Connect with us

BERITA

Narasi-narasi Damai di Bulan Suci

Published

on

24 Mei 2020

 

Oleh Denni Pinontoan

 

RAMADAN adalah bulan kesembilan dalam kalender Hijriah. Pada bulan itu, umat muslim melaksanakan ibadah puasa. Setelah berpuasa, tanggal 1 Syawal adalah perayaan kemenangan, Idul Fitri.

Bagi orang-orang muslim tertentu, bulan Ramadan dan Idul Fitri selain bermakna kegamaan, namun juga memiliki makna sosial dan kultural. Demikian pula, bagi orang-orang Kristen yang hidup bertetangga dengan orang-orang muslim, bulan Ramadan dan Idul Fitri adalah suatu pengalaman dalam berelasi secara dialogis.

“Bagi saya, baik dari pengetahuan keagamaan yang saya pelajari, maupun pengalaman, bulan Ramadan itu adalah ibadah ritual keagamaan, tapi juga ibadah sosial,” kata Rahman Mantu, dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado dalam diskusi online yang digelar oleh Komunitas Bacirita Gereja dan Masyarakat (Bagema) Sabtu (23/05) sore.

Bulan Ramadan terutama adalah masa bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa. Pada bulan ini, kata Rahman lagi, intensitas silahturahmi, baik antara sesama muslim, tapi juga di tempat-tempat tertentu dengan umat beragama lain meningkat.

“Di bulan Ramadan kan kita melaksanakan sholat teraweh, pengajian Al Qur’an, lalu buka puasa bersama. Di situlah terjadi silahturahmi,” kata Rahman.

Rahman menceritakan pengalaman sebagai seorang muslim yang menjalankan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri di Manado.

“Di Malendeng, Manado yang kebanyakan orang muslim dari Gorontalo misalnya, ada beberapa teman Kristen yang memiliki hubungan baik dengan kami yang muslim,” kata Rahman.

Rahman mengenang bulan Ramadan yang saling berbagi. “Begitu juga ketika berbuka puasa, sering ada orang-orang kristen membawakan makanan untuk berbuka puasa,” ujar Rahman.

Bahkan, kata dia lagi, ada yang ikut bersama-sama dengan mereka membangunkan orang-orang untuk sahur.

“Ada pemuda Kristen karena sering bergaul, maka di bulan puasa, dia ikut bersama dengan kami membangunkan orang-orang untuk sahur. Teman itu tak segan-segan menggunakan atribut-atribut Islam. Itu bentuk nyata dari kerukunan antar umat beragama dan toleransi,” kata Rahman.

Yuliana Jamaluddin, juga dosen IAIN Menado, dalam diskusi itu, menjelaskan makna bulan Ramadan di masa pandemi covid-19 ini. Maknanya, menurut Yuliana adalah menahan diri untuk stay at home.

“Ramadan juga dapat kita maknai di masa pandemi covid-19 ini sebagai ‘karantina’, yaitu masa di mana untuk memperbaiki diri, meningkatkan amal serta kesalehan. Jadi, ada ibadah ritual dan ada ibadah sosial,” jelas Juliana.

Menurut Yuliana, bertakwah dapat juga bermakna sebagai iman yang peduli kepada sesama manusia.

Hal yang menarik dan bermakna juga diungkapkan oleh Rikson Karundeng, salah satu pembicara pada diskusi tersebut.

“Di Kotabunan, umat Islam dan Kristen menyambut secara bersama datangnya bulan Ramadan,” kata Karundeng.

Rikson lalu membagikan pengalamannya masa kanak-kanak hingga remaja di Kotabunan, Bolaang Mongondow Timur. Dari tidur di mesjid, ikut pawai malam Takbiran, makan sahur, dan saling berbagi antara tetangga bertetangga Islam dan Kristen.

Pada suatu hari di tahun 1980an, ketika ia masih kanak-kanak, pas bunyi bedug ada seorang bapak memberikannya kue. Lalu si bapak mengatakan, “Torang kwa sama-sama kawanua.”

Di masa itu, meski dia beragama Kristen tapi sering sekali berkumpul bersama dengan teman-temannya muslim di mesjid.

“Kami anak-anak di Kotabunan sering tidur di mesjid. Subuh membunyikan bedug untuk sahur, dan makan sahur di rumah teman,” kenang Rikson.

Rikson mengenang bulan Ramadan di Kotabunan sebagai hari yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, Islam maupun Kristen.

“10 hari sebelum idul fitri ada tradisi pasang lampu yang terbuat dari obor kecil. Ada juga yang membuat lampu dari buah pepaya mentah yang dibela lalu ditaruh minyak dan sumbu dinyalakan,” kata Rikson.

Dari pengalaman itu, setiap memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri, kata Rikson, dia selalu jadi rindu kampung halamannya, Kotabunan.

“Ramadhan dan idul fitri adalah pengalaman iman,” kata Selfitriani Kulla, pendeta dan dosen di Sekolah Tinggi Teologi GKST, Tentena, Sulawesi Tengah, yang juga berbicara dalam diskusi itu.

Kata Selfi, itu terkait dengan namanya sendiri: Selfitriani. Orang tuanya memberi nama itu kepadanya karena ia lahir pas di hari raya Idul Fitri.

“Setiap datang bulan ramadhan dan idul fitri, saya juga seolah diingatkan untuk membaharui dan menyucikan diri, seperti makna idul fitri itu sendiri,” kata Selfi.

Keluarganya memang memiliki pengalaman berelasi damai dengan orang-orang muslim. Hal inilah yang kemudian menjadi modal bagi mereka ketika melewati masa-masa menegangkan kerusuhan di Poso.

“Kami menyadari betul, bahwa konflik itu terjadi karena kekuatan eksternal. Saya sendiri memahami konflik itu sebagai ujian bagi persahabatan dan persaudaraan kami dengan umat Islam,” ujar Selfi.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *