ESTORIE
Onde-onde Rasa Klepon, Bagaimana kisahnya?
Published
4 years agoon
By
AdminOleh Denni H.R. Pinontoan
Orang Minahasa ke Jawa makan ‘klepon’ rasa ‘onde-onde’. Giliran orang Jawa ke Minahasa, makan ‘onde-onde’ rasa ‘klepon’. Bagaimana kisahnya?
ONDE-onde atau klepon? Klepon atau onde-onde? Banyak orang sering bingung membedakannya. Tapi, kedua jenis kue ini bentuknya sama, bulat. Tapi, selain bahan baku, penampakannya jelas berbeda: yang satu dibungkus wijen, yang satu dibungkus parutan kelapa. Yang satu bisa direbus atau digoreng, yang satu lagi hanya direbus.
Di banyak tempat nama dua jenis kue ini sering bertukar, tak jarang bikin bingung membedakannya.
“Yaelah Dewi. Sotoy banget lo. So tahu. Di mana-mana juga ini namanya onde-onde.”
Mereka saling berbalas teriakan. Semua orang menonton saja.
“Aku orang Jawa, di kampungku namanya klepon,” bentak Dewi.
“Ya, udah, sekarang kita buka google. Semua orang selain Jawa menyebut bama makanan ini onde-onde,” Joven langsung mengutak-atik ponselnya. “Nih gue ketik ya. Onde-onde.”
Beberapa detik muncul foto-foto makanan, sama persis seperti yang aku makan. Aku langsung tersenyum. Joven yang benar. Dewi salah.
“Nah, ini namanya onde-onde. Koki terhebat di dunia yang sedang konferensi internasional di Paris juga akan nyebut ini onde-onde. Mantan presiden SBY juga nyebut ini onde-onde.
“Iiih, suka-suka aku dong. Ini namanya klepon. Ya udah kamu jangan minta-minta punya aku kalau mau nyairi ribut.
Dialog itu terdapat dalam novel karya Jombang Santani Khairen berjudul Ninevelove (Hanya untuk Satu Orang, Hanya untuk Kamu) diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2016. Para tokoh fiktif itu tampak sedang mendebatkan mana yang klepon dan mana yang onde-onde. Dialog fiktif itu sebetulnya adalah juga adalah gambaran pada masyarakat kita umumnya.
Di banyak tempat, namanya onde-onde, tapi di Jawa, seperti tergambar dalam novel itu namanya klepon. Atau sebaliknya, di tempat tertentu, macam di Minahasa, orang-orang menyebutnya onde-onde, di Jawa orang-orang menyebutnya klepon. Tapi di Minahasa rupanya orang-orang hanya mengenal onde-onde yang klepon di Jawa itu, sementara onde-onde di Jawa tidak umum di Minahasa.
Di Jawa, klepon adalah jenis kue yang terbuat dari tepung beras ketan, dibentuk bulat sebesar bola pimpong yang diisi dengan gula merah. Cara masaknya direbus dalam air mendidih, lalu jika sudah matang, bola-bola klepon lalu digelindingkan di atas parutan kelapa untuk membalurnya.
Nah, di Minahasa atau juga di banyak tempat seperti yang disebut Jombang Santani Khairen dalam novelnya itu, yang di Jawa disebut klepon itu adalah onde-onde. Jadi, yang mana onde-onde, yang mana klepon?
Di Jawa, yang disebut onde-onde itu terbuat dari tepung terigu ataupun tepung ketan yang digoreng atau direbus yang permukaannya ditaburi biji wijen. Biasanya, di dalam bola onde-onde diisi dengan bubuk kacang hijau. Variasinya terutama warna kulit bola onde-onde.
Klepon yang onde-onde di Minahasa itulah yang mungkin disebut oleh Umar Kayam dalam sebuah esainya berjudul “Oleh-oleh” yang pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat tahun 1987.
Umar Kayam menulis begini:
“Barangkali tidak ada terjemahan yang tepat buat oleh-oleh. Kata Inggris present itu yang sering dipakai orang untuk menerjemahkan oleh-oleh, terasa kurang sreg. Oleh-oleh bukan hanya hadiah. Ia memang bangsanya hadiah, tetapi oleh-oleh bukan hanya hadiah. Lha, apa dong? Ya itu repotnya dengan oleh-oleh. Kalau Mr. Rigen pulang dari Pasar Kranggan membawa klepon dan gatot – tiwul, maka Beni Prakosa akan teriak kegirangan,
“Holee, Bapak bawa oleh-oleh!”
Tetapi, kalau Mr. Rigen membawa klepon dan gatot – tiwul dari pasar buat saya, maka itu bukan oleh-oleh. Saya, meskipun kegirangan, tidak akan bilang,
“Horee, Mr. Rigen bawa oleh-oleh!”
Tetapi mungkin akan bilang,
“Wah, kreatif penuh inisiatif kowe, Gen.”
Mr. Rigen akan sama-sama meringis senang waktu membawa klepon baik buat anaknya maupun buat saya. Tetapi meringisnya itu toh tidak sama. Sekrup mulutnya waktu meringis buat anaknya akan lebih kendor, menandakan adanya hubungan batin yang lebih hangat antara keduanya. Sedang dengan saya, jelas sekrup itu akan lebih kenceng menjepit mulutnya, menandakan pringisan-nya itu pringisan profesional, bahkan pringisan kelas “yang tidak menguasai alat produksi”.
Fungsi klepon buat Beni adalah untuk melestarikan ikatan kasih sayang. Sedangkan fungsi klepon buat saya adalah untuk melestarikan jabatan. Jadi, kreatifitas serta inisiatif untuk pada satu pagi memborong klepon dan gatot – tiwul sampai berbungkus-bungkus itu bagi Mr. Rigen adalah semacam investment kum begitu.
Tetapi apakah oleh-oleh sudah jadi jelas maknanya? Belum tentu! Klepon dari Mr. Rigen buat anaknya, oleh-oleh. Berlian sebesar kenong gamelan Sekaten dari Adnan Kassogi buat pacarnya juga oleh-oleh …
Umar Kayam menyoal salah kaprah membedakan antara oleh-oleh dan upeti. Antara upaya merawat kekeberabatan dengan keserakahan korupsi.
Menurut Sejarah, Bagaimana Benarnya?
Tidak kalah membingungkan juga sebenarnya.
Nonna Cornelia, dalam buku resepnya yang terbit tahun 1859 berjudul, Kokki Bitja ataoe Kitab Masak Masakah India, yang Baharoe dan Sempoerna, yang di Dalalamnja Terseboet Bagaimana Orang-orang Sediaken Segala Roepa-roepa Makanan, Maanisan, Atjaran, Sambal dan IJS (Batavia:’Lange & Co/koleksi delpher.nl) menyebut ‘kwee onde’ (kue onde-onde).
Buku itu mungkin dapat dikategorikan sebagai buku resep tertua berbahasa Melayu yang diterbitkan pada era kolonial. Terbitan tahun 1859 itu adalah edisi kelima, edisi pertamanya terbit tahun 1845.
Nonna Cornelia menulis resep kue Kwee Ondee (kue onde-onde) dalam bahasa Melayu masa itu begini:
“Ambil satoe batok bras ketan, toemboek bikin tepoeng, kaloe soedah haloes taroh sedikit aijer biar kental, jang boleh di boengkoes sama sama itoe goela djawa, itoe tepoeng taroh dalamnja sapottong goela djawa, taroh satoe kwali sama aijer, taroh itoe tepoeng jang soedah di boeng koes sama goela barang lima ataoe anam bidji, kaloe itoe kwee naik di atas aijer angkat taroh di mana itoe klapa di paroed, itoe klapa misti di paroed dahoeloe, itoe kwee bikin rata sama itoe klapa angkat taroh lagi lain di atas itoe klapa sampeh samoeanja abis.”
Deskripsi Nonna Cornelia ini sama persis dengan cara bikin kue onde-onde di Minahasa. Beras ketan, di Minahasa disebut ‘beras pulo’, gula merah disebut ‘gula batu’, biasanya daging kelapa diambil dari buah kelapa yang masih muda. Prosesnya sama persis.
Jadi, yang Nonna Cornelia sebut kwee ondee, itu yang juga orang Minahasa sebut ‘kukis (kue) onde-onde’. Tapi di Jawa, itu yang disebut kue klepon. Itulah mungkin sehingga di dalam buku resepnya, Nonna Cornelia tidak menyebut kue klepon.
Namun, rupanya itu makin jelas berbeda nanti dimulai awal abad ke-20. Buku resep karya Mevrouw Koba M.J. Catenius-van der Meijden berjudul Makanlah Nasi! (eet rijst!) De indische rijsttafel (voor holland) yang terbit tahun 1922 (‘s-gravenhage. Ort & Van Straaten/ koleksi delpher.nl) menyebut nama kwee klepon (kue klepon) dan kwee onde-onde (kue onde-onde).
Resep kue klepon ala Mevrouw Koba M.J. Catenius-van der Meijden adalah begini:
Bahan-bahan: 1. Setengah pon tepung ketan; 2. air hangat; 3. goela djawa kental; 4. garam; parutan kelapa, dan; 5. satu kuning telur.
Cara membuat: Tepung dicampur dengan air, garam dan kuning telur menjadi adonan. Lalu dibuat menjadi bola-bola. Bola klepon diisi cairan gula merah kental. Rebus air yang ditambahkan garam secukupnya dipanci hingga mendidih. Bola klepon persatu-persatu dimasukan ke dalam air mendidih itu. Jika bola klepon mengapung muncul permukaan itu tanda sudah matang. Bola klepon lalu digelindingkan di atas parutan kelapa. Setelah itu siap disantap.
Nah, dari bahan baku dan cara membuatnya, apa yang Mevrouw Koba M.J. Catenius-van der Meijden sebut ‘kwee klepon’ itulah yang Nonna Cornelia dalam buku resepnya yang terbit tahun 1859 itu sebut ‘kwee ondee’.
Bagaimana dengan yang disebut oleh Mevrouw Koba M.J. Catenius-van der Meijden sebagai kue onde-onde? Bahan-bahan kue ini terdiri dari 1. Seperempat pon katjang-idjoe; 2. setengah pon tepung ketan; 3. sekitar setengah pon goela-djawa; 4. dua telur ayam; 5. tiga sendok makan gula putih; 6. secangkir air hangat; 7. sedikit garam; dan; 8. widjènmejan.
Katjang-idjoe direndam satu malam yang sebelumnya telah dimasak dengan air yang sama. Hasilnya adalah bubur katjang-idjoe yang diperoleh dari menyaring air rebusan dari rendaman itu. Goela djawa direbus hingga berbentuk cairan kental lalu tambahkan katjang-idjoe ke dalamnya.
Tepung beras ketan lalu ditambahkan secangkir air katjang-idjoe suam-suam kuku, telur dan gula putih dibuat menjadi adonan, lalu remas menjadi bola-bola kecil. Lalu taruh satu persatu bola-bola itu ke dalam bubur katjang-idjoe yang kental dengan goela djawa. Bola-bola ini dimasak dalam air katjang-idjo, biarkan mengering di atas saringan, kemudian gulingkan dalam widjènmejan, lalu setelah itu goreng dalam minyak mentega.
Kue onde-onde siap disantap.
Resep ala Mevrouw Koba M.J. Catenius-van der Meijden ini rupanya langsung memberi kita gambaran tentang perbedaan antara kue klepon dan kue onde-onde. Entah bagaimana ia berbeda dengan resep ala Nonna Cornelia dalam bukunya yang terbit tahun 1859 itu.
Tapi, daripada kita sibuk-sibuk mencari tahu mengapa antara dua penulis resep itu berbeda menyebut nama, atau bagaimana ia sering bertukar nama di banyak daerah, barangkali yang terpenting sekarang adalah mencari makna dari sejarah perjalanan dan penyebaran dua kue ini.
M.Dinger-Uyldert, seorang peneliti dan penulis budaya kuliner menulis dalam bukunya berjudul Wat De Pot Schaft In Oost En West Recepten Uit 25 Landen terbit tahun 1936 (Nijgh & van Ditmar N.V. Rotterdam/koleksi delpher.nl), bahwa budaya masakan pada suatu negara ditentukkan oleh faktor-faktor, seperti karakter orang-orangnya, tanah dan iklim.
“Meskipun setiap negara dan setiap orangnya tentu memiliki dapur sendiri, orang-orang juga menemukan hidangan yang hampir internasional,” tulis M.Dinger-Uyldert.
Hidangan yang disebut internasional itu, atau dalam arti dapat ditemukan di banyak tempat, apakah kebetulan saja atau bahwa ia adalah hasil dari perjumpaan dan persilangan budaya?
“Sangat menarik adalah penggunaan tepung yang berbeda-beda,” tulis M.Dinger-Uyldert.
Tepung menunjuk pada apa yang dihasilkan, mulai dari gandum, beras hingga talas. Dari yang primitif sampai yang modern, yaitu roti.
M.Dinger-Uyldert seolah mau mengatakan, ada makanan yang bentuknya sederhana, lalu berkembang menjadi modern karena masyarakat setempatnya kreatif, lalu ada yang merupakan pertautan dengan tradisi kuliner budaya lain.
Bagaimana dengan kue klepon dan kue onde-onde. Keduanya rupanya berbasis tepung (beras).
Oleh karena setiap apa yang dimakan suatu komunitas dan cara memasaknya selalu berhubungan dengan manusia yang aktif berbudaya dan kemudian terikat dengannya, maka tradisi kuliner pada akhirnya selalu berkenaan dengan lokus.
Entah dari mana asalnya kue klepon dan onde-onde itu, yang jelas ketika mengetik nama itu di google lalu ia juga menyebut Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, maka itulah kuliner di gugusan pulau ini. Itulah ‘klepon’ dan ‘onde-onde’ yang sudah bercita rasa beragam, dan keragaman itulah yang membuat keduanya memiliki rasa kita.
Di Minahasa, onde-onde, ya onde-onde. Bukankah adalah sesuatu yang luar biasa, ketika ke Jawa orang Minahasa menyantap klepon yang rasa onde-onde? Nah, jika kebudayaan kita berkembang karena keragaman ini, mengapa klepon harus diukur secara bukan kita? Ya, sudahlah. Di meja makan, toh semuanya menjadi akur. Hanya pada orang-orang yang tidak memiliki cita rasa kuliner yang tidak mau akur di meja makan. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa