Connect with us

GURATAN

Paradoks Kebahagian

Published

on

05 November 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

Kebahagian adalah tujuan hidup tapi sekaligus ia paradoks dengan kenyataan

 

ORANG-orang Indonesia ternyata tidak sebahagia orang-orang Singapura, Thailand, Filipina dan Malaysia. Namun Indonesia sedikit lebih bahagia dari Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar.

Itu jika mengikuti World Happiness Report (WHR) 2019 yang baru saja dirilis. Laporan tersebut memuat hasil survei tentang peringkat kebahagian penduduk di 156 negara. Negara paling bahagia se dunia menurut laporan itu adalah Finlandia.

Indikasi tingkat kebahagian yang menjadi acuan WHR mengacu dari beberapa faktor, terutama tiga faktor yaitu hubungan antara pemerintah dan kebahagiaan; dukungan sosial dan perubahan dalam teknologi informasi.

WHR pertama kali diluncurkan oleh Majelis Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada April 2012.

Laporan ini dibuat United Nations Sustainable Development Solutions Network dalam kerjasama dengan Ernesto Illy Foundation. Tahun ini WHR fokus pada kebahagian dan komunitas. Laporan ini disusun oleh sejumlah ahli yang bekerja secara independen.

Dalam bab tentang kebahagian dan dukungan sosial komunitas pada laporan ini antara lain dibahas hubungan antara kesukarelaan memberi atau kedermawanan dengan tingkat kebahagian. Hal ini saling terkait dengan praktek-praktek berelasi antara individu atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.

Disimpulkan dalam ulasan tersebut, bahwa tingkat kedermawanan seseorang secara individual terkait pula dengan situasi atau keadaan emosi. Orang-orang dapat menjadi lebih dermawan ketika emosinya sedang dalam keadaan baik. Emosi yang positif ini dirangsang oleh lingkungan sosial dan lingkungan alam yang baik pula.

Faktor lain yang ikut mendorong adalah dampak dari tindakan memberi secara murah hati tersebut. Faktor lain yang penting adalah nilai-nilai budaya yang dianut atau dikembangkan. Jika nilai-nilai budaya yang dikembangkan mengajarkan kemurahan hati, maka itu dapat mendorong orang-orang untuk melakukan kebaikan sebagai cara untuk menciptakan kebahagian.

Kebahagian dalam laporan ini adalah sebuah peristiwa atau suasana kolektif. Setiap orang terkait langsung dengan komunitas dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

“Dunia adalah tempat yang berubah dengan cepat. Di antara aspek-aspek perubahan tercepat adalah yang berkaitan dengan bagaimana orang berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain…” demikian laporan itu membuka pembahasan.

 

Kebahagian, Tujuan Hidup yang Paradoks

Mari kita merenungi arti “kebahagian” itu?

Kata Sigmund Freud, si pendiri psikoanalisa kelahiran Jerman tahun 1856 itu, tujuan hidup manusia adalah untuk meraih “kebahagian”.

“Manusia mencari kebahagian, manusia ingin dan ingin terus-menerus bahagia,” kata Freud dalam Civilization and Its Discontents (1930). Dalam terjemahan bahasa Indonesia berjuduli Peradaban dan Kekecewaan Manusia (Pustaka Pelajar, 2007).

Kebahagian, kata Freud, memiliki dua sisi dalam usaha pencariannya, positif dan negatif. Di satu pihak, dalam prosesnya, ada keinginan manusia untuk menghapuskan rasa sakit, dan ketidaknyamanan. Di lain pihak, ada pengalaman-pengalaman kenikmatan luar biasa.

“Dalam arti sempit, kata ‘kebahagian’ berhubungan dengan sisi yang kedua tadi semata,” lanjut Freud.

Kebahagian berhubungan erat dengan kenikmatan.Katanya, meski upaya ini mendominasi kerja dari sarana-sarana mental sejak awal kehidupan,  namun ia bertentangan dengan seisi dunia.

Orang-orang ingin bahagia dengan harta yang melimpah, tapi hukum dan sistem politik membatasi setiap orang agar tidak serakah. Tidak semua dapat dimiliki secara pribadi dengan gampang. Orang-orang ingin menikmati seks untuk merasakan kenikmatan, karena itu dapat membuat bahagia, tapi moral, etika, agama dan tradisi budaya mengatur disiplin dalam hal itu.

“Maka, kemungkinan kita untuk mendapatkan kebahagian memang sudah terbatas sejak awalnya,” ungkap Freud.

Setiap orang memiliki hak untuk berbahagia. Tapi, ia tidak hidup sendiri di dunia. Ia tidak mengatur sendiri hidupnya.

Manusia lebih mudah menderita daripada bahagia. Penderitaan, kata Freud datang dari tiga arah: dari tubuh sendiri; dari dunia luar dan dari relasi dengan manusia lain.

Ketidakbahagian yang timbul dari sebab ketiga itulah yang, menurut Freud lebih menyakitkan ketimbang dua sebab lainnya.

Maka, ada orang yang mencari kebahagian dengan mengasingkan diri. Menjauh dari keramaian hidup. Menghindar dari relasi-relasi sosial dengan orang lain.

Jauh sebelum Freud, orang-orang Yunani sudah memiliki resepnnya untuk bahagia.

“Hanya dengan menjaga keseimbangan dan kesederhanaan sajalah, maka aku dapat mencapai kehidupan yang bahagia atau ‘selaras’”, demikian Jostein Gaarder  dalam Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat mengutip resep pengobatan Yunani itu.

Kebagian dalam resep itu adalah ‘keseimbangan’, bukan ‘kenikmatan’.

Namun justru, seperti kebahagian ala Freud, kebahagian resep Yunani itu paradoks dengan kehidupan nyata. Ada sekelompok elit yang memiliki kuasa yang sangat besar dan bahkan hampir mutlak, dan tidak pernah mau menjadi tidak berkuasa, dan pada saat yang sama ada banyak sekali orang yang tidak memiliki apa-apa, kecuali harapan untuk dapat bernafas agar masih dapat melihat hari besok.

Dunia penuh dengan ketidakseimbangan, ketidakselaran. Maka, dunia dipenuhi dengan penderitaan, kesakitan, kemeralatan, kedukacitaan. Dunia tidak bahagia.

Dalam dunia modern, perang yang mengakibatkan kematian massal, kehancuran kota, kemiskinan, dan kesakitan massal justru dilakukan oleh orang-orang yang bermimpi untuk bahagia. Dengan menguasai orang lain, maka ancaman dapat ditaklukan, dan dengan dilumpuhkannya ancaman maka orang dapat merasakan kenikmatan.

Freud menghubungkan kenikmatan dengan kepuasaan. “Insting yang dipuaskan akan menimbulkan kebahagian, tapi ketika dunia luar membiarkan kita kelaparan, menolak untuk memuaskan kebutuhan kita, maka insting akan membawa penderitaan yang sangat besar,” jelas Freud.

Bisa jadi, orang-orang melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan macam-macam alasan, ini adalah cara untuk memuaskan insting demi untuk memperoleh kebahagian menurut yang diyakini pelaku itu. Bisa jadi pula, tindakan melakukan kekerasan yang membuat orang lain kesakitan, justru adalah ekspresi lain dari kelemahan diri untuk mencapai kebahagian dengan keseimbangan atau keselarasan.

Jadi, kebahagian itu sesungguhnya paradoks. Baik pada dirinya secara konseptual maupun dalam praksisnya secara kontekstual. Ia paradoks, karena kebahagian adalah keutamaan yang tinggi bagi setiap individu, tapi setiap individu adalah produk dari konteks ruang, waktu atau peradabannya.

 

Kebahagian, Agama dan Keyakinan

Di mana manusia menemukan kebahagian sebagai tujuan hidupnya itu. Jawab Freud, “agama”. Nah, makin membingungkan jadinya. Apakah sejak dulu apalagi kini agama-agama dapat berfungsi untuk memfasilitasi manusia meraih tujuan hidupnya, kebahagian itu?

Ah, itu rasanya adalah pertanyaan tersulit untuk dijawab.Ketika agama-agama justru, seperti diperlihatkan kini, semakin kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Tapi, Bhavagad Gita mengembalikan kebahagian itu pada hal yang sangat subjektif, yaitu keyakinan.

“Kebahagiaan manusia dibentuk dari keyakinannya. Apa yang ia yakini, itulah dia,” demikian tertulis dalam Bhavagad Gita.

Tapi, secara praksis ‘hal’ kebahagian itu tetaplah penuh dengan paradoks.

Ia pada satu pihak bersifat subjektif, tapi pada pihak lain ia tidak dapat dimengerti tanpa dunia objektif. Komunitas, masyarakat, nilai-nilai dan sistem memiliki peran penting dalam upaya mencapai kebahagian individual. Sebab, meski kebahagian dialami secara subjektif oleh setiap individu, namun ia mesti dihayati dan diekspresikan secara kolektif.

Pesta-pesta kolektif, pada satu pihak adalah cara untuk mencapai itu, namun pada pihak lain ia justru dapat hanya menjadi bentuk lain dari ketidakbahagian individual. Sebab, setelah pesta usai, orang-orang akan kembali merasakan kesepian, dan pada saat itu ia kembali dihampiri ketidakbahagian.

Maka, kolektivitas masyarakat dan negara harus selalu diupayakan memiliki dampak pada setiap individu hingga di saat setiap orang berada dalam kesendirian memikirkan dan mengerjakan sawah, kebun, bengkel, warung, dan dapurnya.

Itulah sehingga orang-orang Minahasa berusaha meraih kebahagian itu secara kolektif, makan, menyanyi, dan berdansa bersama.

Dalam bahasa Minahasa, kata yang sepadan dengan ‘bahagia’ adalah aruy. Teman saya Kalfein M. Wuisan yang beberapa tahun ini intens mendokumentasi tradisi bermusik Maka’aruyen dalam artikelnya “Kalelon dan Maka’aruyen” pada buku Menulis Minahasa (terbit 2015) mengatakan, “Aruy berarti sikap, kondisi atau keadaan yang baik, nyaman dan tentram. Aruy juga bisa berarti luapan rasa cinta dan rindu.”

Makna tentang ‘kebahagian’ menurut orang Minahasa, salah satunya terekspresi dalam musik etnik Maka’aruyen.

Maka’aruyen juga dapat berarti harapan,” kata Kalfein.

Barangkali begitulah dengan hal ‘kebahagian’ secara universal. Ia adalah paradoks sehingga agak sulit didefinisikan, tapi bagaimanapun semua manusia di mana saja berada menetapkan tujuan hidupnya adalah ‘kebahagian’.

Di tengah ketidakpastian politik, ekonomi, relasi-relasi yang dipenuhi dengan kebencian, permusuhan dan tindakan-tindakan yang didominasi oleh kekerasan, untunglah peradaban kita masih memiliki satu konsep yang membuat orang-orang  tetap optimis menjalani kehidupan, yaitu “kebahagian”. Tidak soal apakah ia dapat diraih secara objektif, tapi setiap denyut hidup kebanyakan orang digerakkan oleh harapan menuju kebahagian.(*)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *