BERITA
Pembunuh Jurnalis di Bali, Dapat Grasi Presiden
Published
6 years agoon
By
philipsmarx24 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
kelung.com – I Nyoman Susrama, otak pembunuhan Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa, jurnalis Radar Bali -bagian dari grup Jawa Post National Network (JPNN)- mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo. Dilansir dari Detik, Susrama dihadiahi pemotongan masa tahanan, dari putusan penjara seumur hidup menjadi hukuman kurungan 20 tahun. Susrama adalah adik mantan Bupati Bangli, Bali, I Nengah Arnawa.
Susrama diberitakan marah karena Prabangsa kerap menulis ketidakberesan proyek pembangunan di Dinas Pendidikan Bangli, Bali. Susrama adalah kontraktor proyek tersebut.
Prabangsa dibunuh 11 Februari 2009. Pembunuhan itu dilangsungkan di Dusun Petak, Desa Bebalang, Kabupaten Bangli. Pelakunya, Susrama dan delapan orang lain.Prabangsa lantas dibawa ke halaman belakang rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli. Pembunuhan sadis itu dilakukan dengan mengikat kedua tangan Prabangsa, lalu menghajar kepalanya dengan kayu beramai-ramai hingga remuk dan meregang nyawa. Dalam keadaan tak bernyawa Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Prabangsa lantas dibawa naik perahu dan dibuang ke laut.
Lima hari kemudian, jenazah jurnalis Radar Bali tersebut ditemukan oleh awak kapal yang lewat. Tubuh tak bernyawa Prabangsa ditemukan mengapung di kawasan Perairan Teluk Bungsil, Kabupaten Karangasem, Bali.
Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan menunjukkan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan itu. Ia diketahui memerintahkan anak buahnya menjemput Prabangsa di rumah orangtuanya di Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2010 itu.
Di tahun 2010, Pengadilan Negeri Denpasar sebelumnya menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup untuk Susrama. Putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Susrama dengan hukuman mati. Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun.
Diputus penjara seumur hidup, Susrama menyatakan banding. Upaya mereka untuk banding tak membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya kesembilan terdakwa pada April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010.
Kepada Detik, Kepala Rumah Tahanan Bangli, Made Suwendra membenarkan soal pemberian grasi. Grasi tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29, Tahun 2018.
Remisi Memancing Protes
Pemberian grasi kepada Susrama menuai protes. Terutama dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bali dan AJI Yogyakarta.
Dalam rilisnya kepada media, Ketua AJI Denpasar Nandhang R. Astika menilai pemberian grasi tersebut merupakan langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers. Karena itu, pihaknya meminta Jokowi untuk mencabut grasi tersebut.
“AJI Denpasar menuntut agar pemberian grasi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa untuk dicabut atau dianulir,” kata Nandhang dalam keterangan tertulis, Selasa, 22 Januari 2019.
Sementara AJI Yogyakarta bersama ICM Yogyakarta, LBH Pers Yogyakarta, LBH Yogyakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Yogyakarta dan PPMI Nasional, mendesak Presiden Joko Widodo mencabut keputusan memberikan remisi kepada I Nyoman Susrama. Pemberian remisi tersebut menjadi preseden buruk bagi perjuangan kemerdekaan pers dan demokrasi, termasuk mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo memberantas korupsi.
Pemberian remisi terhadap Susrama, terpidana kasus pembunuhan Prabangsa tertuang dalam Kepres No. 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara tertanggal 7 Desember 2018. Susrama merupakan satu dari 115 terpidana yang mendapatkan keringan hukuman tersebut.
Berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia.
Kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang sudah diusut. Sementara, 8 kasus lainnya belum tersentuh hukum. Delapan kasus itu, antara lain: Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas Yogya (1996), pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).
Berbeda dengan kasus pembunuhan jurnalis lainnya, kasus Prabangsa ini diproses hukum dan pelakunya divonis penjara. Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susarama dengan divonis penjara seumur hidup.
Kini Presiden Joko Widodo, melalui Keppres No. 29 tahun 2018, memberi keringanan hukuman kepada Susrama.
Menanggapi keluarnya keputusan presiden itu, AJI dan aliansi masyarakat sipil di Yogyakarta mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis. Bagi AJI Yogyakarta dan aliansi, kebijakan pengurangan hukuman oleh presiden itu melukai rasa keadilan, tidak hanya bagi keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia. Pemberian remisi kepada Susrama dinilai tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia. AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan terhaap jurnalis terus berlanjut dan kemerdekaan pers terancam.
AJI kemudian meminta agar Presiden Joko Widodo mencabut keputusan pemberian remisi kepada Susrama dalam waktu satu minggu.
Sementara Antonius Made Supriatma, menyatakan bahwa pemberian grasi kepada Susrama mengusik nurani dan tidak masuk akal. Supriatma mempertanyakan alasan di balik pemberian remisi tersebut.
“Pemberian grasi ini mengusik nurani saya. Mengapa grasi ini harus diberikan? Apa yang istimewa dari orang seperti Susrama? Hanya karena dia separtai dengan Presiden?” kata Supriatma.
Dalam pandangan Supriatma, pemberian grasi oleh Presiden Jokowi kepada Susrama sulit diterima akal sehat dan makin menebalkan kekecewaan banyak orang. Selain pemberian grasi kepada pembunuh jurnalis, Supriatma juga menyoroti pengingkaran janji politik Joko Widodo untuk menghentikan reklamasi Teluk Benoa.
“Sungguh sulit saya menerima kalau alasannya adalah alasan kemanusiaan. Apakah manusiawi caranya membunuh Prabangsa? Saya juga masih punya masalah dengan Keppres 51/2004 tentang Reklamasi Teluk Benoa. Administrasi pemerintahan Jokowi tidak juga mencabutnya. Gelombang protes sudah berlangsung lima tahun,” tegas Supriatma.
Pemberian remisi yang sarat kepentingan politik dan melukai rasa keadilan banyak orang, menurut Made Supriatma adalah penyebab dirinya kehilangan keyakinan terhadap pemilihan presiden.
“Saya tidak ingin partisan. Tapi salahkah kalau saya sangat kecewa? Saya pernah memilihnya menjadi presiden. Jika sekarang saya tidak memilihnya, bukan berarti saya harus memilih Prabowo. Untuk saya, dalam situasi sekarang ini, keduanya sama saja. Tidak ada beda antara Jokowi dan Prabowo. Salah satu dari keduanya akan menang. Itu jelas. Sebelum Pilpres ini selesai, saya mendeklarasikan diri untuk menjadi oposisi. Itu pilihan nurani yang menurut saya bisa saya pertanggungjawabkan baik secara moral maupun rasional.”(*)
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Social Distancing: Pelanggaran HAM Demi Melindungi HAM
-
HAM di Indonesia Sudah Mampus Bertahun-tahun yang Lalu!
-
Membunuh Palu Arit di Utara Celebes
-
Dua Jurnalis di Labuhan Batu Dibunuh!