Published
5 years agoon
By
Admin22 Mei 2020
Oleh: Sovian Lawendatu
Sastrawan
*Semacam Catatan Budaya*
Kekuatan ‘syawat’ apakah yang dapat dibanggakan dari kita — bangsa Indonesia– dalam hal budaya disiplin?
Kalau disiplin diartikan sebagai budaya tepat waktu, kita memang pengidap pathos ‘lemah syawat’ yang kronis. Lihat saja, misalnya, kebiasaan bermolor-molor di aneka macam seremoni, mulai dari kenduri sampai dengan pawai. Ini sepertinya sudah menjadi jatidiri kebangsa-indonesiaan kita, sehingga, bila dalam seremoni begini kita hadir tepat waktu, seakan kita sudah berhenti menjadi bangsa Indonesia.
Lemahnya ‘syawat’ budaya disiplin kita memang terjadi di berbagai hal. Yang mutakhir tentu saja kelemahan ‘syawat’ kedisiplinan dalam hal mengenakan masker dan menjauhi kerumunan sebagai bagian strategi dan taktik perang bangsa kita melawan wabah korona (covid-19).
Memang tidak semua anasir bangsa kita punya ‘syahwat’ budaya disiplin yang selemah itu. Tapi, sebagai satu entitas bangsa, maka yang ‘lemah syawat’ itu pastilah menjadi bagian eksistensial dari yang ‘tokcer syahwat’. Inilah persoalannya.
Persoalan kian pelik, karena korona tidak pandang bulu. Maka, ketika kita terus menerus mengocehi sesama bangsa yang ‘lemah syawat’ budaya disiplin, ocehan itu lahir dari keprihatinan dan kepedulian terhadap kesehatan dan keselamatan semua anasir bangsa.
Pernah saya berpikir, bahwa kebijakan pemerintah yang lebih mengandalkan kedisiplinan warga dalam perang melawan korona merupakan kekeliruan yang mendasar. Sebab bangsa kita terbukti mengidap pathos “lemah syawat” budaya disiplin di pelbagai aspek kehidupan.
Namun, pikiran itu kemudian saya buang pada tempatnya: tong sampah. Sebab, dari berbagai kajian ilmiah, tinggal budaya disiplin itulah yang terandalkan untuk memenangkan bangsa kita dalam peperangan melawan corona. Senjata medis dan hukum sesungguhnya ‘hanya’ pendukung senjata etos budaya disiplin dalam pencegahan penyebaran wabah korona.
Tingginya etos budaya disiplin sebagai senjata bangsa kita dalam pencegahan penyebaran wabah korona tetap dibutuhkan, andaikata nanti virus itu tidak pernah dapat dienyahkan secara total, dan karenanya kita semua (yang masih hidup) terpaksa mesti ‘bersahabat’ dengannya, seperti ketika kita terpaksa harus ‘bersahabat’ dengan kuman Demam Berdarah (DBD). Sebab bukankah dunia medis hingga kini belum berhasil menemukan obat pembasmi kuman DBD, tetapi kita toh bisa luput dari ancaman penyakit itu terutama karena kedisiplinan kita dalam pencegahannya?
Bukan maksud saya hendak menyamakan begitu saja potensi keberbahayaan penyakit korona dan DBD. Saya pun insyaf bahwa secara empirik, korona tampak lebih berbahaya daripada kuman DBD. Namun, setidaknya, kedua macam penyakit menular ini masih dapat dicegah dengan cara hidup kita, dengan cara bersosialisasi kita. Memang, adagium “lebih baik mencegah daripada mengobati” tetap menjadi aksioma kehidupan yang tak terbantahkan.
Alhasil, kepada sesama bangsa yang membuktikan diri masih mengidap pathos ‘lemah syawat’ dalam menerapkan budaya disiplin pencegahan penyebaran virus korona, kita tetap menaruh harap, agar memperkuat ‘syawat’ budaya tersebut. Dan kepada kita yang merasa diri ‘tokcer syawat’ budaya disiplin dalam pencegahan penyebaran wabah global ini, baiklah kita tingkatkan ‘ketokceran’ kita. Ketokceran, adalah ia sesuatu yang sanggup membikin hidup lebih hidup, sehat dan bahagia, ya, sehidup, sesehat dan sebahagia para istri seusai menikmati ketokceran suami mereka. (*)