CULTURAL
Palamba: Negeri Tua Langowan, Tugu Tiga Waraney dan Sejarah Kawasaran
Published
3 years agoon
8 Maret 2022
“Sepanjang jalan, tatapan mereka kosong hingga ke medan pertempuran. Tak ada yang boleh menegur mereka. Buah-buahan dan minuman hanya diletakkan di pinggir jalan oleh penduduk. Kami percaya, ketika itu mereka tak lagi berjalan sendiri. Jiwa para leluhur sudah bersama-sama dengan mereka untuk bertempur.”
Oleh: Rikson Karundeng
WILAYAH ‘Langowan Kota’ kini berkembang luar biasa. Sebuah daerah di Minahasa Tengah, yang memiliki kekhasan dan kisah historisnya sendiri. Bagian dari Pakasaan Tontemboan dengan dialek makela’i.
Dalam tutur masyarakat, penduduk daerah ini sebenarnya dahulu berasal dari tiga pemukiman tua di Minahasa. Palamba, Temboan dan Rumbia. Roong (kampung) Palamba diyakini merupakan pemukiman paling tua di Langowan. Salah satu bukti, sejumlah situs sejarah seperti waruga (makam tua yang hanya bisa ditemui di Minahasa) dan penanda-penanda kehidupan awal di roong tersebut yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
“Data-data yang ada di desa-desa di Langowan kini menyebutkan, Roong Palamba telah ditempati sejak tahun 1500an. Tapi ia nanti berdiri menjadi sebuah negeri yang dipimpin seorang Tonaas (pemimpin negeri) pada tahun 1600-an. Sejarah kampung-kampung kita di Langowan merujuk dari daerah sana (Palamba) sebagai awal leluhur kita, sebelum tumani (pindah, menyebar dan mendirikan pemukiman baru) dan mendirikan pemukiman-pemukiman di pusat Langowan sekarang,” ujar Yonatan Kembuan, tou (orang) Minahasa asal Roong Lowian, Langowan, yang aktif di gerakan budaya Mawale Cultural Center.
Berbagai kisah di masyarakat menyebutkan, Roong Palamba adalah salah satu tempat yang telah dihuni pasca peristiwa “pembagian” di Watu Pinawetengan. Situs sejarah di Minahasa yang menjadi tempat pembagian wilayah awohan (wilayah tempat tinggal, garapan dan perburuan).
“Sumber yang kami dapat, mengisahkan tentang pertemuan orang-orang Minahasa di Pinawetengan. Usai ada kesepakatan soal pembagian wilayah, orang-orang Minahasa ketika itu kembali ke tempatnya masingmasing. Tapi ada juga yang langsung mencari tempat pemukiman baru. Sejak masa pembagian, wilayah Langowan kini telah menjadi bagian dari leluhur kami,” tutur Kembuan.
“Waktu itu, langsung ada yang menempati wilayah Langowan. Seperti Temboan, Rumbia, dan tentu Palamba,” sambungnya.
Peneliti sejarah ini menjelaskan, ada data yang menyebutkan jika daerah Palamba dihuni secara tetap sekira tahun 1428. Ketika itu daerah ini masih hutan rimba. Satu rombongan yang telah melewati perjalanan jauh, beristirahat di tempat itu. Mereka kemudian melihat jika wilayah tersebut sangat baik dan menyenangkan.
Syarat-syarat sebuah pemukiman sepertinya sudah terpenuhi, namun itu belum cukup. Mereka masih butuh petunjuk jelas dari Sang Khalik, apakah mereka bisa diizinkan untuk menempati tempat itu atau tidak.
“Saat beristirahat, mereka mendirikan pondok-pondok dari daun yang orang Tontemboan bilang palapa’. Menurut salah satu versi cerita, nama Palamba berasal dari kata palapa’ itu,” jelas Kembuan.
Usai menggelar upacara, mendengar tanda burung manguni, mereka sangat gembira karena Kasuruan Wangko (Tuhan Sumber Segala Sesuatu) merestui mereka untuk mendiami tempat itu. Maka sejak saat itu, mulailah mereka membuka ladang dan menanam berbagai kebutuhan untuk dimakan.
“Perlahan-lahan daerah Palamba mulai berkembang luas. Penduduknya makin bertambah, maka mereka kemudian bersepakat perlu ada yang memimpin masyarakat itu agar bisa hidup lebih baik dan teratur. Sejak tahun 1600-an itulah, Palamba, daerah tua di Langowan telah dipimpin oleh seorang tonaas,” terang Kembuan.
Perang Kawasaran
Tarian adat Minahasa yang dikenal dengan ‘kawasaran’, selalu merangsang beragam ekspresi setiap mata yang menangkapnya tatkala ditampilkan di hadapan khalayak ramai. Tak hanya menarik untuk dilihat, ‘tarian ritual’ ini juga menyimpan banyak kisah dan makna yang tak kalah memikat. Salah satunya, kisah tentang asal-muasal tarian ini.
Para penutur sejarah Minahasa menyebutkan, kawasaran memiliki keterkaitan dengan Roong Palamba. Ada sebuah peristiwa di masa lampau yang sering mengaitkan Palamba dengan kawasaran.
“Menurut sejumlah data yang kami dapat, sejak abad tiga belas hingga abad lima belas, perairan timur Minahasa, khususnya sekitar Bentenan, sering diserang musuh. Mereka selalu berupaya memperebutkan pelabuhan Bentenan. Pelabuhan strategis dan bisa dijadikan sebagai benteng pertahanan. Banyaknya pedagang yang sering berlabuh di pantai tersebut, membuat daerah ini menjadi sasaran empuk bajak laut untuk merampok,” kata budayawan Minahasa, Rinto Taroreh.
Itu sebabnya Palamba kemudian menjadi kawasan perang. Pertempuran dahsyat sering terjadi antara masyarakat Minahasa yang mendiami daerah ini dengan para perompak yang datang.
“Karena sering diserang, penduduk di wilayah pantai timur Minahasa ini kemudian mundur ke daerah Ratahan dan Langowan kini. Mereka mundur untuk membuat pertahanan bersama dengan pasukan daerah lainnya,” jelas Taroreh.
Kata Rinto, ada sejumlah data lain yang menyebutkan, jauh sebelum abad itu, daerah ini memang sudah sering menjadi sasaran para perompak yang datang dari wilayah Filipina dan daerah timur Nusantara kini.
Taroreh mengungkapkan, kawasaran sebenarnya adalah nama yang berkaitan dengan perang atau sebuah peristiwa heroik tou Minahasa saat bertarung melawan para perompak dari daerah Ternate.
“Menurut cerita orang tua, dulu orang-orang Minahasa di Atep dan Palamba sering diserang para perompak. Mereka biasanya menganiaya, mencuri dan membunuh penduduk yang ada di wilayah ini,” terang penggerak Sekolah Adat Waraney Wuaya ini.
Taroreh mengungkapkan, kisah-kisah yang ia kumpulkan dari warga Palamba dan sekitarnya menceritakan, suatu ketika ada permintaan bantuan dari tou Minahasa di daerah Palamba ke tou Minahasa lain untuk menghadapi para perompak yang sering mengganggu mereka.
“Kebiasaan sejak dulu, ketika menghadapi peperangan, biasanya masyarakat Minahasa yang mendiami wanua atau roong tertentu akan meminta bantuan ke wanua lain. Bantuan itu akan datang secara sukarela dan sebagai wujud tanggung jawab. Sebab, di kemudian hari ketika mereka megalami ancaman yang sama, bantuan akan datang dari tou Minahasa lain yang menjadi sahabat mereka,” terang Taroreh.
“Suatu ketika, para perompak menyerang daerah pesisir timur Minahasa. Waktu itu datang sejumlah waraney (ksatria) dari wilayah Tontemboan yang lain (di luar wilayah Langowan) dan sejumlah waraney dari wilayah Tombulu, yang dipimpin oleh Mandagi, Mameleng, dan satu orang eksekutor yang orang tako skali. Saking dorang tako, deng depe nama dorang cuma ja bilang ‘Wawi Ro’kos’. Jadi nama itu julukan dari dotu mahpupuis (pemburu kepala) ini,” jelasnya.
Di perang Palamba, orang-orang Minahasa berhadapan dengan musuh yang tangguh. Kondisi itu membutuhkan strategi dan pengetahuan yang tinggi agar musuh yang datang bisa dihadapi.
“Orang tua kami menuturkan, tu lawan kata kuat jadi tu paembeten (pengetahuan mistik) musti sekuat lei. So itu, sebelum berangkat dorang masih da tambah sopu sadiki. Ibarat ayam yang da potong akang depe wasal ato kapseti, sampe dorang lebeh panas deng lebeh brani mo bertarung,” tambahnya.
Kisah yang Saya dapat di Roong Palamba, setelah beberapa kali berperang, akhirnya para waraney memperoleh kemenangan. Rasa syukur masyarakat diekspresikan dengan melompat-lompat girang gembira seperti saat rumamba (menyetak-nyentak dalam upacara menempati rumah baru). Inilah asal kata palamba.
“Waktu menang, mereka berjalan dari pantai hingga Palamba. Bukti perang kawasaran ini, diabadikan dengan didirikannya tugu tiga batu berbentuk kepala manusia, yang bagian belakangnya ada kontur burung manguni dan di depannya ada wajah orang. Itu untuk mengenang sekaligus bentuk penghormatan kepada dotu Mandagi, Mamaleng dan Wawi Ro’kos dari Tombulu. Mereka adalah waraney, pemimpin gagah berani yang datang berperang di daerah Palamba,” terang T. Sumual.
Ritual Mahsasau
Kisah yang sama sebelumnya Saya peroleh juga dari para tetua di daerah Tomohon dan sekitarnya. Cerita tentang ‘Perang Kawasaran’ serta keperkasaan Mandagi, Mameleng dan Wawi Ro’kos, tiga pemimpin waraney dari sekitar Gunung Lokon, masih segar dalam ingatan mereka.
“Saat itu, leluhur kami harus mengadakan ritual mahsasau. Sebuah upacara sakral ketika harus berhadapan dengan musuh yang kuat. Usai upacara itu, mereka dihantar oleh bunyi tambur. Para waraney atau ksatria mulai berjalan dari wilayah antara Gunung Tatawiran dan Lokon, menuju derah pesisir timur pantai Minahasa,” kata Steven Sumual, warga Koha, Pineleng.
“Sepanjang jalan, tatapan mereka kosong hingga ke medan pertempuran. Tak ada yang boleh menegur mereka. Buah-buahan dan minuman hanya diletakkan di pinggir jalan oleh penduduk. Kami percaya, ketika itu mereka tak lagi berjalan sendiri. Jiwa para leluhur sudah bersama-sama dengan mereka untuk bertempur,” jelasnya.
Pegiat budaya Minahasa ini memaparkan, upacara khusus itu biasanya hanya dilakukan para waraney ketika harus berhadapan dengan musuh yang sulit ditaklukkan. Para leluhur pun diminta untuk bersama-sama dalam pertempuran.
“Di upacara mahsasau, para leluhur diminta ikut bertempur bersama. Orang Minahasa percaya, kita tak akan ada hari ini tanpa leluhur sebelumnya. Karena itu, di momen tertentu kita merasa pantas untuk membujuk dan meminta para leluhur agar tidak membiarkan kita binasa. Mereka harus bersama, menjaga kita, bahkan bertempur langsung bersama kita. Upacara ini masih dipahami dan bisa dipraktekkan hingga kini di Minahasa. Pengetahuan tentang mahsasau juga tersimpan dalam tarian kawasaran,” terang Sumual.
Orang Minahasa punya kisah gembira dalam ‘Perang Kawasaran’ di Palamba. Sebuah pertempuran yang meyakinkan bahwa para leluhur tak akan pernah membiarkan anak-cucunya yang tengah menghadapi kesulitan dan ancaman.
“Menurut orang tua, mereka akhirnya berhasil menang dalam perang bersama orang-orang Tontemboan, ketika menghadapi musuh di dekat Palamba,” tandas Sumual.
Rinto Taroreh juga menuturkan, tugu penghormatan masyarakat terhadap dotu Mandagi, Mamaleng, Wawi Ro’kos dan para waraney yang bertempur ketika itu, masih berdiri kokoh hingga saat ini.
“Situs budaya yang mengagumkan tersebut bisa ditemukan di wilayah Roong Palamba saat ini. Tak ada duanya di seluruh wilayah Minahasa. Menurut orang-orang tua, dari kisah perang itulah kata kawasaran mulai dikenal masyarakat Malesung (sebutan Minahasa zaman lampau). Itu kenapa situs itu sangat penting bagi kita tou Minahasa,” ungkap Taroreh. (*)
You may like
-
Merajut Makna Sinarongsongan Wene Hingga Nimawanua Sarongsong
-
Ma’waluy Wo Ma’walun?
-
Makna Situs di Minahasa, Pemuda dan Sebuah Pesan Penting
-
Tradisi Pasiar Jalan: Ungkapan Syukur dan Cara Palamba Memelihara Kebersamaan
-
Patung Sam Ratulangi Dibongkar, Perupa Sulut Gugat Pemerintah
-
Melihat Gastronomi Tana’ Melalui Kacamata Biru