ESTORIE
Palema’an, Dotu Mapaliey dan Burung Putih di Laut Biru
Published
2 years agoon
3 April 2023
Bagi tou Lelema, nama kampung mereka adalah ingatan tentang religiusitas dan persaudaraan. Mereka berbeda, tapi memiliki komitmen yang sama untuk tetap menyatu dalam menghadapi segala tantangan. Sementara, dotu Mapaliey merupakan teladan hidup. Jalan yang ia tapaki, harus benar-benar diikuti oleh anak keturunan Lelema di manapun ia hidup dan bereksistensi.
Penulis: Rikson C. Karundeng
DI DEKAT PESISIR pantai utara Minahasa, terdapat sebuah roong atau wanua (kampung) yang dikenal dengan nama Lelema. Bagian dari tanah Tontemboan yang hampir berbatasan dengan wilayah adat Tombulu ini adalah salah satu daerah pemukiman tua di Kecamatan Tumpaan, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Dalam ingatan masyarakat, roong ini sangat erat kaitannya dengan masa perang antara masyarakat Minahasa dengan Kerajaan Bolaang Mongondow di awal abad XVII. Sebuah wilayah yang dahulu menjadi tempat palema’an pasukan mahasa yang hendak maju ke front pertempuran, atau selesai menunaikan tanggung jawab di medan perang.
Walau merupakan bagian dari wilayah Tontemboan, lelema sebenarnya berasal dari bahasa Tombulu. Penjelasan itu dituturkan tua-tua roong Lelema, Festus Rompis.
“Kata lelema itu sebenarnya berasal dari bahasa Tombulu palema’an, yang artinya tempat makan pinang,” kata Opa Festus.
Dikisahkannya, dahulu ketika perang Minahasa dengan pasukan Kerajaan Bolaang Mongondouw begelora, daerah tersebut merupakan tempat persinggahan para waraney (ksatria) untuk beristirahat sambil makan pinang.
“Jadi, saat hendak maju ke medan pertempuran, para leluhur dari daerah Tombulu, Tondano, termasuk Tontemboan di daerah Sumonder, bisanya singgah untuk menggelar ritual di tempat ini. Dalam upacara itu, mereka akan makan pinang, kapur, sirih. Orang Tombulu biasa menyebut pinang dan lain-lain itu lelema’an. Proses makan pinang itu disebut malema’,” jelasnya.
Sebelum kembali ke tempat asal, ritual syukur akan kembali dilakukan pasukan mahasa di tempat ini.
“Begitu juga ketika mereka usai bertempur, mereka akan singgah di sini untuk menggelar upacara syukur. Sambil beristirahat, mereka akan makan pinang. Jadi daerah Lelema semacam tempat upacara, tempat istirahat sebelum dan sesudah mereka bertempur,” sambung Opa Festus.
Masa pertempuran berlangsung cukup lama. Para ksatria yang singgah dan biasa beristirahat di palema’an, ada yang akhirnya memilih untuk menetap di tempat itu. Itu mengapa masyarakat Lelema kini berasal dari keturunan leluhur Minahasa yang berbeda asal. Selain Tontemboan, ada Tondano dan Tombulu.
“Makanya, daerah Lelema dihuni oleh turunan para dotu dari Tolour atau Tondano, Tombulu, termasuk orang-orang Tontemboan yang lebih dahulu telah tinggal di wilayah ini,” ungkapnya.
Daerah Penghadangan Perompak Mangindano
Di masa perang Minahasa melawan Kerajaan Bolaang Mongondow, Lelema juga telah menjadi daerah penghadangan para Mangindanau atau Mangindano. Sebutan orang Minahasa untuk para perompak yang masuk dari pantai (Mangindano dari kata mange in dano yang berarti ‘yang datang dari arah pantai’). Mereka umumnya berasal dari wilayah Mindanau, Filipina, maupun daerah sekitar Maluku Utara kini.
Lelema adalah medan pertempuran antara masyarakat yang mendiami tanah Minahasa dengan para mangindano yang hendak merampas harta benda masyarakat, dan menculik penduduk untuk dijadikan budak.
“Mengapa para dotu sering bertarung melawan para Mangindanau di wilayah ini? Dahulu sungai yang melewati roong Lelema adalah jalur masuk para Mangindanau ke daerah pegunungan Minahasa. Itu telah berlangsung sebelum perang mahasa dengan Kerajaan Bolaang Mongondow. Makanya para dotu Minahasa menjadikan Lelema sebagai daerah untuk mengahadang mereka,” terang Opa Festus.
Berbagai macam cara dilakukan untuk menghadang para perompak. Salah satunya dengan memagari daerah Lelema dengan bulu tutunean. Tumbuhan yang biasa digunakan orang Minahasa dahulu sebagai perlindungan dan benteng pertahanan alami.
“Beberapa wilayah di sekitar sungai ditanami dengan bulu tutunean. Jenis bambu kecil yang penuh duri. Itu cara para dotu untuk menghambat perahu para Mangindanau,” ujarnya.
Tak jarang, kontak fisik harus terjadi. Makanya, daerah Lelema menjadi daerah mematikan bagi para perompak.
“Biasanya dotu-dotu kita mengintai para magindano, lalu menyergap mereka. Tapi bila mereka lolos hingga ke daerah pegunungan, para dotu juga akan menghadang mereka di Lelema ketika hendak kembali,” tutur Opa Festus.
Di masa perang penuh ketegangan itu, ada juga para ksatria Minahasa yang meninggal dalam pertempuran.
“Dua waruga (kubur batu Minahasa masa lampau) yang ada di samping watu tumotowa (menhir tanda pendirian kampung dan pusat ritual) Lelema terakhir, di samping gedung gereja Advent, itu leluhur kita yang meninggal dalam pertempuran dengan Mangindanau. Sebagai tokoh yang sangat dihormati, mereka dimakamkan di situ,” ungkapnya.
Batu Tumotowa Lelema
Roong Lelema masih menyimpan banyak situs budaya peninggalan masa lampau. Baik waruga maupun tumotowa, penanda berdirinya pemukiman itu.
Ketika menyusuri jalur pantai utara Sulawesi Utara dari arah kota Manado, sesudah simpang tiga ke arah Sonder atau resting area yang dibangun pemerintah kabupaten Minahasa Selatan, kita akan menemukan sebuah watu tumotowa atau batu menhir. Tepat di ujung sebelah utara roong Lelema.
Situs itu masih berdiri tegak. Watu tumotawa itu sering disebut masyarakat setempat dengan ‘batu bertumbuh’.
Dalam ingatan masyarakat Lelema, batu itu menyimpan sebuah kisah menarik yang terjadi di masa lampau.
“Menurut cerita orang tua, batu itu sebenarnya berasal dari daerah Tombariri. Suatu masa, salah seorang dotu, pemimpin negeri di Tombariri pernah mengadakan sayembara. Siapa yang bisa mengangkat batu itu, dia boleh menikah deng anak gadis dari dotu Tombariri. Leluhur kami yang ikut sayembara ternyata menang. Ia berhasil mengangkat batu itu,” tutur Opa Festus.
Leluhur Lelema yang ada dalam cerita ini merupakan seorang ksatria terbaik. Ia gagah dan memiliki pengetahun yang dianggap sakti.
Dalam ingatan masyarakat Lelema, ada sebuah lagu dalam bahasa Tontemboan, yang mengisahkan peristiwa tersebut.
“Ada lagu bahasa Tontemboan yang dikenal masyarakat terkait dengan peristiwa itu. Dalam bahasa Indonesia judul lagu itu, ‘Burung Putih di Laut Biru’. Lagu ini menceritakan tentang pesan dari dotu kami melalui burung putih, supaya segera memberitahukan ke warga Lelema, bahwa ia telah berhasil. Ia sudah berhasil mengangkat batu itu, dan akan membawa putri dari pemimpin negeri Tombariri ka Lelema,” kisah Opa Festus Rompis, sembari menegaskan keyakinannya bahwa tidak benar jika batu itu bertumbuh.
Ia memastikan, batu sebenarnya adalah batu tumotowa. Dalam tuturan dan ingatan orang Lelema, roong mereka tiga kali pindah tempat. Tumani pertama kali dilakukan di daerah desa Lelema sekarang. Setelah itu mereka pindah di daerah kobong pece (persawahan) sekarang, di daerah selatan kampung. Tetapi, karena sering dapat gangguan dari ketang (kepiting), para dotu memutuskan untuk pindah lagi di daerah tengah kampung yang sekarang.
“Batu Tumotowa saat pemindahan kampung katiga kali, hingga sekarang masih ada. Batu itu berdiri bersebelahan dengan dua waruga di samping gereja Advent. Menurut cerita turun-temurun, waruga itu adalah waruga dotu yang meninggal waktu perang melawan Mangindanau,” papar Opa Festus.
Watu Tumotowa Lelema Terakhir
Berbagai gangguan telah membuat masyarakat Lelema memindahkan kampung mereka beberapa kali. Setiap mereka tumani, pasti akan digelar sebuah upacara. Upacara pendirian kampung biasanya ditandai dengan didirikannya watu tumotowa.
Selain sebagai penanda berdirinya kampung, watu tumotowa juga biasanya dijadikan pusat ritual dan berbagai macam kegiatan publik oleh masyarakat. Watu tomotowa di samping waruga seperti yang dikisahkan Festus Rompis itu adalah watu tumotowa terakhir roong Lelema.
Waruga yang berjumlah dua buah itu dan watu tomotowa yang dimaksud, mudah ditemukan karena berdiri di tengah roong Lelema. Masih berdiri tegak di samping jalan raya trans Sulawesi.
Sampai awal tahun 2000-an, watu tumotowa itu masih difungsikan oleh masyarakat. Seorang walian (pendeta) tua masih secara rutin menggelar upacara di tempat itu. Terutama di saat serap wangko’ atau mahtambulelen (bulan purnama).
“Dulu katu’ ada Nenek Sorongan yang ja urus tu tumotowa itu. Dia kwa kata dulu sering ja dapa mimpi kong dapa suru mo jaga tu batu. Deri kalu nda mo jaga, torang di Lelema mo susah dapa berkat deng gampang mo dapa macam-macam kesusahan. Mar tu nenek kwa so meninggal brapa taong lalu,” kata Sinyo Mira, warga Lelema yang tinggal di samping Watu Tumotowa itu.
Waruga Dotu Pertama Roong Lelema
Masyarakat roong Lelema masih mengingat siapa saja leluhur mereka yang pertama kali mendiami tempat itu. Termasuk pemimpin masyarakat yang mendirikan kampung mereka.
Warga Lelema menuturkan, leluhur pendiri kampung mereka sebenarnya adalah sosok gagah perkasa yang ada dalam kisah ’Burung Putih di Laut Biru’. Namanya adalah dotu Mapaliey.
“Kalau dotu yang mendirikan kampung ini, waruganya ada di sebelah rumah sini. Namanya dotu Mapaliey. Menurut cerita, dialah yang mengangkat batu di ujung Lelema. Batu itu diangkat dari daerah Tombariri dan dibawa ke Lelema,” terang Om Mira, sembari menunjukkan posisi waruga dotu Mapaliey.
Waruga itu ada di samping jalan trans Sulawesi. Terletak di depan rumah (seberang jalan) tokoh Sulawesi Utara, Max Rembang.
Menurut masyarakat, roong Tumpaan kini berdiri sesudah roong Lelema ada. Dotu Mapaliey juga sosok yang dikenal pertama kali mendirikan roong Tumpaan. Dialah yang membawa sejumlah keluarga dan tumani di tempat itu.
Cerita masyarakat Lelema, dotu Mapaliey adalah sosok yang sakti nan gagah berani. Pemimpin kelompok tou Minahasa yang pertama kali tumani di daerah Lelema. Dia tokoh yang selalu berada di garis depan ketika menghadapi berbagai ancaman yang datang. Pengetahuan, kekuatan, keterampilan bertempurnya, benar-benar diberikan untuk kebaikan, kehormatan, dan untuk melindungi masyarakat yang ia pimpin.
Bagi tou Lelema, nama kampung mereka adalah ingatan tentang religiusitas dan persaudaraan. Mereka berbeda, tapi memiliki komitmen yang sama untuk tetap menyatu dalam menghadapi segala tantangan. Sementara, dotu Mapaliey merupakan teladan hidup. Jalan yang ia tapaki, harus benar-benar diikuti oleh anak keturunan Lelema di manapun ia hidup dan bereksistensi. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa