Connect with us

BERITA

Penggunaan UU ITE Mematikan Daya Kritis

Published

on

12 Januari 2019


Oleh: Juan Y. Ratu


 

kelung.com – Penggunaan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Infomasi Transaksi Elektronik (ITE) dinilai sebagai ancaman bagi kebebasan pers dan mematikan daya kritis masyarakat. Sepanjang tahun 2018, data yang dihimpun Southeast Asia Freedom Expression Network (SAFEnet), di Indonesia kriminalisasi terhadap jurnalis dan media trendnya selalu meningkat.

Dalam rilis persnya, SAFEnet menunjukkan bahwa di awal tahun 2019 saja sudah terkuak upaya kriminalisasi terhadap media. Berita Jawa Pos berjudul “Green Force pun Terseret” edisi 6 Januari 2019 berujung pelaporan ke Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya oleh manajemen klub sepakbola Persebaya Surabaya. Laporan ini dilakukan pada Senin, 7 Januari 2019. Berita Jawa Pos itu sendiri terkait investigasi atas dugaan mafia bola saat Persebaya melawan Kalteng Putra pada 12 Oktober 2017.

Berdasarkan siaran pers yang dimuat di laman Persebaya, Chandra Wahyudi selaku Manajer Persebaya menuduh Jawa Pos telah melakukan fitnah dan pencemaran nama baik dalam pemberitaannya. Jawa Pos dilaporkan dengan pasal 310-311 KUHP dan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Atas laporan itu, Polrestabes Surabaya menerbitkan surat tanda terima laporan polisi bernomor STTLP/B/24/I/2019/JATIM/RESTABES SBY dan segera memprosesnya.

Kepada kelung.com, saat diwawancarai Sabtu (12/01) pagi, Sekretaris Jendral SAFEnet, Anton Muhajir menilai bahwa sesuai fakta yang ditemukan di lapangan, UU ITE sering menjadi primadona untuk membungkan kritik terhadap pelayanan publik dan ironisnya ingin mematikan daya kritis warga.

“Dari hasil pengamatan kami (SAFEnet, red), UU ITE sering dipakai untuk membungkam kritik. Semisal orang mengiritik pelayanan publik yang tak sesuai, dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE itu. Jelas itu mematikan daya kritis warga.”

Gambar: SAFEnet

Menurut Muhajir, seharusnya produk kasus yang bersangkutpaut dengan dunia jurnalistik harus menggunakan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang adalah Lex Specialis dari UUD 1945, karena dalamnya memuat mekanisme penyelesaian sengketa pers.

“Untuk kasus dari produk jurnalistik harus menggunakan UU Pers, yang adalah lex specialis bagi media. Dalam UU Pers, ada mekanisme terkait sengketa pers. Mencakup hak jawab. Jika hak jawab tidak memuaskan, maka bisa melapor ke Dewan Pers. Jika tetap belum puas, bisa melalui proses gugatan perdata,” kata Muhajir.

Penerapan UU ITE terhadap media menurut Muhajir, merupakan salah kaprah. Selain itu, di dalam UU ITE terdapat ‘pasal karet’ yang menjadi ancaman untuk kriminalisasi para jurnalis.

“Yang jadi masalahnya kalau menggunakan UU ITE, mekanisme pers sesuai UU Pers sudah tidak dilakukan. Seseorang bahkan dengan mudah dapat melakukan gugatan pidana berdasarkan UU ITE pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Itu pasal karet. Bagi warga saja sudah tak sesuai, apalagi bagi media. Ini bisa menjadi ancaman besar karena akan banyak media yang dituntut, dan kemungkinan wartawan dipenjara semakin besar,” lanjut Muhajir.

Muhajir juga menegaskan posisi SAFEnet yang akan mengadvokasi Jawa Pos.

“Posisi kami jelas membela kebebasan pers, membela hak media, termasuk Jawa Pos untuk menyampaikan kritik mereka, apalagi ini hasil investigasi,” tegas Muhajir.

Sekjen SAFEnet ini menyayangkan keseriusan pemerintah dalam mengawal dan melindungi kebebasan berekspresi yang sebetulnya ditopang dalam Pasal 28F UUD 1945.

“Kalo melihat pemerintah, sungguh kurang meyakinkan. Karena terlihat bahwa hak masyarakat untuk berekspresi, hak untuk mengakses informasi, hak terhadap rasa aman, semuanya semakin hilang. Negara terlihat gagal melindungi kebebasan berekspresi, termasuk tidak hanya media tetapi juga warganya sendiri” sindirnya.

Dia menilai seharusnya dalam tahap menerapkan UU ITE aparat kepolisian harusnya ada kebijakan yang radikal. Ketegasan dan kepastian penerapan UU ITE harus jelas agar tidak banyak jurnalis dan media yang dikriminalisasi.

“Ini perlu ada kebijakan yang radikal. Dari kalangan kepolisian harus adanya ketegasan, ini terkait secara umum penerapan UU ITE ini. Mereka harus lebih jelas bagaimana UU ITE ini diterapkan. Tidak bisa dengan serta merta setiap hal yang dilaporkan harus diproses, padahal seringkali laporan tersebut tak memenuhi unsur-unsur pidana. Kami (SAFEnet, red) sepakat bahwa ujaran kebencian memang tak boleh dibiarkan dan hoaks harus dilawan. Tapi ini tidak berarti setiap hal dicap sebagai hoaks dan fitnah. Jadi, polisi seharusnya membuat kebijakan internal, agar kasus kriminalisasi ini tidak banyak terjadi ke depan,” tutup Muhajir.(*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *