Connect with us

Daerah

Patung Sam Ratulangi Dibongkar, Perupa Sulut Gugat Pemerintah

Published

on

15 Desember 2024


“Patung Sam Ratulangi yang telah dipindahkan itu nilainya melampaui nilai estetika. Patung itu dibangun di masa Pak Gubernur H.V. Worang, seorang jenderal pejuang dan pekerja keras yang banyak meletakkan fondasi pembangunan di Sulawesi Utara, terutama infrastruktur jalan seantero Sulawesi Utara hingga Gorontalo”


Penulis: Rikson Karundeng


PATUNG Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau Sam Ratulangi, pahlawan nasional kebanggaan rakyat Sulawesi Utara yang berdiri gagah di simpang Ranotana, Manado, dibongkar. Gelombang reaksi publik meletup, menyasar pemerintah yang dianggap bertanggung jawab terhadap aksi itu.

Selasa, 10 Desember 2024, Kepala Dinas Komunikasi, Informatika Persandian dan Statistik Provinsi Sulawesi Utara, Steven Evans Liow, merespons polemik yang bergulir kencang di masyarakat. Patung itu disebut akan digantikan dengan patung perunggu.

“Itu dilakukan oleh Balai Jalan (Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XV Manado), dananya dari pusat. Tujuan penggantian itu untuk estetika. Itu sesuai dengan semangat kota Manado yang kini tengah berbenah,” kata Liow.

Berbagai pernyataan kritis langsung dilontarkan para perupa, seniman kebanggaan Sulawesi Utara. Melky Runtu, perupa yang juga berkiprah di tingkat nasional ini menyatakan, masyarakat literasi yang kurang paham sejarah, ditambah dengan “kolonialisasi” pemerintah yang tidak punya kompeten dalam perkembangan seni, sejarah, dan kebudayaan, hanya berpikir nilai dari nominal yang mereka dapat dari anggaran APBD sebagai lahan pekerjaan. 

“Justru di sinilah tugas kita bersama sebagai pelaku dan pegiat seni bangkit. Saya ingin seniman, budayawan, atau pun sejarawan punya tugas dan tanggung jawab untuk bersatu,” ujarnya. 

Dipastikan, isu ini akan terus digaungkan. Suara itu akan didorong sampai ke tingkat nasional, hingga mendapatkan perhatian semua pihak berkompeten.

“Saya berkata, seni selalu berbicara pada karya. Kalau kalian melecehkan berarti kalian menginjak harga diri kami yang tidak hanya berbicara di daerah, tapi kami bisa angkat isu ini ke aras nasional, karena kebiadaban para oknum yang tidak bertanggung jawab,” ketusnya.

Nada kritis juga disampaikan akademisi dan perupa Sulawesi Utara,

Arie Tulus. Dipastikan, kasus ini jika dibiarkan, di masa datang akan ada lagi kasus-kasus serupa yang akan terjadi. 

“Di Sulawesi Utara umumnya, apalagi di Minahasa, terlalu banyak pelanggaran. Vandalis atau perusakan, pencurian, penghilangan situs budaya, dan tidak ada tindak lanjut dari pihak berwajib,” tuturnya.

Lihat saja peristiwa beberapa tahun lalu soal pencurian sejumlah ukiran pahatan yang ada di waruga-waruga Sawangan dan Airmadidi. 

Penghancuran waruga-waruga di belakang Polres Kota Tomohon, dan yang lebih fatal lagi yang terjadi di Benteng Moraya Tondano dan Bendungan Kuwil Minahasa Utara. 

“Berikut peristiwa situs budaya Kaimeya di Kakaskasen, Tomohon. Tapi apa yang terjadi sekarang ini memang tergolong sangat-sangat fatal, karena yang mereka ‘hancurkan’ dengan dalih estetika itu adalah nilai historis dari patung ‘Pak Samrat’ di Wanea-Ranotana yang sudah berjalan lima puluh tahun lebih,” tegas Tulus. 

Kebijakan pemerintah yang tiba-tiba memindahkan patung Sam Ratulangi dan memesan patung baru dari luar daerah, dianggap “membunuh” para perupa Sulawesi Utara.

“Selanjutnya, mereka memesan patung dari luar daerah. Ini tentu sudah dengan sengaja tidak lagi memberi kesempatan para perupa atau seniman patung yang ada di Sulawesi Utara untuk hidup dengan sejarahnya,” keluh pelukis dan pematung yang banyak mengukir karya bersejarah di Sulawesi Utara ini.

“Memindahkan patung pahlawan nasional Pak Sam Ratulangi ke tempat lainnya, sudah sangat jelas telah menghilangkan sejarah hadirnya patung Pak Sam Ratulangi di tempat asalnya. Jadi tolong kembalikan patung ini ke tempatnya semula, biar patung ini terus berjalan dengan sejarahnya sendiri,” tandasnya.

Alfred Pontolondo, Koordinator Forum Perupa Sulut, juga menyuarakan aspirasi para perupa lainnya. Para perupa Sulut menyebut, jika alasan pemindahan adalah estetika dengan jalan merusak estetika dan sejarah, itu justru salah kaprah. 

“Pemerintah daerah dengan tanpa bertanya ke berbagai pihak, telah mengambil keputusan yang menurut para perupa Sulawesi Utara dan juga sejumlah sejarawan Unsrat sebagai keputusan yang tanpa pertimbangan matang, tergesa-gesa entah dengan urgensi apa dan cenderung ceroboh,” ujar Pontolondo. 

Pemindahan patung Sam Ratulangi dianggap bukan hanya melecehkan nilai-nilai yang diwariskan pahlawan nasional itu, tapi juga mengabaikan pikiran serta kerja keras Gubernur Sulawesi Utara 1967-1978, Hein Victor Worang.

“Patung Sam Ratulangi yang telah dipindahkan itu nilainya melampaui nilai estetika. Patung itu dibangun di masa Pak Gubernur H.V. Worang, seorang jenderal pejuang dan pekerja keras yang banyak meletakkan fondasi pembangunan di Sulawesi Utara, terutama infrastruktur jalan seantero Sulawesi Utara hingga Gorontalo,” kata Pontolondo.

Dikisahkan, Gubernur H. V. Worang harus bekerja keras merangkul kembali masyarakat Minahasa yang sempat terbelah karena kemelut Permesta. Keberadaan patung Sam Ratulangi yang dibangun menghadap ke “gunung”, salah satunya untuk tujuan itu. 

“Supaya masyarakat Sulawesi Utara, khususnya Minahasa, melihat kepada figur Bapak Sam Ratulangi. Salah satu pendiri negara Indonesia, asli Tondano. Supaya kita bercermin pada nilai-nilai hidup dan pemikiran beliau dan menjunjung tinggi persatuan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya.

Patung itu didirikan oleh perupa Karim di tahun 1972 atas perintah Gubernur Worang, lalu diteruskan dan dipugar oleh pematung asal Sulawesi Utara, Alex Wetik yang juga adalah sahabat Bapak Seni Rupa Indonesia, Sudjojono. 

“Beliau juga yang membangun sejumlah patung di kota Manado, termasuk patung Wolter Mongisidi di depan Museum TNI AD di jalan Bethesda. Jadi ada nilai kreativitas dan hasil jerih lelah putra daerah pada patung itu, makanya patung itu benar-benar monumental,” ungkap Pontolondo.

Patung Samrat memiliki ikatan emosional dalam memori kolektif masyarakat Manado, sehingga Ranotana tidak lengkap tanpa patung ini. Patung itu hanya akan memiliki makna yang utuh, baik dari sisi sejarah maupun mental emosional masyarakat di sekitarnya ketika patung itu hadir di Ranotana.

Patung Samrat juga telah menjadi ikon dan landmark kota Manado. Jadi ketika itu dicabut, bukan hanya sejarah dan memori kolektif masyarakat yang yang dicerabut, tapi juga citra kota diubah dengan tanpa persetujuan masyarakat di sekitarnya.

“Jadi kalau mau bilang patung beton Sam Ratulangi karya Alex Wetik berlatar motivasi pembangunan Gubernur H. V. Worang dianggap kehilangan nilai estetika, hingga harus dipinggirkan lalu wajib diganti secepat mungkin dengan patung perunggu yang megah, itu salah besar,” tegas Pontolondo.

Makanya sebelum mengambil keputusan, para pejabat perlu berpikir lebih panjang, menimbang lebih dalam, bertanya pada pihak-pihak yang berkompeten dan membaca buku kembali lebih lama, supaya tidak menjadi buta sejarah dan abai terhadap nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat, lalu asal seruduk dalam mengambil keputusan.

“Jangan selalu mengejar gemerlap, citra visual yang kelihatan ‘wow’, mengglorifikasi segala sesuatu yang besar dan mewah atas nama pembangunan kota lalu mengorbankan nilai-nilai yang jauh lebih penting dan lebih mendasar dari apa yang sudah terbangun,” tuturnya.

“Kami mendesak agar pemerintah, baik Pemerintah Kota Manado dan Balai Jalan Provinsi Sulawesi Utara, mengembalikan patung Sam Ratulangi ke tempat semula. Dan jangan mengulangi kecerobohan lagi di masa mendatang,” tegasnya.

Diketahui, para perupa Sulawesi Utara ikut mempertanyakan sikap setiap institusi resmi yang bertanggung jawab terhadap pemajuan atau pelestarian kebudayaan di Sulawesi Utara atas kasus ini. Baik Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Manado. 

Instansi terkait diminta jangan hanya wowo’. Ada persoalan jelas di depan mata, ada karya budaya yang sedang dilecehkan dan nilai-nilainya diabaikan dan sudah berlangsung selama lebih dari satu minggu, tapi tidak ada sikap resmi dari tiap institusi ini.

“Kita jangan hanya gigih dalam hal selebrasi, festival, kaji mengkaji atau urusan administratif kebudayaan saja. Ada persoalan di depan mata. Ada tantangan pelestarian budaya sedang terjadi, lalu apa sikap dan tindakan nyata institusi resmi kebudayaan di Sulawesi Utara? Mana BPK? Mana Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara? Mana Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Manado? Apa anda takut pada kekuasaan sehingga bungkam dan mingkem?” 

Para perupa Sulawesi Utara dengan tegas menyatakan, jika tidak memiliki mental untuk mempertahankan nilai dan karya budaya yang sekarang sementara bermasalah di Sulawesi Utara, maka tidak ada gunanya negara menyerahkan tanggung jawab pemajuan kebudayaan pada institusi tersebut. 

“Termasuk mubazir APBN dan APBD digelontorkan untuk membiayai operasional tiap institusi ini. Justru dalam kondisi seperti saat inilah peran BPK, Disbud Sulut dan Dinas Dikbud Kota Manado ditunjukkan untuk menjawab tantangan perlindungan atas karya budaya,” ucap Alfred, mewakili para perupa yang bernaung dalam Forum Perupa Sulut. 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *