Connect with us

GURATAN

Minahasa dalam Politik Indonesia

Published

on

25 Maret 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

DI MASA KOLONIAL, Minahasa pernah memiliki seorang Albert Lasut Waworuntu (1862-1925). Meski ia adalah birokrat Belanda, yang pada banyak hal bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, tapi pada hal tertentu ia harus menyatakan sikap sebagai Tou Minahasa.

Melihat penderitaan yang dialami oleh orang-orang Minahasa akibat pemberlakuan tanam paksa kopi yang sudah sangat lama, Waworuntu akhirnya tiba pada suatu sikap tegas. Ia melayangkan petisi kepada Gubernur Jenderal di Batavia sebagai protesnya terhadap sistem yang menyengsarakan itu. Buntutnya, ia akhirnya harus terlibat konfrontasi dengan W.A. Gallois, orang suruhan sang Gubernur Jenderal.

Lambertus Mangindaan (1831-1897), meski ia seorang yang disekolahkan oleh zendeling hingga ke negeri Belanda, namun terhadap diskriminasi yang dialaminya dan orang-orang Kristen Minahasa lainnya, membuat dia harus menyatakan protes. Ia seorang Minahasa yang rupanya punya visi keminahasaan, sama halnya dengan Waworuntu.

Maria Josephine Catherine Maramis (1872 – 1924) adalah seorang perempuan yang telah berjuang demi hak-hak kaumnya. Ia adalah seorang perempuan Minahasa yang telah menyatakan sikapnya untuk kesetaraan di tengah dominasi politik patrirakis kolonial.

Nosltagia ke masa lalu memang selalu menyenangkan. Tapi ia dapat membawa kita pada kebanggaan semu dan berhenti berpikir serta bergerak. Mereka adalah putra dan putri zamannya. Kini, situasinya sudah sangat berubah.

Namun, setidaknya kisah masa lalu itu dapat memberi pengertian dan perspektif untuk masa kini dalam menghadapi dinamika sosio-politik Minahasa dalam negara Indonesia. Sejarah tidak dapat diulang. Namun, pada kisahnya terkandung spirit dan makna.  Di peradaban manapun, kita dapat menemukan orang-orang yang telah mengesampingkan kepentingan dan kenyamanan pribadinya untuk menyatakan sikap tegas. Entah dilakukan secara spontan, atau berbentuk gerakan yang menyeluruh.

Sejak zaman kolonial, Minahasa sebagai suatu persekutuan hidup atau sebagai sebuah lembaga sosial-politik telah diperhadapkan dengan kekuatan dan kepentingan-kepentingan tertentu untuk mendestruksi hak-hak hidupnya. Minahasa lalu menjadi identitas politik (yang tentu ia berbeda dengan politisasi identitas) untuk mengusahakan cara dan tindakan berkaitan keberlanjutan hak tersebut.

Terdapat banyak faksi politik di Minahasa ketika berhadapan dengan kekuatan kolonial. Jelang Belanda hengkang dari sini, atau ketika Jepang juga kalah dan kekuatan sekutu datang menggantinya setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, faksi-faksi itu masih mewarnai politik Minahasa. Juga begitu dengan masa kini, di era pascaorde baru ini. Artinya, terdapat keragaman dan dinamika politik di Minahasa dalam menyatakan sikapnya.

Dengan begitu, tidaklah kemudian dapat dikatakan, bahwa politik Minahasa itu tunggal. Di banyak lembaga atau kelompok yang terhubung oleh sebuah simbol identitas besar, keragaman dan dinamika adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Ini suatu keniscayaan. Dan, ini baik dalam sebuah proses pengembangann kebudayaan.

Tapi bersamaan dengan itu, selalu saja muncul upaya untuk mengklaim, bahwa ‘Minahasa’ adalah ini, bukan itu. ‘Minahasa’ harus begini, dan tidak boleh begitu. Padahal, pada makna nama saja, ‘Minahasa’ sudah berarti keragaman yang aktif dan dinamis. Dalam sebuah kontestasi politik di era Indonesia, identitas kaum selalu saja menjadi sasaran untuk dipolitisasi, sama halnya dengan identitas agama.

Padahal, apa yang disebut identitas ia tidak pernah tunggal. Juga tidak pernah berhenti dirumuskan. Ia beragam dan dinamis.

Sementara hal yang mendasar yang perlu ditafsir, dan direkonstruksi untuk dimasukan dalam diskurus politik adalah tentang identitas yang terbuka untuk dinegosiasikan dan didialogkan dengan visi hidup bersama. Itulah visi politik kebudayaan yang di dalamnya tentang upaya memperjuangkan pengakuan atas hak-hak kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah kaum.

***

Sebuah pertanyaan perlu diajukan terlebih dahulu. Apakah sudah pernah ada politisi dari Minahasa yang benar-benar membawa aspirasi tou Minahasa, dalam pengertian banyak hal tentang hak atau kehendaknya sebagai sebuah bangsa dalam politik Indonesia pasca orde baru?  Menyebut tou Minahasa, berarti menunjuk pada aspirasinya dalam hal berkebudayaan.

Pertanyaan ini sebenarnya sulit dijawab. Setidaknya karena dua hal ini. Pertama, seorang politisi, baik melalui partai politik (parpol), maupun independen (semisalya calon DPD), ia tidak hanya membawa satu kepentingan. Kepentingan yang disebut-sebutnya untuk Minahasa belum dapat langsung disebut sebagai aspirasi Tou Minahasa dalam hal kebudayaan itu. Kedua, apa yang disebut aspirasi tou Minahasa dalam hal kebudayaan, pada banyak hal sering tidak sejalan dengan maksud politik Indonesia (sebagai negara) itu sendiri dalam banyak aspeknya.

Ambil contoh seorang politisi dari parpol tertentu. Parpol-parpol kita tentu lebih berorientasi pada (ke)kuasa(an) negara, terutama yang mengklaim parpol nasionalis. Sudah tentu sangat sulit berharap pada parpol yang lebih berorientasi pada identitas (agama) tertentu. Seorang politisi yang meski melekat pada dirinya identitas Minahasa atau mengklaim Tou Minahasa, di Jakarta ia akan lebih banyak melayani kepentingan partai, dan sebagai anggota dewan misalnya ia akan lebih banyak mengutamakan kepentingan kokohnya kuasa negara.

Lagi pula, apa yang disebut ‘aspirasi Tou Minahasa’ secara kebudayaan itu? Ada banyak bentuknya. Tapi setidaknya semuanya berkisar pada hak Tou Minahasa atas kebudayaannya. Misalnya, berapa banyak politisi dari Minahasa di Jakarta yang bersuara mempertanyakan kebijakan pemerintah membangun bendungan di Kuwil, Minahasa, yang telah berdampak pada rusaknya waruga-waruga di sana? Atau adakah politisi dari Minahasa yang secara kritis mempertanyakan kebijakan memasukan perusahaan-perusahaan sawit di negeri ‘nyiur melambai ini’?

Hal lain adalah, bahwa pertanyaan di atas berkaitan dengan kesadaran, perspektif dan paradigma dari politisi-politisi ini tentang apa yang dimengerti sebagai aspirasi kebudayaan Minahasa. Dalam desain politik praktis tentu idealisme yang merujuk dari apa saja, selalu menjadi nomor sekian. Terlalu banyak kepentingan dan pesanan yang bermain di dalamnya. Idealisme apapun sering harus tenggelam dalam kepentingan-kepentingan praktis itu.

Aspirasi politik kebudayaan Minahasa, tentu lebih dari sekadar lobi-lobi ke pemerintah pusat untuk membangun jalan tol, kebijakan nasional untuk pariwisata dan lain sebagainya. Atau keberhasilan seorang politisi memasukan investasi dalam skala besar di tanah ini. Sebab meski ia berhubungan dengan kebudayaan itu sendiri, tapi karena perumusannya lebih bertujuan untuk ‘pembangunan’ ekonomi misalnya, maka dalam prakteknya sering mengabaikan atau bahkan mengorbankan apa yang oleh kelompok-kelompok budaya anggap sebagai identitas Minahasa.

Pada hal lain, sebab dari harapan terhadap visi politik kebudayaan Minahasa menjadi seperti mimpi saja, menurut saya paling tidak berkisar pada dua hal ini: Pertama, politik Indonesia masih sangat sentralistik dan monolitik. Politik multikultural belum menjadi pendekatan politik negara ini. Keragaman identitas budaya yang adalah kenyataan negara ini, tapi oleh karena baik ideologi maupun praktek politik masih sangat sentralistik dan monolitik, maka multikulturalitas  bahkan sering ‘tabu’ dibicarakan, sehingga tidak menjadi bagian dari misi politik. Kalau pun sempat dibicarakan atau dicantumkan dalam visi-misi kampanye, ia tidak lebih dari ‘politisasi  identitas budaya’.

Kedua, ini soal mendasar, bahwa kerja-kerja kebudayaan di Minahasa lebih didominasi dan disibukkan oleh ‘politisasi identitas’ sehingga tidak mendasar menyentuh apa yang disebut ‘visi kebudayaan Minahasa’ dalam Indonesia. Oleh karena kerja-kerja kebudayaan kita lebih berorientasi pada simbol-simbol identitas, maka hingga kini, dapatlah dikatakan apa yang disebut ‘visi kebudayaan Minahasa’ itu belum terumus secara sistematis dan komprehensif.

Sehingga ketika nama “Minahasa” dibawa-bawa dalam kontestasi politik elektroral, maka ia sungguh menjadi tidak bermakna.  Perjuangan hak kebudayaan tidak hanya satu cara, yaitu melalui politik elektroral atau politik praktis pada umumnya. Banyak sudah politisi dari Minahasa yang mengambil bagian dalam politik Indonesia, di era ordelama dan ordebaru. Tapi tentu banyak di antara mereka yang setelah karir politik berakhir, maka berakhir pula kebanggaan orang-orang Minahasa. Sebabnya apa, ya karena mereka-mereka ini tidak berhasil melakukan sesuatu yang berkaitan dengan visi keminahasaan yang lebih utuh.

Namun memang, dalam praktek politisasi identitas, silsilah sebagai salah satu rujukan identitas kaum, adalah penting untuk hanya mengatakan, “Lihat dia, Tou Minahasa yang menjadi pemimpin di pusat!” Hanya sampai di situ. Sebab, pada kenyataannya, politik negara ini tidak memberi ruang bagi aspirasi kebudayaan bangsa-bangsa yang membentuknya, meski identitas itu sangat penting bagi yang bersangkutan dan parpol yang menjadi kendaraannya. Pada hal lai, ada bahaya politik yang berkaitan dengan banyak orang lalu hanya berorientasi pada silsilah. Ini dapat bermuara pada rasisme.

Dalam sejarah Minahasa, perjuangan, gugatan atau perlawanan terhadap kekuatan yang menindas; atau cara untuk memperjuangkan yang apa yang menjadi kehendak bersama Tou Minahasa, sering terjadi tidak secara terlembaga  permanen. Sebab, apa yang disebut mahasa adalah sebuah persatuan menyatakan sikap yang terjadi secara temporal karena dipicu oleh situasi, tapi yang terutama karena ia telah menjadi kesadaran kultural.

Upaya menyatakan politik kebudayaan Minahasa sebetulnya tidak sesempit dengan hanya jalur politik praktis. Ada banyak cara yang mendasar dan bermakna untuk upaya itu. Entah itu terbatas di Tanah Minahasa sendiri, maupun itu di level nasional maupun global. Bolehlah kita katakan, bahwa politik kebudayaan itu adalah juga bagian penting dari kerja-kerja kebudayaan, yang sudah dan sementara dilakukan oleh individu maupun kelompok-kelompok yang independen dari politik praktis.

Pemahaman politik kebudayaan Minahasa ini dapat mengantar kita untuk memahami secara lebih utuh dan bermakna apa yang kita sebut dengan menjadi ‘Tou Minahasa’ dan politik Minahasa itu sendiri. Dan upaya melakukan itu tidak harus atau bahkan melampaui prosedur politik elektoral, atau karena memang ini dua hal ini berada di domain yang berbeda.

Contoh kongkrit dari kerja-kerja kebudayaan yang independen dari politik praktis adalah apa yang dilakukan oleh kelompok seni-budaya yaitu Waraney Wuaya, Warembungan. Kelompok ini tetap konsisten dengan visi keminahasaannya, melakukan apa yang dapat dilakukan untuk, misalnya menyelamatkan penanda-penanda jejak para leluhur, yaitu Waruga, dlsb. Beberapa waktu lalu, bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Utara mereka menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Festival Wanua”. Tentu selain mereka masih banyak lagi, baik individu maupun kelompok-kelompok yang melakukan kerja-kerja kebudayaan tersebut.

Meskipun semua itu dilakukan independen dari politik praktis, tapi sebetulnya ia adalah juga tindakan politis. Dalam pengertian, sebagai gerakan kebudayaan, salah satu yang hendak mau dicapai adalah diraihnya kembali hak mengekspresikan identitas keminahasaan di tengah penyeragaman politik negara maupun pasar. Itu juga berarti hak untuk menjadi manusia bermartabat dengan visi kebudayaan yang luhur.

Pada hal lain, demi perjuangan politik kebudayaan Minahasa ini dibutuhkan lebih banyak lagi orang yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, antara semua orang yang berbeda-beda asal-usul atau identitas. Juga terhadap keadilan akses sumber daya alam.  Artinya, misi dari politik kebudayan Minahasa sudah mesti diperluas dan lebih radikal ke hal-hal yang menyangkut hak untuk keberlangsungan hidup bersama.

Visi ini melampaui lebih dari sekadar ada ‘Tou Minahasa” yang menjadi ini dan itu dalam desain politik negara yang pada hakekatnya lebih melayani kekuasaan. Kalau pun memang secara temporer celah politik elektroral digunakan untuk mencapai visi itu, maka salah satu kerja kebudayaan yang belum dikelola secara baik adalah pendidikan politik yang didasarkan pada visi politik kebudayaan Minahasa.

Sebuah pendidikan politik yang berbasis pada makna dan nilai luhur politik itu sendiri, yaitu sebagai cara atau strategi untuk memberdayakan dan menjamin hak-hak hidup bersama. Politik kebudayaan Minahasa berarti pemikiran, gerakan, strategi dan visi untuk keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan bersama semua orang tanpa dibeda-bedakan berdasarkan identitas. (*)


Editor: Daniel Kaligis


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *