ESTORIE
Pendeta “Juru Damai”: Nasionalisme A. Z. R. Wenas di Zaman Genting Minahasa 1942-1967

1 Maret 2025
Penulis: Yonatan David Kembuan (Sejarawan, Penyuluh Agama Kristen Non-PNS di Kantor Departemen Agama Minahasa)
PERJUMPAAN masyarakat lokal Minahasa dengan orang Eropa, sudah berangsur lama. Mulai dari kedatangan bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-16. Sama seperti di daerah lain di Indonesia, ada beragam reaksi yang muncul dalam menyambut kehadiran bangsa Eropa tersebut. Ada penerimaan misalkan dalam bentuk bisnis dagang atau pun penolakan yang berakhir dengan peperangan. Perkenalan dalam beragam bentuk itu telah mengajarkan banyak hal bagi orang Minahasa.
Bentuk perkenalan lain yang dibawa bangsa Eropa yang berbeda dengan kedua hal tadi adalah memperkenalkan Agama Kristen. Pertama-tama diusahakan oleh misionaris Portugis yang membawa ajaran Katolik, lalu para zending Belanda dengan ajaran Protestan-Calvinis. Ada tiga gelombang besar perkenalan Agama Kristen oleh Belanda, pertama, para rohaniawan pendeta di era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) abad 16-17 (1619-1799); kedua, awal abad 18 melalui lembaga-lembaga penginjilan dari Belanda, salah satunya Nederlandsche Zending Genootschap (NZG) sekitar tahun 1831; dan ketiga, melalui Protestanche Kerk in Nederlandsche-Indie (PKNI), sering disebut Indische Kerk di era pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang nantinya menjadi Gereja Protestan di Indonesia (GPI) hingga kini.
Indische Kerk merupakan “Gereja Negara” di masa itu. Sekalipun lembaga gereja, namun segala aktivitasnya melekat dengan kebijakan negara. Hal ini terjadi dikarenakan adanya cita-cita dari Raja Willem I untuk mempersatukan berbagai gereja dalam kuasa negara. Hal itu justru tidak berlaku di Belanda, hanya diberlakukan di daerah jajahan seperti di Hindia-Belanda. Jadi, segala urusan gereja pelaksanaannya masuk di bawah Kementerian Jajahan (Kolonial) pada tahun 1815. Secara resmi GPI baru berdiri berdasarkan peraturan yang diberlakukan tahun 1840.
Sebagai Gereja bagian mandiri dari GPI. Tahun 2021 ini, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) akan merayakan hari ulang tahun ke-87. GMIM adalah Gereja perdana yang dimandirikan dari GPI, sejak 30 September 1934. Saat itu berpusat di Batavia. Melalui peristiwa tersebut, GMIM mandiri secara administratif dan kelembagaan mengatur organisasi gerejanya sendiri, tapi tidak secara finansial. GMIM menerima subsidi dari negara dan para pendeta dijadikan pegawai negeri.
Salah seorang aktor di balik pemandirian GMIM adalah Ds. A. Z. R. Wenas. Pada masa itu, Pendeta Kristen Protestan sering disapa “Dominee”, kepanjangan dari Ds., asal kata Belanda yang berarti Pendeta. Pendeta Wenas semula adalah Pendeta GPI yang melakukan pelayanannya di wilayah Minahasa, negeri dan asal tanah kelahirannya. Ia di kemudian hari menjadi salah seorang yang dilibatkan sebagai panitia kecil (Komite 12), dalam persiapan pemandirian GMIM. Itulah mengapa riwayat kehidupanya tidak dapat lepas dari sejarah GMIM.
Sekalipun GMIM telah dimandirikan, kepengurusan gereja masih didominasi oleh pendeta-pendeta Belanda. Panggilan zaman bagi Pendeta Wenas kian nampak. Pendeta Wenas dijadikan Ketua II Sinode GMIM saat GMIM berdiri. Lalu tahun 1942, Jepang memulai agresi militer yang memasuki wilayah Nusantara. Tanda perang dunia ke-II. Pendeta-pendeta Belanda ditangkap dan dipenjarakan, salah satunya Pendeta Gerit P. L. Locher (Ketua Sinode GMIM saat itu). Kekosongan kepemimpinan Ketua, lalu diisi oleh Pendeta Wenas sebagai Hulppredikant (Pendeta Penolong). Inilah periode perdana bagi GMIM dipimpin oleh seorang Pendeta berdarah asli Minahasa.
Dari narasi pendek di atas, paling tidak sedikit mengemukakan gambaran studi sejarah ini. Maka masalah yang dapat dikemukakan pada bagian ini bahwa ada beberapa faktor pemandirian GMIM tidak dapat dihindari. Dari segi eksternal, akibat munculnya gerakan paham nasionalisme turut berdampak pada pandangan dan perkembangan gereja secara organisatoris. Sementara itu, persoalan internal yang dihadapi GPI adalah diterapkannya kebijakan negara, tentang “asas netralitas” terhadap semua agama dan pemisahan antara gereja dan negara.
Pada soal yang sama, oleh karena efek dari semangat nasionalisme tadi, mulai ada benturan di kalangan pendeta pribumi dan guru penginjil. Terlebih kepada soal upah dan kesejahteraan para pengurus gereja. Dari beberapa faktor inilah yang mendorong percepatan pemandirian GMIM. Dari dugaan permasalahan di atas, kemudian penelitian ini dibatasi.
Untuk lebih mengkonkretkan penelitian studi sejarah ini adapun rumusan masalah yang perlu dipertegas adalah keterkaitan erat Pendeta Wenas yang bekerja di lembaga Gereja produk buah pekabaran Injil dari Belanda, ia kemudian mendapatkan tanggapan miring dari orang-orang di zamannya. Apalagi dengan kenyataan bahwa Pendeta Wenas merupakan seorang pendeta GPI, yang menandakan seorang pegawai negeri.
Bagaimanakah peran dan karya pemikiran Pendeta Wenas dalam mengangkat harkat dan martabat orang Minahasa di hadapan pemerintah Hindia Belanda? Bagaimanakah sikap Pendeta Wenas menanggapi keadaan perseteruan, konflik dan peperangan? Benarkah ia seorang “Juru Damai”? Adakah kontribusinya dalam pergerakan nasionalisme? Lalu bagaimana sikap konkritnya dalam pelayanan sosial?
Berdasarkan pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka pembatasan penelitian ini dimulai dari kisah pemandirian GMIM tahun 1934; kepemimpinan Pendeta Wenas sebagai Ketua Sinode GMIM tahun 1942-1951; sebagai Ketua II Sinode GMIM 1951, dan terpilih kembali sebagai Ketua Sinode menggantikan Pendeta M. Sondakh tahun 1955; dan dari tahun 1957 hingga akhir hidupnya 11 Oktober 1967.
Adapun tujuan dari penelitian ini, pertama adalah untuk mengungkap kontribusi Pendeta Wenas sebagai tokoh besar dan penting dalam barisan gerakan nasionalisme melalui lembaga Gereja dan keterlibatannya dalam misi-misi perdamaian, di bidang sosial-ekonomi dan kesehatan, serta kemajuan pendidikan di Indonesia umumnya, secara khusus di Minahasa. Yang kedua adalah mencoba menggali informasi cerita, karya, pemikiran dan peran Pendeta Wenas sebagai tokoh gereja, serta apa pesan dan maknanya bagi kehidupan kita kini.
Berkaitan dengan studi kepustakaan dari Pendeta Wenas, sebenarnya telah dituliskan oleh berbagai penulis baik secara ilmiah maupun tulisan populer. Ada berbagai sumber yang boleh ditemukan sementara ini. Pertama-tama dan dianggap penting adalah dokumen yang diterbitkan pada tahun 1969 oleh Redaksi Buletin Dewan Gereja-gereja Wilayah (DGW) SULUTTENG berjudul, “Ds. A. Z. R. Wenas 1897-1967”. Buletin tersebut sifatnya lebih kepada pengalaman empiris bersama Pendeta Wenas. Para penulis merupakan rekan kerja pelayanan, mereka hidup dan menjadi saksi mata kehidupan Pendeta Wenas. Buku tersebut merupakan karya untuk mengenang wafatnya Pendeta Wenas.
Tulisan selanjutnya serupa buletin di atas, yang juga menggunakan pengalaman hidup bersama Pendeta Wenas. Tulisan Wilhelmus. A. Roeroe tentang, “Kenangan Kepada Orang Benar Membawa Berkat”, yang diterbitkan oleh LETAK dan UKIT Press tahun 2007, jauh setelah Buletin DGW. Kedua kelompok tulisan ini sekalipun tidak dikategorikan ilmiah dan terstruktur, namun kaya akan informasi terkait dengan topik tulisan ini. Sekalipun bukanlah sumber primer yang terutama, namun cukup memadai.
Berbeda dengan dua kelompok penulisan di atas. Studi sejarah secara ilmiah tentang Pendeta Wenas, pertama-tama telah dimulai oleh David Lintong dalam skripsi yang belum diterbitkan, berjudul “Ds. A. Z. R. Wenas Ketua Sinode GMIM 1942-1967”. Untuk ukuran skripsi, karya Lintong itu sangat informatif dan dapat menjadi rujukan pelengkap tulisan ini. Studi sejarahnya dari pendekatan ilmu teologi, dalam mengungkap masa lalu GMIM melalui pekerjaan Pendeta Wenas, baik kerja-kerja meletakkan “dasar bangunan” dan mendirikan GMIM. Inilah sumber sekunder penting yang akan digunakan.
Dokumen-dokumen di atas sudah tersirat akan sumber-sumber rujukan dari penulisan studi sejarah ini. Tetapi juga akan menuntun penulis dalam mendalami serta menghubungkannya dengan sumber-sumber lain. Beberapa dokumen sumber primer yang terutama adalah buku “Kitab Peringatan Pemandirian GMIM, 30 September 1934”. Pada dokumen ini terdapat Pidato Pendeta Wenas. Lalu ada juga surat-surat penggembalaan dan pidato/khotbah Pendeta Wenas, beberapa dokumen ini dilampirkan dalam buletin sejarah yang sudah disinggung di atas. Sebelumnya penulis telah menuliskan karya dan telah dipublikasikan 2016 melalui, jurnal “Nuwu” Pascasarjana Teologi UKIT, tentang Pendeta Wenas dengan judul “Ds. A. Z. R. Wenas: Sang Proklamator Kemerdekaan Gereja Protestan di Tanah Minahasa”. Tulisan ini juga lahir dari pergulatan dan perenungan penulis secara pendekatan teologis.
Metode Penelitian yang digunakan sesuai ketentuan penelitian dan penulisan sejarah. Awalnya dimulai dari proses pengumpulan data (heuristik), sumber-sumber sejarah berupa dokumen; buletin, surat penggembalaan, pidato atau khotbah. Kemudian kritik Sumber dibutuhkan untuk memilah sumber-sumber yang dianggap komprehensif sesuai pokok penelitian yang telah terverifikasi. Selanjutnya interpretasi atau penafsiran dari sumber-sumber untuk membangun narasi sejarah dan terakhir penulisan sejarah (historiografi). Dari metode penelitian sejarah tersebut, maka penulis mencoba menggali kisah Pendeta Wenas melalui pendekatan edukatif-inspiratif.
Untuk sistematika pembahasan, dalam penelitian dan penulisan sejarah karya ilmiah ini diawali dengan pendahuluan, bagian ini akan menerangkan gambaran umum penelitian dan fokus penelitian. Lalu pada bagian pembahasan, merupakan isi komponen utama penelitian dan penulisan. Pada bagian pertama, profil Pendeta Wenas; bagian kedua, tentang kerja dan karya pemikiran Pendeta Wenas, dan bagian ketiga, merupakan penegasan terhadap temuan penelitian, makna dan pesannya berangkat dari refleksi penulis. Dan terakhir adalah penutup, sebagai kesimpulan.
Profil Ds. A. Z. R. Wenas: Riwayat Hidup dan Latar Pendidikan Pendeta Wenas
Pendeta Wenas bernama lengkap Albertus Zacharias Runturambi Wenas, lahir di Tombatu pada 28 Oktober 1897. Ia lahir dari keturunan keluarga terpandang yang berlatar belakang keluarga pejabat pemerintah. Pendeta Wenas lahir dari pasangan Lodewijk Wenas dan Sarah Simban Rambi (sering disapa Sartje). Ayahnya adalah seorang Hukum Kedua Distrik Tombatu pada akhir abad 19.
Saat umurnya masih belia, Pendeta Wenas muda bernasib malang. Ia harus menelan pil pahit. Ibu dan ayahnya meninggal. Wenas muda pun diangkat sebagai anak oleh saudara ibunya, bernama Griet Wenas. Suaminya adalah Kawilarang sebagai Kepala Distrik atau Hukum Besar Remboken. Mereka memperhatikan Wenas layaknya anak kandung.
Wenas muda pun di bawa ke Remboken dan tumbuh besar di sana. Ia kemudian disekolahkan di Manadosche School. Harapan keluarganya agar Wenas muda bersekolah di Hoofdenschool yang kemudian berubah menjadi Special Scholen. Namun, pada tahun 1914, Wenas muda dipanggil oleh Pendeta de Koning yang saat itu adalah Direktur STOVIL (School Tot Opleiding voor Inlandsch Leraar), untuk membantu menjalankan pekerjaan administrasi.
Seorang Yatim Piatu Berpendidikan Teologi
Pendeta Wenas adalah seorang pelajar teologi pertama dari Minahasa yang dikirim belajar di Belanda dan menjadi Pendeta di masa GPI. Memang di masa NZG, para zending sudah pernah mengirim dua orang sebelumnya, Lambertus Mangindaan dan Rasuh. Namun kedua orang ini tidak menjadi Pendeta. Mangindaan pulang menjadi guru dan Rasuh meninggal dalam perjalanan pulang dari Belanda. Pendeta Wenas adalah seorang Pendeta pertama yang disebut Hulppredikant di Minahasa, seorang Pendeta yang sejajar dengan Pendeta Belanda di masa itu.
Kesempatan bagi Pendeta Wenas menjadi seorang Pendeta, diawali saat sering berkunjung ke Stovil. Ia datang untuk bermain sepak bola lalu mendapat teman-teman baru di sana. Melalui sahabatnya Pendeta Bert Supit, ia diperkenalkan kepada Ds. De Koning. Lama kelamaan ia mendapatkan perhatian khusus dari Ds. De Koning yang beranggapan bahwa Wenas muda memiliki potensi. Satu waktu De Koning menanyakan kepada Wenas mengenai niat besar Ds. De Koning untuk menyekolahkannya di Belanda. Wenas pun dengan restu keluarganya, berharapan besar dan menyetujuinya.
Pendeta Wenas berangkat ke Belanda pada April 1915 dengan menggunakan kapal Van Cloon. Saat usia 18 tahun, ia tercatat sebagai siswa pada Sekolah Pendidikan Pendeta (Nederlandsche Zending School) di Rotterdam kemudian pindah ke Oegstgeest tahun 1917. Ia menyelesaikan sekolahnya pada tahun 1921, saat usia 24 tahun. Di tahun yang sama ia pulang ke Minahasa dan ditahbiskan menjadi Hulppredikant (Pembantu Pendeta/Penolong) Indische Kerk di Minahasa dan langsung ditempatkan awalnya di Kumelembuai.
Seorang Pendeta Muda Dengan Tanggung Jawab Besar
Seperti sudah disinggung sebelumnya. Pendeta Wenas saat tiba di Minahasa pada tahun 1921, ia menjadi Pendeta di Kumelembuai. Tetapi hanya satu tahun, ia bertugas di sana, tahun 1921-1922. Kesehatannya terganggu dan dikirim ke Jakarta, ia dirawat di Weltevreden. Di sanalah ia bertemu dengan Martine Adrianne Mambu yang kemudian menjadi kekasihnya. Dialah perempuan yang setia merawat dan mendampingi Pendeta Wenas sejak saat itu dalam keadaan sakit hingga selanjutnya dalam suka maupun sukar di tengah segala aktifitas kerja dan pelayanan Pendeta Wenas. Mereka menikah pada tahun 1927 di Aermadidi, di tempat pelayanan kedua Pendeta Wenas selanjutnya.
Setelah Pendeta Wenas sembuh dan kembali di Minahasa. Ia ditempatkan di Aermadidi, kemudian ke Tondano sekaligus merangkap dengan wilayah Aermadidi. Lalu tidak lama kemudian di Tomohon sebagai Ketua Resort dan Direktur Stovil.
Pada 10 Agustus 1928 Pendeta Wenas dipercayakan menjabat sebagai Direktur Stovil. Saat itu ia baru berusia 31 tahun, tentu saja usia yang sangat muda untuk ukuran seorang Direktur STOVIL di samping memimpin Jemaat Sion Tomohon dan sebagai Ketua Resort Tomohon.
Mundur dari Minahasaraad dan Menolak Tawaran DPA oleh Presiden Soekarno
Roeroe menceritakan mengenai keterlibatan Pendeta Wenas sebagai anggota dan pernah menjadi Ketua Minahasaraad. Minahasaraad adalah lembaga Dewan Minahasa yang berdiri sejak tahun 1928 yang diprakarsai oleh Dr. G. S. S. J. Ratulangi. Hal ini terjadi Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pendudukan Jepang telah berakhir. Namun ada upaya dari pemerintah Belanda untuk kembali menguasai Indonesia Timur. Saat itulah ketika Pendeta Wenas diangkat menjadi Ketua Dewan. Namun, tidak lama kemudian, Pendeta Wenas meminta dibebaskan dari keanggotaan dan mengundurkan diri. Dalam tuturan Roeroe yang mempercakapan soal pemunduran diri Pendeta Wenas. Ia berkata kepada Roeroe dalam dialek Manado;
“Bukang kita pe tampa di situ. Kita nyanda mangarti dorang pe cara bicara deng dorang pe cara kerja.”
Pendeta Wenas cenderung menaruh sikap enggan untuk tidak terlibat secara politik praktis. Ketidak berminatnya kepada politik praktis, makin kentara ketika di penghujung tahun 1950-an. Pendeta Wenas mendapat tawaran dari Presiden Ir. Soekarno untuk menjadi dapat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Setelah merenungkan lama dan melalui persidangan Sinode. Pendeta Wenas menghargai tawaran Presiden tersebut, namun kembali ia tidak dapat mengiyakan permintaan itu. Dalam percakapan Pendeta Wenas dengan Roeroe;
“Saya kenal betul diri saya sendiri, baik kemampuan maupun bakat serta bidang pekerjaan saya sebagai pendeta dan gembala bagi jemaat dan Gereja khususnya tanah Minahasa.”
Pendeta Wenas lebih memilih pengabdiannya kepada gereja dalam memerangi masalah-masalah sosial, pendidikan dan kesehatan. Itulah mengapa di masanya banyak sekolah-sekolah didirikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, rumah-rumah sakit dan panti-panti asuhan.
Demikian secara ringkas bibliografi dari Pendeta Wenas. Tentu memunculkan banyak pertanyaan, apa sebenarnya peran penting dari seorang Pendeta Wenas dalam bingkai kerja pelayanan bergereja dan dalam hubungannya dengan negara? Dalam menjawab pertanyaan ini, akang dibahas pada bab selanjutnya.
Kerja dan Karya Pemikiran Ds. A. Z. R. Wenas Bagi Gereja dan Negara: Semangat Nasionalisme di Balik Pemandirian GMIM Tahun 1928-1934
Dalam pendahuluan dan bab sebelumnya sudah disinggung. Status Pendeta Wenas sebagai Pendeta GPI yang bersekolah di Belanda dan seorang pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda. Status tersebut rupanya mengundang prasangka buruk, keragu-raguan dan ketidakpercayaan banyak orang di sekitarnya, tidak terkecuali rekan-rekannya. Berbeda suasananya dari momentum peristiwa keberangkatan Pendeta Wenas ke negeri Belanda yang terdengar oleh banyak orang, menjadi buah bibir perbincangan di berbagai tempat di Minahasa, baik kawan maupun lawan. Pendeta Wenas diharapkan akan melakukan perubahan besar bagi Gereja Protestan di tanah Minahasa. Saat Pendeta Wenas menggantikan Direktur STOVIL van de Wetering yang menjadi Walikota pertama Manado. Pendeta Wenas memegang peranan besar dalam mewujudkan persiapan pemandirian GMIM. Saat ditempatkan di Tomohon, justru makin meruncing peristiwa perseteruan antara pegawai Indische Kerk dengan zending.
Latar belakang berdirinya GMIM, menurut R. M. Luntungan sudah dibicarakan sejak lama. Pemahaman mengenai pemandirian jemaat-jemaat di Minahasa dari Indischer Kerk sudah dipikirkan dan diperbincangkan dari kalangan zending di akhir abad ke-19. Upaya untuk mendirikan gereja-gereja di daerah pekabaran injil dengan mempertimbangkan 3 faktor; Self Regering (Self Government), Self Uitbreiding (self propagation), dan Self Onderhoud (Self Support). Ketiga hal ini menandakan suatu jemaat di pekabaran Injil dapat dikatakan telah dewasa dalam berjemaat. Berdasarkan dari pandangan tersebutlah GMIM dimandirikan.
Sehubungan dengan pemandiran gereja-gereja di bawah GPI pada masa itu,, pertanyaan yang paling mendasar sering diperdebatkan para zending, apakah tujuan mendirikan gereja? apakah gereja itu, gereja bangsa atau gereja suku atau gereja daerah. Pemahaman tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh menguatnya pandangan nasionalisme di kalangan pendeta pribumi dan guru zending.
Di Indonesia serentak berlangsung di masa itu gerakan nasionalisme, sehingga pikiran-pikiran atau pendapat di kalangan gereja tentang berdirinya jemaat-jemaat GMIM secara otonom, sering dihubung-hubungkan dengan gerakan kebangkitan bangsa pada tahun 1928. Lalu ketua komisi pendeta (hulppredikant commissie) yang juga wakil GPI di tanah Minahasa adalah Ds. E. A. A. de Vreede, telah menaruh perhatian studinya tentang kebangsaan. Studi doktoralnya itu menghasilkan disertasi yang berjudul “Het Nationalisme als Zedelijk Vraagstuk.”
Dari penilaian R. M. Luntungan, pendapatnya mengenai sikap Pendeta Wenas sebagai pimpinan gereja pada saat itu, bahwa cita-cita dan semua tindakan Pendeta Wenas dipengaruhi oleh paham nasionalisme dan hal inilah yang menambah intensitas perjuangan Pendeta Wenas. Lalu kemudian soal pemahaman Wenas mengenai kesejarahan pekabaran Injil di Minahasa dalam perjuangan mewujudkan pemandirian GMIM. Lagipula ia pernah mendidik di STOVIL, dua orang Pendeta yang kemudian ikut terlibat dalam pergerakan kemerdekaan, yakni Pdt. S. Kumendong dan Pdt. A. E. Wagey.
Sekalipun dilatarbelakangi oleh konflik antara badan penginjil dan gereja, kemudian diikuti guru-guru sekolah dan pemimpin gereja dalam hal ini pendeta pribumi. Pendeta Wenas salah seorang yang jelas memperjuangkan pembebasan gereja dan berdirinya GMIM. Sekalipun banyak rekannya meragukan pandangannya tentang nasionalisme oleh karena ia Pendeta GPI dan seorang pegawai negeri. Maka, Pendeta Wenas bernasionalisme dengan caranya sendiri. Pendeta Wenas memajukan pendidikan sekolah Pendeta dalam persiapan pemandirian GMIM, dengan pemahaman, jika ingin berdiri sendiri maka membutuhkan banyak tenaga Pendeta.
Pendeta Wenas masuk dalam Komisi 12, yang mempersiapkan organisasi gereja dan tata aturan gerejanya. Dengan diterbitkannya SK. No. 5 (staatsblad 563), 17 September 1934, menandai peresmian pemandirian GMIM. Ibadah yang dilaksanakan di gereja Sion Tomohon, hadir di antaranya unsur pemerintah Gubernur Jenderal B. C. de Jonge, mewakili Kerkbestuur Ds. T. J. von Oostrom Soede, Ketua Sinode GMIM Ds. E. A. A. de Vredee dan Ketua II Ds. A. Z. R. Wenas, para Pendeta dan jemaat. Dalam pidato dan sambutan Pendeta Wenas saat upacara proklamasi berdirinya GMIM, 30 September 1934. Pendeta Wenas mengutarakan rasa syukur dan bahagianya.
Ketua Sinode Pertama Berdarah Asli Minahasa 1942-1945
Pada masa ini Pendeta Wenas diberi tanggung jawab besar. Oleh karena situasi yang sukar, ia dijadikan Ketua Sinode GMIM. Dialah Ketua Sinode GMIM pertama berdarah asli Minahasa di usia yang tergolong muda, yakni 45 Tahun. Kedatangan Jepang di Minahasa dan Kota Manado, diawali dengan pendudukan tentara Jepang yang menginjakkan kakinya pada Januari 1942. Diungkapkan oleh Pendeta Wenas bahwa secara resmi kehadiran mereka melalui kedatangan pemerintahan Jepang yang menyusul kemudian pada 14 Februari 1942.
Kehadiran Jepang tersebut merubah situasi kepengurusan Sinode GMIM. Pendeta Wenas saat itu menduduki jabatan sebagai Ketua Sinode II GMIM. Ia lalu secara otomatis mengambil alih tugas kepemimpinan Ketua Sinode dari Pendeta Dr. G. P. H Locher. Lamanya kepemimpinan perdana Pendeta Wenas sampai kedatangan pemerintah NICA Agustus 1945. Pada Sidang Sinode bulan Oktober 1945 kemudian terpilih kembali menjadi Ketua Sinode GMIM, dengan dihadiri oleh pendeta-pendeta Belanda yang telah dibebaskan, di antaranya Pendeta Locher dan ada juga pendeta-pendeta Jepang yang masih berada di Minahasa.
Pada satu sisi, kedatangan Jepang memang menandakan suatu ancaman besar. Namun di sisi lain merupakan suatu momentum bagi GMIM untuk memiliki Ketua Sinode produk dalam negeri. Pendeta GMIM di zaman genting, mungkin itu ungkapan yang lebih tepat diberikan kepada Pendeta Wenas. Sebab ia juga pernah menuliskan pidato dalam bentuk surat penggembalan yang berjudul “Geredja Masehi Indjili Minahasa Dizaman Jang Genting Ini”.
Menurut Kaligis, periode inilah sebenarnya yang merupakan periode baru dalam Sejarah GMIM. Lebih dari ratusan tahun lamanya gereja dan jemaat diatur oleh pelayan-pelayan berkebangsaan Eropa. Sekalipun GMIM telah dimandirikan pada tahun 1934, dan secara organisasi kepengurusan telah melibatkan pendeta lokal. Namun belum banyak hal yang berubah. Ini dikarenakan sebagian besar Pendeta Belanda dan Jerman ditangkap oleh pemerintah Jepang. Akibatnya hubungan dengan gereja luar dan zending terputus.
Sekalipun situasi genting dan mencekam saat itu, W. A. Roeroe mencatat kisah penting tentang Pendeta Wenas. Satu waktu pemerintah Jepang memaksa supaya gereja tunduk dan menyembah Kaisar Jepang. Dengan tegas Pendeta Wenas menolak sekalipun di bawah ancaman sangkur tentara Jepang. Ia berkata, “Kepada Tuhan Allahlah kita menyembah, bukan kepada manusia.” Pendeta Moendoeng, mengakui akan keberanian Pendeta Wenas yang mempertahankan Gereja itu sebagai Gereja.
Sifat tentara Jepang yang represif dan kebijakan pemerintah Jepang yang anti terhadap segala tradisi Belanda, yang melekat dari segala aspek kehidupan tidak terkecuali lembaga Gereja. Hal ini kemudian yang mendorong GMIM agar mencari bentuk dan cara bergereja yang Asia. Ada juga anggapan bahwa pemerintah Jepang tidak mengenal Agama sehingga menutup tempat-tempat ibadah. Muncul kekhawatiran di kalangan rohaniawan Kristen. Untuk itu melalui Pendeta Wenas sebagai pimpinan GMIM mengajukan permohonan kepada pemerintah Jepang. Pertama, untuk kiranya diberikan kesempatan untuk menjalankan tugas ibadahnya; lalu kedua, diberi kebebasan dalam menjalankan panggilanya. Permohonan ini dikabulkan, tapi dengan catatan asalkan menyokong usaha-usaha dan maksud pemerintah Jepang memenangkan perang dan membangun Asia Timur yang kuat, tidak mengganggu ketertiban umum serta tidak menjadi mata-mata. Hal ini kemudian langsung di beritakan kepada seluruh rakyat umum dan warga gereja.
Bagi GMIM, hal tersebut di atas menjadi latar belakang upaya GMIM yang berdiri sendiri menjadi nyata sebagaimana perhatian Pendeta Wenas. Gereja yang berdiri sendiri adalah gereja yang mengongkosi atau membiayai dirinya sendiri. Demikianlah terungkap pandangan zending bahwa gereja yang berdiri sendiri adalah gereja yang mengatur rumah tangga, menjalankan pemberitaan dan membelanjakan anggaran gereja secara mandiri.
Kaligis lebih lanjut menjelaskan, bahwa pasukan sekutu mulai berdatangan ke daerah Minahasa. Peperangan terus terjadi seakan tiada henti-hentinya. Terjadi serangan pesawat udara yang menjatuhkan bom di mana-mana dan menggemparkan banyak orang. Penduduk akhirnya terpaksa menyingkir ke kebun dan hutan-hutan. Jemaat Gereja terpencar-pencar dan membentuk kelompok atau tumpukkan, seperti Tumaraktak/Tomohon, Sapa/Sarongsong, Tolangkow/Walian, Nuai, Karuten (Sonder), Taas (Tikala) dan masih banyak lainnya.
Dari beberapa tumpukan itu, Pendeta Wenas mengadakan perkunjungan dengan. mengadakan ibadah dan doa, rapat gereja hingga makan-makan bersama sepersekutuan, dsb. Hal yang paling berkesan dan membuat banyak orang-orang terheran-heran pada masa itu. Kaligis pun menegaskan bahwa;
“Dalam kunjungan beliau telah datang membawa kabar baik, di sementara orang-orang menerima rupa-rupa kabar bohong jang menakutkan. Ia membawa damai hati, di sementara peperangan sedang menghebat. Ia membawa kekuatan, di sementara dalam kesakitan dan kelemahan. Ia membawa ketetapan hati, sementara orang-orang dalam kebimbangan. Ia membawa ketenangan di sementara dalam keributan.”
Pernyataan Kaligis di atas, menjelaskan bagaimana kehadiran Pendeta Wenas menguatkan dan meneguhkan keyakinan iman banyak orang yang menjadi korban peperangan. Sehingga dalam kunjungan-kunjungan Pendeta Wenas, banyak orang merasa bahwa mereka punya gembala yang benar-benar menggembalakan.
Pelayanan Sosial dan Kesehatan Tahun 1945-1956
Sementara Perang Dunia ke-II bergejolak dalam pendudukan Jepang, akibatnya sangat berdampak buruk bagi masyarakat sipil. Lintong mengutip tulisan Pendeta Wenas tentang, “Gereja Kristen di Selebes Utara dan Peperangan”. Pendeta Wenas menganjurkan kepada jemaat-jemaat untuk memperhatikan anak yatim piatu, melayani orang sakit, mengerjakan orang yang kehilangan pekerjaan. Bila perlu rumah gereja dialih fungsikan sebagai rumah sakit.
Periode ini menjadi waktu bagi Pendeta Wenas untuk menyalurkan banyak waktunya untuk pelayanan sosial dan kesehatan. Tahun 1948 dalam persidangan klasis Tomohon, diputuskan untuk mendirikan Rumah Sakit. Sehingga pada 5 Agustus 1950 Rumah Sakit Bethesda diresmikan dalam kepemimpinan Pendeta Wenas, hingga dia juga merangkap sebagai kepala rumah sakit.
Dalam riwayat hidupnya telah disinggung bahwa Pendeta Wenas adalah seorang anak yatim piatu. Pernikahannya dengan Nyonya Wenas-Mambu tidak mengaruniakan anak. Sekalipun demikian mereka tidak berkecil hati. Malahan Pendeta Wenas mendorong GMIM untuk mendirikan rumah-rumah piatu atau rumah-rumah pengasihan. Sekalipun ia tidak memiliki anak, tetapi anak yatim piatu yang dipeliharanya sekitar ratusan yang menjadi korban peperangan. Mereka pun mengangkat anak salah satu dari anak yatim piatu itu. Kenyataan istrinya tidak melahirkan anak. Pendeta Wenas juga memberi motivasi kepada kaum ibu dan wanita gereja untuk mengusahakan Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) yang kemudian disebut rumah bersalin. Salah satu BKIA ini, yang menjadi cikal-bakal berdirinya Rumah Sakit GMIM bernama “Pancaran Kasih” Manado.
Pada tahun 1951, jabatan Ketua Sinode beralih kepada Pendeta M. Sondakh. Pendeta Wenas pun memanfaatkan kesempatan ini dengan membuka Yayasan Sosial Diakonal pada 1951 dengan dirinya sebagai Ketua Yayasannya. Dalam hal pendidikan, Pendeta Wenas terus mendorong jemaat dalam mendirikan sekolah-sekolah. Taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang kini dikenal Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), berdiri atas prakarsa Prof Dr. Med. S. J. Warouw pada 20 Februari 1965. Atas jasa-jasanya ini, oleh pemerintah RI pada tahun 1968, Pendeta Wenas dianugerahi penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial. Oleh GMIM, kini namanya diabadikan sebagai nama Yayasan.
Masa Pergolakan Permesta hingga Akhir Hayatnya Tahun 1957-1967
Bergemanya naskah proklamasi Permesta (Perjuangan Semesta) pada 2 Maret 1957 yang dibacakan oleh Letkol. N. H. V. Sumual di Makassar menandai dimulainya agresi militer di Sulawesi, khususnya di Minahasa. Keadaan damai kembali berganti perang. Tugas Pendeta Wenas belum selesai.
Periode pergolakan Permesta ini terjadi antara tahun 1957-1961. Periode yang menurut W. Langi adalah periode sial dan malang, genting dan berbahaya. Inilah saat Ketua Sinode GMIM Pendeta Wenas, Badan Pekerja Sinode, anggotanya dan para jemaat diuji kembali. Sebelumnya Pendeta Wenas kembali terpilih sebagai Ketua Sinode GMIM, dalam Sidang Sinode pada Mei 1957 menggantikan Pendeta M. Sondakh.
Sambow menceritakan bahwa selama periode ini, tentara pusat RI dan tentara Permesta adalah dua kekuatan besar yang saling tembak-menembak, kejar-mengejar dan saling bom. Lebih dari 150 desa di daerah Minahasa dibumihanguskan oleh kedua belah pihak. Gedung-gedung terkena senjata berat. Rakyat mengungsi ke hutan dan kebun. Mirisnya, saudara-membunuh saudara, saling curiga, culik-menculik. Keluarga terpisah, perceraian, anak meninggalkan orang tua, pendidikan sekolah kacau, moral dan akhlak rusak. Sakit merajalela dan terjadi di mana-mana. Kekurangan obat-obatan dan makanan. Banyak yang mati, manusia dan hewan. Banyak yang kehilangan harta benda.
Gereja tidak dapat menghindar dari situasi ini. Pendeta Wenas tidak tunggu diam. Memang terjadi pemblokiran jalan di mana-mana dari kedua pihak. Namun Pendeta Wenas melakukan kunjungan-kunjungan walaupun secara terbatas kepada jemaat-jemaat. Di samping itu juga membuat surat-surat penggembalaan dan seruan kepada masyarakat umum. Kebijaksanaan seorang Pendeta Wenas yang melihat keadaan yang makin memprihatikan membuat ia mengirimkan surat kepada Presiden tentang pergolakan Permesta pada 26 September 1959. Sebuah ungkapan hatinya mengenai keadaan Minahasa, memohonkan perdamaian dan inisiatif untuk memberikan dirinya dalam upaya penyelesaian pergolakan dan membantu pemerintah. Di susul langkah konkret lainnya dengan mengirimkan surat kepada Menteri Muda Pertanian RI pada 26 September 1959, tentang permohonan bantuan menanam sayuran; Surat kepada Kementerian Agama pada 26 September 1959, permohonan bantuan dana perbaikan gedung gereja dalam rangka HUT GMIM ke-25; Surat pada 15 Februari 1960 kepada tokoh masyarakat dan tokoh gereja Minahasa di Jakarta, tentang penyelesaian pergolakan di Minahasa.
Sebelumnya Pendeta Wenas telah menyerukan suratnya melalui BPS GMIM sejak 12 Maret 1958, 4 April 1958, 28 Juni 1958 dst., yang disiarkan melalui Radio Permesta., seruan ini bermaksud agar tercapainya penyelesaian pergolakan tidak dengan jalan kekerasan, salah satu bagian isi surat seruan tersebut yang diucapkan Pendeta Wenas adalah;
“Tinggalkanlah dan hentikanlah jalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara, antar kita dengan kita. hentikanlah pemuntahan peluru dan granat pada kota Manado dan kota-kota yang lain, yang telah menewaskan orang-orang yang tidak bersalah. Ganti penyelesaian persengketaan ini dengan kapal perang dan pesawat pembom, dengan mengangkat perang dan serangan-serangan seru dan hebat. Kami desak kepada pemerintah akan mencari jalan lain guna penyelesaian untuk keutuhan Negara dan Bangsa kita.”
Segala upaya yang dilakukan Pendeta Wenas melalui kewibawaan dan karismatiknya sebagai pemimpin gereja, benar-benar segenap hidupnya ia amal baktikan bagi Gereja dan Negara, demi tercapainya suasana damai dan sejahtera. Tidak henti-hentinya berkomunikasi intens dengan pihak pemerintah pusat RI dan pihak Permesta. Doa dan harapannya terjawab. Ia menunaikan tugasnya sebagai “Juru Damai”.
Roeroe menceritakan kisah menarik di balik pertemuan perdamaian mengakhiri Perang Saudara Permesta di perkebunan Woloan pada Februari 1961. Dengan hati yang gembira, ia memerintahkan kepada petugas Diakoni Sinode untuk menyiapkan masakan untuk menjamu makan dan minum bersama, kedua pihak yang dulunya bermusuhan. Kepada Jenderal Hidayat yang terlibat dalam upaya perdamaian, Pendeta Wenas menanyakan dalam bahasa Belanda, apakah yang dapat disuguhkannya? Jenderal Hidayat menjawab, “Een kop koffie, Dominee!”. Lalu bergegaslah Pendeta Wenas mendapatkannya dan melayani sang Jenderal dengan secangkir kopi bersama Panglima Besar Permesta Alex Kawilarang.
Di masa-masa pelayanannya sebagai Ketua Sinode GMIM di periodenya yang terakhir. Pendeta Wenas memindahkan rumah piatu kesayangannya di Matani, pada 30 September 1967, lalu menyelesaikan pembinaan guru-guru jemaat, dan terakhir 7 Oktober 1967, Pendeta Wenas hadir dalam dies natalis ke-VII Fakultas Teologi UKIT dan meletakan dasar-dasar ideal kepada perguruan tinggi teologi. Pendeta Wenas meninggal pada 11 Oktober 1967, di usianya yang ke-69 tahun. 17 hari lebih cepat dari peringatan kelahirannya. Beberapa hari sebelumnya, Pendeta Wenas telah menghadiri dan membuka persidangan Sidang Sinode GMIM pada 8-13 Oktober 1967. Menurut Langi, pidatonya dalam sidang itu lebih bernada “pidato perpisahan” dengan GMIM.
Nasionalisme ala Ds. A. Z. R. Wenas: Menabur Benih Perdamaian, Pendidikan dan Cinta Kasih
Bangkitnya semangat nasionalisme di Indonesia menurut Ngelow yang meminjam pemikiran George McTurnan, bahwa ada dua faktor yang mendasar, yakni pertama adalah pengaruh bangkitnya bangsa-bangsa terjajah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Lalu yang kedua adalah politik etis pemerintah Belanda sebagai kebijakan kolonial yang baru. Pemicunya adalah peningkatan pendidikan pribumi dianggap sebagai salah satu bentuk. Di samping dengan bermunculan pembentukan Volksraad (dewan rakyat).
Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan pada studi sejarah ini. Kita dapat meletakkan Pendeta Wenas, sebagai seorang yang masuk dalam bingkai rancangan politik etis ini. Dari perspektif pendidikan, Pendeta Wenas merupakan seorang yang terpelajar di zamannya. Sekalipun pendidikannya teologi dan dipersiapkan menjadi Pendeta. Dialah yang menjadi pelajar pertama yang berpendidikan teologi dari Minahasa yang bersekolah di Belanda. Ia sanggup mengangkat harkat dan martabat bangsa yang dijajah. Juga mampu bersaing dan disetarakan dengan kelompok pelajar dari bangsa penjajah. Tidak sampai disitu saja, Pendeta Wenas sepulangnya dari Oegstgeest, Belanda. Dia menjadi salah satu Pendeta dari antara Pendeta Belanda yang punya peran besar dalam mendirikan Gereja yang mandiri.
Dalam keterlibatannya berorganisasi, dan dalam soal-soal politik kebangsaan. Pendeta Wenas pernah menjadi anggota dan Ketua Minahasaraad. Ada perasaan ketidaknyamanannya karena ia adalah seorang rohaniawan. Ia mundur bukan karena apatis terhadap politik. Tapi melainkan ingin berkontribusi dengan cara yang berbeda. Ia lebih memilih kalau hidupnya akan lebih berguna, jika ia menggunakan secara optimal potensi dan karunia, sebagai seorang Pendeta dan juga sebagai Ketua Sinode GMIM. Dalam menanggulangi persoalan-persoalan sosial, kemiskinan, kesehatan, ekonomi dan pendidikan yang terkooptasi akibat kondisi perang di masanya (Perang Dunia II, Kemerdekaan RI dan Permesta).
Tentu sulit dipungkiri jika Pendeta Wenas tumbuh dan diasuh dalam kehidupan zaman Belanda serta pemahaman teologinya sesuai konteks zamannya. Pendeta Wenas memang tidak terlibat secara langsung apalagi disebut sebagai penggagas pergerakan nasional. Gerakan Pendeta Wenas merupakan gerakan lokalitas, namun gaungnya berdampak luas di hingga nasional, dialah salah seorang penggagas pemandirian Gereja daerah dalam GPI, dari hegemoni kuasa negara atas Gereja. Yang turut berdampak logis bagi gereja daerah lain di Indonesia.
Pola pergerakan politik etis mengalami perubahan dan sifanya menjadi politik-ideologis. Tentu Pendeta Wenas tidak pada barisan itu. Namun ia dalam mencermati perubahan dinamika dalam pergerakan, selalu cenderung menggunakan pendekatan konstitusional dalam menengahi persoalan yang ada. Demikianlah ciri khas Pendeta Wenas, dalam perjuangan dan pergerakannya. Nasionalisme ala Pendeta Wenas adalah merawat yang sakit, menyembuhkan yang luka, memelihara anak yatim piatu dan mendidik generasi muda.
Pendirian dan panggilannya sebagai Pendeta, telah teruji dari segala zaman dan tempat. Maka adalah tidak berlebihan jika Pendeta Wenas disebut sebagai Pendeta “Juru Damai” dan mengedepankan pandangan nasionalisme berangkat dari politik etis-teologis. Pesan pastoralnya kepada orang-orang Kristen, berhubung dengan peristiwa Makassar: “Djangan balas dendam, ketjuali lakukan pelajanan berdasarkan kasih Jesus Kristus”.
Berdasarkan penelitian studi sejarah mengenai Pendeta Wenas, adapun beberapa hal kesimpulan yang dapat dikemukakan kerja dan karyanya sebagai berikut;
Pertama, Sejarah GMIM tidak dapat lepas dari seorang Pendeta Wenas. Masa kepemimpinannya sebagai Ketua Sinode diperhadapkan dengan situasi yang sukar dan genting. Namun oleh semangat dan ketabahannya situasi itu dapat dihadapi. Perlawan terhadap peperangan baginya satu-satunya cara yang paling ampuh adalah Perdamaian.
Kedua, Pemandirian GMIM dilatarbelakangi oleh ide, gagasan dan pergerakan semangat nasionalisme. Pendeta Wenas menyatakan prinsip nasionalisme bukan dalam kerja-kerja politik praktis, melainkan secara konkret melalui kerja-kerja sosial, melalui pendidikan dan upaya pelayanan kesehatan, serta keseriusannya melawan kemiskinan.
Ketiga, Misi pelayanan gereja dan kepada negara yang sebenarnya diperjuangkan oleh Pendeta Wenas, adalah “misi kemanusiaan” yang adil dan beradab. Seyogyanya hidup Pendeta Wenas harus selalu dikenang dan diteladani sebagai sosok Bapak Pendeta “Juru Damai” yang nasionalis.
Catatan:
Ini salah satu karya sejarah yang masih jarang ditulis, kisah tentang tokoh kepahlawanan keagamaan. Pembahasan tokoh agamawan ini sudah barang tentu juga menjadi bagian dari penulisan sejarah lokal Manado. Karya-karya sejarah dengan tema seperti ini sebetulnya perlu digali lebih dalam dan disampaikan kepada masyarakat dalam bentuk buku atau dalam format yang mudah dijangkau masyarakat. Sumber yang digunakan cukup memadai sehingga memudahkan penulis untuk merangkai kisah sejarah sebagai sumbangan bagi historiografi sejarah lokal.
(Foto: Bumper channel youtube Denni Pinontoan)
