ESTORIE
Patola: Dari India ke Minahasa, Dari Mahakarya ke Replika
Published
1 week agoon

3 Februari 2024
Penulis: Greenhill G. Weol
Kain Para Raja
Di kota Patan, di jantung Gujarat India, tertenunlah asal-usul Patola. Kain yang lahir pada abad ke-12 ini, telah melintasi waktu berabad-abad dan menjadi saksi kebangkitan serta keruntuhan kerajaan-kerajaan, menjadi media pertukaran budaya dan adalah bukti inovasi-inovasi artistik, serta kisah sebuah produk yang menjadi primadona perdagangan di Asia.
Adalah para penenun sutra yang termasuk dalam komunitas Salvi dari Maharashtra yang telah memilih Gujarat sebagai tempat kelahiran kain Patola yang mereka hormati. Catatan sejarah menunjukkan bahwa suku Salvi bermigrasi ke Gujarat pada abad ke-12, untuk mencari perlindungan kaum maisenas Solanki yang dikenal juga sebagai Chaulukya Rajputs, yang memerintah Gujarat dan sebagian Malwa serta Rajasthan selatan, dengan Anahiwad Patan sebagai ibu kota mereka. Menurut legenda, lebih dari 700 penenun Patola dipanggil ke istana Raja Kumarpal atas permintaan pribadi raja.
Dipercaya secara luas bahwa suku Salvi awalnya berasal dari daerah yang sekarang berada di wilayah Marathawada dan Vidarbha di Maharashtra, India. Kerajinan tenun Patola merupakan tradisi kuno. Beberapa sejarawan menelusuri asal-usulnya hingga abad ke-4, sebagaimana dibuktikan oleh teknik tie-dye yang digambarkan di Gua Ajanta. Setelah kemunduran kekaisaran Chaulukya, para Salvi membangun perdagangan yang makmur di Gujarat. Kain sari Patola segera menjadi lambang status sosial di antara para wanita India.
Patan, ibu kota kerajaan Solanki pada sekira tahun 960-1243, merupakan tempat meleburnya keragaman seni dan budaya. Para perajin terampil dari Asia Tenggara dan India berkumpul, membawa serta seni tenun ikat ganda yang rumit. Teknik ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, akan menjadi ciri khas Patola. Nama “Patola” sendiri berasal dari kata Sansekerta “Pattola,” yang berarti “kain.”
Kain Patola merupakan perwujudan hakikat warisan India kuno. Tekstil yang indah ini memiliki teknik ikat ganda yang rumit, di mana benang sutra atau katun bertemu dalam simfoni warna dan desain yang semarak. Motif yang terinspirasi dari alam – pola bunga, fauna, dan geometris – menari di seluruh kain, membangkitkan lanskap budaya India yang kaya.
Proses produksinya merupakan sebuah aktivitas seni. Pengrajin terampil dengan hati-hati mengikat dan mewarnai benang untuk menciptakan pola yang tahan lama, lalu menenunnya di alat tenun tradisional. Kain ini kemudian menjalani serangkaian pencucian, penyetrikaan, dan perawatan kimia alami, yang meningkatkan kelembutan dan kilaunya. Untuk menjaga keindahan Patola, pencucian tangan yang lembut, pewarnaan kering, dan penyetrikaan yang hati-hati sangat penting. Kain yang berharga ini layak mendapatkan perawatan yang cermat, memastikan keanggunannya yang abadi bertahan lama.
Perlindungan dinasti Solanki terhadap para perajin Patola memungkinkan kerajinan tersebut berkembang pesat. Keindahan kain yang luar biasa memikat para bangsawan, dan menjadi barang pokok di istana-istana India, menghiasi raja dan ratu. Dinasti Vaghela pada kitaran tahun 1243-1304 melanjutkan perlindungan ini, yang memperkuat status Patola. Penaklukan Gujarat oleh Kaisar Mughal Akbar (1573) malah memperkenalkan Patola ke istana-istana Mughal, memengaruhi desain dan memicu inovasi.
Saat pedagang India menjelajah ke Asia Tenggara, kain Patola menyertai mereka. Perajin Indonesia dan Malaysia terpesona oleh desain yang rumit, dan pengaruh Patola menyatu dengan teknik lokal, melahirkan batik Indonesia yang ikonik. Pertukaran budaya ini memperkuat posisi Patola di lanskap tekstil global. Para pedagang memperdagangkan kain Patola di sepanjang tepi Samudra Hindia, mencapai sejauh benua Afrika hingga Timur Tengah.
Patola kemudian memegang peran kebudayaan yang signifikan sebagai simbol status di Asia Tenggara, di mana kain ini diimpor setidaknya sejak Abad Pertengahan. Para elit lokal di daerah yang jauh seperti Timor dan Kepulauan Maluku berusaha untuk memperoleh kain Patola yang sering kali dipasok oleh pedagang Eropa. Motif tenun Patola selanjutnya sering kali diadopsi oleh para penenun-penenun tradisional setempat.
Selama berabad-abad, kain Patola identik dengan kemewahan dan keanggunan. Dulunya hanya dikenakan oleh bangsawan dan aristokrasi India, kini kain ini menghiasi landasan pacu dunia. Nuansa mewah kain ini, yang dicapai melalui persiapan benang, pewarnaan, dan penenunan yang cermat, telah memikat para penikmat tekstil di seluruh dunia.
Tenunan Serat-Serat Peradaban
Pada awal sejarah manusia, sekira 30.000 tahun sebelum masehi, nenek moyang kita pertama kali menemukan seni produksi tekstil. Periode Paleolitik menyaksikan munculnya alat tenun primitif, roda pemintal, dan jarum. Para manusia inovator awal ini kemungkinan menciptakan kain sederhana dari kulit binatang, bulu, dan serat tenun. Ketika manusia beralih dari pemburu-pengumpul nomaden menjadi masyarakat pertanian yang menetap, produksi tekstil pun berkembang, membuka jalan bagi masyarakat yang kompleks.
Di Mesir kuno, sekitar tahun 2500 sebelum masehi, produksi tekstil mencapai puncaknya. Pengrajin Mesir menguasai seni produksi linen, menciptakan kain indah yang dihiasi dengan sulaman yang rumit. Jalur Sutra, yang dibangun selama Dinasti Han (206 SM – 220 M), menghubungkan Asia Timur, Timur Tengah, dan Eropa, yang memfasilitasi pertukaran tekstil, ide, dan budaya. Kain sutra mewah dari Tiongkok memikat bangsawan Romawi, sementara barang-barang katun dan wol India masuk ke pasar Mediterania.
Selama Abad Pertengahan, perdagangan tekstil memainkan peran penting dalam membentuk ekonomi dan budaya Eropa. Perdagangan wol, khususnya, mendominasi ekonomi Inggris, sementara industri tekstil Flemish berkembang pesat di Belgia saat ini. Tekstil India, khususnya katun dan sutra, sangat dihargai di Eropa abad pertengahan karena kualitas dan keindahannya. Renaisans menyaksikan kebangkitan kembali inovasi tekstil, dengan diperkenalkannya teknik pewarnaan baru, metode pencetakan, dan jenis kain.
Revolusi Industri mengubah industri tekstil, memperkenalkan produksi mekanis, alat tenun listrik, dan pewarna sintetis. Kapas, khususnya, menjadi serat yang dominan, dengan pengembangan mesin pemintal dan alat tenun listrik. Industri tekstil mendorong pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan inovasi teknologi, yang membentuk dunia modern. Ketika inilah Patola mulai terjamah oleh para merkantilis Barat.
Pertukaran Budaya, Inovasi Tekstil, dan Kuasa Pasar
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada tahun 1602, adalah dominator perdagangan di Samudra Hindia, termasuk di dalamnya produk-produk tekstil. Secara statistik, VOC melampaui semua pesaingnya dalam perdagangan Asia. Antara tahun 1602 dan 1796, VOC mengirim hampir satu juta orang Eropa untuk bekerja di perdagangan Asia dengan 4.785 kapal dan menjaring lebih dari 2,5 juta ton barang dagangan di Asia.
Demikianlah, VOC mendominasi perdagangan tekstil India yang menguntungkan selama abad ke-17 dan menyadari tingginya permintaan kain Patola di Asia Tenggara. Mereka mulai memesan replika blok dan sablon, yang ditandai dengan logo lambang VOC, dari produsen-produsen India sendiri, dari penenun-penenun di Kepulauan Hindia, dan dari Belanda. Kain “alternatif” ini lebih terjangkau daripada kain Patola ikat ganda asli, sehingga dapat diakses oleh pasar massal yang memang menganggap Patola asli terlalu mahal dan sulit diperoleh. Dengan menciptakan versi yang terjangkau ini pedagang-pedagang Belanda mulai memasarkan produk mereka ini di seantero Asia Tenggara, sering dengan metode barter guna menukar tekstil replika ini dengan rempah-rempah.
Upaya VOC untuk memproduksi tekstil yang berorientasi pada laba, menghasilkan replikasi kain Patola India. Pedagang-pedagang Belanda ini menyadari potensi kain yang terinspirasi dari Patola di pasar Eropa, yang memicu industri yang berkembang pesat. Patola tiruan Belanda menggambarkan pola-pola bunga India yang disederhanakan, desain-desain geometris, dengan motif-motif Eropa seperti daun acanthus. Motif hewan, seperti singa dan elang yang mencerminkan pengaruh artistik Eropa juga nampak. Perajin Belanda menggunakan berbagai teknik untuk mereplikasi desain Patola, termasuk cetak blok, cetak pelat tembaga, dan teknik lukis tangan. Katun dan linen, kain yang lebih kasar daripada sutra Patola tradisional, digunakan untuk tiruan Belanda. Metode-metode ini memungkinkan produksi massal, sehingga tiruan Patola Belanda lebih mudah diakses dan terjangkau bagi konsumen Eropa dan juga Asia.
“Patola Belanda” ini kemudian secara signifikan memengaruhi produksi tekstil Eropa. Desain Patola dimasukkan ke dalam kain Eropa, yang berkontribusi pada pengembangan gaya tekstil baru. Perdagangan tekstil global juga mendapat manfaat dari Patola Belanda, karena memfasilitasi pertukaran budaya antara India dan Eropa. Ini adalah perwujudan dinamika kompleks dari pertukaran budaya, inovasi tekstil, dan usaha-usaha komersialisasi. Terlepas dari kontroversi soal keaslian dan otentisitas, ini adalah bab penting dalam narasi warisan tekstil global.
Patola di Minahasa
Sekira abad ke-16 silam, seorang Walian, pemimpin spiritual Minahasa, menerima sepotong kain Patola sebagai hasil barter. Kain ini selanjutnya digunakan seumur hidupnya, terutama ketika ia memimpin foso (ritual) yang adalah nafas dari religiusitas Orang Minahasa kala itu. “Kain dengan motif-motif tertentu adalah keharusan dalam ritual-ritual tua Minahasa,” demikian menurut Tonaas Rinto Taroreh. “Foso tidak bisa dilakukan tanpa kesertaan simbol-simbol dalam bentuk kain atau pakaian. Ini adalah bagian dari upaya melayakkan diri dihadapan Sang Pencipta,” tambahnya. Kain Patola dan beberapa jenis kain tradisional lain seperti kain Bentenan dan kain Timor telah terjalin erat dalam religiusitas Minahasa.
Orang Minahasa rupanya memang punya tradisi mendalam soal berpakaian terbaik dalam ibadah-ibadahnya. Budayawan Minahasa Fredy Wowor mengatakan, “Kita, Tou Minahasa, selalu memiliki kesadaran estetik dalam ruang-ruang religi. Ketika hari ini kita menyaksikan Orang Minahasa yang menyediakan garmen terbaiknya guna hadir dalam ibadah-ibadah, itu adalah perwujudan dari kesadaran tua kita, bahwa manusia ketika berhadapan dengan Tuhan haruslah ia berada dalam keadaan yang terbaik”. Memang tak dapat disangkal, bahwa kain Patola adalah salah satu yang terbaik yang pernah bisa dijangkau oleh leluhur Orang Minahasa.
Eksistensi kain Patola di Minahasa adalah juga salah satu bukti dari aktifnya sedari dulu tanah ini dalam pusaran komunikasi dan perdagangan global. “Masih tersisa hari ini artifak-artifak –termasuk potongan-potongan kain- yang jelas nampak simbolisasi-simbolisasi kuno yang senada dengan penanda-penanda dari peradaban-peradaban tua di luar Minahasa sejauh abad ke-11 masehi,” lanjut Taroreh. Leluhur Minahasa rupanya sudah jamak menjalin kontak dengan dunia luar. Jauh sebelum maraknya perdagangan yang dilakukan bangsa Eropa, Tanah Minahasa sudah larut dalam dinamika “arus” peradaban dunia. “Kita adalah ruang perjumpaan antara Sinosfera dan Indosfera. Kemudian datang juga masa di mana bangsa-bangsa Eropa silih-berganti menyinggahi Minahasa. Minahasa sepanjang sejarahnya adalah hasil dari dialog dari berbagai peradaban dunia,” tambah Wowor.
Minahasa tak lepas juga dari “kuasa pasar” dalam konteks kain Patola. Sepotong besar “Patola Belanda” masih disimpan Tonaas Rinto di museum kecilnya. “(kain) Ini adalah yang tersisa dari ramainya kontak dagang antara Minahasa dengan Belanda pada zaman itu. Saya yakin bahwa Patola replika ini masuk Minahasa sekitar tahun 1700-an, dirunut dari silsilah pemilik pertamanya,” ungkap Taroreh. Kain Patola, baik yang asli maupun yang replika, telah menjadi sebuah simbol sebuah tingkatan kebudayaan dan peradaban. “Orang Minahasa menyambut secorak kain yang datang dari sejauh India ini, dengan segala aspeknya, dan telah menjadi bagian dari alur sejarah Minahasa,” tutup Wowor.
Sepanjang sejarah manusia, tekstil telah memainkan peran penting dalam membentuk peradaban, budaya, dan ekonomi. Dari linen Mesir kuno hingga serat sintetis modern, tekstil telah mencerminkan kecerdikan, kreativitas, dan inovasi manusia. Tenunan sejarah kain Patola adalah bukti usaha manusia, perjumpaan budaya, ketekunan artistik, dan keberniagaan kita, Manusia. Jalinan kain indah ini menjadi serupa jembatan antara masa lalu dan masa kini, menyatukan benang-benang sejarah dan peradaban Minahasa.