ESTORIE
Paul A. Tiendas, Nasionalis Kristen dari Minahasa
Published
4 years agoon
14 Agustus 1945
Oleh Denni H.R. Pinontoan
Nasionalisme pemuda Kristen di tahun 1920-an sampai 1930-an adalah sesuatu yang khas. Itu terungkap dalam pemikiran dan gerakan Paul A. Tiendas dalam organisasi pemuda Kristen di Hindia masa itu
PAUL A. TIENDAS adalah seorang pemuda Kristen asal Minahasa pemuka Bond van Christen Jongeren (BCJ). BCJ adalah organisasi pemuda Kristen berpusat di Solo yang turut memperjuangkan kemajuan Hindia (Indonesia) di tahun 1920-an sampai 1930-an.
Zakaria J. Ngelow dalam Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950 (terbit tahun 1994) menyebutkan, ayah Tiendas adalah seorang ‘penoelong Indjil”.
Dalam buletin yang diterbitkan oleh komite yang mengurus pengutusan ke Sangihe dan Talaud pada edisi No. 03 tahun 1907 menyebutkan nama seorang guru dari Minahasa yang diutus ke sana bernama Damos Tiendas. Sangat mungkin dia adalah ayah Paul Tiendas. Meski ia adalah guru, tapi di kalangan jemaat Kristen di Sangir, Damos Tiendas lebih dianggap Penoeloeng. D. Tiendas berasal dari Rurukan, Tomohon.
Sebelum BCJ, kata Ngelow, Paul A. Tiendas telah mendirikan organisasi De Groote Oost di Solo. Anggotanya adalah para pemuda asal Minahasa, Sangir dan Ambon. Organisasi ini juga menerbitkan majalah Rindoe Dendam. Salah satu tokoh di organisasi ini adalah Jan Engelbert Tatengkeng (19 Oktober 1907 – 6 Maret 1968) penyair Kristen asal Sangihe.
“De Groote Oost” kemudian berubah nama menjadi “Christen Jongeren Celebes” lalu kemudian berubah lagi menjadi “Vereeniging van Christen Jongeren.”
Akhir tahun 1920-an, Tiendas pergi ke negeri Belanda untuk belajar tentang organisasi gerakan kepemudaan di sana. Juni 1930 dan April 1931, dia menghadiri Kongres Pemuda Kristen di sana. Tahun 1931 dia pulang ke Hindia Belanda.
Majalah Gereformeerd Jongelingsblad, terbitan berkala Nederland van Jongelingsvereenigingen of Gereformeerd Grondslag edisi 31 Mei 1931 (koleksi delpher.nl) menyebutkan, kehadiran Tiendas di Belanda sangat penting sekali. Dia dianggap sebagai tokoh yang potensial untuk gerakan politik dan sosial di Timur.
Di Belanda agaknya pemikiran Tiendas diperkaya oleh oleh pergaulan dan pelatihan yang dia terima pada organisasi pemuda Kristen di sana. Pada majalah Rindoe Dendam edisi No. 6 Februari 1930, Tiendas menulis komentarnya yang menolak pemisahan agama dan gerakan. Dia menegaskan, bahwa gerekan kepemudaan mesti didasarkan pada agama.
Ngelow menuliskan, Tiendas dalam pelayanannya berusaha menghubungkan gerakan pemuda Kristen dengan kebangsaan. Dalam tulisan Tiendas berjudul “Pemandangan Ringkas Pergerakan Pemoeda Masehi di Indonesia” di Zaman Baru pada tahun 1930, seperti dikutip Ngelow menyebutkan, “…bahwa Oesaha Kemoedaan Masehi Indonesia beralas agama Kristen dan bersendi nationaal, berhaloean Masehi dalam aksi kebangsaan dan kekristenannja. Ia pentingkan Agama dan tanah air, karena Toehan. Ia menoejoe doenia dan sorga kepada hormat Allah.”
Ngelow lalu mengatakan, “Pemikiran Tiendas (yang sayang tidak secara lebih tegas menggambarkan wawasan dan sikapnya terhadap pergerakan nasional pada zamannya) merupakan gema dari sikap yang relatif positif terhadap nasionalisme Indonesia dari kalangan para pemuda Kristen…”
Tiendas rupanya terus berhubungan dengan organisasi-organisasi pemuda Kristen di Belanda. Tahun 1933 Tiendas menulis dalam bahasa Belanda di buletin Leidstersblad, edisi Agustus 1933 (koleksi delpher.nl). Buletin ini diterbitkan oleh federasi perempuan Kristen di Belanda. Dalam artikel itu , dia menggambarkan tentang para perempuan muda di Minahasa dan orang-orang muda Kristen pada umumnya. Tiendas mengatakan, orang-orang muda Kristen, perempuan dan laki-laki, di sini bergabung dalam organisasi Serikat Pemuda Masehi (SPM). SPM adalah organisasi yang berbasiskan kekristenan tapi program-programnya menyangkut masalah-masalah sosial pula.
Selama di Belanda Tiendas aktif berinteraksi dengan organisasi pemuda Kristen yang mendasarkan pemikiran dan gerakan sosial politiknya pada kekristenan. Eropa waktu itu sedang dalam perubahan besar akibat perang dunia pertama yang terjadi dari tahun 1914 sampai 1918. Pemikiran Abraham Kuyper, pendeta dan tokoh politik terus menggema di organisasi-organisasi pemuda Kristen progresif.
Nasionalisme Kristen dalam Semangat Ekumenis
Kehadiran beberapa tokoh ekumenis di Indonesia seperti John R. Mott dan H. Rutgers pada tahun 1926, menurut Ngelow telah menambahkan perkembangan baru dalam pelayanan kepemudaan Kristen di Indonesia. Demikian juga dengan kehadiran Dr. Hendrik Kraemer.
John R. Mott adalah tokoh penting dalam Konfrensi Misionaris di Edinburgh pada tahun 1910, yang salah satu isu penting yang dibicarakan adalah gereja nasional. Konferensi misionaris tahun 1910 itu adalah tonggak penting gerakan ekumene dalam kaitannya dengan nasionalisme.
Pada tanggal 18 dan 19 Februari 1926 berlangsung konferensi Pemuda Kristen di Bandung. John R. Mott adalah tokoh penting yang hadir dalam konferensi tersebut.
Dr. J.H. Bavinck yang berbicara dalam konferensi itu menyebutkan tentang tugas pekerjaan di Kerajaan Surga. “Pekerjaan di Kerajaan Surga juga merupakan pekerjaan organisasi,” kata Bavinck seperti tercatat dalam buku Verslag van de Jeugdconferentie te Bandoeng (koleksi delpher.nl).
Hal menarik disampaikan oleh Dr. Hendrik Kraemer yang juga pembicara dalam konferensi itu. Ia membahas hubungan antara pemuda Kristen dan gerakan pribumi. Hubungan itu, menurut Kraemer terdapat dalam satu kata: ‘nasionalisme’. Dengan berkata begitu, Kraemer bermaksud mendorong gerakan pemuda Kristen di Hindia untuk mendukung nasionalisme.
Rupanya Tiendas juga dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang sejak konferensi itu. Sebuah konferensi yang menjadi tonggak penting dalam perkembangan kesadaran nasionalisme di kalangan organisasi-organisasi pemuda Kristen.
“Wawasan oikumene dan nasionalisme para pemuda terungkap melalui pemikiran P.A. Tiendas dan J. Leimena, yang sama memperhubungkan iman Kristen dengan pergerakan nasional Indonesia,” tulis Ngelow.
Di Minahasa sendiri, pada periode 1920an sampai 1930-an terjadi konflik antara guru-guru Injil dengan Indische Kerk. Namun sebelum itu, sebenarnya sudah muncul seorang seperti Lambertus Mangindaan yang menggugat dominasi Indische Kerk. Para intelektual Minahasa yang menerima pendidikan kolonial, di sepanjang abad 19 beberapa kali menyampaikan petisi kepada pemerintah berkaitan dengan penindasan tanam paksa.
Gerakan kebangsaan dalam pengertian zaman itu sudah muncul di mana-mana. Namun, di masa itu, kata ‘nasionalisme’ adalah suatu kebingungan, kata Ernst Anton Adriaan De Vreede dalam disertasinya berjudul “Het Nationalisme Als Zedelijk Vraagstuk” (Nasionalisme sebagai Pertanyaan Moral) yang dipromosikan tahun 1932. Ketika Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) berdiri tahun 1934, De Vreede diangkat sebagai ketua sinodenya.
Membingungkan, karena kata De Vreede, masing-masing pihak memiliki pengertiannya sendiri-sendiri. Semuanya berkaitan dengan sudut pandang dan posisi pihak-pihak ini terhadap internasionalisme.
Demikian juga hubungan antara gereja dan nasionalisme. De Vreede mengatakan begini, “…nasionalisme begitu keras menentang gereja: pertentangan yang merupakan salah satu ciri dari manusia alami dalam ras dan konteks kebangsaannya, dan yang sebenarnya tidak ditujukan terutama terhadap kepemimpinan dan bentuk gereja itu.”
Itu lalu menjadi masalah bagi gereja. “Itu juga merupakan alasan mengapa seringkali gereja tidak dapat membuat dirinya masuk akal bagi kaum nasionalis,” tambah De Vreede.
Sebagai seorang yang menjadi bagian dari struktur Indische Kerk tapi sudah belajar banyak dari dinamika dalam gereja, termasuk mungkin konflik antara para guru NZG dan Indische Kerk di Minahasa, De Vreede lalu memutuskan untuk menjelaskan masalah nasionalisme dari sudut pandang etika. De Vreede sebagai predikant di Ambon masa itu, bersama A.Z.R.Wenas sebagai guru pribumi hadir dalam konferensi pemuda Kristen di Bandung tahun 1926, yang di dalamnya mereka mendengar ceramah Dr. Hendrik Kraemer mengenai pemuda Kristen dan nasionalisme.
Demikian halnya mungkin bagi seorang Tiendas. Dia adalah orang Minahasa, dari keluarga penolong, suatu posisi tersendiri dalam masyarakat di sini yang merupakan bagian dari kehadiran kekristenan. Lalu Tiendas sudah terhubungan dengan gerakan nasional Hindia Belanda dan juga dengan pemikiran-pemikiran di kalangan organisasi kepemudaan Kristen di negeri Belanda.
Tiendas lalu memilih jalan etis untuk perjuangan kebangsaannya. Nasionalisme yang khas seorang Kristen dan Minahasa. Tiendas dan kawan-kawan tokoh pemuda Kristen lainnya memperjuangkan itu dengan antara lain terus berusaha memajukan gerakan kepemudaan Kristen di Hindia Belanda.
Dalam satu tulisan bertajuk ‘De methode van het jeugdwerk in Indië’ di Gereformeerd Jongelingsblad edisi No. 28 Maret 1931 (beberapa tahun setelah konferensi pemuda Kristen di Bandung itu), digambarkan gerakan kepemudaan di Hindia (Indonesia). Disebutkan bahwa gerakan kepemudaan di sini masih sedang dalam perkembangan dengan variasinya yang cukup banyak. Dikatakan, sering yang tampak, pertemuan-pertemuan dilaksanakan secara antusias, tapi setelah itu semangat para anggota padam. Hanya sedikit anggota setia yang bertahan. Tapi, perkembangan yang tampak bagus adalah bahwa semakin banyak organisasi pemuda yang dipimpin oleh orang-orang pribumi.
Disebutkan lagi dalam artikel itu, bahwa ada kebutuhan untuk terus mengembangkan pengetahuan bagi pemuda-pemuda di Hindia, yang salah satunya adalah sumber-sumber bacaan. Kaitan dengan itu adalah pengetahuan dan kesadaran sosial dan politik di kalangan mereka yang mesti harus terus dikembangkan.
“Bagi mereka, pertanyaan politik dan sosial adalah: apa hubungan antara industri gula Eropa dan budidaya padi pribumi?” demikian disebutkan dalam artikel itu.
Juga pertanyaan-pertanyaan lainnya yang penting dipikirkan dan didiskusikan oleh pemuda Hindia masa itu adalah: hubungan antara iman Kristen dengan Islam dan Hindu; tentang adat istiadat dan agama-agama; tentang praktek-praktek beragama agama-agama lain, semisal mengapa orang-orang Islam berpuasa; Yesus dan Muhammad; tentang wayang dan tentang sejarah mereka sendiri.
“Dan begitu banyak pertanyaan lagi,” demikian disebutkan lagi.
Artikel itu lalu menyebut nama P.A. Tiendas sebagai pemimpin pemuda Kristen masa depan. Tiendas disebut sebagai pemimpin pemuda yang dapat mengembangkan semua apa yang menjadi tanggung jawab sosial-politik organisasi pemuda Kristen di Hindia.
Tapi rupanya, Tiendas memang sebelumnya sudah memiliki pemikiran dan kesadaran tentang hubungan antara kekristenan dan nasionalisme. Itu antara lain terungkap dalam suatu tulisannya di akhir tahun 1920-an.
“Soeatoe persatoean Indonesia Masehi, jang memang koekoeh karena, sebab persatoean itu beralas pertjaja kasih dan pengharapan,” tulis Tiendas dalam sebuah artikelnya di Zaman Baroe, seperti dikutip Ngelow.
Kesadaran dan wawasan Tiendas ini dapat dihubungkan dengan keminahasaannya. Bahwa, begitulah leluhurnya di masa lampau bertemu dengan para zendeling. Penolong dan guru Injil adalah sebuah negosiasi antara ‘kewalianan’ dengan ‘kekristenan’ yang mereka mengerti, bukan terutama apa kata para zendeling. Dan, Tiendas adalah anak dari seorang guru dan penoelong.
Pada artikelnya itu, ia menegaskan, idealisme itu demi “tjita-tjita goena Agama dan Bangsa”. (*)
Penulis, Desainer Grafis & Sinematografer
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan