CULTURAL
Mu’ung: Pesan Ilahi untuk Persaudaraan, Kerja Keras dan Upaya Menjaga Lingkungan
Published
2 years agoon
2 Desember 2022
“Menjaga mata air Mu’ung sama dengan menjaga berkat dari Sang Khalik. Menjaga Mu’ung sama dengan menjaga nilai semangat, kerja keras, persaudaraan, kebersamaan dalam masyarakat Minahasa. Secara khusus yang tinggal di Tomohon. Karena kehilangan Mu’ung bukan hanya soal kehilangan pengetahuan tentang hidup dari para leluhur, tapi juga kehilangan kehidupan.”
Penulis: Josua Wajong
TOMOHON, salah satu daerah di tanah Minahasa yang menyimpan kekayaan sejarah, budaya, serta berbagai warisan luhur masa lampau. Itulah mengapa banyak hal menarik yang bisa diceritakan dari wilayah yang diapit Gunung Lokon dan Gunung Mahawu ini. Salah satunya, kisah tentang Tou Mu’ung.
Dahulu, Tomohon merupakan salah satu kecamatan yang ada di wilayah kabupaten Minahasa. Tanggal 27 Januari 2003, Tomohon ditetapkan pemerintah pusat sebagai sebuah daerah otonom. Cerita dalam ingatan masyarakat dan catatan-catatan historis mengurai, kata Tomohon tak terlepas dari kata ‘Tou Mu’ung’.
A. L. Waworuntu dalam bukunya De Oude Geschiedenis der Minahasa,yang ditulis tahun 1891, mencatat migrasi pertama di wilayah ini dipimpin walian (pemimpin agama)Pukul di Kinilow Tua. Pada masa Lumondong, cucu dari Pukul, Gunung Lokon meletus. Beriringan dengan itu, penyakit sampar mewabah. Kondisi itu membuat penduduk Kinilow meninggalkan pemukiman mereka.
Mokoagow memimpin turunannya meninggalkan Kinilow, menuju ke kaki Gunung Masarang. Rombongan ini tiba di satu tempat yang meraka namakan Saruh.
Kemudian cucu Mangangantung dan Mapalendeng, yakni Pondaag, Mamengko, Gosal, Sambuaga, kemudian mendirikan wanua-wanua (kampung): Kamasi, Kinupit, Limondok, Touw un Maayah, Rangihir, Touw un Buntu, dan Lingkongkong.
Di satu masa, para pemimpin di wanua-wanua ini melaksanakan musyawarah. Momen penting itu digelar di kompleks mata air Mu’ung. Pasca peristiwa itu, gugus-gugus wanua mereka mulai disebut ‘Touw Muhung’ atau Tomohon.
J.G.F. Riedel dalam bukunya De Minahasa in 1825 yang terbit tahun 1875, menggambarkan kondisi Tomohon di pertengahan abad 19. Sebuah pemukiman besar di Minahasa. Menurutnya, di waktu itu Tomohon merupakan ibu negeri distrik. Penduduknya kurang lebih 3.000 jiwa, 660 dapur atau kepala keluarga. Mereka terpencar dalam 5 kampung, yakni Talete 635 jiwa, Kamasi 520 jiwa, Paslaten 615 jiwa, Kolongan 460 jiwa, dan Matani 766 jiwa.
Mata Air Berkat Dari Sang Khalik
Mata air Mu’ung adalah penanda peradaban yang terkait erat dengan eksistensi Tou Mu’ung atau Tomohon. Situs yang berada di Kelurahan Matani Dua, Kecamatan Tomohon Tengah, Kota Tomohon ini, masih ramai dikunjungi warga.
Ada sejumlah kisah yang kini hidup di tengah masyarakat soal asal mula kata mu’ung. Salah satunya, terkait opo (leluhur) bernama Wawo Kumiwel. Cerita ini kemudian sering diceritakan masyarakat yang tinggal di seputaran mata air Mu’ung sebagai asal muasal mata air yang hingga hari ini menjadi sumber kehidupan yang menghidupi masyarakat kota Tomohon .
Dikisahkan, pada satu masa ada seorang leluhur Minahasa yang gagah, berani. Naluri berburu untuk bertahan hidup sudah menjadi keahlian leluhur ini. Dalam aktivitas perburuan, ia selalu menggunakan senjata jenis wengkow (tombak). Leluhur Minahasa itu bernama Wawo Kumiwel.
“Ada yang mengisahkan, cerita mu’ung itu bermula dari seorang apo’ yang bernama Wawo Kumiwel. Ia seorang pemburu handal,” tutur Rikson Karundeng, peneliti Minahasa yang kini tinggal tak jauh dari situs Mu’ung.
Dalam ceritanya ia menjelaskan, Wawo Kumiwel memiliki kemampuan berburu yang luar biasa. Hanya dengan sekali lempar, wengkow yang merupakan senjata andalannya dapat membunuh binatang buruan di hutan.
Di satu waktu, ketika ia melakukan perburan di hutan, terjadi suatu peristiwa yang tak terduga. Senjata yang digunakannya tidak mengenai sasaran, melainkan hanya tertancap dalam tanah.
Ketika Wawo Kumiwel mencabut senjatanya, air langsung menyembur kencang dari dalam tanah. Mata air itu yang kemudian diberi nama ‘Mu’ung’.
“Satu masa, Wawo Kumiwel mengejar binatang buruan. Di lokasi Mu’ung sekarang, dia lempar wengkow untuk menyasar target. Sayang, kali ini sasaran tak tersentuh. Wengkow hanya tertanam di tanah. Saat dia mencabutnya, keluarlah air dan mengalir sangat deras,” kata Karundeng.
Cerita tentang Wawo Kumiwel menurutnya terjadi jauh sebelum perdaban Tou Mayesu. “Peristiwa Wawo Kumiwel versi orang Mu’ung di sini, itu sudah jauh sebelum peradaban Tou Mayesu. Masanya jauh sebelum Mokoagow, Mangangantung dan Mapalendeng. Bahkan menurut masyarakat itu terjadi sebelum peristiwa Pinawetengan. Kisah ini juga pernah saya dengar diceritakan penulis sejarah Minahasa asal Tomohon, Bapak Adrianus Kojongian,” sebut Karundeng.
Menurutnya, kisah itu ingin menyapaikan bahwa mata air Mu’ung sudah ada sejak lama. Dari peristiwa itu banyak makna yang tersimpan, ada pesan-pesan yang perlu dimaknai lebih dalam sebagai Tou Mu’ung hari ini.
“Kisah Wawo Kumiwel dan mata air Mu’ung terlihat seperti kebetulan. Tetapi maknanya paling penting sesungguhnya bahwa tidak ada yang kebetulan. Bahkan itu cara Sang Khalik untuk berbagi berkat dengan manusia yang kemudian mendiami Tomohon, sejak zaman lampau hingga hari ini,” terang Karundeng.
Walian Mu’ung dan Mata Air Mu’ung
Cerita tentang Wawo Kumiwel, salah satu dari kisah yang dikaitkan dengan mata air Mu’ung. Cerita lain yang hidup di masyarakat Tomohon, situs itu bermula dari kisah kemarau panjang dan doa seorang walian. Rikson Karundeng, menjelaskan cerita itu masih dituturkan masyarakat yang kesehariannya hidup dari mata air Mu’ung hari ini.
Diceritakan, di satu masa kemarau panjang menerjang sebagian besar wilayah Tomohon. Kondisi itu menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari.
Kegelisahan yang dialami masyarakat, membuat seorang walian bernama Mu’ung tergerak. Ia pun mengadakan foso (ritus) untuk bermohon kepada Sang Khalik, agar memberikan air yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
“Walian, pemimpin spiritual itu bernama Mu’ung,” tutur Karundeng.
Peneliti Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) ini menjelaskan, ritual yang dilakukan adalah foso mahelur. Mahelur sendiri diartikan ‘membujuk’.
Dengan hati yang bersih, doa pun dipanjatkan walian Mu’ung kepada Kasuruan Wangko, yang dalam kepercayaan tou Minahasa adalah sumber segala kehidupan.
“Walian Mu’ung ‘membujuk’ Sang Khalik. Dengan hati yang tulus dia memohon memohon kemurahan Empung Wailan Wangko, karena masyarakat sudah sangat membutuhkan air,” tutur Karundeng.
Dengan keyakinan serta iman yang kuat, seketika doa si walian dijawab oleh Sang Khalik. Air melimpah kemudian keluar dari dalam tanah.
“Saat dia meminta dengan tulus, di situlah peristiwa itu terjadi. Mata air itu kaluar melimpah ruah. Itu bagian dari janji Empung Wailan Wangko bagi orang yang mendiami tempat ini. Bahwa ketika mereka meminta dengan tulus, maka pasti akan diberikan,” tegas Karundeng.
H.B. Palar dalam bukunya Wajah Lama Minahasa yang terbit tahun 2009, menuliskan kisah serupa. Menurutnya, Tomohon berasal dari kata mu’ung. Sebuah nama kolam mata air di Kelurahan Matani Dua, Kecamatan Tomohon Tengah.
Menurut cerita yang dia dapat, mu’ung sendiri berasal dari kisah seorang walian tua. Ketika itu musim kemarau panjang, kekeringan melanda seluruh negeri. Berkat doanya yang tawakal, akhirnya hujan lebat turun dan terjadilah kolam sepanjang 50 kaki dan lebarnya 20 kaki.
Di situ juga sebuah mata air besar muncul dan tetap mengalir sampai kini. Orang kemudian menamai kolam dan mata air itu, ‘mu’ung’. Seperti nama walian yang berdoa di tempat itu. Sementara, penghuni di sekitarnya disebut ‘Touw Mu’ung’. Nama yang kemudian hari dalam penulisan dan pelafalannya menjadi Tomohon.
Tempat Menemukan Solidaritas
Bagi tou Minahasa, ingatan-ingatan tentang Tomohon menyimpan makna yang sangat dalam. Karena itulah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau sangat penting untuk diceritakan serta dimaknai hari ini.
Kisah lain tentang mu’ung, dipercaya berasal dari kata pahumungen atau tempat berkumpul. Karena di tempat itu, sejak mata air itu muncul, masyarakat menjadikannya sebagai wadah berkumpul.
“Orang Tombulu memaknai pahumungan, berkumpul. Di mata air Mu’ung, setiap hari jadi tempat pertemuan. Bukan hanya di zaman dulu, tetapi sampai hari ini. Mu’ung itu menyatukan masyarakat yang tinggal di seputaran mata air,” tutur Rikson Karundeng, menceritakan ingatannya tentang Mu’ung.
Director Komunitas Penulis Mapatik ini menjelaskan, sejumlah data historis mengisahkan jika sejak zaman lampau, mata air Mu’ung sudah menjadi tempat penting di mana masyarakat menggantungkan kehidupannya sehari-hari.
“Mata air Mu’ung tempat bersua setiap hari. Tempat masyarakat mengambil air minum, mandi dan mencuci pakaian. Terutama, Mu’ung jadi tempat berkumpul dan berbagai kisah, ruang kebersamaan di mana mereka menemukan rasa solidaritas dan persaudaraan,” kata Karundeng.
Dari aktivitas ‘baku dapa’ itu, melihat semangat menjaga persatuan tou yang menggantungkan hidup di mata air Mu’ung, kemudian masyarakat menamai orang di sekitarnya dengan ‘Tou Mu’ung’.
“Itu untuk mengatakan bahwa mereka dari sumber dan tradisi yang sama, serta memiliki komitmen yang sama. Makanya orang yang tinggal di seputaran mata air Mu’ung pun menyebut mereka Tou Mu’ung,” sebutnya.
Jelaslah bahwa kisah mata air Mu’ung menyimpan berbagai ingatan penting. Sebuah pesan dari para leluhur untuk anak keturunannya.
“Hari ini, penting kita memaknai kisah persaudaraan dan persatuan yang ditunjukkan leluhur kita. Mata air Mu’ung masih tetap mengalir, untuk mengingatkan orang yang hidup di sekitarnya, bahwa semua yang tinggal di seputaran Mu’ung, di wilayah Tomohon kini, adalah orang-orang yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga persaudaraan dan persatuan,” kata Karundeng.
Kisah Wawo Kumiwel dan walian Mu’ung yang tetap dipelihara adalah ingatan dan pesan, Mu’ung adalah simbol kerja keras dan berkat yang diberikan Sang Khalik. Mata air itu adalah berkat, buah perjuangan dan doa yang tulus. Mu’ung adalah ingatan bahwa kerja keras dan keyakinan yang disampaikan dalam doa yang tulus, pasti akan dijawab dengan berkat dari Sang khalik.
Karena itu, kesadaran untuk menjaga berkat itu perlu tetap hidup, bahkan ditingkatkan. Salah satu cara menjaga ingatan itu adalah dengan tetap menjaga lingkungan agar mata air Mu’ung tetap mengalir dan tetap menjadi pesan Ilahi untuk masyarakat di Tomohon.
“Menjaga mata air Mu’ung sama dengan menjaga berkat dari Sang Khalik. Menjaga Mu’ung sama dengan menjaga nilai semangat, kerja keras, persaudaraan, kebersamaan dalam masyarakat Minahasa. Secara khusus yang tinggal di Tomohon. Karena kehilangan Mu’ung bukan hanya soal kehilangan pengetahuan tentang hidup dari para leluhur, tapi juga kehilangan kehidupan,” ucap Karundeng. (*)
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan