FEATURE
Pasal 33 UUD 1945 Menurut Prabowo dan Hatta
Published
6 years agoon
By
philipsmarx19 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Prabowo selalu menyebut Pasal 33 UUD 1945, tapi apakah laku dan semangatnya mengikuti Moh. Hatta, sang arsitek pasal itu?
CALON PRESIDEN Prabowo sering sekali menyebut ‘Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945”. Ayat 1 berbunyi: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Bukan baru kali ini Prabowo menyebut pasal itu. Pada Pilpres tahun 2014, ketika berpasangan dengan Hatta Rajasa, visi-misi mereka sudah menyebut pasal yang menurut para ahli dibilang paling sosialis di Undang-undang Dasar 1945 ini. Pada salah satu poin misi Prabowo-Hatta tahun 2014 disebutkan komitmen mereka untuk, “Mengembalikan tatakelola migas nasional sesuai Pasal 33 UU 45 dengan penyelesaian revisi UU Migas.”
Tapi itu tak pernah terlaksana di tangan mereka.
Pada Visi-Misi pasangan Prabowo-Sandi untuk Pilpres tahun 2019 pasal ini disebut semakin jelas. “Membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik-ekonomi sesuai Pasal 33 dan 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Prabowo mengklaim hanya dia ketua partai yang selama ini berani bicara tentang pentingnya pasal 33 tersebut.
“Memang elite kita selama ini tidak pernah mau bicara Pasal 33. Coba jujur, saya tanya adakah ketua umum partai lain yang bicara pasal 33 UUD 1945? Membahas saja tidak mau,” kata Prabowo dalam Rakernas LDII di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin, Jakarta, Kamis 11 November 2018, seperti dikutip dari cnnindonesia.com.
Prabowo memperhadapkan sistem ekonomi pada pasal 33 dengan apa yang disebutnya ‘ekonomi kebodohan’ atau the economics of stupidity. Ekonomi model ini, kata Prabowo, lebih parah daripada ekonomi neolib (neoliberal).
“Sangat jelas, ayat (1) perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan. Ayat (2), cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” kata Prabowo pada November 2018 itu.
Seperti tafsir kebanyakan orang, pasal 33 itu berbicara tentang sistem ekonomi yang dikelola bersama dengan asas kekeluargaan dan kedaulatan negara atas sumber-sumber daya yang ada untuk kesejahteraan bersama.
Tapi prinsip ekonomi itu rupanya disangsikan bahwa ia benar-benar dipahami dan dijalani oleh Prabowo sebagai warga negara Indonesia. Dalam debat Capres Kedua 17 Februari malam lalu, lawannya Jokowi sempat menyinggung kepemilikan lahan Prabowo.
“Saya tahu Pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur 220 ribu hektare, juga di Aceh Tengah 120 ribu hektare. Saya hanya ingin menyampaikan,” kata Jokowi yakin.
Prabowo kena.
Gilirannya berbicara, Prabowo berkata, “Minta ijin tadi disinggung tentang tanah yang katanya saya kuasai ratusan ribu di beberapa tempat itu. Itu benar. Tapi itu adalah HGU. Itu adalah milik negara. Jadi setiap saat…Setiap saat negara bisa ambil kembali. Dan kalau untuk negara, saya rela untuk mengembalikan itu semua. Tapi, daripada jatuh ke orang asing, lebih baik saya yang kelola. Karena saya nasionalis dan patriotis.”
Tapi sebelumnya, Prabowo masih sempat menyebut lagi tentang pasal 33 UUD 1945 andalanya itu.
Semua seolah menjadi terbalik. Prabowo mengakui adanya kepemilikan lahan seperti yang disinggung Jokowi. Tapi dia masih saja sempat bicara tentang pasal 33 yang pada ayat keduanya disebutkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) mensinyalir tanah milik Prabowo itu diperoleh di zaman orde baru. “Kemungkinan kebanyakan di masanya Orde Baru itu, memang orang-orang yang dekat dengan Soeharto memang dapat konsesi HPH dan HTI. Prabowo kemungkinan [mendapatkannya] di masa Orde Baru,” kata Kepala Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum Lingkungan Zenzi Suhadi kepada cnnindonesia.com, Senin, 18 Februari 2019.
Tapi Partai Gerindra punya dalih.
“Prabowo itu bukan yang termasuk 1 persen, karena dia bukan memiliki kekayaan yang menguasai negara. Dia tidak memiliki tanah yang menguasai negara. Tanah yang dimiliki justru diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat,” kata Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria kepada wartawan, Selasa (19/2/2019) seperti dikutip dari detiknews.com.
Menurut Riza, dengan klarifikasi Prabowo bahwa tanah itu bertatus HGU, maka menjadi jelas duduk perkaranya.
“Pak Prabowo, sebagaimana dijelaskan pada debat kemarin, kan yang namanya HGU, hak guna usaha, itu dikeluarkan oleh negara setelah memenuhi syarat dan ketentuan. Sebagaimana diatur dalam undang-undang dan dapat diambil kembali oleh negara, itu ada masa waktunya. Dan bahkan beliau tidak usah menunggu waktunya, kalau negara merasa perlu, beliau dengan ikhlas dan sukarela menyerahkan kepada negara untuk kepentingan rakyat,” ujar Riza.
Lagi-lagi, Riza menyebut pasal 33 UUD 1945 kaitan dengan soal itu. Menurut Riza, Prabowo adalah orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang tertuang dalam UUD 1945, yaitu pada Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur tentang pengertian perekonomian, pemanfaatan SDA, dan prinsip perekonomian nasional.
“Karena Pak Prabowo itu kan menjunjung (undang-undang), dan strateginya adalah Pasal 33, bahwa bumi, air, dan di dalamnya termasuk hutan dan sebagainya harus dikuasai oleh negara. Jadi HGU itu memang harus dikuasai oleh negara, memang negara ini memberikan HGU kepada orang Indonesia, perusahaan-perusahaan untuk dikelola, dan bertanggung jawab,” jelasnya.
Hatta dan Kisah Kelahiran Pasal 33 UUD 1945
Dalam sejarah kelahirannya, pasal 33 tidak bisa dilepas dari tokoh Drs. Moh. Hatta. Dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (terbit tahun 1998, suntingan Saafroedin Bahar) disebutkan, Hatta ditugaskan oleh sidang BPUKI menjadi ketua panitia Keuangan dan Perekonomian. Dari panitia inilah lahirlah gagasan dan rumusan-rumusan pemikiran pasal 33 UUD 1945 tersebut.
Pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, dibentuk tiga panitia. Panitia Perancang UUD, yang dipimpin oleh Soekarno. Panitia Pembela Tanah Air, yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Panitia Keuangan dan Perekonomian yang dipimpin oleh Moh. Hatta. Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI suntingan Saafroedin Bahar itu disebutkan, panitia keuangan dan perekonomian ini kemudian merumuskan pokok “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka”.
“Orang Indonesia hidup dalam tolong menolong! Perekonomian Indonesia Merdeka akan berdasar kepada tjita-tjita tolong-menolong dan usaha bersama, jang akan diselenggarakan secara berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi,” demikian antara lain disebutkan.
Arsitek pasal 33 ini jelas adalah Hatta. Seorang ahli ekonomi yang sudah sejak tahun 1920an menggeluti masalah ini. Salah satu ciri pemikiran Hatta kaitan dengna ekonomi adalah penolakannya terhadap imperialisme. Menolak imperialisme bagi Hatta sama dengan kemampuan berdiri sendiri. Sebuah negara yang berdaulat atas miliknya bersama.
Pada Sidang BPUPKI 11 Juli 1945, seperti terdokumentasi dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI itu, Hatta menyampaikan pandangannya yang mewanti-wanti agar negara merdeka Indonesia nanti tidak menjadi imperialistis. Pada sidang BPUKI tanggal 11 Juli 1945 terkait dengan pembahasan wilayah, Hatta memberi catatan kritis jika wilayah Indonesia merdeka memasukan pula Papua dan Malaka.
“Hanya tentang Papua saya dengar kemarin uraian-uraian yang agak menguatirkan, oleh karena timbul kesan ke luar, bahwa kita seolah-olah mulai dengan tuntutan yang agak imperialistis,” kata Hatta.
Hatta mengatakan, bahwa wilayah Indonesia merdeka baiknya hanya yang dulunya wilayah jajahan Belanda. Menurut Hatta, bahwa dengan memasukan Papua sebagai bagian dari Indonesia merdeka, itu terutama karena konstelasi politik international.
“Saya mengerti, bahwa strategi itu tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung kepada konstelasi politik dalam lingkungan internasional,” lanjut Hatta.
Hatta bahkan mengakui hak bangsa Papua untuk merdeka. “Saya sendiri ingin menyatakan bahwa bangsa Papua juga berhak untuk menjadi bangsa merdeka.”
Hatta tegas menolak kecenderungan untuk menguasai milik orang lain. Sebab, katanya, Indonesia berjuang keras untuk menentang imperialisme. Seolah Hatta mau mengatakan, imperialisme ke luar itu tidak baik, sama tidak baiknya imperialisme asing.
“Seumur hidup kita menentang imperialisme, jangan kita memberi kepada pemuda anjuran atau semangat imperialisme, semangat ‘meluap ke luar’. Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam yang masih banyak yang harus diperkuat dan disempurnakan,” kata Hatta.
Pada sidang BPUPKI 15 Juli 1945 yang membahas rancangan undang-undangan dasar lanjutan, Hatta berbicara cukup panjang.
“Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama,” demikian seperti terdokumentasi dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI.
Untuk mendirikan negara yang baru, kata Hatta, “Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat yang baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat.”
Pandangan tentang sistem ekonomi Hatta rupanya berangkat dari refleksinya terhadap bangunan negara Indonesia merdeka yang tidak boleh menjadi ‘negara kekuasaan’. Yaitu, negara gotong-royong dengan prinsip kekeluargaan menjamin hak-hak rakyat untuk mengusahakan hidupnya.
Frasa “dikuasai oleh negara” pada ayat 2 dan 3 Pasal 33 itu, bagi Hatta bukanlah kekuasaan mutlak negara. Sebab menurut Hatta, negara Indonesia merdeka adalah negara yang kekuasaannya berasal dari rakyat. Hak-hak rakyat harus dijamin. Hak berpikir misalnya. Tapi, Hatta menolak jika itu adalah bentuk individualisme. Bagi Hatta, Indonesia merdeka harus dibangun di atas collectivisme.
“Usul saya ini tidak lain tidak bukan hanya menjaga supaya negara yang kita dirikan itu ialah negara pengurus, supaya negara pengurus ini nanti jangan menjadi negara kekuasaan, negara penindas. Dasar yang kita kemukakan ialah dasar dari gotong royong dan usaha bersama. Pendek kata dasar collecitivisme,” tegas Hatta.
DALAM RUMUSAN panitia Keuangan dan Perekonomian yang diketuai Hatta, juga disebutkan, “Tanah, sebagai faktor produksi jang terutama dalam masjarakat Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang lain.”
Demikian halnya dengan perusahaan-perusahan besar, menurut rumusan panitia itu, mestilah di bawah kekuasaan Pemerintah.
“Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila buruk-baiknja perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang jang bekerdja di dalamnja diputuskan oleh beberapa orang partikulir sadja, jang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus mendjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman kepada keselamatan rakjat.”
Hatta dalam Mendajung Antara Dua Karang, terbit tahun 1951 mengatakan, prinsip dari sistem ekonomi pada Pasal 33 UUD 1945 hendak mau mengatakan, bahwa koperasilah bangunan yang sesuai dengan rakyat Indonesia.
Selain menolak imperialisme dan individualisme, bentuk lain dari keduanya juga ditentang oleh Hatta. Ia menentang kapitalisme sebagai wujud konsistensinya terhadap sistem ekonomi demokrasi yang berprinsip gotong royong dan kekeluargaan. Bagi dia menentang kapitalisme tidak cukup dengan semboyan, tapi harus dengan gerakan organisasi.
“Kapitalisme tidak dapat ditentang dengan sembojan sadja, melainkan harus ditentang dengan organisasi. Organisasi itu ialah koperasi,” kata Hatta.
Tapi, Hatta menerima kenyataan bahwa dalam bentuk organisasi, koperasi tidak juga langsung dapat menjamin kesejahteraan. Hal lain yang mendasar menurut Hatta adalah semangat koperasi.
“Tetapi sebagai ternjata dalam pengalaman kita, kegembiraan untuk mengadakan koperasi sadja belum tjukup untuk mengadakan organisasi koperasi jang baik jang bisa mendjamin perdjoangan ekonomi ra’jat kita. Jang terpenting ialah adanja semangat koperasi dalam djiwa ra’jat kita. Koperasi sosial dan tanggung djawab ekonomi, sehingga dapat didorongkan kepada ra’jat desa-desa tidak sadja mengenai kepandaian mengatur buku dan adminsitrasi koperasi, melainkan terutama haruslah mendidik semangat tjinta kepada masjrakat atas dasar ushaha bersama,” seru Hatta.
Hatta menjiwai betul semangat Pasal 33 UUD 1945. Hatta telah memikirkan sebuah sistem ekonomi yang utuh. Pasal 33 ini lahir dari pergulatan panjang berhadapan dengan kolonialisme, imperialisme, individualisme dan kapitalisme. Hatta berdiri pada posisi menentang semua itu untuk menghidupkan kolektivisme dan kekeluargaan demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 4, terbit tahun 2004, ketika membahas Hatta dan Pasal 33 UUD 1945 itu, mengatakan, “Bila dikaji dengan seksama, maka dalam konstitusi itu terekspresikan pula sikap dan jiwa antikapitalis.”
Sesuatu yang sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh para penafsir pasal 33 UUD 1945 ini di kemudian hari. Di era orang-orang ramai mengejar kekuasaan dengan rela mengorbankan kolektivisme dan kekeluargaan untuk membangun sebuah ‘negara kekuasaan’.
Termasuk Prabowo atau siapapun yang hanya menjadikannya sebagai jualan politik. (*)
Editor: Daniel Kaligis