CULTURAL
Monster Nian, Tradisi Mie Goreng, Tebu, dan Angpao
Published
6 years agoon
By
philipsmarx5 Februari 2019
Oleh: Daniel Kaligis
Pernah Nian mengobrak-abrik satu kampung di Jiang Nan. Hampir semua penduduk dilahap. Tapi, ada satu rumah luput, sebab depan pintu rumahnya digantung kain merah
SEHARI SEBELUM IMLEK. Kowtow lalu kui, posisi sujud kemudian berlutut.
Davis dan Cece Natalia berdiri depan altar, membaca doa di hadapan dupa yang sementara menyala. Bara-bara halus memerah menebar asap wangi seisi ruang. Lampion di depan menggantung memberi rona merah pada malam hingga jelang pagi. Lilin-lilin besar kecil di beberapa lokasi. Uang sudah dibakar dihentar bersama doa bagi leluhur dan bagi rezeki terus mengalir. Usai persembahyangan, ‘papoe’ sudah dilempar, dan Ce It selesai, sembahyang awal tahun menghentar persembahan, memohon berkat.
“Papoe itu tanda bahwa sembahyang Ce It sudah selesai. Ce It itu tanggal satu, awal tahun,” jelas Davis, warga Tionghoa Makassar kelahiran Surabaya.
Di Makassar, keramaian Imlek terlihat di sekitar Klenteng Kwan Kong, Jl. Sulawesi. Orang-orang Tionghoa datang ke sana untuk sembahyang sebagai tanda terima kasih kepada para dewa yang telah memberi rezeki pada tahun yang berlalu, dan akan memberi mereka rezeki di tahun menjelang. Mereka membawa lilin, juga membawa berbagai jenis buah, kemudian ditaruh di depan patung para dewa.
Di Cina, anda akan mendengar istilah chunjie (春节). Keramaian ini adalah pertanda Festival Musim Semi sebagai awal tahun di sana. Cuaca masih sangat dingin, tetapi hari libur menandai akhir dari hari-hari terdingin. Orang-orang menyambut musim semi dan apa yang dibawanya: penanaman dan panen, awal baru. Anda juga dapat menyebutnya Tahun Baru Imlek, karena negara-negara seperti Korea Utara dan Selatan dan Vietnam merayakannya juga. Dan karena Festival Musim Semi berjalan sesuai dengan kalender lunar.
Di daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi suku Han signifikan, Imlek dirayakan, menjadi bagian dari budaya tradisional mereka. Di Jepang juga pernah dirayakan sebelum 1873, dan beberapa komunitas Tionghoa di negeri itu tetap memelihara tradisi mereka.
Davis menyebut Imlek dirayakan di daerah yang banyak populasi suku Tionghoa-nya. “Hampir semua kota sudah ada populasi Tionghoa, jadi ini hal lazim sebenarnya. Cuma, di Indonesia pernah dikekang oleh pemerintah yang dulu,” urai Davis.
Imlek dianggap sebagai libur besar untuk orang Tionghoa dan punya pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografisnya. Tersebutlah Imlek di Bhutan, Korea, Mongolia, Nepal, Vietnam.
Menurut saya, satu yang menggelitik dari perayaan Imlek, yaitu tentang mitos monster Nian. Berapa kali bersua Davis, kami selalu bercerita tentang Nian. Sambil bercanda saya bilang, “Ayo Nian.” Ini sebenarnya ajakan makan, saya dan Davis memang suka kuliner. Jadi bila janjian ketemu, gampang memanggilnya, entah dari telpon, atau bila ketemu di mana saja. “Ayo Nian,” bagi saya dan Davis artinya kita makan-makan, atau sekedar nongkrong di warung kopi. Davis dan memang suka hal-hal menantang, utamanya bila ada yang menantang untuk jajan penganan. Termasuk tentang mitos Nian itu yang jadi real bila dia dan saya ketemu. Tangan kami berdua bersaing cekatan memilih makanan untuk ditaruh ke mulut.
“Cerita pengalaman masa kecil ini ji. Kami sering ditakut-takuti orang-orang yang umurnya di atas kami, mereka bilang Nian itu makan apa saja yang terbang di langit dan apa saja yang mereka lihat di rumah termasuk kami akan di makan, kata orang-orang yang lebih tua. Ada juga rasa takut kita sebagai anak-anak, tetapi rasa ingin tahu lebih besar, dan rupanya kami juga memakan segala sesuatu, dari kue dan semua kuliner yang enak-enak,” kata dia sambil tertawa renyah.
Situs Budaya Tionghoa punya cerita menarik tentang monter Nian. Disebutkan, dahulu kala ada binatang namanya Nian. Kegemarannya makan berbagai hal: dari yang terbang di langit sampai yang ada di dalam tanah. Setiap hari seleranya muncul silih berganti. Orang-orang yang telah ketakutan mendengar Nian kemudian menghitung kapan giliran manusia dimakan oleh Nian.
Hasil perhitungan itu tepat 365 hari Nian makan manusia. Kebiasaan Nian makan di malam hari dan kembali ke sarangnya di gunung ketika ayam berkokok. Hari tersebut adalah Guansha, gerbang kesialan yang disebut Nian Guan. Gerbang ini bukan gerbang yang sebenarnya tapi gerbang harafiah yang bisa diartikan sebagai ujian, hambatan. Kalau bisa luput dari hal tersebut maka disebut Guo Nian Guan yang artinya lolos dari bencana hambatan Nian.
Masyarakat kemudian mencari bagaimana cara untuk bisa lolos kemudian masak lebih siang daripada sebelumnya, semua binatang peliharaan diikat atau dikandangkan, dan semua pintu dan jendela rumah ditutup rapat, membersihkan dan mematikan kompor serta mematikan lampu penerangan. Pada masa itu api kompor menyala membara selama setahun dan hanya dimatikan di even tertentu seperti Qingming atau Hanshijie , yaitu festival makanan dingin.
Semua melakukan sembahyang untuk lolos dari Nian. Makan malam dengan jantung berdebar-debar apakah berhasil lolos dari Nian. Demikian orang makan bersama-sama mana tau itu perjamuan malam terakhir. Nian tidak mendapatkan hasil soalnya semua pintu telah tertutup rapat dan diganjal dengan balok dan kondisi gelap gulita dan sulit mendapatkan mangsa sampai pagi datang memaksa Nian untuk kembali ke sarangnya. Tradisi ini dilakukan selama bertahun-tahun.
Suatu saat, Nian mengobrak-abrik suatu kampung di daerah Jiang Nan. Hampir seluruh penduduk dilahap Nian. Tetapi ada satu rumah yang luput karena di pintu rumahnya digantung kain merah. Penghuninya adalah pengantin baru yang juga berbusana merah turut selamat bersama beberapa anak kecil yang lagi bermain api dengan membakar bambu. Nian ternyata takut dengan kain berwarna merah , suara bambu yang meledak terbakar bersama percikan api yang keluar.
Seiring berlalunya waktu, masyarakat tidak takut lagi terhadap Nian, tetapi tradisi masak sambil bergadang untuk luput dari Nian tetap ada sampai sekarang.
Ada banyak orang Tionghoa yang menganggap kata Nian atau binatang buas yang berasal dari masa purba. Kata Nian itu mulai digunakan untuk tahun baru di masa Dinasti Zhou. Sebelumnya di masa Yao dan Shun disebut Zai, di masa Dinasti Xia disebut Sui, di masa Dinasti Shang disebut Ji. Kata Zai bisa diartikan sebagai tahun tapi juga bisa diartikan pergerakan sesuai peredaran bintang-bintang di langit. Kata Sui pada umumnya diartikan sebagai umur, bisa juga diartikan sebagai musim semi telah datang dan usia bertambah satu tahun atau siklus panen setahun sekali. Ji artinya penghormatan , dimasa Dinasti Shang setiap menyambut musim semi ada upacara penghormatan leluhur.
Kalau menilik Jiaguwen, Nian artinya bukan binatang buas yang melahap manusia seperti mitos lainnya yang berkaitan dengan Nian. Nian dalam Jiaguwen diartikan sebagai memanen buah-buahan. Di buku Lishu ditulis artinya biji-bijian yang sudah matang dan bisa dipanen. Lishu juga bukan diartikan sebagai buku kalender pada masa sekarang tetapi buku kalender kuno dan terdapat pada catatan Dinasti Han.
Dilansir dari Tribunnews.com. Menurut salah satu legenda, ada monster bernama Nian (年). Peristiwa itu akan terjadi setiap malam tahun baru. Orang-orang bersembunyi di dalam rumah. Tetapi seorang anak laki-laki cukup berani untuk melawannya menggunakan petasan. Keesokan harinya, orang-orang merayakan kegembiraan karena kelangsungan hidup mereka dengan menyalakan lebih banyak petasan. Dan kemeriahan itu menjadi bagian penting dari Imlek.
***
HARI PERTAMA bulan pertama di penanggalan Tionghoa, mereka menyebutnya 正月, pinyin: zhēng yuè. Serombongan kecil lalu tuju HongLek, resto kecil di tengah kota Makassar. Saya semalam mengikut rombongan ini ke kios HongLek. “Ini sudah jadi kebiasaan keluarga setiap tahun baru. Kami mengajak kerabat dekat berapa yang punya kesempatan untuk berkumpul, lalu makan dan nikmati malam bersama,” ujar Klara.
Di meja sudah tersaji teh hangat, mie hokkian sea food, bihun panggang, capcai, nasi goreng merah, mie kering serta kuahnya. Aroma daging diberi bumbu asin memantik lapar mengundang selera. Mie goreng memiliki peranan penting di setiap acara adat Tiongkok, bukan hanya di acara ulang tahun saja mie goreng juga hidangan wajib yang hadir saat Imlek. Mie kata U’un – kerabat Klara, sesuai tradisi punya makna khusus bagi masyarakat Tionghoa, yaitu simbol umur panjang, kebahagiaan, rezeki berlimpah. “Dalam setiap perayaan menu ini selalu ada, apalagi ketika Imlek dan ulang tahun.”
Di rumah-rumah orang Tionghoa terlihat aktivitas mereka kembali membersihkan ruangan-ruangan, memasang beberapa batang pohon tebu di depan kediaman mereka. “Tebu berarti kesuburan dan kesejahteraan,” ujar Klara.
Di hari Imlek mereka berbagi angpao. Memberi angpao melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Di Tiongkok sendiri, tradisi Imlek lebih beragam. Namun, tema relatif sama, ada perjamuan makan malam, pesta kembang api, dan bagi-bagi angpao. (*)
Editor: Denni Pinontoan