FEATURE
Perempuan Adat di Hadapan Deforestasi
Published
6 years agoon
By
philipsmarx17 Februari 2017
Oleh: Andre Barahamin
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan asli Papua masih kerap terjadi menyangkut hak dan akses pengelolaan sumber daya alam
“KAMI BERHARAP, pelatihan seperti ini tidak berhenti.” Yuliana Akubar, salah satu tokoh perempuan dari Sub-suku Sarakwari, membaca lantang kertas ekspektasi yang ada di tangannya. “Dapat terus dilanjutkan di masa depan, karena itu harapan kami semua” lanjut Mama Yuliana.
“Mama” adalah sapaan akrab yang sering saya gunakan untuk menyebut perempuan adat di Papua, juga di beberapa daerah lain di wilayah Indonesia Timur. Panggilan ini adalah bentuk penghormatan kepada perempuan sebagai sumber kehidupan dan menjadi simbol dalam banyak referensi kosmologis masyarakat adat.
Yuliana Akubar tidak sendiri. Meski struktur kalimatnya berbeda, namun narasi inti mereka serupa. Berharap bahwa hari ini baru saja memulai. Mungkin harapan mereka sudah melaju lebih dulu ke masa depan.
“Baru kali ini, kami mama-mama tidak cuma berada di dapur untuk menyiapkan konsumsi. Kali ini tugas bapa-bapa. Ini giliran mama-mama untuk pake baju bagus dan ikut kegiatan. Semoga konsumsi rasanya tidak hancur,” kata Fitria Yoweni kepada saya sembari tertawa.
Perempuan ini sejak awal adalah salah satu yang paling aktif terlibat dalam berbagai ragam pertemuan Suku Besar Yerisiam. Ia berkali-kali memainkan peran penting sebagai koordinator konsumsi.
“Tidak apa-apa kalau anak-anak ikut juga kan?” ia bertanya. Saya mengangguk. Tentu saja tidak ada yang salah jika anak-anak ikut dibawa.
Di atas balai adat yang berbentuk rumah panggung, ada hampir selusin balita yang menggelayut di pangkuan ibu mereka. Beberapa lagi yang berumur antara enam hingga delapan tahun tampak hilir mudik dan sesekali mengambil alat peraga. Mereka menjadi peserta tambahan yang sudah diprediksi sejak awal.
Suasana ramai sekali.
Siang itu, Jumat, 10 November 2017, adalah hari pertama dari dua hari rangkai lokalatih yang diprakarsai Yayasan PUSAKA bekerja sama dengan Suku Besar Yerisiam Gua. Pelatihan tersebut direncanakan berlangsung selama dua hari di Balai Pertemuan Adat, Suku Besar Yerisiam Gua di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire. Senin, 13 November, pertemuan kemudian dilanjutkan lagi.
Pendeta Magdalena Kafiar, dari KPKC GKI Papua, bertindak sebagai fasilitator di hari pertama. Ia memandu para perempuan Yerisiam untuk mendapatkan pemahaman dasar mengenai peran dan hak-hak perempuan di dalam keluarga, di dalam suku dan sebagai warga kampung.
Ini adalah kegiatan pertama yang secara spesifik menyasar perempuan dari Suku Besar Yerisiam Gua sebagai kelompok penerima manfaat. Tidak heran, animo para perempuan untuk ikut serta begitu tinggi.
Ditargetkan melibatkan sekitar 25 orang perempuan, kegiatan ini diikuti oleh 30 orang perempuan di hari pertama dan bertambah 3 orang lagi di hari berikutnya. Mereka mewakili empat sub-suku di dalam Suku Besar Yerisiam Gua yang mendiami Kampung Sima.
Kampung Sima terletak di tepi Teluk Cendrawasih di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, Indonesia. Data resmi menunjukkan bahwa ada 230 rumah tangga terdaftar sebagai penduduk di sana, tetapi hanya sekitar 80 keluarga yang tinggal di Sima. Sekitar dua lusin rumah tangga berasal dari Yaure, komunitas suku lain yang tinggal bersama Yerisiam. Mereka menikah dengan Yerisiam dan menetap di Sima.
Sima terletak 90 km di sebelah barat ibukota kabupaten, Nabire. Tidak ada transportasi umum yang tersedia: opsi untuk mencapai Sima adalah dengan menggunakan ‘mobil atau perahu’. Mobil sewa harganya sekitar lima ratus ribu rupiah untuk perjalanan satu arah yang memakan waktu satu setengah jam. Jika pengemudi tidak terbiasa dengan rute, dibutuhkan hingga dua atau tiga jam untuk mencapai Sima.
Yerisiam Gua adalah salah satu contoh bagaimana kehadiran proyek pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam berskala besar di tanah Papua, telah menimbulkan beragam masalah sosial budaya, ekonomi, hukum dan lingkungan. Kedatangan perusahaan perkebunan kelapa sawit mengubah drastis corak produksi dan relasi sosial budaya di masyarakat.
Perusahaan yang dimaksud adalah PT Nabire Baru, anak perusahaan dari Goodhope Asia Holding, bagian dari Carsons Cumberbatch Group, sebuah perusahaan dagang dan investasi yang berkantor pusat di Kolombo, Sri Lanka. Carsons awalnya dikenal sebagai pemain utama di perkebunan teh dan karet di Malaysia dan Sri Lanka sejak awal 1900-an. Mereka mulai menargetkan minyak sawit di Malaysia pada tahun 1992, sebelum berekspansi ke Indonesia pada tahun 1996.
Saat ini, Carsons mengklaim menguasai lebih dari 150.000 hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia.
Di Distrik Nabire, Carsons mengelola lebih dari 20.000 hektar perkebunan kelapa sawit. Perkebunan tersebut dikelola oleh dua anak perusahaannya; PT. Sariwana Adi Perkasa (7.160 hektar) dan PT Nabire Baru (13.600 hektar). Dua konsesi tersebut berada di atas tanah ulayat Suku Besar Yerisiam Gua.
Hutan hujan di tanah adat Yerisiam telah dieksploitasi sejak awal 1990-an oleh perusahaan Malaysia bernama SESCO. SESCO memegang Hak Pengusahaan Hutan, yang dikenal sebagai HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk penebangan pohon Merbau. Di tahun 2000, SESCO bangkrut, meninggalkan hutang sebesar US$ 35.000 yang termasuk di dalamnya adalah ganti rugi terhadap komunitas adat.
Pada tahun 2003, tiga perusahaan penebangan, yaitu PT Pakartioga, PT Kalimanis, dan PT Junindo melanjutkan penebangan SESCO di bawah perusahaan patungan bernama PT Jati Dharma Indah (JDI). Lisensi mereka bertahan hingga 2017. Namun pada 2007, JDI menyerahkan lisensi kepada PT Nabire Baru untuk bisnis kelapa sawitnya.
Nabire Baru mencoba membujuk suku-suku asli untuk menyerahkan tanah leluhur mereka dengan menandatangani surat perjanjian. Itu bertemu dengan perlawanan Yerisiam.
“Pasti kami menolak. Kami membuat kesalahan dengan membiarkan mereka menebangi hutan kami. Kami tidak punya pilihan saat itu. Mengatakan tidak berarti anda akan dicap separatis,” kata Fitria Yoweni.
“Kami dulu tidak perlu jalan jauh masuk hutan untuk ambil daun pandan. Ada banyak di dekat kampung. Tapi sekarang, karena hutan sudah habis ditebang untuk kelapa sawit, mau buat tikar saja susah. Harus jalan jauh.” Dorkas Numberi memamerkan daun pandan hutan yang sudah dikeringkan. Berukuran selebar jemari tangan yang dibariskan rapat. Nantinya, daun pandan hutan kering ini akan diiris menurut ukuran yang diinginkan sebelum dianyam menjadi tikar atau ragam kerajinan lain.
Masyarakat adat Papua (laki-laki dan perempuan) yang sebelumnya hidup sangat bergantung pada sumber daya alam dengan pengelolaan berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan masyarakat setempat, terpaksa atau dipaksa berubah. Mereka akan tergilas jika enggan mengikuti pengetahuan dan budaya ekonomi baru, sistem kerja dan tata organisasi modern yang dikendalikan pemilik modal dan berdasarkan hukum-hukum negara.
“Nanti bisa jadi tikar, bisa jadi noken, bisa jadi tempat simpan pinang dan sirih. Pokoknya bisa jadi macam-macam. Yang penting ada model. Nanti boleh ditiru,” kata Yakomina Maniburi. Satu lembar tikar pandan dengan ukuran lebar dan panjang matras karet para pendaki gunung, dijual hanya Rp.150.000.
“Tapi bisa kurang. Ini bukan harga pas.” Perempuan itu tersenyum. Giginya tampak merah karena sedang mengunyah pinang.
Yerisiam Gua, seperti suku-suku asli Papua lain yang berdiam di daerah pesisir pantai dan bantaran sungai, mewarisi dari leluhurnya keahlian untuk memanfaatkan daun pandan, rotan, atau beragam kulit kayu sebagai bahan dasar kerajinan dan peralatan penunjang aktivitas lain. Mereka mampu membuat cawat dan selimut kulit kayu, atau kantong kedap air hujan untuk menyimpan korek yang dibuat dari kulit pohon Nibung (Oncosperma tigillarium).
Namun, deforestasi mengharuskan mereka harus beradaptasi.
Kehilangan hutan dan tanah dalam waktu yang cepat mengakibatkan suku-suku orang asli Papua mesti mengganti mata pencaharian. Juga mengganti pola hidup. Artinya, mereka dipaksa untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari pengetahuan yang diwariskan turun temurun. Diharuskan mempelajari sesuatu yang baru dengan sembari berpacu dengan waktu yang berlari kesetanan.
Mereka juga berhadapan dengan berkurangnya pendapatan yang mempengaruhi kemampuan dan kualitas konsumsi pangan. Hal ini masih diikuti dengan melemahnya akses terhadap pendidikan dan persoalan terkait pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
“Waktu kerja di kelapa sawit, cari waktu untuk tokok sagu susah sekali. Kerja dari pagi sampai malam. Akhirnya gaji cuma habis beli beras. Anak-anak akhirnya jadi macam malas mau makan sagu.” tutur Selina Marariampi.
Perubahan juga mendatangkan ketegangan dan konflik. Potensi konflik antara penduduk setempat dan penduduk dari luar yang baru datang, juga konflik dengan pihak perusahaan dan pemerintah.
“Perusahaan menggusur habis rumpun-rumpun daun pandan.” Dorkas Numberi merapikan buku dan pulpen ke dalam noken miliknya. Malam sudah tua. Pertemuan hari pertama baru saja berakhir. Waktu sudah hampir jam sepuluh malam.
“Tidak ada yang peduli dengan itu. Apalagi bapak-bapak. Mereka cuma tahu saja sudah ada tikar. Tapi tidak sadar bahwa pandan hutan itu sudah bahan utamanya. Pas digusur, banyak yang bilang tidak apa-apa. Nanti bisa tumbuh lagi.” Wajahnya tampak kelelahan. Campuran antara rasa lelah seharian belajar dan rasa kesal karena kehilangan hutan.
Ia benar. Problem mengenai keberadaan sumber bahan dasar untuk kerajinan tangan sering luput dari meja diskusi dan aksi praksis. Narasi tentang deforestasi terlalu melayang di ruang hampa karena gagal mengakar pada kenyataan.
“Padahal kami mama-mama yang paling rugi hutan ini habis. Tidak bisa lagi bikin buah tangan,” kata Fitri Yoweni.
Di antara rentetan konflik tersebut, kaum perempuan memang menjadi kelompok yang paling rentan. Perempuan mengalami dan menjadi korban kekerasan dan diskriminasi dari perubahan-perubahan tersebut. Perempuan kemudian tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pelepasan hak atas tanah, tidak mendapatkan pembagian dari kompensasi, menjadi korban kekerasan fisik dan psikis di rumah dan tempat kerja, kehilangan sumber pangan berkualitas yang berpengaruh pada menurunnya daya tahan kesehatan, akses terhadap sumber daya alam dan lain sebagainya.
Perempuan mengalami kekerasan berlapis yang dialami dari rumah, di lingkungan kerja sebagai buruh, hingga hak-haknya sebagai warga di kampung.
“Kalau mau ikut bicara, sering kalah dengan suara besar dari laki-laki. Jadi lebih baik diam saja.” Yuliana Akubar menjelaskan kepada saya mengapa ia jarang buka suara di pertemuan umum suku di balai adat. Meski tergolong aktif hadir, ia lebih sering menyampaikan saran secara informal.
Secara umum, persoalan tersebut diakibatkan oleh lalainya negara untuk memenuhi dan menjalankan kewajibannya untuk melindungi dan menghormati hak perempuan.
Perusahaan, publik luas dan keluarga juga belum paham dan menghormati hak-hak perempuan, sehingga terjadi pelanggaran hak perempuan. Meskipun di level negara, sebenarnya telah ada kebijakan mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah menghasilkan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang pencegahan, perlindungan dan pemberdayaan perempuan di daerah konflik.
Pemerintah Provinsi Papua juga menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2013 (Perda No.8/2013) tentang Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tujuannya untuk mencegah terjadinya kekerasan, melindungi korban dari ancaman dan tindakan kekerasan, serta memberikan akses dalam penegakan hukum bagi perempuan. Namun kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan asli Papua masih saja kerap terjadi. Terutama menyangkut hak dan akses pengelolaan sumber daya alam di wilayah ulayat.
Itu sebabnya, memperkuat inisiatif dari kelompok perempuan menjadi aksi penting.
Penguatan kapasitas tidak hanya berkisar pada terbentuknya pemahaman yang utuh mengenai hak-hak perempuan. Tapi juga kemampuan untuk mengidentifikasi potensi diri, potensi komunitas dan potensi sumber daya alam di sekitar perempuan yang dapat dikelola secara mandiri, kolektif dan berkelanjutan.
Kemampuan mengidentifikasi ragam potensi tersebut dapat dimulai dengan membuka pemahaman dasar mengenai posisi dan peran perempuan selama ini. Pemahaman dasar ini juga diharapkan dapat menajamkan analisa mengenai hambatan-hambatan yang membatasi berkembangnya peran perempuan dalam pemenuhan hak-haknya.
“Kalau bisa, ada pelatih yang bisa datang ke Sima. Jadi kami tidak hanya bikin tikar saja. Kan orang kota tidak tidur di tikar lagi. Mereka sudah tidur di kasur.” Yuliana Akubar melirik saya.
“Bantu ajar kami di sini cara bikin tas orang kota, bikin dompet atau bikin barang lain. Bikin semua yang bisa laku dijual.”
Saya tidak menjawab. Ini pertanyaan sulit yang butuh banyak orang untuk menjawabnya.
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa
-
Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana