Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 Januari 2019
Oleh: Juan Y. Ratu
kelung.com – Terbongkarnya praktek prostitusi online yang melibatkan artis perempuan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur pada Sabtu (5 Januari 2019), mendapatkan tanggapan kritis dari aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nedine Helena Sulu. Menurut Sulu, cara media di Indonesia melakukan pemberitaan cenderung memojokkan perempuan. Konten-konten berita yang ditampilkan oleh beragam media justru tampak migonis karena melakukan objektifikasi terhadap korban sehingga berujung pada praktik merendahkan perempuan.
“Umumnya, dalam pemberitaannya baik media daring dan media cetak, terlalu vulgar. Banyak media yang tidak lagi menghormati hak-hak korban dan melampaui batas dengan mengeksploitasi korban (artis perempuan, red) sebagai sumber pemberitaan. Banyak media yang dengan sengaja menggiring opini agar korban dihakimi. Padahal kasus ini belum memiliki keputusan hukum tetap dari pengadilan,” kata Sulu.
Anggota Dewan Nasional AMAN ini juga menyayangkan absennya peran media untuk melakukan edukasi publik. Media-media justru tampak kalap dan tampil dengan model pemberitaan yang tidak adil gender. Hal ini menurut Sulu tampak jelas dalam penggunaan kata-kata yang provokatif dan menyudutkan perempuan yang ditujukan untuk menggaet lebih banyak pembaca.
“Bahasa yang digunakan di berbagai media, seperti celana dalam dan kondom, cenderung seperti memprovokasi pandangan masyarakat, untuk menghamiki dia (artis perempuan, red) sebagai perempuan kotor. Pembahasaan ‘kondom’ seharusnya dapat disubtitusikan dengan bahasa medis seperti alat kontrasepsi. Hal ini menunjukkan bahwa banyak media yang abai dan tidak peduli bahwa konten pemberitaan mereka adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sulu juga mengkritisi pihak kepolisian yang juga sama-sama abai dan tidak sensitif ketika menangani kasus sejenis ini yang melibatkan perempuan. Ia menyoroti aksi permohonan maaf yang dilakukan oleh Vanessa Angel kepada publik.
“Permintaan maaf itu hanya dapat dilakukan jika ia terbukti bersalah dengan keputusan hukum yang mengikat. Sejauh ini, tidak ada aturan hukum yang dapat memidanakan hubungan seks yang dilakukan oleh dua orang dewasa atas dasar suka sama suka. Meminta ia (Vannessa Angel, red) meminta maaf akibat keonaran yang ditimbulkan oleh buruknya pemberitaan di media merupakan sebuah kesalahan. Lagipula, dalam konteks kasus pelacuran seperti ini, yang seharusnya dituntut untuk minta maaf dan menjadi target untuk disasar pihak kepolisian dan media adalah mucikari dan tenaga perekrut perempuan untuk terlibat dalam jaringan prostitusi,” jelas Sulu.
Timpangnya kasus pemberitaan di media menurut Sulu sudah sering terjadi. Dalam banyak kasus, terutama prostitusi yang melibatkan tokoh publik, perempuan cenderung mudah dijustifikasi sebagai kambing hitam, biang onar dan berbagai tuduhan merendahkan lain. Menurut perempuan Minahasa ini, model pemberitaan seperti ini membuat media ikut bertanggungjawab atas konstruksi berpikir masyarakat yang dengan mudah menghakimi perempuan.
Bagi Sulu, masih banyaknya media yang hanya sekedar menjual judul dan cara menulis berita yang click bait membuktikan ada kebutuhan mendesak untuk melakukan edukasi terhadap jurnalis dan lembaga pemberitaan mengenai pentingnya memahami isu gender dan perjuangan kaum perempuan. Sebagai solusinya, perempuan asal Minahasa ini menawarkan agar media melakukan pelatihan menulis berita berperspektif gender dan ikut aktif serta dalam memperjuangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
“Menurut saya, solusinya ke depan, harus ada pelatihan khusus kepada para jurnalis soal isu gender. Mereka harus paham bagaimana melaporkan sebuah peristiwa dengan menggunakan perspektif gender. Selain itu, media juga harus terlibat aktif untuk ikut memperjuangkan RUU tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan agar segera disahkan sebagai undang-undang. Kalau hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka ke depan kita akan terus menemukan pemberitaan media yang menyudutkan dan merugikan perempuan,” tandas Sulu.(*)
Editor: Andre Barahamin
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan