OPINI
Patik Ni Owak: Ritus Suci, Eksistensi dan Identitas Minahasa
Published
12 months agoon
23 Desember 2023
Penulis: Juann Rattu (Cuma warga sipil berdarah Minahasa)
Tato/Patik/Ti’tik sebagai Ritus Hidup.
Ritus “patic ni owak” adalah sebuah tradisi Minahasa yang ada sejak ribuan tahun lalu. Ritus ini sudah banyak ditinggalkan dan “disapu” oleh zaman dan rezim. Sebuah jalan tradisi Tou Minahasa mengeja jejak leluhurnya. Dengan patik, ti’tik, ti’ti inilah, membuat orang Minahasa tanpa perlu menjelaskan dan menuturkan, maksud dari sesuatu tersebut bisa tersampaikan dan menggerakan hati “se tou wo se menonow”.
Patik Ni Owak yang berarti harfiah menulis ingatan di tubuh atau badan. Ritus dengan menggunakan sebuah alat yang ujungnya tajam kum runcing. Biasanya ditemukan dari duri pohon atau tanaman. Bisa juga batu yang diasah hingga tajam. Atau pun tulang binatang yang telah dibentuk hingga ujungnya menjadi runcing.
Kemudian, selain alat yang runcing, patik ni owak juga memerlukan bahan cair yang bisa untuk membentuk dan menggamber pola. Dengan maksud mudah dikenali saat menempel dan menyatu dengan tubuh. Bahan inilah yang berfungsi seperti tinta hari ini. Dahulu menggunakan arang “dodika” sebagai tinta. Dodika (tungku tiga batu) inilah tempat bersemayam pengetahuan, tempat tou Minahasa meramu makanan dan tempat untuk menghangatkan tubuh dan juga pikirannya.
Merujuk pada filosofi dodika, adalah sumber pengetahuan mula-mula dari leluhur Minahasa. Sebab, aksi dan temuan kreativitas hadir dari dodika. Dalam dodika, dikenal adanya tatanan “teluwatu” (tiga batu). Tiga melambangkan kesempurnaan menjadi manusia, dan watu/batu simbolisasi ketetapan dan keabadian. Pusat teluwatu adalah tempat api, yang pendekatannya “wuaya” dikenal sebagai semangat juang, keberanian, dan terang. Sumber utama kekuatan dan jalan penuntun serta dasar/fondasi yang menghangatkan.
Api yang adalah penerang dan sumber kekuatan. Titik puncaknya api akan menjadi arang. Titik di mana api menyatu dengan kesemestaan. Dari arang inilah yang dipakai menjadi tinta. Ia merupakan elemen yang dianggap suci, karena dapat menyatu dengan owak ni tou. Dengan cara hasil kreativitas dan kehati-hatian Tonaas Pinatik untuk menusukkannya melalui alat runcing tersebut.
Dalam tradisi, yang disebut sebagai pengantar ritus adalah Tonaas Pinatik, beliau adalah sang ahli mengukir dan menulis. Yang dapat menerjemahkan tanda-tanda alam, maupun pesan-pesan luhur ke dalam wujud yang dapat dilihat oleh orang banyak, dari generasi ke generasi. Mereka memiliki kecerdasan dan kreativitas yang luar biasa, dengan ketekunan serta keuletan, melukis sekaligus menulis keabadian. Tidak boleh salah sepersenti pun, fokus dan teliti sudah menjadi karakter hidupnya.
Tonaas Pinatik, ialah yang mendapatkan karunia dari Opo Empung Walian Wangko, sebagai perpanjangan tangan untuk memberikan ilmu pengetahuan bagi Orang Minahasa. Agar terus menjalani hidup sesuai nasehat tua Minahasa, “si tete tumete ta am patetean ni tete”.
Pesan tua dan nasehat yang dibuat, disebut patikan/patiken/titicen, yang berwujud sebagai kode atau tanda, yang bisa diterjemahkan oleh generasi tersebut maupun setelahnya. Biasanya simbol atau kode yang dekat dengan alam, berupa dedaunan, rumput, pohon, hewan yang melata, hewan yang terbang maupun berenang, merayap, bahkan manusia yang telah menjadi Tou.
Mereka yang menjalankan tradisi ini, biasanya adalah mereka yang telah siap secara mental dan fisik. Sebab, Patik Ni Owak, adalah tradisi yang menyebabkan pesan/kode tersebut akan abadi dan tidak bisa ditarik kembali. Sebuah rangkaian ritus yang membuka jalan untuk tetap bersikap secara konsisten sebagai Minahasa hingga kekal. Pesan yang di-titic/patik adalah memiliki daya magis dan membentuk wujud Touweru. Sebab, wujud diri akan berubah. Dengan membawa tanggung jawab serta nama besar sebagai turunan Toar-Lumimuut.
Bahkan tradisi ini dilakukan untuk menunjukan/menegaskan kredit prestasi serta andil yang telah dilakukan untuk menjadi “kelung um banua”. Di lain sisi, diyakini ritus ini adalah sebuah tanda perlindungan dari roh jahat atau reges lewo. Sebab tanda dan ukiran yang tertulis memiliki doa-doa yang melindungi tubuh serta jiwa.
Mengikuti Jalan Tradisi Patik Ni Owak
Saya sebagai Minahasa, darah yang mengalir dari leluhur di kaki bukit Tonderukan, yang lahir dan besar di Pakasaan Tontemboan, mencoba menjalani tradisi Patik Ni Owak. Diawali dengan memikirkan matang-matang dan kontemplasi mendalam. Tak luput juga mempertimbangkan konsekuensi yang akan terjadi. Meski alat dan bahan yang digunakan sudah berakulturasi mengikuti zaman, tapi nilai, tata cara, filosofis dan tujuan luhurnya masih sama dan menetap.
Tradisi ini dikenal luas hari ini, memiliki kemiripan dengan seni Tato. Sebuah seni yang berdasarkan penelitiannya adalah kesenian yang ubiquitos (ada di mana-mana). Dan, di semenanjung nusantara ini adalah tradisi yang benar-benar ada, dan hidup dalam masyarakat adat nusantara. Bahkan kata tato/taotao/tautau/toktok/tiktik sendiri diambil dari sebutan tua di semenanjung nusantara (Indocina hingga Kepulauan Pasifik). Ini menandakan, tradisi ini benar-benar sebagai nilai kebudayaan yang asli Indonesia (secara geografis Indonesia berada) dan Indonesia adalah kompromi politik dari masyarakat adat dari gugusan Indocina dan pulau-pulau di kepulauan pasifik.
Sejak kecil saya telah diajari nilai-nilai luhur Minahasa, dituturkan, dieja, dicontohkan, dan dilakukan. Saya menemukan realitas, bahwa Minahasa menjadi lumbung pengetahuan pun wilayah peperangan untuk diperebutkan. Minahasa ingin ditaklukan oleh kekuatan “reges lewo wo se mawalui”. Dalam peziarahan penonowan, saya banyak menerima insight dari mereka yang telah memberikan dirinya untuk pelestarian budaya Minahasa. Serta tegas dan berani menentukan sikap yang benar untuk menjaga tanah adat Minahasa. Ternyata, yang tersisa dari Minahasa adalah ingatan. Setelah pembumihangusan dan penjarahan benda suci yang adalah sumber utama pengetahuan. Jembatan langsung dengan Opo Empung Walian Wangko.
Salah satunya yang tersisa adalah simbol-simbol. Sesuatu yang memiliki pesan tersembunyi, yang harus dibaca dengan hati dan diresapi dari segala sisinya. Inilah mengapa, bahasa simbol harus menyatu dengan diri. Pembawaan secara materi harus menyimbolkan sesuatu yang sakral dan mempertegas keminahasaan. Hipotesa awal saya, tradisi Patik Ni Owak sudah seharusnya dibangkitkan kembali. Sebuah bentuk ekspresi diri Tou Minahasa, di tengah gempuran stigma terhadap simbol Minahasa, seperti Manguni. Dan stigma rasial Minahasa yang terjadi, sehingga banyak Kawanua harus menutup diri menyatakan sikapnya sebagai Minahasa. Tekanan struktural sosial, dan tekanan hegemoni moral, yang menganggap menjadi Minahasa adalah amoral dan tercela.
Demi persiapan melakukan Patik Ni Owak ini, saya telah berkonsultasi dengan beberapa tetua adat, peneliti dan aktivis Minahasa. Akibat sejak awal terjun berjuang dan bergerak dengan para peziarah jalan sunyi di jalan tradisi. Hingga akhirnya saya menemukan fakta, memang di Minahasa ada tradisi tatonya sendiri. Dan itu adalah tradisi yang tersimpan di setiap keluarga/awu. Dengan tata caranya sendiri. Motif khususnya sendiri. Dan tetap memiliki makna filosofis yang sama, yang membentuk kesadaran “tou mamuali se tumou”. Inilah mengapa, yang jelas ritus ini berasal dari hati bersih dan berani, khas “niaten ni tete”.
Saya melakukan Patik Ni Owak ini, dengan menggunakan simbol “rokot walilit” atau tanaman/rumput merambat. Rukut Mawilit atau Roko’ Walilit, mudah bertumbuh di setiap landscape geografis tanah Minahasa, dari yang basah, lembab hingga kering berbatu. Mereka mampu beradaptasi, memiliki daya juang, cerdik dan tidak mudah menyerah. Rokot Mawilit, simbol dari tradisi Minahasa yang memiliki makna selalu tumbuh. Meski diinjak-injak ia tidak mati. Rukut Mawilit juga menjadi penjaga dari kehidupan, sebab ialah unsur alam yang pertama-tama bertumbuh dan yang paling akhir untuk mati. Simbolisasi keabadian.
Posisi yang di-patik/ti’tik di ujung lengan kiri dan kanan, yang memiliki simbolisasi “bukusiow”. Pangkal tangan, adalah tempat dililitnya kekuatan dan keberanian Waraney atau Wara ne Taney atau juga ada yang menyebut Wara i nei. Pangkal lengan adalah sumber otot terbesar di tangan manusia atau tou, ia yang menjadi tumpuan utama untuk menggerakkan jari, mengepalkan tangan serta memproteksi diri. Yang bagi saya, ini adalah tempat yang melambangkan pangkal juang, dasar perlindungan maupun titik berangkatnya energi melawan ketidakadilan.
Sang Tonaas Pinatik, Seniman Tato berdarah Kanonang
Saya pun di-patic/ti’tik oleh seorang seniman tattoo, berdarah Minahasa-Kanonang, Raldi Padingian Lela. Lahir dari bapak seorang Balantak, dan ibu dari keluarga Lela dan Poli asli Kanonang, Tontemboan. Sebuah wilayah yang disakralkan bagi peziarah kultural Minahasa. Watu Pinawetengan, Bukit Kakeretan, Bukit Ni Karema dan Watu Kulo, berada di wilayah adatnya. Tempat-tempat tersebut begitu sakral, sehingga mereka yang lahir maupun berdarah Kanonang, saya percayai lahir dengan maksud luhuriah.
Inilah mengapa, saya bersedia melakukan patic ni owak, karena memiliki hubungan darah kekeluargaan sesama Tou Kanonang, dan juga terikat dalam garis keluarga Ratu/Rattu.
Raldi, yang dipanggil Tole, sudah menggeluti seni tato sejak masa mudanya. Sejak masih muda, talenta dan darah sebagai Tou Pinatik mengalir darinya. Sebab, selain sebagai seorang yang Mapatik Ni Owak, ia juga menggeluti dunia tradisi Minahasa. Bahkan nama studio tattonya diberikan nama “Tuama Tattoo Studio”. Ia bersikukuh, walau di mana pun berada, ia mengaliri darah Minahasa, dan tetap bangga menjadi Minahasa.
Di lain sisi, ia memiliki kesadaran politik, untuk menghapus stigma negatif, orang yang memiliki tato tidak bisa survive dan sukses. Orang yang memiliki tato hanya bisa hidup di lingkungan pekerjaan informal saja. Orang yang memiliki tato ditandai sebagai mereka yang berbahaya dan tidak memiliki masa depan yang cerah.
Makanya, saya memandang latar politik yang digagasnya bukan sebatas seni untuk dinikmati, tapi memiliki nilai perjuangan dan perlawanan. Terbukti, dengan menekuni profesi sebagai tatois, ia mampu menghidupi istri, dan dua anak kandung, menjadi bapak sambung untuk seorang anak, serta menanggung hidup bapak dan setia memperhatikan nilai yang diwarisi oleh ibunya yang belum lama ini melanjutkan kehidupan menuju ke Kasendukan.
Perilaku yang tegas dan tulus sebagai tou, tercermin, beliau menjadi tumpuan citra sebagai kakak pertama, yang harus melindungi, serta sebagai pemberi contoh bagi kedua adiknya. Bagi saya nilainya bukan hanya sebagai tatois, namun menjadi motor penggerak untuk keluarga besarnya. Sebuah semangat juang Waraney yang diturunkan oleh leluhur, yang ia yakini.
Baginya, Tou Minahasa, lebih spesifik Tou Kanonang, memiliki talenta dan selalu memberikan pengaruh yang besar di segala lini. Inilah mengapa, dari perilakunya, saya yakini sebentar lagi ia mampu mencapai titik tertinggi dan pengakuan dalam tradisi, yakni Tonaas Pinatik.
Kesadaran Minahasa dan Perlawanan Stigma Negatif
Alasan yang terkait dalam Patik Ni Owak yang saya jejaki, tetap dengan mempertimbangkan momennya, siapa pinatiknya, apa patikennya, dan di mana posisi letaknya. Dan selebihnya, saya meresapi dengan filosofi dan ajaran-ajaran yang saya temui dan pelajari sepanjang hidup untuk terus menerus menjadi Minahasa yang sejati.
Saya pun tahu, bahwa setelah ini, akan dihujani stigma. Stigma dari mereka yang telah merajam tubuh dengan tinta adalah sampah masyarakat, para kriminal, para manusia bebal dan jahat. Bahkan dalam posisi etis di Indonesia, tato masih dianggap bukan moral yang baik. Ruang gerak para pemilik tato dibatasi
Kekuatan rezim yang mendiskreditkan para manusia yang memiliki tanda adat (dalam hal ini tato, maupun tindik), membutakan mata hati serta keyakinan kultural sebagai masyarakat adat. Stigma tato atau apa pun sebutan secara kulturalnya, diawali dengan tindakan persekusi dogma oleh ajaran-ajaran agama mainstream, bahwa tato memiliki daya magis dari roh jahat dan gelap, serta bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai agama. Hegemoni inilah yang dibentuk. Padahal, dari perspektif nilai kultural, patic ni owak adalah sebuah sakramen suci atau pun niatan yang baik. Karena mereka yang telah ditandai dengan simbol suci, harus berusaha menjadi bijak dan mengikuti jalan yang diyakini. Membentuk kedewasaan bertindak dan berpikir.
Padahal, bila menggali dari tradisi kultural Indonesia, mereka yang bertato adalah mereka yang memiliki struktur tinggi di adatnya, semisal dalam masyarakat adat Mentawai, Dayak, dan lain-lain. Inilah mengapa, harus terus memperjuangkan kebenaran dari sisi pemikiran asli Indonesia. Bahwa Indonesia selalu menjunjung tinggi nilai kulturalnya, yang adalah penjaga untuk terus hidup. Salah satu semangat yang ingin diterobos, adalah membongkar wacana yang menghantam eksistensi tradisi patic ni owak, pada generasi terkini. Serta mengembalikan tato pada posisinya di struktur masyarakat nusantara yang memiliki citranya yang suci. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan