Connect with us

BERITA

Nasib Pencari Suaka: Anak Bernama Aneh, Sakit, hingga Bakar Diri

Published

on

08 Februari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

kelung.com – Sajad adalah pencari suaka (deteni) asal Afghanistan yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado. Ia sudah menjadi deteni selama hampir 20 tahun. Sudah selama itupula menunggu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) memberikan status refugee atau pengungsi kepadanya. Tapi penantian itu tak kunjung datang. Sebagai bentuk protes, Kamis (07/02) kemarin, Sajad bersama rekannya Mohammad Karim, nekad lakukan aksi bakar diri.

Peristiwa ini terjadi di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado, Jalan Ringroad, Malendeng, Manado, Sulawesi Utara. Sajad yang mengalami luka bakar itu akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Robert Wolter Monginsidi Manado untuk mendapatkan perawatan medis.

Sajad mengatakan kepada reporter Manguni Post, Eka Egeten yang menemuinya, aksi bakar diri yang mereka lakukan adalah bentuk protes terhadap UNHCR. Sadrajat datang ke Manado waktu masih kanak-kanak. Kini, ia sudah fasih berbicara dengan bahasa Melayu-Manado.

“Selama ini PBB terlebih khusus UNHCR telah menginjak torang pe hak. Karna selama 20 tahun ini dorang nda pernah lanjuti, saya ingin bertanya kepada dorang, kenapa?” ungkap Sajad.

Sajad adalah salah satu pencari suaka asal Afghanistan yang sudah dua puluh tahun di Indonesia. Yang lainnya, Mohammad Jacob, Mohammad Karim, Sara, Akeledori, Nor Mohammad, Amira, Mosolah, Anar, Fatenah dan Ali. Sejak 31 Januari tahun ini, mereka dinyatakan tidak lagi menjadi perhatian UNHCR.

Kepala Rudenim Manado, Arthur Mawikere mengatakan, status mereka itu dinyatakan melalui surat dari Komisioner Tinggi PBB untuk pengungsi atau UNHCR nomor 19/NESHCR/3057. Permohonan suaka mereka telah ditolak oleh pihak UNHCR pada tahun 2000.

“Meskipun permohonan suaka mereka telah ditolak pada tahap pertama di tahun 2000 oleh UNHCR, pihak UNHCR telah beberapa kali berusaha untuk kembali mewawancara kedua keluarga tersebut dalam rangka mempertimbangkan kembali status mereka berdasarkan kondisi saat ini di Afganistan,” kata Mawikere.

Pada Desember 2016 dan April 2017, kata Mawikere, UNHCR telah menugaskan seorang staf ke Manado untuk melakukan wawancara. Tujuan mereka untuk mengambil data yang diperlukan. Namun kedua keluarga menolak untuk di wawancarai.

“Jadi dengan ditolaknya mereka oleh UNHCR kemudian mereka menyerahkan kepada pihak imigrasi, institusi negara yang menagani warga negara asing. Hak mereka atau kebutuhan dasar mereka kami setiap hari berikan seperti makan dan minum,” tandasnya.

Bukan hanya Sajad dan Karim yang melakukan protes. Selasa, 5 Februari lalu, seperti diberitakan Berita Manado, dua orang lainnya, yaitu Amira dan Akira, keduanya berusia 44 tahun, juga lakukan aksi mogok makan. Akibatnya, keduanya jatuh sakit dan harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Advent Manado.

“20 tahun menjadi tahanan PBB duka ini tak kunjung berakhir,” keluh Amira kepada wartawan, Rabu (6/2/2019) malam.

Menurut Amira, PBB telah menghentikan bantuan bagi mereka terhitung 1 Februari 2019. Selanjutnya, nasib mereka yang berjumlah 12 orang menjadi tanggung-jawab imigrasi Manado. Protes dilayangkan karena merasa selama ini mereka diperlakukan seperti tahanan. Menu yang mereka konsumsi dalam bentuk siap saji, dirasa tidak cocok.

“Dua adik kami yang masih duduk di bangku SD tidak diperbolehkan sekolah lagi. Kami tidak bisa keluar, pintu digembok dari luar,” kata Yahya (19), imigran lainnya.

“Seperti makanan penjara. Menurut ibu lebih baik berikan bahan makanan nanti ibu sendiri yang memasaknya, kan ibu tahu makanan yang boleh di makan ayah,” tutur Yahya.

Dua adik Yahya itu lahir di Indonesia.

Karena telah 20-an tahun menjalani kehidupan sebagai pengungsi, dua adiknya diberi nama tidak lazim: Tahanan PBB dan Tahanan PBB 2. Yahya dan dua adiknya adalah anak-anak dari pasangan Mohammad Yaqub dan Akilah. Sebelumnya tercatat sebagai murid SD Negeri 54 Manado.

“Kami sudah 20 tahun jadi tahanan PBB. Saya saja lahir di Indonesia, bahkan adik-adik saya diberi nama Tahanan PBB dan Tahanan PBB 2. Sungguh tak masuk akal memberikan nama tersebut terhadap adik-adik saya. Tapi itulah bentuk ketidaksanggupan seorang ibu dengan keadaan yang diterima sekaligus protes,” ujar Yahya.

Jika seandainya mungkin, kata Yahya, ia dan keluarganya lebih memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Tapi syarat 50 tahun tinggal di Indonesia tentu berat bagi mereka.

“Kami terbelenggu dan tak berdaya,” ungkapnya.

Syarat dari PBB, bagi mereka juga sama beratnya. “Kami bisa ditanggung PBB lagi asal melupakan kejadian 20 tahun silam,” kata Yahya.

“Tolong kami, kami juga manusia, negara kami kacau balau, di sini kami tersiksa oleh situasi dan kondisi. Bantu kami, bantu kami bapak ibu yang duduk di instansi hukum dan HAM. Kami berhak untuk hidup, kami berhak untuk mengecap pendidikan,” kata Yahya.

Data tahun 2014 menyebutkan, sebanyak 105 pengungsi Afghanistan ditampung di Rudenim Manado. Sindonews, pada September 2014 memberitakan, dengan hanya bermodalkan kartu dari UNHCR, sebelum tiba di Indonesia, para pencari suaka telah melewati melewati Malaysia untuk menuju ke Australia. Menurut mereka, upaya mencari suaka ke negara lain dilakukan karena negara mereka Afghanistan dalam keadaan perang. Aqis Illabulah, salah satu pengungsi mengatakan, mereka adalah korban kelompok separatis Taliban. Keluarga mereka dibantai oleh kelompok tersebut.

Hingga 2017, jumlah penghuni Rudenim sebanyak 140 orang. Sebanyak 80 orang di antaranya sudah mendapat status refugee (pengungsi). Sisanya masih dalam status asylum seekers (terusir dari negara asalnya).

“Status refugee tersebut mereka dapatkan setelah mendapat review dari UNHCR. Setelah mereka mendapatkan status refugee mereka akan dikirim ke Community House selambat-lambatnya tiga bulan di Makassar atau Jakarta,” kata Kasubsi Registrasi Rudenim Manado, Paul Wowiling, 22 November 2017, seperti dikutip dari Detik.

 

Indonesia: Negara Transit Para Pencari Suaka

Data dari Direktorat Jenderal Imigrasi per 1 Agustus 2012 menyebutkan jumlah pengungsi pencari suaka sebanyak 1.203. Sebanyak 206 imigran berstatus legal dan 996 imigran ilegal.

Sebagian besar imigran ini melarikan diri dari Pakistan dan Afghanistan. Sisanya, Myanmar, Iran dan Srilanka. Mereka umum­nya lari dari tekanan politik dan ekonomi. Para pengungsi ini ditahan di 13 rumah detensi imigrasi (Rudenim) se-Indonesia.

Sementara itu menurut UNHCR Indonesia, jumlah imigran gelap yang masuk ke Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Total imigran gelap di Indonesia saat ini mencapai sekitar 5.732 orang. Jumlah itu terdiri dari pengungsi dan pencari suaka. Pada 2008 sebanyak 389 orang, kemudian meningkat menjadi 3.230. Pada 2009 melonjak lebih dari 800 persen. Pada 2010, angka imigran gelap naik lagi menjadi 3.905 orang dan pada 2011 sampai di angka 4.052 orang.

Urutan negara dengan jumlah imigran dan pencari suaka di Asia adalah Pakistan dengan lebih dari 1 juta orang, Iran sekitar 800 ribu orang, Thailand sekitar 100 ribu orang, Malaysia 98 ribu orang, dan Australia sekitar 29 ribu orang.

UNHCR sudah melakukan pemulangan suka­rela pada 2011 sebanyak 139 orang. Sementara jumlah penempatan ke negara ketiga dari 2001-2011 telah mencapai 1.916 orang.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi, waktu itu dijabat Marwoto, seperti dikutip dari Rakyat Merdeka pada 4 Agustus 2012, mengatakan, masuknya imigran ilegal ke wilayah Indonesia jumlahnya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Meski beresiko pada gangguan kehidupan sosial, politik, keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun kata Marwoto, dari perspektif keimigrasian status orang asing pencari suaka maupun pengungsi diperlakukan sebagai orang asing yang tidak memenuhi peraturan keimigrasian yang berlaku di Indonesia dengan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pemerintah tidak serta merta mendeportasi mereka, tetapi menempatkan pada Rumah Detensi Imigrasi sambil menunggu proses deportasi ke negara asalnya ataupun penempatannya dengan fasilitasi UNHCR ke negara ketiga,” paparnya kepada Rakyat Merdeka.

Negara tujuan para pengungsi ini adalah Australia. Hikmahanto Juwana, Pakar Hukum Internasional UI, seperti diberitakan Rakyat Merdeka, mengatakan, ada lima alasan mengapa para pencari suaka ini singgah di Indonesia sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia.

Pertama, posisi Indonesia yang bertetangga dengan Austra­lia meski dipisahkan dengan bentangan laut yang luas. Kedua, luasnya wilayah laut Indonesia sehingga dapat dimasuki secara tidak sah oleh para imigran. Banyak dari me­re­ka tidak melewati Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di pelabuhan laut dan udara. Ketiga, berbagai peralatan TNI-AL dan Polisi Air tidak memadai untuk menjaga wilayah laut yang sangat luas dari para imigran gelap.

Keempat, di Indonesia harus diakui ada mafia yang memfasilitasi imigran gelap dari sejumlah negara di Timur Tengah untuk sampai ke Australia. Kelima, adanya nelayan dan pelaut yang berani membawa kapal seadanya bagi para imi­gran gelap dengan kompensasi finansial.(*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *