CULTURAL
Pelangi di Lao Cai
Published
6 years agoon
By
philipsmarx13 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Kermis adalah jenis kehidupan yang rumit, tak seperti brosur pariwisata tentang Vietnam di majalah terbitan maskapai penerbangan.
ADALAH TIDAK berlebihan untuk mengatakan bahwa Kermis di dataran tinggi merupakan hal yang unik.
Sebuah jamuan massal tentang keragaman yang diwariskan masa lalu dan secara magis berhasil diawetkan oleh generasi hari ini. Di mana sungai Hong mengalir mengitari punggung perbukitan yang masih hijau. Tempat di mana kampung-kampung berukuran kecil, terpisah cukup jauh antara satu dengan yang lain. Dibalut udara berhawa dingin perbukitan utara Vietnam yang dihembus perlahan menembus kulit. Menggetarkan hati.
Siapapun yang pernah singgah di pasar tradisional Bac Ha, pasar kerbau Can Cau, pasar Muong Hum, Cao Son, atau di Pha Long, mungkin akan bisa bersepakat bahwa Kermis adalah pengalaman spiritual dan intelektual yang dapat menjadi pintu untuk mengenali lebih dalam mengenai ragam masyarakat tribal di Lao Cai.
Ini adalah jenis kehidupan yang jauh lebih rumit ketimbang brosur-brosur pariwisata mengenai Vietnam yang anda temui di majalah terbitan maskapai penerbangan. Mengalami Kermis juga jauh lebih berwarna. Tentu saja jauh lebih baik dibanding hanya melihat dari balik catatan-catatan para pengunjung kulit putih yang ditulis sekedarnya di blog-blog mereka. Kalian hanya akan menemukan total biaya atau rute yang harus ditempuh. Melihat langsung Kermis juga jauh lebih spiritual ketimbang memandang lusinan foto yang memang hanya mampu memotret banalitas. Fragmen yang tidak akan pernah utuh.
Ketika perayaan Kermis tiba, sejak subuh jalanan menuju pasar telah sesak dengan manusia dan ternak. Orang dewasa hingga anak-anak. Berbagai kelompok masyarakat tribal ramai-ramai turun gunung dengan barang hasil olahan yang diletakkan di punggung kuda. Masing-masing membawa hasil restu alam berupa umbi-umbian atau daging hewan buruan. Sebagian lain membawa bentuk ucap terima kasih atas bumi yang menjaga mereka turun temurun dalam rupa anyaman, kain tenun dan perhiasan warna warni.
Selain suku-suku tribal yang sebagian besar tinggal di punggung bukit sekitar Lao Cai, perayaan Kermis akan mempertemukan kita dengan wajah-wajah asing penuh rasa ingin tahu dengan mata yang berbinar. Mungkin ini pertama kali mereka datang. Sangat mudah membedakannya. Selain warna kulit yang lebih pucat, pakaian mereka cenderung berwarna kusam atau gelap. Separuh di antaranya menenteng kamera dan sibuk mengambil gambar. Yang lain menjadi model dalam gambar. Umumnya tamu perayaan Kermis adalah turis-turis asal Eropa, Jepang atau Korea yang memasuki Vietnam melalui bandara internasional di Ha Noi. Dengan menggunakan kereta atau bus, mereka menuju Lao Cai. Dibukanya jalan tol dari ibukota menuju Lao Cai membuat waktu perjalanan semakin singkat. Tidak perlu lagi menghabiskan satu hari perjalanan seperti biasanya. Empat jam menyusuri aspal dengan bus wisata sudah cukup.
Pesta Kermis di Lao Cai adalah perjumpaan warna warni.
Ini kesempatan bagi kelompok minoritas tribal yang komunitas-komunitasnya merentang dan tersebar di perbukitan yang menjalar hingga melintas batas ke provinsi Yunan, Cina untuk berkumpul. Kermis biasanya diadakan selama sehari dalam rentang dua minggu, antara hari Sabtu atau Minggu. Namun perayaan Kermis di pertengahan tahun dilangsungkan hingga beberapa hari. Biasanya, ketika mengawali dan saat menutup masa tanam di musim panas. Ini adalah perayaan paling riuh di sepanjang tahun.
Jika anda ingin menyaksikan bagaimana keramaian Kermis ditetaskan, datanglah ketika matahari masih suam-suam kuku dan kabut sedang melayang rendah di atas permukaan tanah. Bersamaan dengan matahari memanjat langit, kita akan melihat dari kejauhan perempuan-perempuan berjalan beriringan dalam grup menuju lokasi. Biasanya sekitar tiga hingga enam orang. Punggung mereka menggendong barang-barang yang akan dijual atau ditukar. Ini adalah kelompok yang paling awal mencapai lokasi perayaan Kermis. Setelahnya, rombongan kuda akan tampak mendekat. Ada yang sedang menggotong hewan, atau memikul sesuatu. Kebanyakan laki-laki dan sebagian besar bertelanjang dada. Sisanya, berselempang atau membungkus tubuh dengan sehelai kain. Dingin subuh yang menua tidak membuat mereka menggigil. Tulang-tulang mereka sudah ditempa kerasnya hidup di punggung pegunungan.
Setibanya di lokasi, semua akan bergerak untuk memilih dan menandai batas tempat, menata barang bawaan, sebelum kemudian bertegur sapa dengan kenalan atau sekedar berkeliling.
Pakaian orang-orang ini penuh warna. Sebuah penanda identitas kultural. Bagi mata yang telah terlatih membedakan motif dan pilihan warna, kita akan dapat dengan mudah mengenali dari kelompok mana seseorang berasal. Biasanya, para pelaku Kermis berasal dari H’Mong, Dao, Giay, Nung atau Tu Di. Ini adalah nama-nama kelompok minoritas tribal yang desa-desanya terhampar di perbukitan yang tak jauh dari Lao Cai.
Saat matahari mulai beranjak tinggi, mereka segera sibuk menata ruang untuk berjualan. Hasil pertanian yang terdiri dari beragam jenis sayuran akan berada di satu area, biasanya berdampingan dengan tempat daging dan hewan ternak yang terletak di paling ujung. Bahan pokok seperti beras, tepung, sabun atau shampoo berada di gerai yang sama. Sementara pakaian dan kosmetik akan dijumpai paling awal ketika memasuki area perayaan kermis.
Secara alami, Kermis akan dimulai. Jika semua gerai telah siap, orang-orang akan mulai bergerak, melihat-cari barang yang mereka butuhkan, menanyakan harga atau sekedar singgah dan mengucapkan salam, bertukar senyum atau tertawa lepas. Anak-anak kecil mulai berlarian secara acak. Para remaja mulai berkelompok sesuai jenis kelamin dan jarak umur yang tidak terlalu berjauhan. Lalu saling mencuri pandang atau melirik ringan. Beberapa perempuan muda tampak malu-malu ketika bertabrakan pandang dengan lawan jenis. Mereka menyembunyikan wajah yang tersipu sambil tersenyum dari balik payung yang diwarnai secara alami. Beberapa perempuan dewasa akan tampak hilir mudik sambil menggendong anak mereka yang biasanya terlihat masih mengantuk di punggung.
Tidak ada gerbang permanen yang berfungsi sebagai pintu masuk utama, seperti layaknya toko atau pasar modern. Perayaan Kermis memang dilangsungkan di tanah lapang yang memungkinkan pengunjung datang dari arah mana saja. Tapi, orang-orang di sini menyepakati bahwa Kermis di awali dengan memilih busana. Penandanya adalah ketika transaksi pertama dimulai seusai para pedagang kosmetik dan baju menata barang dagangannya. Bagian paling akhir yang biasanya dikunjungi adalah barisan penjual daging mentah. Jadi jangan kaget jika menjelang tengah hari, barulah jagal menjagal hewan peliharaan atau hasil buruan dimulai.
* * *
Berbatasan langsung dengan Cina, Lao Cai adalah pintu masuk-keluar ekspor-impor barang yang menggunakan jalur darat. Terletak di bagian barat laut Vietnam, provinsi ini memiliki dua kota utama; Lao Cai dan Sa Pa.
Yang disebut terakhir lebih populer dengan resort di daerah puncak gunung dan perdagangan perempuan. Turis-turis pria yang datang tanpa ditemani pasangan atau kawan perempuan akan didekati para germo yang menawarkan jasa pelacuran. Selain itu, Sa Pa juga populer dengan sistem persawahan padi bertingkat karena sering menghiasi buklet-buklet promosi pariwisata. Biasanya, Sa Pa akan ramai dikunjungi ketika musim panen padi tiba di awal musim panas. Kota ini, termasuk satu dari 20 kantong penghasil beras Vietnam dengan kualitas nomor satu. Atraksi mata lain adalah bangunan-bangunan tua dari abad ke 15 yang masih terpelihara dengan baik. Penamaan kota ini mengikuti penyebutan oleh suku H’Mong yang merupakan suku asli mayoritas di daerah ini.
Di masa lalu, Sa Pa menjadi salah satu pos perdagangan antara kolonial Prancis dan Cina. Perang Dunia II sempat merusak wajah kota kecil ini. Lebih dari 250 bangunan bersejarah hancur karena hujan bom. Restorasi yang dimulai pasca-perang penyatuan Vietnam dipandang banyak orang gagal untuk mengembalikan kekayaan arsitektural Sa Pa di masa lalu. Di kancah politik nasional, kota dari perbatasan ini sempat mengisi halaman depan surat kabar ketika di tahun 2006, Ketua Dewan Rakyat Sa Pa terpilih sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Vietnam (PKV). Ketika dilantik, ia masih berumur 33 tahun.
Sementara Lao Cai, lebih dikenal sebagai pusat transaksi perdagangan karena berbatasan dengan kota Hekou, provinsi Yunnan, Cina. Perbatasan ini sempat ditutup ketika perang antara Vietnam dan Cina berlangsung pada tahun 1979. Lalu lintas barang baru dibuka kembali di tahun 1993 dan hingga kini tetap beroperasi.
Lao Cai berawal dari penyebutan orang-orang Vietnam terhadap catatan administratif Prancis yang menuliskan daerah ini sebagai Lao Kay. Nama ini sendiri secara resmi mulai digunakan oleh pemerintah Vietnam pada tahun 1950. Daerah ini adalah tempat di mana ahli biologi Jean Théodore Delacour, melakukan penelitiannya di tahun 1929.
Sejak masa lampau, Lao Cai adalah pusat perdagangan yang juga rentan konflik. Cina, Vietnam dan etnik tribal minoritas saling berebut klaim di sini. Di tahun 1463, Lao Cai adalah ibukota daerah utara dari kerajaan Viet sekaligus sebagai patron dagang dengan kerajaan Cina di bagian utara. Ketika Prancis datang menjajah, posisi Lao Cai tak bergeser. Ia tetap menjadi pusat administrasi. Di kota ini pula, Prancis membangun pusat kekuatan militernya yang juga mencakup beberapa provinsi sekitar yang berada di bagian utara.
Kota ini menderita luka yang dalam di tahun 1979. Perang antara Vietnam dan Cina menghancurleburkan hampir seluruh wajah Lao Cai. Dari cerita masyarakat sekitar, sisa-sisa perang masih sering dijumpai di daerah pertambangan. Yang lain menuturkan bahwa orang masih harus berhati-hati jika melintas di sepanjang garis perbatasan sebab masih ditemukan ranjau.
* * *
Dalam sensus penduduk tahun 2008, total penduduk di Lao Cai tercatat sebanyak 602.300 jiwa. Jumlah ini terdiri dari sekitar 26 etnis grup. Selain bahasa Vietnam, bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa H’Mong dan Tai yang merupakan dua etnis minoritas terbesar di Lao Cai. Kelompok-kelompok tribal ini mendiami daerah pegunungan di sekitar Lao Cai dan Sa Pa. Tahun 2000, mereka masih mendominasi 75% dari populasi di Lao Cai. Namun sepuluh tahun kemudian, jumlah ini menyusut ke angka 50% dari keseluruhan populasi.
Beberapa kelompok etnis menuduh bahwa penyusutan populasi mereka dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Vietnam. Ada dua kebijakan utama yang dianggap mendegradasi pengaruh kelompok etnis minoritas.
Pertama adalah penetapan taman nasional Hoang Lien di tahun 2006. Taman nasional seluas 29.845 hektar ini, dinilai menyerobot lahan adat yang dimiliki oleh beberapa etnis minoritas. Lahan pertanian jahe yang dikelola kelompok-kelompok ulayat yang termasuk dalam taman nasional terpaksa harus diserahkan kepada pemerintah dan masyarakat adat mesti menyingkir ke luar.
Persoalan kedua adalah kebijakan integratif pemerintah. Kebijakan ini terdiri dari dua strategi utama. Yaitu taktik partai komunis Vietnam yang mengirimkan kader-kader mereka ke tengah-tengah masyarakat adat. Kader partai ini bertugas untuk ‘mengintegrasikan’ kelompok-kelompok etnis minoritas ini ke dalam masyarakat Vietnam. Integrasi ini dilakukan lewat pembangunan sekolah nasional di mana anak-anak dari kelompok-kelompok tribal dididik untuk ‘menjadi Vietnam’. Strategi berikutnya adalah melakukan transmigrasi penduduk etnis Vietnam dari Ha Noi atau daerah padat penduduk lain ke Lao Cai. Para transmigran inilah yang kini menjalankan dan menguasai sektor informal di Lao Cai. Pegawai-pegawai pemerintah sebagian besar merupakan transmigran.
Selama lima tahun terakhir, beberapa kali konflik horizontal terjadi. Pada Maret 2012 lalu, pemuda-pemuda dari etnis Giay ditangkap setelah mengeroyok seorang pemilik toko di Lao Cai. Pengeroyokan ini dipicu oleh rasa sakit hati karena merasa telah ditipu oleh pemilik toko dalam transaksi jual beli hasil kerajinan mereka. Di tahun 2013 lalu, etnis Phula juga sempat bersitegang dengan pihak kepolisian setelah salah seorang anggota mereka ditangkap dengan alasan merusak hutan lindung. Tapi berita tentang peristiwa seperti ini cepat menguap.
Tapi di tiap perayaan Kermis, kasus seperti ini menyebar lewat bisik-bisik. Dari mulut ke telinga dan meluas hingga semakin banyak kelompok tribal lain yang tahu. Dari subuh hingga senja menjelang, kabar-kabar seperti ini dipertukarkan dan perkembangan terbaru dibagi dengan yang lain.
Itu mengapa, Kermis bukan sekedar arena jual beli barang. Ini adalah forum terbuka di alam bebas. Ruang di mana etnis-etnis minoritas berbagi solidaritas dan saling menguatkan. Bertemu dan berbicara dengan bahasa mereka, tertawa dan berbahagia karena dikelilingi oleh saudara dan keluarga. Kermis di Lao Cai adalah perayaan dari keragaman yang kini sedang menghadapi ancaman. Pesta warna warni yang mungkin tidak lama lagi melenyap karena modernisasi dan politik mono-identitas.
* * *
Sabtu, 18 Oktober 2014, saya berkesempatan datang melihat langsung perayaan Kermis di Lao Cai. Saya tak sendiri. Ada dua orang lain yang ikut. Vinh, seorang sosiolog muda asal Ha Noi. Kami saling kenal sejak berjumpa pada sebuah konferensi di Jawaharlal Nehru University, New Delhi, India, awal tahun 2012. Vinh kemudian mengenalkan saya dengan Toi, seorang remaja yang lahir dan besar di Lao Cai. Toi baru saja lulus SMA tahun sebelumnya dan kini menjadi pemandu turis paruh waktu.
Kami berangkat satu hari sebelum perayaan Kermis dimulai. Pagi setelah sarapan, kami segera menuju Lao Cai. Destinasi awal sebelum melanjutkan perjalanan ke Sa Pa dan menuju perbatasan Vietnam-Cina.
Dari Ha Noi, kami memilih berkendara dengan sepeda motor meski jarak tempuh menjadi lebih lama. Sepeda motor dipilih karena lebih praktis. Kami dapat berhenti kapan saja. Sekedar mengambil foto atau singgah kencing sembarang di pinggir jalan. Toi bertindak sebagai penunjuk jalan sekaligus porter. Dua tas ransel terikat di sadel belakang sepeda motornya. Berisi baju dan beberapa kebutuhan selama menginap di Lao Cai dan Sa Pa. Saya dan Vinh membuntuti dari belakang. Sesekali menyalip untuk memberikan kode berhenti atau istirahat.
Butuh lebih dari enam jam sebelum akhirnya tiba di Lao Cai ketika hari mulai sore. Kami berhenti sejenak di batas kota. Hujan baru reda. Di langit, tak ada pelangi. Kami segera menuju penginapan yang direkomendasikan Toi, berada tepat di pusat kota. Kamar bersih dan luas dengan dua ranjang terpisah. Mereka menyediakan tambahan kasur agar Toi tak perlu menyewa kamar. Harganya terjangkau. Cukup membayar 15 USD untuk satu malam.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, tujuan kami berikutnya adalah makan malam semangkok mie porsi jumbo bercampur tulang babi di warung kenalan Toi. Enak dan murah. Lokasinya tidak jauh dari penginapan. Cukup berjalan kaki kurang dari lima menit. Warung kecil dengan meja kursi plastik berukuran rendah. Di lantai, banyak tisu dan kaleng bir kosong berserakan. Pemandangan umum banyak warung di Vietnam.
Usai makan malam, kemudian dilanjutkan dengan menenggak vodka Ha Noi untuk menghangatkan diri sembari mendengar Toi berkisah. Ia penutur yang baik. Tenang dan yakin. Ceritanya seputar kisah-kisah yang tidak terendus media atau yang sengaja dikubur dari telinga publik. Terutama soal konflik negara dengan kelompok-kelompok minoritas.
Beberapa ceritanya dibenarkan oleh Vinh. Meski ia menolak pandangan bahwa negara sengaja melakukan kekerasan. Saya memahami posisinya meski berterus terang tidak sepakat. Vinh adalah pegawai pemerintah, seorang guru di universitas dan juga loyalis Partai Komunis Vietnam. Keluarganya tergolong mapan. Ayahnya, adalah seorang pengurus serikat pekerja seni.
Tapi Vinh tergolong unik. Ia cukup waras untuk mengaku kepada saya bahwa Partai Komunis Vietnam melakukan banyak kesalahan. Namun baginya itu bukan kesalahan organisasi, tapi ulah individu semata. Oknum. Terdengar sangat Indonesia di telinga saya.
Empat botol vodka berukuran kecil sudah tandas. Puntung rokok dan berkas-berkas tisu berserakan di bawah meja. Kami memutuskan langsung pulang dan istirahat agar tidak melewatkan kesempatan menyaksikan Kermis sejak awal.
Keesokan hari, saat subuh masih merangkak, Toi sudah membangunkan saya dan Vinh. Di luar, langit masih gelap. Kami segera bergerak cepat. Membasuh muka dengan air, memeluk cuaca yang dingin, lalu segera berkendara menuju pesta. Jalanan Lao Cai masih sunyi dan pintu rumah warga belum ada yang buka. Toi memandu kami melaju ke utara. Ia pengendara yang cakap dan gesit. Vinh tampak kesulitan membuntutinya. Butuh sekitar lima belas menit untuk mencapai lokasi. Dilanjutkan berjalan kaki sekitar lima menit.
Di lokasi belum ada orang. Kami terlalu cepat datang. Tapi langit mulai beranjak terang.
Saya menyalakan kretek dan menawarkannya ke Toi. Wajahnya tersenyum. Ia mengambil sebatang, menyalakannya lalu mulai bergeser. Saya dan Vinh tanpa protes mengikutinya dari belakang.
Matahari mulai muncul tapi kabut masih terbang rendah di atas tanah yang lembab. Semakin terang, semakin hangat, semakin lembut. Toi menunjuk ke arah timur. Vinh segera bergerak. Memasang tripod, mengambil gambar, berpindah, mengganti posisi, mengambil gambar lagi.
Sementara saya tidak melakukan apapun. Cukup memandangi terbitnya matahari lalu menghisap dalam-dalam kretek yang persediannya semakin menipis. Otak saya berpilin memikirkan solusi berhemat dalam rentang seminggu ke depan. Toi beringsut pindah ke samping kiri saya. Ia terus tersenyum sembari menawarkan air minum. Saya menolak. Vinh masih sibuk dengan kamera.
Dari kejauhan, tampak bayangan manusia yang perlahan mendekat ke arah kami. Kelompok kecil pejalan kaki yang menyelinap di antara bias matahari pagi dan bayang hutan perbukitan Lao Cai yang kian tergerus. Semakin lama, semakin dekat. Ada beberapa kelompok terpisah. Tampak seperti merangsek, mengepung kami bertiga. Sayup-sayup terdengar suara perempuan-perempuan berdendang. Panjang, melengking, syahdu.
Saya mengambil kacamata, menajamkan pandangan dan menatap ke arah gerombolan perempuan-perempuan H’Mong yang berjalan ke arah kami. Perlahan, saya juga tersenyum seperti Toi. Kini, saya mengerti bagaimana cara menemukan pelangi di Lao Cai.(*)
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa