ECONEWS
Papendangan Mapantik: Menulis Tambang di Tanah Minahasa
Published
1 year agoon
30 September 2023
Penulis: Rikson Karundeng
TONDANO, Kelung.id – Garis sejarah kehadiran perusahaan tambang emas di Jazirah Utara Selebes tergores panjang. Wilayah ini telah dikeruk, dulang mineral telah dimainkan para kapitalis sejak era kolonial. Jejak industri pertambangan modern itu masih bisa disaksikan hingga hari ini.
Beberapa dekade belakangan, sederet perusahaan tambang raksasa menyerbu daerah Nyiur Melambai. Usai PT Newmont Minahasa Raya, Sulawesi Utara pun telah dikaveling perusahaan-perusahaan itu menjadi wilayah kontrak karya mereka. Di tanah adat Minahasa saja, paling tidak tercatat ada PT Archi Indonesia (PT Meares Soputan Mining, 31.000 Ha dan PT Tambang Tondano Nusajaya, 9.000 Ha) di Minahasa Utara, PT Sumber Energi Jaya (822 Ha) di Motoling, Minahasa Selatan, Touluaan Selatan (836 Ha) dan Ratatotok (301,44 Ha) Minahasa Tenggara, PT Kencana Mulia Jaya di Motoling (2.000 Ha) Minahasa Selatan, PT Ratatotok Mining (81.26 Ha), PT Hakian Wellem Rumansi (100 Ha) dan PT Bangkit Limpoga Jaya Ratatotok (41.38 Ha), ketiganya di Ratatotok, Minahasa Tenggara.
Sejak masuk, masa pembebasan lahan, proses eksplorasi hingga eksploitasi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang itu, tak sedikit persoalan yang terjadi. Warga pemilik tanah adat sesungguhnya sering menjerit saat berurusan dengan perusahaan pemburu mineral. Ada yang mengeluh karena lahan mereka direbut paksa, para tokoh pejuang masyarakat protes karena dikriminalisasi, berbagai elemen masyarakat menjerit pedih akibat kegiatan tambang yang menimbulkan dampak lingkungan yang mengancam kehidupan.
Kondisi seperti itu seringkali memantik konflik, baik dengan masyarakat yang sejak lama telah tinggal di wilayah kontrak karya maupun dengan lembaga yang memberi perhatian bagi persoalan lingkungan hidup dan persoalan hak asasi manusia. Belum lagi berbagai persoalan sosial dan terkoyaknya tradisi budaya masyarakat akibat kehadiran perusahaan tambang.
Beberapa catatan persoalan itu jadi dasar bagi media Kelung dan Cultural Survival untuk menggelar kegiatan workshop menulis, Sabtu, 30 September 2023 di Tondano. Catatan Kelung, persoalan lain yang digumuli oleh masyarakat adat maupun para aktivis peduli lingkungan dan persoalan hak asasi manusia, sedikit sekali penulis dan media massa yang memberi perhatian serius terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di tanah adat Minahasa, Sulawesi Utara.
Ada media yang terlihat enggan memberitakan persoalan yang terkait dengan perusahaan tambang. Sementara, dari beberapa media yang memberitakan persoalan yang terjadi, justru sering menyajikan data dan informasi yang dinilai tidak tepat. Bahkan, ada yang cenderung menyudutkan masyarakat dan para aktivis yang melakukan advokasi. Lebih parah lagi, sebagian media terkesan menjadi “humas” pemerintah dan perusahaan tambang saja.
Hasil analisa dari diskusi-diskusi Kelung yang melibatkan para penulis-jurnalis, akademisi dan aktivis peduli masyarakat di lingkar tambang, ada sejumlah persoalan yang menjadi penyebab. Beberapa di antaranya coba diseriusi Redaksi Kelung.id. Seperti, adanya penulis atau jurnalis yang kurang memahami tentang hal-hal yang terkait dengan pertambangan. Hal lain yang ditangkap Kelung, ternyata ada banyak aktivis cukup memahami persoalan dan ingin mempublikasikan informasi itu ke masyarakat luas, namun terkendala soal teknis menulis dan media yang akan menyajikan tulisan mereka.
Menulis tentang pertambangan memang tidak mudah, namun tidak juga sulit. Tidak mudah, karena pengalaman ada banyak persoalan yang harus dialami jurnalis dan aktivis ketika mengumpulkan data, kemudian menulis tentang perusahaan tambang dan persoalan ikutannya. Faktanya, ada yang sampai mengalami intimidasi, kekerasan, bahkan dikriminalisasi. Tidak juga sulit, karena fakta lain ada tulisan, karya jurnalistik luar biasa yang dihasilkan para penulis tentang kehadiran perusahaan tambang dan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat. Dari sini dapat dipahami betapa pentingnya pengetahuan tentang pertambangan bagi para jurnalis dan aktivis yang mau menulis, betapa penting memahami kondisi dan persoalan di lapangan, dan terutama soal etika jurnalis serta proses jurnalistik yang tepat saat melakukan liputan agar bisa melahirkan karya jurnalistik yang sesungguhnya.
Kesadaran tentang persoalan-persoalan itu sejalan dengan visi Kelung untuk menciptakan media yang bisa menjadi “penjaga” batas kebenaran faktual. Pada dasarnya ini bukanlah impian Kelung, karena itulah jurnalisme yang sebenarnya.
Kelung bertujuan untuk menghadirkan media dengan kualitas jurnalisme yang harus dimiliki dalam setiap karya jurnalistik. Itulah dasar yang membuat Kelung merumuskan visi “menjaga batas”, namun bukan mengklaim sebagai pihak yang paling berkuasa menjadi “penjaga”, melainkan dengan segala karya jurnalistik Kelung. Kesadaran, dan itulah yang membimbing para penulis Kelung, semuanya didedikasikan untuk “melestarikan peradaban”. Sebuah peradaban yang tetap terpelihara melalui kesadaran, hati nurani, dan intelektualisme, salah satunya karena peran media dalam menyajikan informasi faktual. Selain itu, Kelung juga ingin masyarakat adat Minahasa mempunyai kemampuan mendokumentasikan budayanya sendiri, memiliki kemampuan jurnalistik dan menulis, dalam upaya pelestarian dan konservasi budaya Minahasa.
Alasan itulah yang membuat Redaksi Kelung menggelar kegiatan workshop menulis bertajuk “Papendangan Mapantik” dengan tema, “Menulis Tambang di Tanah Minahasa”. Nama kegiatan ini sengaja dipilih, dengan harapan proses “baku berbage” bisa berlangsung dengan semangat dan nilai papendangan (sistem pendidikan tradisional Minahasa), serta semua yang akan menjadi pemantik, belajar mapantik (menulis) dapat menjadi guru yang boleh saling memperkaya satu dengan yang lain.
“Pada kegiatan workshop menulis kali ini, Kelung didukung oleh Cultural Survival. Sebuah organisasi masyarakat adat nirlaba yang mendukung kelompok masyarakat adat dan media di berbagai belahan dunia untuk memperkuat kapasitas platform komunikasi penting ini dan berfungsi sebagai sarana informasi, pendidikan dan partisipasi berbagai sektor, serta suara masyarakat adat di masyarakat,” kata Pemimpin Umum Kelung, Lefrando Andre Gosal.
Kegiatan workshop menulis yang diberi nama “Papendangan Mapantik” dengan tema “Menulis Tambang di Tanah Minahasa” ini digelar di Wale Kelung, Tondano, Minahasa. Kegiatan diikuti oleh 30 orang pemuda adat Minahasa dari tanah Tonsea, Toudano, Tombulu, Tontemboan, Tonsawang, dan Ponosakan. Gosal menjelaskan, tujuan workshop ini di antaranya agar peserta dapat mengetahui tentang sejarah pertambangan di tanah Minahasa, Sulawesi Utara, dan berbagai fakta persoalan lingkungan, hukum, sosial, yang muncul. Peserta juga diharapkan dapat mengetahui tentang pengalaman para aktivis dalam melakukan advokasi terhadap persoalan-persoalan terkait tambang di tanah Minahasa.
“Peserta diharapkan mendapat pengetahuan jurnalistik, keterampilan menulis, dan pemahaman mengenai bagaimana menulis tentang tambang. Mereka boleh menyadari tentang pentingnya melakukan advokasi persoalan tambang melalui tulisan atau karya jurnalistik. Peserta juga diharapkan terajak untuk menulis tentang tambang dan berbagai persoalannya di tanah Minahasa. Kita semua ingin semakin banyak orang yang terlibat dalam gerakan menulis tentang tambang dan berbagai persoalan yang muncul,” jelasnya.
Hadir sebagai pemantik dalam kegiatan ini, penulis yang juga akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado, Denni Pinontoan. Ia membahas tentang “Perusahaan Tambang dan Berbagai Masalah yang Mengiringi”. Ada Pendeta Ruth Wangkai, peneliti Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) yang menjelaskan tentang “Kehadiran Perusahaan Tambang dan Masalah Perempuan-Anak”, pengacara juga Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum Manado, Satriano Pangkey, yang membedah “Persoalan Hukum di Sekitar Tambang dan Pengalaman Advokasi”, serta Ketua Pengurus Wilayah (PW) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, Kharisma Kurama yang berkisah tentang “Perusahaan Tambang dan Pengalaman Masyarakat Adat di Nusantara”. Peserta juga mendapat pengetahuan tentang jurnalistik dan belajar menulis bersama Pemimpin Redaksi Kelung, Rikson Karundeng lewat materi “Menulis Tentang Tambang”.
“Workshop ini bagian awal dari proses belajar bersama yang akan dilakukan Kelung dengan para peserta selama beberapa bulan ke depan,” kata Leon Wilar, penulis Kelung yang turut menjadi peserta workshop. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan