Connect with us

BERITA

Penanganan Hukum Terhadap LGBTIQ di Sulut Masih Diskriminatif

Published

on

14 Januari 2019


Oleh: Juan Y. Ratu


 

kelung.com – Penanganan kasus hukum yang melibatkan kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex, Queer (LBGTIQ) di Sulawesi Utara (Sulut), masih jauh dari harapan. Merujuk pada Catatan Akhir Tahun (Catahu) tahun 2018,  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum LBGTIQ masih sering terjadi. Hal ini dikonfirmasi oleh Direktur III, YLBH Manado, Aryati Rahman, kepada Kelung. Rahman mengatakan bahwa di tahun 2018, LBH Manado mendapatkan pengaduan mengenai tindak kekerasan dan pengaduan mengenai aksi diskriminatif terhadap kaum LGBTIQ.

“Sepanjang 2018 ada 4 aduan korban kekerasan, dan ada aduan lain dari beberapa pihak yang mengitimidasi,” kata Rahman.

Kritikan Rahman terutama dialamatkan kepada Aparatur Penegak Hukum (APH) dalam proses penanganan kasus di mana kelompok LGBTIQ menjadi korban. Rahman mengatakan bahwa masih ditemukan oknum-oknum APH yang melakukan kekerasan secara verbal kepada korban.

“Konsentrasi LBH Manado adalah bagaimana membangun persepsi bebas diskriminasi para APH terhadap kelompok minoritas ini. Terkait kasus yang ditangani, seperti teman-teman waria yang menjadi korban kekerasan, tapi ketika pun melapor malah mendapatkan cibiran atau di-bully,” kritik Rahman.

Hal senada diungkapkan oleh Coco (bukan nama sebenarnya), seorang aktivis hak asasi manusia yang juga ikut terlibat mengadvokasi kelompok LGBTIQ. Kepada Kelung, ia mengungkapkan bahwa diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kelompok LGBTIQ terutama menyangkut penanganan tindak pidana kriminal.

“Contoh kasus yang pernah terjadi di Manado. Ada teman-teman yang mengalami kekerasan fisik, dan saat melapor, seolah-olah hukum tidak memihak kepada teman-teman transperempuan. Ada kesan bahwa kejadian yang dialami adalah hal yang ‘wajar’. Teman-teman yang transpuan yang menjajakan diri di jalan dianggap sebagai penyebab masalah meski menjadi korban. Seharusnya polisi tidak bertindak diskriminatif. Dalam beberapa kasus, jika terjadi tindakan pidana, jika ada kawan-kawan LGBTIQ yang menjadi korban, justru yang dieksploitasi dan dijadikan sebagai alasan terjadinya tindak pidana adalah orientasi seks.

Ia juga mengungkap bahwa kekerasan verbal adalah jenis kekerasan yang paling sering dialami oleh kelompok LGBTIQ. Terutama yang sering dilakukan oleh pihak kepolisian.

“Kekerasan secara verbal dari pihak kepolisian juga tinggi sekali. Banyak kasus yang dilaporkan, namun yang disalahkan adalah korban. Kekerasan verbal itu berbentuk cibiran dan sindiran,” tambah Coco.

Aryati Rahman berharap bahwa APH dapat mengubah cara pandang mereka yang diskriminatif. Apalagi menurut Rahman, kelompok LGBTIQ adalah kelompok marjinal yang rentan menjadi korban tindak kekerasan. Penyatuan persepsi ini dianggap penting agar penanganan kasus-kasus kekerasan yang menimpa kelompok LGBTIQ dapat lebih maksimal. Sayangnya, di internal APH terkendala oleh kurangnya koordinasi.

“Para pelaku kekekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ adalah para oknum, dan bukan secara kelembagaan, Seingat saya di tahun 2016, pernah dibuat pertemuan antara Polres Manado, LBH Manado, dan komunitas-komunitas LGBTIQ. Saat itu, kami membicarakan model penanganan perkara terhada kawan-kawan komunitas LGBTIQ. Tapi, seringkali yang menjadi kendala, pembicaraan mengenai penanganan anti-diskriminasi di tingkat pimpinan, namun di tingkat bawahan masih belum memiliki kesadaran. Ada kesenjangan pemahaman,” jelas Aryati Rahman.

Rahman juga mengatakan bahwa LBH Manado sudah sering melakukan sosialisasi sosialisasi kepada masyarakat dan pembekalan mengenai hak asasi manusia (HAM) kepada berbagai kelompok LGBTIQ.

“Kami sering memberikan materi dan sosialisasi kepada masyarakat umum. Bahwa mereka (kelompok LGBTIQ, red) juga adalah manusia. Sementara teman-teman LGBTIQ kami bekali dengan memberikan pemahaman tentang HAM. Kami juga memberikan pemahaman soal perbedaan antara pelanggaran pidana dan pelanggaran HAM,” tambahnya.

Di sisi lain, Coco menilai bahwa aparatus negara masih belum memahami soal keberagaman ekspresi seksual dan gender. Pehamaman mengenai keberagaman masih terbatas pada tampilan fisik.

“Setiap unsur pelaksana negara, seharusnya melihat keragaman, bukan hanya bersifat fisik seperti keragaman suku, ras, dan agama. Tapi juga untuk lebih dalam melihat keragaman ekspresi gender dan seksual. Melihat kawan-kawan LGBTIQ dengan lebih humanis. Sebab sebagai warga negara, kami juga memiliki hak yang sama untuk tinggal, dan merasa aman di negeri ini,” tutup Coco.(*)

 


Catatan Kelung: Kami memutuskan untuk tidak mempublikasikan nama salah satu narasumber kami karena alasan keamanan dan ancaman kekerasan fisik yang mungkin dialami akibat pemberitaan ini. Di Sulawesi Utara, diskriminasi yang berujung pada tindak kekerasan fisik terhadap mereka yang mengaku secara terbuka (coming out) sebagai LGBTIQ masih cukup tinggi.


Editor:

Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *