REVIEW
Muda, Koya dan Berbahaya
Published
6 years agoon
By
philipsmarx7 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Di Tomohon, tren kopi arabika dimaknai lebih dari sekedar menyajikan segelas kopi.
SETELAH satu dekade, kembali ke Tomohon terasa seperti bertualang lagi. Banyaknya penanda infrastruktur yang baru, membuat wajah kota terasa asing. Keramahan seperti lenyap dimangsa kebisuan beton. Senyum ramah telah disubtitusi dengan ketergesa-gesaan masyarakat urban yang isolatif. Hingga menemukan teman-teman lama adalah satu-satunya cara agar tidak hilang dan tertelan desain urban seperti para pengelana.
Di kota ini, hangatnya Tjap Tikus seharusnya bisa jadi kawan para penyendiri menghalau udara dingin.
Namun karena hari masih terlalu remaja, walau matahari tampak malu-malu bersinar, mencari segelas kopi adalah alternatif paling mungkin. Lagipula di Tomohon, sejak dua tahun terakhir kopi mulai beranjak menjadi tren baru di kalangan anak-anak muda. Gelombang ini awalnya hanya ditandai dengan mulai menjamurnya kedai-kedai kopi yang menawarkan menu kopi jenis Arabika. Biasanya disajikan dengan metode penyeduhan manual. Teknik seduh yang terinspirasi dari gelombang generasi terbaru kopi yang mewabah sebagai antitesis pascadominasi Starbucks yang membosankan dan membuat lidah kram oleh rasa manis krim dan banjir bandang gula.
Saya memilih menuju Elmonts Coffee & Roastery.
Alasannya sungguh sederhana. Saya mengenal secara pribadi sosok-sosok di balik kedai kopi dan rumah sangrai yang terletak di Jalan Sreko, Kelurahan Kolongan 1, Tomohon Tengah. Kedai ini berhadapan persis dengan sebuah perkebunan kecil yang berada tepat di samping Kantor Kementerian Agama, Kota Tomohon.
Dalam hati, ada keyakinan tentang bonus berlipat ganda jika menunggu malam tiba di sana. Secangkir Arabika pasti akan ditemani pembicaraan yang hangat tentang masa lalu yang lucu, perih, penuh kisah-kisah yang ternyata berhasil mendewasakan tiap-tiap tokoh di kisah tersebut. Juga tentu saja saling bertukar hadiah cerita bagaimana masing-masing kami terpisah, meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk merantau ke negeri lain, menjadi orang asing yang menjual keringat, menghadapi budaya dan sistem sosial yang berbeda, lalu pulang dengan rendah hati setelah mendapatkan pelajaran berharga soal hidup.
Jika dua belas tahun lalu kami diikat oleh ketertarikan pada dunia musik, kini kami berjumpa lagi karena sama-sama sedang belajar menikmati Arabika yang tumbuh di berbagai dataran tinggi Indonesia.
Gelas pertama yang dituang dalam cangkir di hadapan saya adalah Minahasa Koya. Arabika varietas Lini S dan Kartika yang mulai dibudidayakan sejak tahun 2012 oleh para petani di desa Koya, Kecamatan Tondano Selatan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Pendek kata, ini adalah produk arabika lokal pertama dari Sulawesi Utara. Para petani di desa ini rata-rata menanam kopi mereka di ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut.
Meski begitu, pengelolaan kopi Minahasa Koya secara serius dilakukan sejak 2017. Salah satu penandanya adalah dijalinnya kerjasama untuk transfer pengetahuan antara para petani kopi di desa Koya dan Elmonts Coffee & Roastery dengan Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Cabang Jawa Timur. Mereka belajar mengenai cara perawatan perkebunan kopi arabika, yang mencakup proses pembibitan, pemupukan, perawatan dan pemangkasan, penanggulangan hama, pemetikan buah, hingga proses pengolahan pascapanen.
Kopi Minahasa Koya yang diteguk ketika duduk di meja bar Elmonts Coffee & Roastery adalah hasil panen dari pertengahan tahun ini. Biji kopi ini disangrai langsung oleh Toar Paat, roaster utama kedai ini. Meski masih terbatas dari segi kuantitas produksi, secara kualitas kopi Minahasa Koya cukup menjanjikan. Rasa gula merah dan lemon yang cukup kental di tiap tetes kopinya, terasa akrab di mulut seorang peminum Tjap Tikus dan penggemar kuliner kampung halaman seperti saya. Kadar asam yang dikandung Minahasa Koya juga tidak terlalu menyengat hingga tidak akan terasa brutal untuk lidah mereka yang sudah kadung terbiasa meneguk robusta.
Jadi jangan berharap untuk menghindari dari rasa pahit dan asam kopi arabika Minahasa Koya dengan taburan gula manis. Anda tidak akan menemukannya di Elmonts Coffee & Roastery. Para pendiri kedai kopi ini memiliki misi untuk mendidik setiap pelanggan yang datang meneguk kopi di sini. Almontana Paat, Luise Soedjarno dan Toar Paat secara sadar meniadakan sajian kopi bercampur susu kental manis. Bukan soal idealisme kebablasan yang jamak ditemui, tapi sekedar upaya kolektif dari anak-anak muda yang bahkan belum genap berusia 30 tahun. Kontribusi minimal untuk menggerakkan kembali semangat agrikultur yang kini lebam dihajar migrasi ke kota-kota besar.
Tapi mereka memulainya dari hilir.
Dari apa yang mereka punya meski sekedarnya. Dengan rendah hati menyadari bahwa ada banyak hal yang masih kurang karena gelas pengetahuan belum penuh. Hingga terus belajar adalah satu-satunya pilihan logis ketika melangkah maju.
Meski pada awalnya menimba ilmu di Jepang, ketiga pendiri Elmonts Coffee & Roastery tak pernah berkeinginan menjadi pekerja migran di tanah para samurai. Pulang ke kampung halaman dan membangun dari apa yang ada justru ditempuh. Pilihan berbahaya untuk melangkah dan menapaki jejak yang tersisa oleh generasi petani sebelum mereka di Tomohon dan Minahasa. Generasi petani yang pada umumnya kepalang lesu dihajar misi pembangunan yang bersandar pada industri pertanian skala besar dan modal raksasa.
Sebagai orang-orang yang lahir dan tumbuh besar di periode kegemilangan emas coklat, bukan misi yang mudah untuk menghidupkan dan membagikan semangat kepada angkatan muda untuk kembali bertani. Mereka adalah wajah dari generasi patah hati. Barisan muda yang dipandang mewarisi pesimisme dari generasi sebelumnya. Yang akhirnya terobsesi untuk mencari titik aman dengan menjadi ambtenaar di berbagai lembaga negara, kacung di mega korporasi agrikultural atau sekedar menjadi buruh kasar yang mesti menyabung hidup hari demi hari. Apapun itu yang cuma sinonim dengan mengacuhkan lahan pertanian di desa. Sebab desa sudah terlanjur diasosiasikan dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakjelasan masa depan.
Itu mengapa head barista Elmonts Coffee & Roastery, Almontana Paat, bahkan memutuskan untuk mengolah lahan secara mandiri dan menanamnya dengan kopi. Ia beralasan bahwa mendirikan kedai kopi yang mempromosikan kopi arabika lokal belum cukup. Beranjak ke hulu dan menanggalkan kenyamanan di balik meja bar yang dipenuhi perangkat seduh manual. Langkah berani meski berarti mereka mesti mendaki bukit terjal. Ini adalah perjalanan yang dipenuhi ranjau kegagalan, dan tidak semua berani melakukannya. Saya misalnya.
Ketika Minahasa Koya di gelas sudah tandas, saya menyadari bahwa berbicara tentang impian selalu membutuhkan lebih banyak seduhan kopi. Berarti mesti ada gelas berikut yang diseduh secara manual, meski alat berbeda harus digunakan. Jika yang habis saya teguk disajikan dengan V60, maka saya meminta Minahasa Koya gelas berikutnya diseduh menggunakan Aeropress. Dan entah mengapa, menyaksikan seduh manual bagi saya selalu berarti aktivitas kontemplatif yang menyerap energi lebih banyak dari yoga atau memasak menu buatan ibu di apartemen sepi yang terletak di negara asing. Lagipula, kedai kopi sejenis Elmonts Coffee & Roastery bukan tipe yang memberi tengat waktu atau pilihan terbatas mengenai topik diskusi bagi mereka yang datang berkunjung dan mencicip arabika di sini.
Namun jika anda bukan penggemar kopi, jangan lancung patah hati. Ada ruang yang tersedia untuk kalian di Elmonts Coffee & Roastery. Di kedai ini terdapat beberapa minuman racik berbahan dasar buah-buahan segar yang ada di dalam daftar menu. Signature drink mereka adalah jenis yang didominasi rasa pisang dan nanas. Jika butuh jeda di antara gelas-gelas kopi arabika, maka anda bisa memesan Yellow Elmonts. Menu rahasia dan khas ini diracik langsung oleh Luise Soedjarno, salah satu pendiri kedai ini. Walau disajikan tanpa menggunakan gula atau pemanis buatan, rasa manis dari buah-buahan yang digunakan pasti akan terasa lebih dari cukup untuk menyegarkan mulut anda.
Karena memang benar adanya yang dikatakan para pelancong di masa lalu. Bukan jenis minuman yang membuat anda betah duduk menghabiskan waktu di sebuah tempat. Tapi rasa nyaman ketika lidah mencicip yang dilengkapi pembicaraan penuh semangat dan menggetarkan hati dari orang-orang yang hangat. Sebab jika hati dan lidah telah searah, maka dua gelas Minahasa Koya dalam satu hari yang singkat di Elmonts Coffee & Roastery, terasa cukup untuk menyimpulkan dua belas tahun persahabatan. (*)
Editor: Daniel Kaligis