Connect with us

CULTURAL

Pandemi Covid-19  sedang Mengubah Cara Kita Berpengetahuan  

Published

on

09 Mei 2020


Oleh Denni Pinontoan


Webinar dan diskusi online sedang menjadi trend di masa pandemi Covid-19, ini adalah jalan untuk perubahan besar dalam berpengetahuan

 

“Saya baru saja mengikuti diskusi di ruangan sebelah,” kata Yan Kalampung, dosen di IAKN.

Yan tidak mengatakan itu di saat kami baru saja berpapasan di koridor sebuah hotel untuk menuju ruangan lain tempat diskusi akan berlansung.

Ini kata-kata yang diucapkannya dari rumah dengan laptop yang tersambung internet ketika diskusi online yang digelar oleh Komunitas Bargema baru saja akan dimulai, Sabtu, 2 Mei lalu. “Bergema” akronim dari “Bacirita Gereja dan Masyarakat”, sebuah komunitas yang dibentuk oleh sejumlah intelektual di Sulawesi Utara untuk menjadi wadah serangkain diskusi online.

Pandemi Covid-19 membuat orang-orang mesti tinggal di rumah: bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah.

Yan, dan banyak kawan serta mahasiswanya aktif mengikuti diskusi-diskusi online.

“Belajar dan diskusi dari rumah via virtual ZOOM dan Google meet. Dua tema diskusi yang berbeda,” tulis Nency Heydemans, dosen IAKN yang lain di linimasa Facebooknya pertengahan April lalu.

Pada waktu yang bersamaan, Nency mengikuti dua diskusi dengan topik berbeda. Untuk topik yang satu dia menggunakan Zoom dan yang lain Google Meet, tentu dengan dua perangkat yang berbeda pula. Seperti orang-orang kebanyakan, ini pengalaman yang sangat baru bagi Nency.

Zoom adalah aplikasi layanan konfrensi secara online. Ia menggunakan teknologi komputasi awan (cloud computing). Teknologi ini memungkinkan setiap orang  untuk mengakses pusat pengelolaan data dan aplikasi. Demikian juga dengan Google Meet.

Di masa stay at home karena pandemi Covid-19, banyak orang semakin akrab dengan dua aplikasi telekonferens ini. Meski Zoom disebut-sebut tidak aman, tapi tetap saja ia dipakai oleh banyak individu maupun kantor-kantor pemerintah dan swasta untuk melaksanakan rapat atau seminar virtual.

Teknologi komunikasi sangat menolong para dosen, intelektual atau siapapun yang haus pengetahuan. Seseorang bisa mengikuti beberapa topik diskusi sehari dengan tidak lagi dibatas oleh ruang.

Kamis, 07 Mei lalu, Institut Sejarah Budaya Minahasa (Sebumi) bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Utara menggelar diskusi bertajuk “Spiritualitas dan Praktek Agama (Tua) Minahasa Merespon Wabah”. Topiknya lokal, tapi yang bergabung dalam diskusi itu adalah mereka yang berminat dengan isu ini dari berbagai daerah. Bahkan beberapa di antaranya adalah orang Minahasa yang kini bermukim di Eropa.

“Yang membutuhkan e-sertifikat, silakan tulis nama dan kirim alamat email,” tulis Dr. Ivan R.B. Kaunang, direktur Institut Sebumi di kolom chat Zoom.

Tidak berapa kemudian, sejumlah peserta diskusi membalas dengan menyebut nama lengkap dan alamat email untuk dikirim e-sertifikat atau ‘elektronik sertifikat’.

Mordekhai Sopacoly, sarjana sosiologi agama UKSW yang juga aktif mengikuti web seminar (webinar) atau diskusi-diskusi online berbagai topik  memahami fenomena ini sebagai sebuah perkembangan yang baik, sambil mengingatkan beberapa hal yang perlu diwaspadai.

“Menurut saya, diskusi-diskusi seperti itu sangat baik karena bukan cuma pengetahuan tapi juga memperkuat ikatan antara satu dengan yang lain,” jawab Mor, panggilan akrabnya ketika saya hubungi via Massangger Jumat (08 Mei) malam.

Menurut hasil penelitiannya, ikatan ini diperteguh yang kemudian terejawantah menjadi semacam gerakan sosial. Ini yang disebut dengan istilah “virtual social movement.”

Secara sosiologis, tambah Mor, diskusi via internet ini menjadi ruang ketiga (third space) bagi setiap aktor. Ruang pertama adalah hidup personalnya setiap hari, ruang kedua ialah sosial. “Ruang ketiga menjadi ‘antara’. Semuanya bertemu, baik personal dan publik,” kata Mor.

Ada perbedaan antara diskusi secara langsung yang mempertemukan orang-orang secara fisik dengan secara online yang setiap orang diwakili oleh kode-kode digital.

“Karena itu, akan sangat berbeda bila diskusi atomik dengan diskusi digit. Seolah-olah dalam komunitas online (online community) malah itu digali secara dalam,” tambahnya.

Menurut Mor, dengan diskusi online, justru terdapat kebebasan mengeksplorasi tema.

“Diskusi teologis yang tidak pernah dibahas mendalam dalam ruang kedua atau pun digeluti pribadi dalam ruang pertama, semuanya tercurah dalam ruang ketiga atau dunia ketiga. Perdebatan bahkan bisa masif terjadi dalam dunia online,” lanjutnya.

“Apakah ini akan mendorong demokratisasi pengetahuan yang semakin luas?” Tanyaku.

“Dari segi pengetahuan itu bisa terjadi, tapi dari segi demokratisasi masih perlu diperdalam lagi,” katanya.

Mor mengingatkan tentang hal yang perlu diwaspadai dalam dunia digital, yaitu bahaya cyber terrorism.

“Artinya perlu ada pengembangan komunitas online dan keamanan itu yang terpenting. Buku saja bisa disita, apalagi blokir online itu bisa saja terjadi. Selain itu, prinsip kehati-hatian dalam dunia ‘cyber’ perlu diperhatikan. Sebab dunia yang sekedar amfibi ini manusia seperti dalam konsep sosial ‘panoptikon’, hidup dalam penjara, sering diawasi, bahkan tidak bisa berbicara seenaknya,” katanya menjelaskan.

Bersiap untuk Perubahan Besar

“Pandemi memengaruhi jiwa kita dengan tiga cara: Ini memengaruhi cara kita berpikir, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan apa yang kita hargai,” tulis Arie Kruglanski, Profesor Psikologi di  Universitas Maryland dalam artikelnya berjudul “3 Ways the Coronavirus Pandemic is Changing Who We Are”, termuat pada theconversation.com, 20 Maret 2020.

Cara berpengetahuan juga berubah. Teknologi digital memiliki peran yang besar bagi orang-orang untuk tetap dapat belajar di masa krisis ini. Pada banyak hal praktek di tengah krisis ini sedang menggambarkan akan terjadinya perubahan besar.

“Di dunia di mana pengetahuan hanya berjarak satu klik, peran pendidik juga harus berubah,” tulis Poornima Luthra dan Sandy Mackenzie pada artikel mereka berjudul “4 ways COVID-19 could change how we educate future generations”, termuat pada www.weforum.org, 30 Maret 2020.

Luthra adalah Pendiri dan Kepala Konsultan ApS Consultated TalentED.  Sementara Makenzie adalah  Director Copenhagen International School.

Krisis Covid-19 membuat pendidik, lembaga pendidikan, peserta didik dan pengetahuan terdesak untuk berubah. Pandemi ini membuat anak-anak sekolah dan mahasiswa harus belajar dari rumah. Internet dan perangkat-perangkat teknologi digital mengganti peran guru, dosen di depan kelas, papan tulis, dan lain sebagainya. Semua ini berkaitan dengan perubahan cara mengakses dan memproduksi pengetahuan.

“Krisis COVID-19 mungkin mengubah dunia kita dan pandangan global kita; itu juga dapat mengajari kita tentang bagaimana pendidikan perlu diubah,” tulis Luthra dan Mackenzie.

Apa yang sedang terjadi di tengah pandemi ini tentang cara orang berpengetahuan, menggambarkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Luthra dan Mackenzie menegaskan, Covid-19 mengambarkan tentang orang-orang yang terhubung secara global.  Tidak ada lagi isu dan tindakan yang terisolir secara lokal. Untuk dapat sukses di masa depan, orang-orang mesti memahami bagaimana pentingnya bekerja secara kolaborasi global.

Hal kedua yang mereka ingatkan adalah pentingnya mendefinisikan ulang peran pendidik. Di era ini peran pendidik sebagai orang yang menanamkan kebijaksanaan, tidak lagi relevan. Itu karena teknologi telah membuka akses pengetahuan seluas-luasnya.

Hal ketiga terkait konten. Di era ini, kata mereka berdua, pengetahuan mesti mendorong kemapuan “kreativitas, komunikasi dan kolaborasi, di samping empati dan kecerdasan emosional; dan mampu bekerja melintasi garis demografis perbedaan untuk memanfaatkan kekuatan kolektif melalui kerja tim yang efektif.”

Hal keempat adalah pengembangan teknologi pendidikan. “Pendidik di seluruh dunia mengalami kemungkinan baru untuk melakukan sesuatu secara berbeda dan dengan fleksibilitas yang lebih besar menghasilkan potensi manfaat dalam aksesibilitas untuk pendidikan bagi siswa di seluruh dunia,” tegas keduanya.

Dari keempat hal itu, satu hal prinsip yang mesti diingat menurut mereka adalah bahaya hilangnya interaksi sosial secara fisik. Relasi-relasi yang melibatkan diri secara utuh, bagaimanapun adalah kebutuhan dasar yang tidak boleh tergantikan dengan layar.

Untung saja, situasi krisis ini membuat orang-orang menjadi semakin sadar pentingnya hubungan sosial. Kecemasan dan ketakutan karena wabah membuat orang-orang mesti mencari kekuatan bersama.

Pandemi ini mendorong orang-orang untuk “menempatkan hubungan sosial pada tingkat yang lebih tinggi, memperkuat keterikatan seseorang kepada orang lain, meningkatkan penghargaan terhadap orang yang dicintai, keluarga dan teman-temannya,” kata Profesor Arie Kruglanski. (*)


Editor: Daniel Kaligis


 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *