FEATURE
Perantau, Ma’erur, dan Multikulturalisme
Published
6 years agoon
By
philipsmarx28 Januari 2019
Oleh: Daniel Kaligis
“Orang Minahasa so lama ada di Selatan, lia tu nama tempat jo, ada Sungguminasa. Torang pe nenek moyang so lama batamang deng orang-orang di Sulawesi Selatan.”
MENDAUR RINDU sekian waktu. Ma’erur di Baruga Anging Mammiri, Jl. H.I.A. Saleh Dg. Tompo No.33, Losari, Kota Makassar, Sabtu, 26 Januari 2019, untuk Natal bersama orang Remboken perantauan, dirangkai Hari Ulang Tahun ketujuh puluh sembilan Kerukunan Keluarga Pakasaan Remboken di Makassar (KKPR). Perantau Remboken di Makassar dalam Ma’erur, selalu menampilkan adat kebiasaan yang mereka bawa dari wanua, salah satunya Maengket Ne’ Tou Rinembok.
Sejumlah istilah yang lama tak terdengar, berkumandang lagi pada acara Ma’erur. Terminologi Ma’erur diambil dari dialek tua Remboken, artinya berkumpul. Kata wanua bermakna tanah leluhur.
Pemimpin Ma’engket disebut kapel. Dia maju, berdiri di depan barisan, mengayun tangan berikat sapu tangan putih di kelingking kiri, dan sapu tangan merah di kelingking kanan. Memberi tanda pada penabuh tambur, lalu tambur diketuk mengiring irama kaki-kaki penari berjinjit, lenggak-lenggok di panggung seiring tembang pemujaan mengalun.
Nah, dalam Ma’erur, puncaknya tontonan adalah babak-babak Maengket, biasanya digelar setelah ritual Natal. Lalayaan, Makamberu, Maowey Kamberu, Marambak. “Sudah puluhan tahun acara seperti ini tetap kami lakukan, sejak generasi pertama dari kerukunan mengukuhkan keberadaannya di Makassar, sampai sekarang tu torang pe adat budaya masih terpelihara,” jelas Tonny G.C Kairupan, Panitia Penyelenggara Ulang Tahun 79 KKPR.
Tonny G.C Kairupan menutur yang mana tradisi Ma’erur adalah untuk mengumpulkan semua orang Remboken dari berbagai latar.
“So selalu samua torang undang dan samua boleh iko. Torang masih bawa tu tua-tua ada kase blajar, apa lagi sesuatu yang baik, rupa sekarang torang so bakumpul samua, ada semangat kebersamaan. Itu yang tercermin dari babakan Lalayaan, Makamberu, Maowey Kamberu, deng Marambak. Lalayaan adalah simbol kegembiraan, juga berkisah pergaulan muda mudi yang beretika. Makamberu adalah aktivitas memanen suatu usaha, semisal pertanian. Maowey Kamberu melambangkan ucap syukur atas panen dan syukur dapa berkat. Kemudian Marambak itu nae rumah baru, batada-tada kaki, tanda senang tu hati.”
Di rantau, bertemu kawan dari kampung, mengenal saudara, makawanua, berasal dari wanua atau kampung yang sama. Melantun lagi dialek yang dikenal dari semasa kanak-kanak. Berkumpul untuk membincang visi.
“Tahun 1940 torang pe tua-tua so beking ini organisasi, jadi ini torang pe kerukunan so ada sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia,” kata Fredrik Kairupan, tokoh pemuda Remboken.
Perantau Kawanua, juga Remboken jadi tentara, jadi guru, jadi pegawai pemerintah, menjalani berbagai profesi. Secara khusus, akhir dan awal tahun mereka berkumpul di tempat-tempat yang disepakati, menggelar berbagai acara, membawa serta adat budaya dan seni dari kampungnya.
“Yang kita inga, so dari kita kacili, torang pe orang tua selalu Ma’erur,” tambah Fredrik Kairupan.
Berbaur dalam beda. Berapa panjang waktu yang terlewat. Hitung mundur ke tahun 1940, ketika baru terorganisir orang-orang kampung dari Minahasa ‘bakudapa’ di selatan Sulawesi. “Orang Minahasa so lama ada di Selatan, lia tu nama-nama tempat jo, ada misalnya Sungguminasa. Ini salah satu tanda torang pe nenek moyang so lama batamang deng orang-orang di Sulawesi Selatan,” urai Fredrik menyoal cerita tutur tetua Minahasa di Makassar. Katanya pembauran itu sudah terjadi sekian lama sebelum zaman Arung Palakka.
Dialek bercampur. Latar agama tak jadi soal. Lihatlah penari semua berikat kepala merah, meski ada yang berjilbab tak jadi soal. Lalu soal definisi dan tafsir. Bila disebut Fredrik Kairupan ada cerita tutur kehadiran Minahasa di Sulawesi Selatan, kapan kira-kira itu terjadi?
“Bayangkan jo, torang pe organisasi so sekian puluh taon ada, torang rasa so lama skali. Maar, ternyata tu pembauran so terjadi ratusan taon lalu di sini tanpa torang orang Minahasa tau depe cirita,” ungkap Kairupan.
Percampuran bangsa sudah terjadi jauh sebelum orang-orang dari berbagai kampung di Minahasa dan Sulawesi Utara keluar wanua, pergi merantau dan dicatat oleh tetua dalam memori mereka.
Makassar, seperti banyak kota Indonesia dan di dunia. Orang-orang dari berbagai latar, suku, kebiasaan, adat, budaya, ada di sana. Kisah perantau semakin biasa. Di sini Makassar, mereka punya tata nilai dan kebiasaan di mana pendatang harus menghargai nilai-nilai itu. Walau, penghormatan kepada pendatang, bersifat universal. Orang-orang yang sudah lebih dulu ada di Makassar bergaul dengan siapa saja.
“Itu di batas jalan Sungai Posso banyak orang Manado, mereka sudah puluhan tahun tinggal di situ, bahkan dari kakek-nenek mereka sudah turunan entah ke berapa di situ, yang lainnya sudah pindah. Kami tidak membedakan etnis dan agama. Suka-ki juga merantau ji saya, banyak teman-temanku banyak orang Manado,” kata Abdi, Ketua RT di Lajangiru.
Ketua Kerukunan Kawanua Makassar, Harly Weku, hadir dalam event perantau Remboken itu tadi malam. Ia mengapresiasi konten lokal yang ditampilkan pada puncak Ulang Tahun KKPR, yaitu tarian Maengket. “So bagus ada tu model bagini, supaya inga kampung, inga satu kali torang juga musti mo pulang di Minahasa mo lia tu adat budaya masih ada, atau so nyanda ada.”
Tak hanya sekali, dalam setiap kesempatan bersua di acara terkait Minahasa dan Sulawesi Utara, Weku selalu menghimbau kepada sesama warga Kawanua untuk menjaga identitas adat budaya Minahasa, setara dengan itu, tetap menghargai budaya masyarakat setempat yang sudah sejak waktu menetap di Makassar.
“Torang musti pertahankan tu identitas adat dan budaya Minahasa, terutama yang bae-bae punya. Tantu bagitu toh? Mapalus, baku-baku tulung sesama tou Minahasa. Berkenalan dan bergaul, kase tunjung tu Kawanua Minahasa pe prestasi deng torang pe semangat baku tulung. Kita maleoleosan, masawa-sawangan, wo masaya-sayangan waya,” kata Weku.
Di KKPR, menurut saya, pembauran berbagai latar sudah biasa.
Di kampung saya di Remboken, Minahasa, saya menyaksikan sendiri pembauran itu. Opa saya mengangkat anak para perantau Gorontalo. Itu waktunya saya tidak sempat tanyakan kepada beliau. Tapi, orang-orang di kampung, yakni turunan dari Labaiga asal Gorontalo itu yang mengisahkannya pada saya.
“Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi manusia, hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.”
Masih tersisa cerita ‘pendatang dianggap asing’ di beberapa kota.
Padahal, bila membaca regulasi di Indonesia, keberagaman budaya dan pluralism dihargai regulasi. Drama sistem yang jadi persoalan keberagaman di Indonesia karena politik panas di ibukota negara, kisahnya mulai terkikis. “Makassar adalah rumah kita bersama”, tegas Walikota Makassar, Ir. H. Mohammad Ramdhan Pomanto. Hal keberagaman itu dicetus Pomanto dalam even Paskah Bersama TNI dan Polri Medio 2017, menepis isu rusuh yang menyasar Makassar. Saya pada acara itu mewawancarai langsung sang Walikota, mengonfirmasi jangan sampai salah kata, sebab tulisan pernyataan itu saya sebar di media sosial. “Ini soal bersama di Indonesia, negara ini sudah dari awalnya plural, beragam. Dan kami sebagai penyelenggara negara di sini berkewajiban menjaga amanat konstitusi itu,” terang Pomanto.
Rentang panjang perjalanan waktu, perantau Remboken anak-anak muda yang ingin bersekolah lebih tinggi di berbagai tempat, ada yang ke Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan ke luar negeri. Ada juga yang datang di Makassar. Walau di negeri orang, mereka tetap membawa bahasa dari tempat lahirnya. Mereka ingat Sumaru Endo, ingat Minawale.
Sumaru Endo, temembo-mei si endo.
Tempat nelayan danau menambat perahu di waktu lampau, sumaru endo artinya menghadap matahari, tumembo si endo, melihat matahari. Dari tempat itu menatap pagi merambat dari pegunungan Lembean. Nelayan ngaso di rumah tepi danau yang saat ini rumah itu tinggal kenang, minawale. Lalu, minawale, sebuah tanda pembagian peran dalam membangun adat budaya.
Tokoh adat Remboken – Minahasa, John Wauran, memberi apresiasi terhadap acara Remboken perantauan semalam.
“Di sini torang so berkembang, beranak cucu dan seterusnya serta memiliki latar belakang keyakinan berbeda-beda, namun dengan adanya KKPR semua dapat disatukan, ada rasa saling memiliki, ada rasa kebersamaan satu dengan yang lain.”
Di Makassar, ada organisasi Kerukunan Keluarga Kawanua Makassar. Sudah hampir empat periode mewadahi tiga puluh enam perhimpunan kekeluargaan Kawanua di Kota Makassar, dalamnya termasuk partisipatori anggota yang lebih dari sepuluh ribu anggota tersebar di berbagai sudut kota. Ada yang diketahui, ada yang bahkan mungkin belum saling kenal.
Ada yang selalu diulang saban bertemu, “Hidup rukun, bertolongan, saling mengasihi sesama,” ujar Johny Walangitan dalam suatu kesempatan pertemuan Kawanua di Makassar. Kalimat itu bermakna dalam, memperkuat argumen para perantau Kawanua di mana saja berada, dalam hal ini, secara khusus pada Kerukunan Keluarga Pakasaan Remboken yang semalam sudah beracara, supaya tetap solid menerap etos Minahasa, berbuat baik, seperti diteladankan oleh para pendahulu yang namanya tetap harum sepanjang waktu.
Kampung berbatu dalam ingatan, alam pegunungan elok di tepi telaga. Sambutan-sambutan mengalir dari para tetua Remboken, memetik syair-syair lama yang dirindu.
“Damai sejahtera yang mempersatukan torang Kerukunan Keluarga Pakasaan Remboken. Maleoleosan, masawasawangan.”
Tema yang diusung dalam ulang tahun KKPR 2019 dan Ma’erur. Maleoleosan masawasawangan merupakan nasehat untuk saling mengasihi dan saling bantu. Berkumpullah selalu, dan tolong-menolong. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa