OPINI
“Pengadilan Monyet” Rocky Gerung
Published
6 years agoon
By
philipsmarx4 Februari 2019
Oleh: Haz Algebra
Dokter, Penulis
PADA TAHUN 1925, seorang guru biologi bernama John Scopes dari Daytone, Tenessee, digelandang ke meja hijau karena mengajarkan teori evolusi Darwin di sekolahnya. Dalam persidangan yang populer dengan julukan “Monkey Trial” atau “Pengadilan Monyet” itu, Clarence Darrow selaku kuasa hukum Scopes harus melawan jaksa penuntut William Jennings Bryan, seorang kandidat presiden dari salah satu partai besar di masa itu. Meski posisi Scopes dalam persidangan tersebut adalah seorang terdakwa, persidangan itu berputar arah dan dipandang oleh khalayak dan pengamat sebagai ruang promosi gratis bagi ajaran evolusi Darwin. Kisah persidangan ini pernah diangkat menjadi sebuah film berjudul Inherit The Wind, dengan nama-nama tokoh dan latarnya telah diubah dari peristiwa aslinya. Tonton saja. Filmnya pasti seru. Dan saya merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh Rocky Gerung (jika belum).
Ya, tulisan ini hendak berbicara tentang Rocky yang, selain lagi naik daun, juga sedang hendak dipangkas oleh pihak-pihak yang menganggapnya sebagai The Most Dangerous Philosopher in Nusantara. Delik penistaan agama menjadi guntingnya. Dan dari ranting-ranting Rocky yang sudah menjalar seantero nusantara, mereka menemukan ranting besar dalam bentuk argumen yang pernah ia lontarkan di forum Indonesia Lawyers Club setahun silam. “…Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi. …” demikian pokok argumennya. Dan kini, mereka sedang menyerahkan gunting itu ke tangan hukum untuk segera mengeksekusi Rocky.
Hampir seabad setelah sebuah “teori saintifik” dimeja-hijaukan, saya tidak habis pikir bahwa di penghujung dekade kedua Abad ke-21 ini, kita akan diperhadapkan dengan sebuah fenomena ganjil dan menggelikan serupa: “Nalar,” atau tepatnya seuntai argumen penalaran atau silogisme, hendak dipaksa untuk menjadi terdakwa! Tentu saja, yang hendak dijadikan terdakwa dalam kasus ini adalah Rocky, bukannya nalar yang beroperasi dalam argumennya. Namun, jika Anda mau meluangkan sedikit waktu untuk meluruskan saraf, saya akan segera memperlihatkan bahwa “memolisikan Rocky sama saja dengan memolisikan nalar,” dan jika kasus ini berlanjut sampai ke persidangan, mungkin itu akan menjadi seperti Pengadilan Monyet di atas, yang mana untuk membuktikan Scopes bersalah, pengadilan harus lebih dulu membuktikan bahwa teori Darwin itu salah. Dan itu seharusnya tidak perlu terjadi di ruang pengadilan. Sangat menggelikan untuk membayangkan bahwa untuk menjebloskan Rocky ke dalam penjara, pengadilan yang merupakan institusi nalar harus lebih dulu membuktikan bahwa penalaran yang Rocky lakukan (dan dengan demikian nalar itu sendiri) adalah keliru.
***
Mari kita mulai dengan mengurai argumen Rocky yang dianggap menista agama itu ke dalam bentuk silogisme dasar. Dalam pernyataan lengkap Rocky, argumen “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi,” diikuti dengan beberapa penjelasan terkait bagaimana sebuah kitab suci (salah contoh yang diambilnya, “babat tanah jawa”) bisa mengaktifkan imajinasi orang, dan ini merupakan pelengkap dari argumennya yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara logis maupun etis.
Dari berbagai macam cara yang bisa dilakukan, satu cara yang akan saya uraikan berikut adalah dengan menganggap argumen Rocky itu sebagai entimem atau silogisme yang diperpendek, sehingga perlu diuraikan agar menjadi lebih terbuka dan lebih jelas. Perhatikan transformasi berikut:
[i]
Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi.
[ii]
Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu (adalah semua hal yang) mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah (bagian dari) fiksi, (karena kitab suci adalah benda/teks yang mengaktifkan imajinasi.)
[iii]
Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu (adalah semua hal yang) mengaktifkan imajinasi, (maka benda/teks yang mengaktifkan imajinasi bisa disebut fiksi).
(Kitab suci adalah benda/teks yang mengaktifkan imajinasi.)
Maka, kitab suci itu adalah (bagian dari) fiksi (menurut definisi yang saya pakai).
Silogisme semacam ini bisa disebut sebagai “silogisme hipotesis” karena menggunakan kata pengandaian “kalau” (yang bisa juga disubtitusi dengan kata “jika” atau “bila”), yang berarti bahwa definisi universal dari kata “fiksi” yang dibangun sebagai premis mayornya masih bersifat hipotesis. (Ingat bahwa dalam silogisme, suatu premis dapat mengatakan suatu fakta, suatu generalisasi, atau sekadar asumsi atau sesuatu yang spesifik.) Sehingga, kesimpulan bahwa “kitab suci itu adalah fiksi” tidak bisa dihukumi benar atau salah secara faktual, dan oleh karenanya tidak bisa memiliki implikasi etis (baik atau buruk). Akan tetapi, secara logis, seluruh proses penalaran yang telah dilakukan bisa dikatakan valid atau sahih karena sudah memenuhi kepentingan logis (hubungan konsekuensial) yang ada di antara kesimpulan dan premis-premisnya.
Dalam logika, koherensif (keruntutan antar premis) memang belum tentu korespondensif (sesuai dengan kenyataan). Ini seperti mengatakan “Kalau saya pakai asumsi bahwa semua makhluk bernyawa akan mati, maka manusia pasti akan mati.” Kita tidak bisa membuktikan secara faktual bahwa semua makhluk bernyawa pasti akan mati meskipun di hari akhir nanti hanya tersisa satu orang (hidup) yang menyaksikan kehancuran bumi, dan kita juga tidak bisa tahu jika ada manusia yang kelak bisa menjadi abadi dan berpindah-pindah planet atau hidup dalam jejaring data semesta berkat dukungan sains dan teknologi.
Jika argumen-argumen seperti itu tidak faktual dan tidak berimplikasi etis sama sekali serta bisa didebat sekadar dengan argumen-argumen tandingan, lalu hal apa, dari argumen Rocky Gerung itu, yang hendak di BAP-kan selain proses penalaran yang dilakukannya? Seperti di awal saya katakan, memolisikan Rocky sama dengan memolisikan nalar. Di sinilah keganjilan dan kegeliannya. Bisakah polisi menjadikan silogisme sebagai tersangka? Bisakah pengadilan kemudian mendakwa penalaran?
***
Nalar adalah kodrat manusia. Memolisikan nalar sama saja dengan menentang nalar itu sendiri. Dan menentang nalar, menurut definisinya, mustahil masuk akal, karena itu akan menyanggah diri kita sendiri. Segera setelah Anda datang untuk memolisikan, memeriksa, menersangkakan hingga mendakwa suatu penalaran yang Anda anggap salah dan menista, dan selama Anda bersikeras bahwa argumen Anda, apa pun itu, masuk akal atau memiliki alasan pembenaran atau memang benar, dan bahwa karena itu orang lain harus mempercayainya juga, maka Anda sebenarnya telah berkomitmen untuk menggunakan nalar, bukan menentangnya. Dan jika Anda-Anda masih menggunakan nalar Anda dengan baik dan benar, maka penalaran yang dilakukan oleh Rocky seharusnya tidak akan pernah menjadi kasus seperti ini, karena nalar yang Anda miliki adalah jendela bagi nalar orang lain. Kecuali jika Anda bisa bernegosiasi dengan nalar Anda sendiri; Bahwa ketika Anda pergi memolisikan, memeriksa, menersangkakan hingga mendakwa penalaran yang Anda anggap salah itu, Anda berucap kepada nalar Anda, “Oke Nalar, saya harus mengesampingkan kamu dulu karena saya harus mendakwa nalar dari Rocky ini.” Dengan kata lain, itu sama saja membuat diri Anda menjadi dungu atau gila di tempat pertama.
Bagi pelapor Rocky Gerung, saya berasumsi bahwa ia tidak dungu apalagi gila, tapi otaknya hanya sedang terinfeksi oleh apa yang para neurosaintis dan psikolog sebut sebagai motivated reasoning (mengarahkan argumen ke arah kesimpulan yang disukai, daripada mengikutinya ke mana ia mengarah). Sehingga, dalam menilai argumen “kitab suci adalah fiksi,” otaknya akan bekerja dengan algoritma “anjing adalah babi” seperti berikut:
Fiksi adalah sesuatu yang mengaktifkan imajinasi.
Kitab suci adalah sesuatu yang mengaktifkan imajinasi.
Jadi, kitab suci adalah fiksi.
Terdengar masuk akal? Perhatikan lagi, pondasinya adalah ini:
Babi adalah hewan berkaki empat.
Anjing adalah hewan berkaki empat.
Jadi, anjing adalah babi.
Lalu, untuk menarik kesimpulan bahwa tafsir dari argumen Rocky itu menistakan agama, otaknya akan mengaktifkan algoritma “etis” sebagai berikut:
Yang mengatakan kitab suci itu fiksi adalah penista agama.
Rocky mengatakan kitab suci itu fiksi.
Rocky adalah penista agama.
Dan ketika ia diperhadapkan dengan silogisme yang membantah cara kerja otaknya itu, maka otaknya akan segera berlindung pada mekanisme biased evaluation (mencari-cari kesalahan pada argumen yang membantah posisi atau keyakinan yang dipegangnya dan memberikan umpan ke bukti yang mendukung posisi atau keyakinannya), dan My-Side bias (ketika tidak ada lagi alasan yang masuk akal, maka penjelasan dari sudut pandang pribadi akan mengambil alih otaknya).
***
Sikap kognitif atau keadaan mental seperti itu memang wajar pada manusia, karena manusia memang tidak secara konsisten rasional. Dan meskipun nalar merupakan sesuatu yang mendahului segala sesuatu yang lain dan tidak membutuhkan justifikasi pada prinsip-prinsip pertama, tetapi itu tidak menghentikan banyak orang untuk lebih menyukai hati daripada kepala, sistem limbik daripada korteks, blinking daripada thinking, Jokowi daripada Wiranto (dalam contoh kasus pembebasan Ba’asyir), apalagi jika orang-orang itu terlibat dalam deretan fandom-fandom politik.
Para ilmuwan kognitif sudah banyak menunjukkan bahwa keberpihakan politik itu sama seperti menjadi supporter bola: tingkat testosteron naik atau turun pada hari-hari menjelang pemilu. Orang-orang yang menjadi partisan politik, seperti penonton bola, akan selalu melihat lebih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh tim lawan. Bahkan, jika lebih parah, alih-alih melihat lapangan politik itu seperti lapangan bola, mereka malah mengiranya sebagai padang rumput Afrika purba; mereka berpikir dengan amygdala mereka, bereaksi secara naluriah terhadap suara gemerisik kecil di padang rumput yang dianggap menandakan adanya seekor harimau yang sedang meringkuk, padahal di sana hanya ada Rocky (batu cadas) yang sedang duduk melongo.
Itulah mengapa para pemikir seperti Kant, Spinoza, Hobbes, Hume, dan Smith mencoba memahami kebodohan-kebodohan umum kita dan menunjukkan kodrat yang bisa kita gapai sebagai manusia, yaitu nalar. Para pemikir itu adalah para psikolog kognitif dan evolusioner (sebelum istilah-istilah itu diciptakan) yang tahu betul dan sangat sadar akan irasionalitas dan bias-bias manusia. Apa yang mereka katakan bukanlah bahwa manusia itu selalu rasional melainkan harus rasional, dengan belajar untuk menekan kesalahan dan dogma-dogma yang begitu mudah merayu kita, dan bahwa kita bisa menjadi rasional, secara kolektif jika tidak secara individual, dengan menerapkan institusi-institusi yang dibangun atas nama nalar. Jangan lupa bahwa demokrasi, pengadilan, dan kepolisian adalah sedikit contoh dari banyak “institusi nalar” yang lahir dari gagasan para pemikir era Pencerahan di atas.
Institusi-institusi nalar itu tidak dimaksudkan untuk meladeni logika “anjing adalah babi”, dan tidak didirikan untuk bekerja dengan bias-bias padang rumput purba. Penerapan nalar menjadi institusi ini dimaksudkan untuk mengatasi kebodohan dan diperlukan justru karena kebiasaan berpikir orang-orang pada umumnya tidaklah terlalu masuk akal. Itulah mengapa kita tidak berharap bahwa “kasus nalar” Rocky Gerung ini akan diloloskan oleh “institusi nalar” kepolisian, apalagi sampai kita harus menyaksikan “Rocky Trial” di mana nalar dijadikan sebagai terdakwa. Nalar yang benar tidak bisa dihakimi bersalah oleh institusi apa pun yang dibangun oleh nalar itu sendiri untuk tujuan baik dan benar. Jika itu terjadi, maka itu akan menjadi kedurhakaan yang paling memalukan dari institusi nalar kita, jika bukan kegilaan atau kedunguan yang paling hakiki dari orang-orang yang menjalankannya.
“Siapa yang mengacaukan rumahnya sendiri akan mewarisi angin; dan orang bodoh akan menjadi budak kepada orang bijak,” demikian bunyi Amsal 11:29, yang dikutip sebagai judul film Inherit The Wind.(*)
Editor: Andre Barahamin