, ia berlayar lebih jauh ke timur ke Malaka bersama ekspedisi militer lainnya.
Magelhaens pernah terluka saat pertikaian di Maroko pada tahun 1513. Dia mengalami cedera serius di lutut. Akibatnya, dia timpang seumur hidup.
Walau, Magelhaens sangat berhasrat melakukan apa yang gagal dilakukan Columbus —menemukan rute Barat menuju Timur — yang dia yakin lebih pendek daripada rute Timur. Dia butuh dukungan finansial, namun terus ditolak Manuel. Maka, Magelhaens meminta dukungan Spanyol.
Di masa itu, peta sumberdaya dunia di luar Eropa di masa itu, dibagi menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol dan Portugis sepanjang suatu meridian seribu lima ratus lima puluh kilometer sebelah barat Kepulauan Tanjung Verde di lepas pantai barat Afrika, sekitar 39°53’BB.
Wilayah timur dikuasai Portugis, sebelah barat dikuasai Spanyol.
Kondisi ini terjadi karena ‘Tratado de Tordesilhas’, yakni suatu perjanjian yang ditandatangani di kota Tordesillas — sekarang di provinsi Valladolid, Spanyol. Perjanjian Tordesilllas terlaksana 7 Juni 1494 dan diratifikasi Spanyol pada 2 Juli 1494, kemudian Portugis meratifikasinya pada 5 September 1494.
Magelhaens menghadap Charles I, penguasa Spanyol. Dia ajukan proposalnya dan membuka peta di hadapan sang raja.
Charles I sangat berminat rute sebelah barat ke Kepulauan Rempah yang diajukan Magelhaens karena hal itu akan menutup jalur perdagangan Portugis. Magelhaens bilang berlayar mengikuti jalur barat, Kepulauan Rempah bisa diklaim sebagai wilayah Spanyol.
Dan Portugis hanya dapat mengklaim wilayah timur dari batas Pulau Cape Verde. Hal mana aturan itu tertuang dalam ‘Tratado de Tordesilhas’.
Raja tertarik, dan memberi Magelhaens lima kapal tua untuk diperbaiki dan dipersiapkan guna ekspedisi tersebut, dan mengangkat dia menjadi Kapten-Jenderal armada itu.
Magelhaens segera mulai bekerja, tapi disabotase Raja Manuel, sehingga dibutuhkan lebih satu tahun sampai armada tersebut memulai pelayarannya. Sang raja, Charles I, janjikannya pembagian laba dari rempah-rempah yang dibawa pulang bagi Magelhaens.
Armada bertolak 20 September 1519, San Antonio, Concepción, Victoria, dan Santiago mengikuti kapal induk Magelhaens, Trinidad, kapal terbesar kedua, menembus gelombang tuju Amerika Selatan.
Medio 13 Desember 1519, armada mereka mencapai Brasil, menatap Pāo de Açúcar, melintas dan mampir di Teluk Rio de Janeiro untuk perbaikan dan mengisi perbekalan. Terus ke selatan mencari El Paso, udara kian dingin. Magelhaens melewatkan musim salju di pelabuhan San Julián, 31 Maret 1520.
Terus berlayar melintas samudera maha luas dan tenang.
Antonio Pigafetta mencatat, “Rabu, 28 November 1520, kami memasuki Laut Pasifik, dan selama tiga bulan dua puluh hari kami belum mengisi perbekalan. Kami hanya makan biskuit busuk yang telah menjadi remah, penuh belatung, berbau busuk, kotoran tikus di atasnya. Kami minum air berwarna kuning berbau busuk. Kami makan kulit sapi, serbuk gergaji, dan tikus-tikus yang masing-masing berharga setengah keping emas, tetapi tidak banyak yang dapat kami tangkap.”
Angin samudera menerpa layar, air jernih menyelusup di bawah ujung geladak, para petualang berani itu hanya tergeletak sekarat akibat kudis. Sembilan belas orang meninggal pada saat mereka mencapai Kepulauan Mariana, 6 Maret 1521.
Sepuluh hari kemudian, 16 Maret 1521, armada yang dipimpin Magelhaens sudah berada di perairan sekitar Pulau Homonhon, Filipina.
Ulangi lagi yang sudah dibahas sebelumnya, Magelhaens datang ke Filipina dan memberi tiga hadiah: salib, patung perawan Maria terberkati, dan patung Santo Niño sebagai bagian dari ritual pembaptisan, dan aliansi strategis penaklukan wilayah.
Valerie Caulin, jurnalis The Culture Trip, dalam tulisannya yang dipublikasikan 15 November 2017, menyebut hadiah patung Santo Niño itulah yang membikin orang-orang Filipina jadi Katolik.
Orang Filipina yakin patung Santo Niño sebagai mukjizat. Jonathan H. X. Lee, di Encyclopedia of Asian American Folklore and Folklife, 2011, menulis bahwa patung kayu gelap itu tingginya sekitar dua belas inci, dan diukir dengan gaya Flemish. Patung itu menggambarkan Yesus Anak, wajah tenang, dalam sikap dan pakaian seorang raja Spanyol.
“Patung ini mengenakan pakaian kerajaan kekaisaran yaitu mahkota emas, globus cruciger, tongkat sihir, mengenakan jubah halus, perhiasan, dan atribut yang sebagian besar ditawarkan oleh para penyembah selama berabad-abad,” tulis Sally Ann Ness dalam ‘Body, Movement, and Culture: Kinesthetic and Visual Symbolism in a Philippine Community’, 2016.
Visi ‘Teresa Sánchez de Cepeda y Ahumada’, Magelhaens bawa hadiah, sesembahan, Santo Niño de Cebú, dan Asketisme.
Dari mimpi mencari rempah-rempah, ‘Fiesta Señor’ menjadi keramaian yang diperingati saban tahun di Filipinan. Replika Santo Niño de Cebú dibawa turun ke jalan. Perayaan itu berlangsung selama sembilan hari.
Mimpi yang panjang, Magelhaens datang ke Filipina dan Asia membawa seorang penerjemah, yaitu Panglima Awang.
Tercatat Magelhaens menyerang Melaka pada tahun 1511. Dalam penyerangan itu dia menawan banyak pemuda Melayu dan dijadikan budak. Panglima Awang termasuk yang ditawan Magelhaens, usianya saat itu sekitar 18 tahun. Magelhaens membawanya ke Spanyol dan membaptisnya sebagai Enrique. Panglima Awang terkenal juga sebagai ‘Henry The Black’.
Magelhaens mengabu di Mactan, Juan Sebastián Elcano lanjutkan pelayaran.
Mengarung berbagai soal. Armada kapal tersisa, Victoria dan Trinidad, tiba di Maluku pada 6 November 1521. Dari sana Victoria dikomandani Elcano bersama 17 pelayar yang berangkat sejak awal, berikut empat orang Timor. Mereka melalui India, kemudian Samudera Atlantik. Tiba di Sanlúcar de Barrameda 6 September 1522.
Antonio Pigafetta masih turut serta mendokumentasikan catatan pelayaran itu. Mereka berada pada tualang di angka 81.449 kilometer.
Raja Spanyol menganugerahinya bintang penghargaan berupa globe bertuliskan ‘primus circumdedisti me’, Kau yang pertama kali telah mengitariku.
Memang Secara teknis, Juan Sebastián Elcano adalah kapten dari Eropa yang pertama berhasil mengelilingi dunia. Bukan Fernando de Magelhaens, bukan Columbus.
Imperium Spanyol di Asia-Pasifik
Atas nama tahta suci, Spanyol melingkarkan temali kuasa penjajahan. ‘Indias Orientales Españolas’ adalah wilayah Imperium Spanyol di Asia-Pasifik dari 1565 sampai 1898. Pusat pemerintahannya ada di Manila, wilayah ini membentang sepanjang Filipina, Guam, Kepulauan Mariana, Kepulauan Caroline, sebagian Taiwan dan Kepulauan Maluku.
Dari tahun 1565 hingga 1821, area ini jadi area pengerukan Spanyol Baru, dengan kuasa berbasis di Kota Meksiko. Setelah Meksiko merdeka,wilayah ini diperintah langsung dari Madrid.
Kemudian Perang Spanyol – Amerika usai 1898, sebagian besar wilayah ini diduduki oleh Amerika Serikat sedangkan sisanya dijual ke Kekaisaran Jerman melalui Perjanjian Jerman – Spanyol tahun 1899.
Raja Spanyol secara tradisi menggelari dirinya ‘Rey de Las Indias Orientales y Occidentales’, Raja Hindia Barat dan Timur.
Filipina memang menarik dalam sejarah Spanyol. Urusan administratif ditangani oleh Kapten Jenderal Filipina pada masa Indias Orientales Españolas.
Di kemudian hari, tembang sengsara, derita karena dosa, jadi lirik, jadi kebiasaan. Dinyanyikan sebagai puji dalam dialek Tagalog:
“Nuestro Padre Jesús Nazareno | Sinasambá Ka naming | Pinipintuhò Ka namin | Aral Mo ang aming buhay di Kaligtasan || Nuestro Padre Jesús Nazareno | Iligtás Mo kami sa Kasalanan | Ang Krus Mong kinamatayán ay Lebih dari satu Kaligtasan || Nuestro Padre Jesús Nazareno | Dinarangál Ka namin | Nuestro Padre Jesús Nazareno | Nilul’walhatì Ka namin.”
Itulah, “Bapa kami Yesus orang Nazaret. Kami memujamu. Kami muliakan Engkau. Ajaran-Mu hidup dan keselamatan kita. Bapa kami Yesus orang Nazaret. Selamatkan kami dari dosa. Kau mati tersalib tanda keselamatan kita. Bapa kami Yesus orang Nazaret. Kami memuji-Mu. Bapa kami Yesus orang Nazaret. Kami muliakan Engkau,” syair ini dicipta Lucio San Pedro, komposer kelahiran munisipalitas Angono, Filipina, ratusan tahun sesudah perang Mactan.
Padang pertapaan digilas sejarah. Mereka yang tak menurut kuasa mimpi rempah-rempah dan perdagangan pernah dituduh kafir penuh dosa.
Mactan, ladang tempur di lautan. Buho Rock, bekas luka tembakan meriam di dinding tebing, Spanyol menduga kapal musuh di dalam kabut.
Sudah tercatat, perang terbanyak atas nama tahta suci dan mimpi yang diwujudkan dalam marah dan angkuh kuasa.
Semacam Mactan, terkabur kisah entah di Poro.
Pernah anda tahu? Kepulauan Poro adalah rumah bagi bahasa Porohanon, salah satu bahasa yang paling terancam punah di Visayas. Bahasa ini hanya digunakan di pulau-pulau Poro, yang terdiri dari empat kota. Bahasa ini diklasifikasikan sebagai berbeda dari Cebuano oleh Komisyon ng Wikang Filipino dan sangat penting untuk budaya dan seni orang-orang Porohanon.
Terus bermimpi, dalam nyata. Orang-orang, kuasa, masih berebut. (*)
Editor: Denni Pinontoan
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan