CULTURAL
Minahasa dan Amerika ‘Bacirita’ tentang Jepang
Published
6 years agoon
By
philipsmarx17 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Ketika orang-orang berbeda kebangsaan berjumpa, duduk semeja di kedai kopi bacirita tentang satu hal: sejarah perang dan harapan perdamaian
SAYA SEMAKIN akrab dengan kedai kopi yang satu ini. Elmonts Coffee and Roastery di Kolongan Satu, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Sore itu, Rabu 13 Februari 2019, ramai orang di kedai ini. Minum kopi dan bacirita.
Ketika pergi ke kedai ini, saya bersama Gregory Vanderbilt. Ia seorang dari California, Amerika Serikat, yang sejak tahun 2014 menjadi pengajar di Sekolah Pascasarjana Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada. Tahun itulah saya bertemu dengan dia pertama kali. Saya peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman CRCS UGM, dia dosen di situ yang belum lama tiba. Ini pertama kali dia datang ke Tomohon.
“Saat ini saya saat sedang selesaikan tugas di CRCS dan sebelum berangkat dari Indonesia mau ke sana sekali,” kata Greg dalam pesannya via messenger ketika sampaikan rencananya mau datang ke Tomohon.
Rikson Karundeng sudah menunggu di kedai itu sejam lamanya. Ketika kami tiba, dia sedang asyik menikmati secangkir kopi. Segera setelah itu, saya, Greg, Rikson duduk di sebuah meja bagian tengah kedai itu.
“Greg, pemilik kedai kopi ini, kami biasa memanggilnya Emon. Leluhurnya orang Jepang,” kata saya membuka percakapan.
“Oh, ya…” balas Greg.
“Emon mungkin keturunan ketiga,” tambah Rikson.
“Leluhurnya di Jepang, di mana?” tanya Greg.
Saya dan Rikson diam. Perlu konfirmasi ke Emon.
Pemilik dan sekaligus barista di kedai itu adalah Almontana Paat, atau Emon yang kami bicarakan tadi. Ia bertemu dengan istrinya Elizabeth Luise waktu dia bekerja di Jepang. Saudaranya Toar Paat juga bagian dari kedai ini. Toar adalah roaster dan Luise, istri Emon adalah manager. Sejak berdiri, mereka bertekad mengembangkan brand kopi ‘Koya Minahasa’.
Emon lalu mendekat ke meja kami.
“Mo pesan kopi apa?”
“Biasa, Kopi Koya,” kataku.
“Ada yang baru, ‘Kopi Arabika Kartika,” balas Emon.
“Greg, pesan apa?” sambung Rikson.
Greg rupanya blum dapat memilih. Tapi katanya, dia mau yang khas di kedai itu.
Rikson lalu panjang lebar menjelaskan jenis kopi yang khas di situ, kopi ‘Koya Minahasa’. Tapi kata Emon, ‘Koya Minahasa’ belum tersedia.
“Ini yang baru. Kopi Arabika Kartika. Ditanam di kebun, kira-kira sekilo jaraknya dari kedai,” kata Emon yang dilanjutkan dengan penjelasan panjang lebar.
Greg dan saya, memilih itu. Rikson mengikuti, dan ini gelas keduanya.
Saya sengaja mengantar Greg ke kedai itu untuk menikmati kopi yang khas di sini. Namun, sebetulnya tidak hanya sekadar minum kopi, saya punya rencana lain. Ajak Greg bacirita tentang Jepang di situ. Greg tertarik dengan cerita saya sebelum ke sini. Saya bilang, kita mau ke sebuah kedai kopi yang dikelola oleh seorang teman. Dia pernah di Jepang dan bahkan leluhurnya asal Jepang.
Greg tertarik.
Ia punya pengalaman di Jepang waktu meneliti disertasi sebagai mahasiswa PhD jurusan sejarah di University of California, Los Angeles. Sejak akhir 1990-an, sekira satu tahun lebih Greg menetap di Jepang untuk meneliti sejarah kekristenan di sana. Setelah itu, ia bolak-balik di negeri Sakura itu. Hasilnya adalah sebuah disertasi berjudul ‘The Kingdom of God is Like a Mustard Seed’: Evangelizing Modernity between the United States and Japan, 1905-1948. Terakhir ke Jepang, kata Greg tahun 2016. Sebelumnya tahun 2013 dan 2015. Sekira 2 sampai 4 minggu ia tinggal di sana ketika berkunjung lagi.
Sambil meneliti, Greg menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah (Tottori). Ia juga mengajar untuk mahasiswa pascasarjana (di Yokohama dan Kyoto). Greg juga terlibat dalam penelitian komparatif tentang orang-orang yang menderita penyakit kusta. Meski bukan sebagai teolog, tapi Greg berminat pada banyak hal yang tertarik dengan keagamaan.
“Nanti setelah ini, saya mau belajar lagi teologi. Sudah mendaftar di salah satu sekolah di Amerika,” ujar Greg.
Di tengah kami bacirita tentang kopi, datang Robert Paat. Ia adalah ayah dari Emon. Bersama Rikson, kami memang berencana bertemu dengan dia. Robert pemilik Rog’s Cafe yang tempatnya tidak jauh dari kedai ini. Cafe milik Robert akan kami pakai untuk diskusi tentang “Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946” besok. Tapi supaya cerita berlanjut, kami memperkenalkannya dengan Greg. Sedikit saling sapa, berkenalan lalu carita tentang Jepang berlanjut.
Robert ke Jepang lebih dulu dari Emon, anaknya. Kira-kira pertengahan tahun 1990-an ia ke sana.
“Ke Jepang pake ‘visa keturunan’. Visa khusus orang-orang sama deng torang. Leluhur asal Jepang,” kata Robert.
Greg lagi-lagi tertarik.
“Dengar cerita orang tua, kakek orang Jepang itu sudah menetap di Minahasa sejak sebelum Perang Dunia kedua,” ujar Robert.
“Memang banyak sumber bilang, sebelum pendudukan Jepang, sudah ada orang-orang Jepang yang tinggal di sini. Kemungkinan mereka intel yang dikirim khusus,” kata Rikson.
“Ketika Jepang masuk, mereka hilang entah ke mana,” kata saya mengutip sebuah buku yang pernah dibaca. “Mungkin melebur bersama tentara Jepang yang lain,”
“Katanya, luluhur kami itu yang ikut ditangkap ketika sekutu masuk. Dia ditahan lalu dikirim ke Australia. Setelah itu dikembalikan ke Jepang,” jelas Robert.
Kami mendengar seksama tuturan Robert. Menurut penuturan Robert, dalam versi cerita keluarganya, kakek mereka orang Jepang itu ketika di sini pernah mengelilingi beberapa tempat di bagian timur Indonesia.
“Kage stou intel kang?” Sambung Rikson.
Setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945, tanggal 15 Agustus Jepang menyatakan menyerah kepada sekutu. Namun di Indonesia Timur itu nanti terjadi 9 September 1945. Pernyataan menyerah kalah ini dilakukan di Morotai.
“Sekutu memasuki Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, memulangkan mereka ke Jepang dan membebaskan para interniran,” jelas R.Z. Leirissa pada bukunya, Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia: Peristiwa Merah Putih dan Sebab-musababnya, terbit tahun 1977.
Di Indonesia Timur, tugas ini dilaksanakan olehi Australian Military Force (AMF) yang diperkuat ‘Kompi 7 KINL’. Pada 11 September 1945 AMF tiba di Minahasa untuk melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara Jepang yang berjalan tanpa perlawanan. Leluhur Robert salah satunya.
Para intel Jepang yang datang ke Indonesia, termasuk Sulawesi Utara berapa tahun sebelum Perang Dunia Kedua menyamar dengan macam-macam profesi. Ada yang menjadi wartawan, pengusaha, dan lain sebagainya. Jelang masa akhir kekuasaan Jepang, ada di antara mereka yang karena memusuhi sekutu atau juga Belanda, berbalik menjadi bagian dari pejuang Indonesia.
Seorang intel Jepang bernama Tomegoro Yoshizumi yang berteman dengan Tan Malaka berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika sekutu datang melucuti tentara-tentara Jepang yang lain.
Ketika tentara sekutu yang dipimpin Amerika Serikat menyapu tentara-tentara Jepang, di Morotai, Halmahera misalnya, banyak tentara Jepang yang tewas dalam pertempuran, yang lainnya ‘bunuh diri’ ala Kamikaze. Tapi ternyata ada satu dua di antara mereka yang lari ke hutan, dan bersembunyi di sana hingga beberapa tahun setelah perang itu.
Desember 1974, seorang prajurit bernama Teruo Nakamura ditemukan di Morotai. Ia bertahan hidup di hutan selama kurang lebih 30 tahun sejak kekalahan Jepang. Tahun 2005, dua tentara Jepang, Yoshio Yamakawa, berusia 87 tahun dan Tsuzuki Nakauchi, berusia 85 tahun ditemukan di Mindano, Filipina dalam keadaan hidup. Mereka bertahan hidup di sana selama kurang lebih 60 tahun. Yang lain meninggalkan keturunannya.
Di Minahasa, kehadiran sekutu dan Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA) telah memicu gerakan intelektual dan perebutan Tangsi Teling di Manado dan pengibaran bendera Merah-Putih di situ pada tanggal 14 Februari 1946. Peristiwa itulah yang menjadi topik diskusi kami besok yang akan dihelat bersama dengan grand launching kelung.com di Rog’s Cafe milik Robert.
Greg dan Robert lalu bercakap banyak hal tentang Jepang. Mereka menyebut Okinawa, Kyoto, Osaka, Tokyo. Nama-nama yang pernah mereka jejaki. Saya dan Rikson menikmati itu seperti sedang pesiar ke Jepang.
Perang Sudah Usai, Saatnya Bicara Perdamaian
Greg datang ke CRCS UGM melalui Mennonite Central Committee, sebuah organisasi misi gereja-gereja Anabaptis di Amerika Utara.
“Ketika mau ke sini, syaratnya saya harus diutus oleh sebuah lembaga. Karena saya dari gereja Menonite, maka saya diutus oleh Mennonite Central Committee,” ujar Greg kepada saya.
Menonnite adalah satu denominasi dari Kristen Anabaptis. Bentuk kekristenan ini lahir di masa reformasi abad 16. Tapi ia tidak dapat dimasukan sebagai Lutheranisme maupun Calvinisme. Secara populer, Anabaptis sering disebut golongan Kristen reformis radikal. Mereka tidak suka perang dan kekerasan. Cenderung menjaga jarak dengan negara.
“Jadi, Pak Greg, Mennonite liberal,” kataku padanya suatu malam di rumah ketika bacirita.
Greg hanya tertawa.
Varian lain dari Anabaptis adalah Amish. Ini komunitas keagamaan yang lebih radikal lagi. Pengikutnya tinggal di beberapa wilayah di Amerika yang menolak modernisasi atau alat-alat teknologi.
“Mereka membaca alkitab dalam bahasa apa?” Tanyaku.
“Ya, kebanyakan alkitab terjemahan bahasa Jerman tua,” jawab Greg.
Greg selalu menyebut ciri gerejanya ini. Gereja yang cinta perdamaian dan anti kekerasan. Di CRCS UGM ia mengajar mata kuliah yang membahas agama dan globalisasi. Tapi, katanya kepadaku, di Indonesia ia sebenarnya tertarik untuk meneliti kekristenan di masa pendudukan Jepang.
Greg setelah dari Tomohon, rencananya akan ke Ternate.
Sesuai dengan maksudnya, mengelilingi lebih banyak tempat di Indonesia sebelum pulang ke Amerika. Temannya Kelli Swasey, juga dari Amerika dan baru mengakhiri tugas mengajar di CRCS bilang baiknya ia pesiar juga ke John Soucy. John juga orang Amerika yang kini tinggal di Kakaskasen, Tomohon. Datang ke Indonesia tahun 1973. Mulanya bekerja sebagai Resource Specialist Teacher di British Council Indonesia. Setelah selesai di situ, ia ke Manado sebagai dosen bahasa Inggris di Universitas Samratulangi.
Greg bertemu dengan John yang baru kali ia kenal di rumahnya. John dari Boston, Greg dari California. John orang Katolik, Greg orang Mennonite. Tapi keduanya segera menjadi akrab. Sama-sama orang Amerika yang sudah melalang buana. John pernah di Korea, istrinya dari negara itu beragama Budha. Ketika meninggal di Manado, kata John, istrinya dikremasi. John sudah uzur, meski tidak mau mengakui jika ia sudah lansia (lanjut usia). Desember tahun ini ia akan berusia 80 tahun.
Berdua John dan Greg ke Manado. Greg diundang oleh temannya di Institut Agama Islam Negeri Manado.
“Saya sudah di Manado. Tadi sore diskusi di ‘Pusat Studi Masyarakat Muslim di Minahasa’,” kata Greg via pesan messenger Facebook.(*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Merajut Makna Sinarongsongan Wene Hingga Nimawanua Sarongsong
-
Ma’waluy Wo Ma’walun?
-
Makna Situs di Minahasa, Pemuda dan Sebuah Pesan Penting
-
Tradisi Pasiar Jalan: Ungkapan Syukur dan Cara Palamba Memelihara Kebersamaan
-
Patung Sam Ratulangi Dibongkar, Perupa Sulut Gugat Pemerintah
-
Melihat Gastronomi Tana’ Melalui Kacamata Biru