FEATURE
Perempuan dan Memori Perang
Published
6 years agoon
By
philipsmarx28 Februari 2019
Oleh:Daniel Kaligis
Perang dalam ingatan perempuan adalah trauma, bila tak disudahi, perang akan melahirkan perang berikutnya tanpa henti
DI KAMPUNG, bila ada anak-anak dipukul orangtuanya karena nakal, pasti jadi tontonan. Tapi, ini sudah biasa. Apalagi kampung kecil semacam di wanua saya, siapa saja berteriak akan terdengar sampai di ujung kampung.
Sekali waktu saya nonton Niko dihajar mami-nya. Kaki dan badan Niko dipukul ujung batang ketela mentah, maminya memukul sambil berteriak marah-marah, Niko meraung-raung melompat-lompat namun tak bisa lari, pergelangan kanan Niko ditahan erat tangan kiri si mami. Batang ketela patah-patah daunnya cerai-berai menghantam Niko.
“Malawang ngana kang? Pigi ulang ngana di Wowolean, ngana dapa kukis lebeh panjang dari ini,” teriak si mami, sambil mengancung batang ketela yang tersisa lebih sejengkal di tangan.
Niko masih meraung.
Saya berdiri di seberang pagar, tertawa cekikikan.
Hari itu, Niko bermain di Wowolean, menjelang siang pulang rumah, kakinya berlumpur menaiki tangga rumah kayu. Bekas tapak berlumpurnya menyisa di tangga dan lantai. Itu yang membikin si mami naik pitam, lalu melabrak Niko.
Anak-anak memang suka bermain di Wowolean. Sungai ini alir airnya dingin di saat hujan, dan menjadi hangat ketika memasuki musim kemarau dan berangsur semakin panas sebab sumber mata air Wowolean memang airnya panas, yaitu mata air Welong dan mata air Rendaina.
Keluarga kami pernah tinggal dekat Wowolean di wanua Leleko. Anak-anak penghuni bantaran Wowolean umumnya pinter berenang. Bila mau ke Wowolean, saya dan teman-teman Berti, Deny, Iles, Jely, menyelip dari pagar bambu belakang rumah, lewati rumah Rio, depan rumah Rio sudah Wowolean.
Di situ ada titian untuk menyeberang ke persawahan yang membentang ratusan meter di kaki Weren ni Meong – Sangian, hingga belakang bangunan Puskesmas.
Sekali waktu saya bermain di Wowolean, membawa belati menyusur tepi menuju hulu, mencari anakan batang rumbia. Di wanua saya, pohon rumbia disebut tewasen. Daunnya yang dianggap tua, diambil untuk dijahit menjadi atap, disebut katu. Pekerjaan memanen tewasen disebut matewas.
Saya mencari anakan batang tewasen itu untuk bikin senjata mainan. Pangkal pohon yang terkenal dengan nama metroxylon-sagu, saya potong, lalu pangkas bagian ujungnya yang berdaun. Dicari batang yang sebesar jempol kaki anak-anak, kemudian memilih lidi-lidi dari daun tua untuk menusuk bagian-bagian sambungan senapan mainan itu.
Anakan tewasen bentuknya bulat memanjang mirip bambu tidak beruas, tidak berongga. Kulitnya hijau coklat, isi dalam batangnya yaitu gabus lembut basah berserat, mengandung cairan kental melekat.
Nah, batang itu yang saya cari. Prinsip membuat senjata mainan batang tewasen sama dengan membuat senapan mainan dari pelepah pisang.
Hanya saja, membuat senjata mainan dari tewasen sedikit lebih mudah sebab batang tewasen tidak diraut lagi tepinya. Setelah mendapatkan beberapa batang, saya mengukur bagian yang akan jadi lipatan, diberi tanda rautan dengan belati, lalu melipat dan menusuk bagian-bagian sambungan dengan lidi, kemudian memasang bagian tempat pelurunya, membentuk batang tewasen seperti bren light machine gun.
Ini buka bren light machine gun yang asli, modelnya agak mirip, jadi kita sebut saja senjata mainan itu sebagai ‘bren light machine gun gadungan’.
Tidak sampai dua puluh menit, ‘bren light machine gun gadungan’ siap dua pucuk saya bikin. Saya mengikat bagian-bagian yang saya anggap penting, menaruh tali rafia sebagai gantungan. ‘Bren light machine gun gadungan’yang satu saya jinjing, satunya lagi saya gantung di pundak kiri, lalu melangkah pulang.
Sepanjang jalan di pematang pikiran saya melayang, menjadi tentara pejuang seperti cerita dalam kitab sejarah. Membayangkan perang kemerdekaan, berlari-lari dalam rimba, masuk kota menyerang.
Tapi saya tidak menyerang, hanya berbaris sendiri di pematang menuju rumah sambil mengkhayal.
Teringat cerita ayah tentang si bren light machine gun. Katanya senjata ini pascaperang Dunia Kedua digunakan Angkatan Darat Britania, dan tentara berbagai negara Persemakmuran Inggris, dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Perang Korea, Kedaruratan Malaya, dan Pemberontakan Mau-Mau.
Di masa perang kemerdekaan Indonesia, bren light machine gun digunakan tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). AFNEI menggunakan bren light machine gun dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan Indonesia, seperti dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Setelah Perang Kemerdekaan, dari tahun 1945 sampai 1950, TNI menggunakan bren light machine gun untuk pasukan senapan mesinnya. Pasukan operasi khusus Brigade Mobil Kepolisian Indonesia juga masih menggunakan bren light machine gun.
Dan, pada tahun-tahun berikutnya saya beroleh banyak informasi tentang bren light machine gun. Senjata model ini memang lebih disukai ketimbang senapan mesin serba guna sebab lebih ringan. Selama Perang Falkland tahun 1982, formasi Komando 40 Marinir Britania Raya membawa sebuah bren light machine gun dan sebuah senapan mesin serba guna per bagian pasukannya.
Balik lagi ke ‘bren light machine gun gadungan’ yang saya bikin di tepi Wowolean.
Sepanjang jalan pulang saya menyanyi. Kemudian mampir di warung samping rumah membeli permen, kemudian masuk halaman rumah setengah berlari sebab mama saya sudah berteriak-teriak memanggil.
Mama saya murka bila saya jajan di warung samping rumah. Apalagi bersandar di tiang penyangga tangga naik warung.
“So bilang brapa kali jangan ba beli di situ, ngana cuma pigi. Ngana nyanda lia tanta Lin ja buang ingus dia ja lap di tiang? Ngana pigi situ, basandar bae-bae ngana di tiang punung ingus itu heeh.”
Saya masuk pintu disembur kemarahan. Tangan mama tidak diam, langsung menyambar menempeleng memukul badan saya bagian belakang bertubi-tubi.
Saya menangkis dengan ‘bren light machine gun gadungan’, lalu lari menghambur ke halaman. Mama mengejar lalu menarik saya ikut hingga depan pintu rumah. Saya lari, dikejar lagi sampai di depan kurungan ayam.
‘Bren light machine gun gadungan’ di tangan saya dirampas, dilempar ke samping rumah. Satunya lagi masih menggantung di badan.
Saya ditangkap. Tangan mama mencubit bagian pangkal paha saya seperti memelintir renda adonan kue panada.
Dipukul, saya tidak menangis, dalam pikiran saya, tentara tidak boleh menangis biar dipukul, walau ditangkap.
Tapi dicubit di paha itu yang membuat saya melolong panjang seperti serigala kena tendang lars pemburu.
Tetangga-tetangga memandang saja dari kiri kanan rumah.
Senapan mainan satunya masih menggantung di badan walau patah. Saya berlari ke luar halaman, menangis meraung-raung di jalan depan rumah, dan membidik mama dengan ‘bren light machine gun gadungan’ tanpa laras.
Niko menonton saya. Dia tertawa terpingkal-pingkal.
Saya enggan masuk rumah. Mama berdiri di pintu mengancam, lalu masuk meneruskan pekerjaannya dalam rumah setelah berteriak keras memperingatkan, “Buang ngana pe bren itu eeeh! Nda buang, ngana lia pa kita, patah-patah ngana deng tu senapan itu. Maso Kamari, mo dapa kuleto ulang kwa ngana.” Dia lalu masuk, membiarkan saya menangis sesegukan.
***
Malam tiba, saya masuk kamar dan melihat uang sisa berapa keping di atas rak. Ingat jajan permen tadi siang, tapi takut nanti dicubit bila jajan lagi di warung sebelah.
Walau uang berapa keping bukan jadi satu-satunya alasan untuk marah, namun, saya tahu, di masa Orde Baru setiap keping uang sangat berarti bagi ibu-ibu di kampung, demikian juga bagi mama saya.
Mama adalah sosok ibu mewakili banyak perempuan tak merdeka, kaku, dan berpandangan tak bebas dalam hal berpolitik. Dia membenci semua bendera partai politik.
Jika melihat saya bergaul dengan orang yang berpandangan politik berbeda dengan pemerintah, murkanya akan sebesar ketika melihat saya jajan di warung sebelah sambil bersandar tiang penyanggah tangga warung sebelah rumah yang dia sangka kotor penuh ingus.
Sekali waktu di masa kampanye jelang Pemilu 1999, mama melintas setapak wanua. Dia melihat saya duduk di rumah Jouke, teman dari Jakarta yang pulang kampung dan mengibarkan bendera PDI-P. Sekian lama mama mematung memandangi saya dengan gusar dari depan pagar, lalu pergi. Nanti ketika saya pulang rumah, baru-lah mama bicara.
“Torang nyanda iko-iko politik. Torang iko jo pemerentah karna pemerentah wakil Tuhan di dunia,” kata dia ketus.
Mama berbicara tidak terlalu keras, namun raut murkanya masih terpampang nyata, walau dia sadar saat itu dia tidak mungkin lagi memelintir saya seperti adonan kue panada.
Berapa tahun berlalu, ingatan pada mama itu adalah tentang uang berapa keping, dan perpolitikan yang terbelenggu.
Atau, jangan-jangan ada semacam kekhawatiran mama terhadap waktu yang akan datang tak pasti, membuat ibu-ibu – termasuk mama saya – terkungkung pada miskin pengetahuan dan ketergantungan pada gaji dan pendapatan suami yang tak seberapa.
Perempuan Zaman Orde Baru
Masa Orde Baru di Indonesia, walau di atas kertas kebijakan dan teori menghindar dari free fight liberalism dan etatisme, yakni paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan. Negara jadi sumbu menggerakkan seluruh elemen politik dalam suatu jalinan rasional, yang dikontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan.
Dalam sebuah definisi saya menemukan, yang mana free fight liberalism ialah adanya kebebasan tak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi lemah, dalamnya termasuk kaum perempuan.
Dampak itu sangat kentara di zaman Orde Baru, di mana bertambah lebar dan luas jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Cabalah baca pidato Tien Suharto di Istana Negara kepada para istri peserta Rapat Kerja Gubernur, Bupati, dan Walikotamadya se-Indonesia yang dikutip majalah Selecta tahun 1977 menyebut ‘peran ibu harus ikut dan tunduk pada suami’.
Fitri Lestari, dalam tulisan di Jurnal Perempuan – 11 April 2016: ‘Menilik Kembali Peran Organisasi Perempuan Di Masa Orde Baru’, menyebut, yang mana sistem memberi dukungan dana kepada organisasi-organisasi perempuan dan dipaksa mendukung tujuan pembangunan pemerintah.
“Organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan. Sulit di masa itu karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Lagi pula penyadaran yang ada mudah dibungkam, dan menyuarakan pendapat bahkan dapat dituduh sebagai tindakan subversif sebab bertentangan dengan pemerintah. Bagi kaum perempuan, ini berarti hilangnya otonomi secara nyata,” tulis Fitri.
Tentang perempuan di masa Orde Baru, menarik membaca tulisan Saskia Eleonora Wieringa, Profesor Gender dan Perempuan serta Hubungan Sesama Jenis Lintas Budaya di Fakultas Sosial dan Ilmu Perilaku – Universitas Amsterdam.
Pada buku ‘Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia’, Wieringa menulis yang mana persekongkolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus-menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Soeharto yang berwatak patriarkal. Buku itu diterbitkan Garba Budaya dan Kalyanamitra 1999.
Peran perempuan memang terbatas di masa Orde Baru. Di wanua-wanua di Minahasa, orang menyebut peran perempuan lebih terbuka sebab model budaya terbuka dan mempu beradaptasi dengan peradaban yang masuk ke wilayah itu.
Banyak pemuka agama perempuan. Tapi, saya menyaksikan sendiri bagaimana perempuan kampung yang hadir di rapat-rapat desa hanya menjadi pengantar kue kopi teh. Sementara suara mereka tidak berpengaruh, apalagi untuk membuahkan perubahan kebijakan tingkat akar rumput. Tak ada kesempatan buat perempuan maju berpolitik!
Walau tidak pada semua perempuan, namun, saya berpandangan bahwa perilaku sebagian besar perempuan Indonesia di masa Orde Baru terkontaminasi sistem yang menindasnya.
Demikian mama saya di wanua. Dia potret sesungguhnya dari ketertindasan itu.
Bank of England dan Value 18,645.99
Kemarin, 26 Februari adalah sejarah tentang uang. Tahun 1797 Bank of England menerbitkan uang kertas satu pound untuk pertama kalinya.
Bank of England didirikan pada tahun 1694 untuk bertindak sebagai bankir pemerintah Inggris, dan sampai hari ini masih bertindak sebagai bankir untuk pemerintah Britania Raya. Bank ini dahulunya milik swasta dan dioperasikan yayasan pendirinya sejak tahun 1694.
Bank of England kemudian dinasionalisasi pada1946. Pada tahun 1997 bank ini menjadi sebuah organisasi publik independen, sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, dengan kekuasaan penuh dalam menetapkan kebijakan moneter.
Kenang sejarah itulah yang membuat saya tergugah menulis tentang mama dan catatan uang berapa keping buat jajan di masa silam.
Sejarah mencatat, di situs Bank of England, secara resmi Gubernur dan Perusahaan Bank of England adalah bank sentral dari seluruh Britania Raya, meski namanya hanya merujuk pada Inggris dan merupakan model dasar bagi berbagai bank sentral di seluruh penjuru dunia.
Badan itu punya hak monopoli untuk penerbitan uang kertas di Inggris dan Wales, dan tidak memiliki hak tersebut di Skotlandia, Irlandia Utara, Isle of Man, atau Kepulauan Channel. Komite Kebijakan Moneter dari bank ini telah diserahkan tanggung jawab untuk mengelola kebijakan moneter negara.
Departemen Keuangan Britania Raya memiliki kekuatan cadangan untuk memberikan perintah kepada anggota komite – apabila dipandang perlu dalam kepentingan umum dan pada keadaan ekonomi yang ekstrem – tetapi perintah tersebut harus disahkan Parlemen dalam waktu 28 hari.
Saya memotong sejarah Bank of England untuk perbandingan hari ini. Di bawah ada lanjutannya.
Nah, mari sejenak menelisik perbandingan itu. Nilai satu pound sekarang ini berkisar Rp. 18,645.99, boleh dapat seporsi nasi plus sepotong ikan dan sayur secukupnya, serta sebotol air mineral di warung pinggiran.
Sekarang uang delapan belas ribu rupiah boleh membeli lebih tiga kantong permen foxs ukuran sembilan puluh gram.
Berapa keping mata uang yang saya pakai membeli permen di masa kecil ketika saya masih main berenang di Wowolean? Sekarang bernilai kurang dari seribu rupiah, di mana seribu rupiah boleh jajan empat butir permen di warung.
Tentu cerita satu pound itu tidak ada hubungan dengan saya, apalagi dengan mama saya. Walau ‘mungkin’ kebijakan moneter dunia punya pengaruhnya terhadap kemiskinan di berbagai negara sebab eksploitasi sumberdaya.
Mama saya adalah perempuan domestik. Pergi ke pasar memang biasa, namun bergaul hanya dengan teman-teman sepaham sealiran. Perkumpulan agama-lah yang paling dominan ia masuki bergaul.
Ayah saya pernah jadi tentara, pensiunnya tidak pernah diurus. Padahal dia dan Jauhari yang membuat Persatuan Bekas Tentara Nasional Indonesia (PERBATNI). Saya sempat membaca dokumen-dokumennya, dan badan itu dilembar negarakan bernomor 59.
Melepas dinas ketentaraannya di TNI, ayah lalu mengajar di sekolah dasar swasta yang dibiayai yayasan. Gajinya puluhan ribu pada saat itu. Tidak cukup dua minggu gaji sudah habis dipakai belanja kebutuhan rumah tangga.
Untung saja ada kebun di wanua, tanah waris. Berbagai buah dan sayur ada di sana. Ayah menanam nenas, alpukat, cengkih. Kemudian menanam kedelai, jagung, buncis, ercis bergantian, juga merica tumbuh subur di batas-batas kebun.
Ayah mencatat berbagai hal yang ia kerjakan, dia juga mengajar saya untuk berbuat seperti itu sejak saya sudah mengenal tulisan. Dia tetap mengajar di sekolah swasta hingga akhir hayatnya.
Mama itu sangat penurut pada ayah saya. Hanya saya tak jauh mengetahui hubungan bathin mereka, sebab di masa sekolah menengah, saya sudah pergi merantau.
Saya tahu, mama saya pinter menyimpan uang, walau tidak pernah kaya. Ia sedikit cerewet bila saya minta uang, tapi bila punya ia bersedia memberi walau masih memeriksa kalau uang itu saya gunakan untuk hal berguna. Padahal dia tidak dekat dengan saya dalam banyak waktu yang dia punya. Kami memang selalu berselisih paham.
Apalagi ketika saya kembali dari Jakarta untuk kuliah, saya tidak pernah akur dengan mama. Kami selalu bertengkar mulut, atau saling diam dalam kurun waktu lama.
Mama saya pernah mengajukan pinjaman ke bank, namun, sepengetahuan saya, dia tidak punya akun bank dan tidak pernah dapat meminjam dari bank.
Uang dan Sejarah Perang
Lanjut cerita tentang perang dan Bank of England.
Uang adalah salah satu kisah tentang perang. Sumberdaya menjadi sasaran setan-setan senjata yang merutuki sejumlah strategi pembantaian, salah satunya adalah untuk merebut pengaruh atas penguasaan keping-keping uang.
Di masa Perang Dunia Kedua, Bank of England juga menjadi sasaran perang, walau lembaga ini tetap berkedudukan Threadneedle Street, London. Selama perang, beberapa operasi Bank Inggris dievakuasi ke Hampshire. Namun, emas tetap ada di London.
Perebutan sumberdaya dunia, sekeping dua telah menewaskan jutaan manusia. Ketika Perang Dunia kedua berkobar, ada sekitar lima puluh lima juta orang di seluruh dunia yang meninggal karena bencana perang.
Holocaust Encyclopedia menyebut, Perang Dunia Kedua adalah konflik terbesar dan paling destruktif sepanjang sejarah. Jerman memulai Perang Dunia Kedua dengan menginvasi Polandia pada 1 September 1939. Inggris dan Prancis meresponsnya dengan menyatakan perang terhadap Jerman. Pasukan Jerman menginvasi Eropa barat pada musim semi tahun 1940.
Beroleh dukungan Jerman, Uni Soviet menduduki negara-negara Baltik pada Juni 1940. Italia, anggota Blok Poros, yakni negara yang bersekutu dengan Jerman, ikut terjun dalam perang 10 Juni 1940. Dari 10 Juli hingga 31 Oktober 1940, Nazi terlibat dalam perang udara di langit Inggris meski akhirnya kalah. Perang ini disebut Pertempuran Britania.
Ada cerita coba meminggirkan dampak perang terhadap bank, menyebut manakala terjadi pemboman, bank beruntung tidak terkena bom. Ditulis hanya ada beberapa kerusakan kecil pada bagian luar bangunan karena jalan di luar dekat Royal Exchange mengalami serangan.
Hingga hari ini, gambaran perang masih ngeri pada mereka yang pernah mengalaminya. Pengalaman Philip Hughes ditera pada komentar gambar bekas aktivitas pemboman yang terjadi pada saat Perang Dunia Kedua, berita itu dirilis 6 Januari 2019 di World War II TODAY, menyebut bahwa para karyawan tua di bank yang pernah dihujani bom selalu membicarakan kejadian yang menjadi trauma bagi mereka.
Philip Hughes bekerja sekitar tiga puluh tahun di bank, menyebut deformasi di dinding bekas-bekas ledakan pada lantai satu, lantai dua dan lantai tiga bawah tanah masih dapat ditemukan. Kondisi itu berlangsung setengah abad.
Tentang pemboman di sekitar Bank of England, World War II TODAY menulis, manakala area itu dihantam bom pada jam 8 malam 11 Januari 1941, ledakan merusak jauh ke dasar bumi, eskalator dan tangga porak-poranda, menewaskan orang-orang di jalurnya serta orang-orang di anjungan yang jauh di bawah tanah.
Peristiwa itu terkenal dengan The Blitz. Tujuan The Blitz membuat Britania Raya menyerah atau secara signifikan merusak perekonomian dan fasilitas militer.
Dendam perang. The Blitz menjalar bersama Operasi Singa Laut, atau pasukan Jerman menyebutnya Unternehmen Seelöwe, gebrakan Jerman untuk menginvasi Inggris.
Luftwaffe, yakni Angkatan Udara Jerman membombardir daratan Inggris, menyasar markas-markas militer, situs-situs pertahanan di pelabuhan, pabrik, dan infrastruktur Inggris. Direncanakan setelah Unternehmen Seelöwe, pasukan darat Jerman akan masuk.
Inggris tak mau kalah. Angkatan Udara-nya (RAF) dengan pesawat pemburu Spitfire melawan dengan sengit varian Messerschmitt Jerman.
Encyclopædia Britannica mencatat The Blitz sebagai rangkaian pengeboman strategis berkelanjutan terhadap Inggris, Skotlandia dan Irlandia Utara yang dilancarkan Jerman selama Perang Dunia Kedua.
The Blitz berlangsung sejak tanggal 7 September 1940 hingga Mei 1941. Pada 16 Mei 1941 Jerman melancarkan serangan utamanya, ketika lebih dari 100 ton bahan peledak berkekuatan tinggi dijatuhkan pada enam belas kota di Britania Raya.
London diserang tujuh puluh satu kali. Birmingham, Liverpool dan Plymouth dihantam delapan kali. Bristol enam kali. Glasgow lima kali. Southampton empat kali. Portsmouth tiga kali.
London dibom oleh Luftwaffe selama lima puluh tujuh malam berturut-turut. Lebih dari satu juta rumah dan bangunan di London hancur berantakan. Lebih dari empat puluh ribu warga sipil tewas. Jumlah itu adalah hampir setengah dari penduduk yang menetap di pusat kota London pada saat itu.
Perang dibalas Perang
Perang telah merusak perilaku. Selain menyisakan dendam dan trauma berkepanjangan. Perang dibalas perang. Lihatlah sesudah Jerman menyerang Inggris. Tak tinggal diam, Inggris membalasnya.
Medio Mei 1942, Angkatan Udara Kerajaan Inggris menyerang kota Cologne di Jerman dengan ribuan pesawat bermuatan bom. Tiga tahun berikutnya, angkatan udara Sekutu secara sistematis mengebom pabrik industri dan kota-kota di seluruh Reich. Tahun 1945 kota-kota di Jerman tinggal reruntuhan.
Di front timur, selama musim panas tahun 1942, Jerman dan blok Porosnya menyerang Uni Soviet untuk merebut Stalingrad di Sungai Volga, serta kota Baku dan ladang minyak Kaukasia.
Serangan Jerman terhenti pada akhir musim panas 1942. Pada November, pasukan Soviet melancarkan serangan balasan di Stalingrad dan pada 2 Februari 1943, Angkatan Darat Keenam Jerman menyerah kepada tentara Soviet. Pasukan Jerman melancarkan satu serangan lagi di Kursk pada bulan Juli 1943, yang merupakan pertempuran tank terbesar dalam sejarah, tetapi pasukan Soviet menundukkan serangan itu dan memegang dominasi militer yang terus dipertahankan selama masa peperangan.
Holocaust Encyclopedia mengisahkan, pada 7 Mei 1945, Jerman menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu Barat di Reims – berikutnya pada 9 Mei kepada Soviet di Berlin.
Agustus 1945, perang di Pasifik usai manakala Amerika jatuhkan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, membunuh seratus dua puluh ribu orang warga sipil. Jepang menyerah 2 September 1945.
***
Mama saya adalah orang yang sangat benci pada perang. Dia membayangkan cerita perkosaan yang didengarnya turun temurun yang terjadi karena perang.
Walau ayah saya tentara, namun itu salah satu juga alasan mengapa mama menghajar saja ketika saya menenteng ‘bren light machine gun gadungan’, dan ia berseruh nyaring, “Buang ngana pe bren itu eeeh! Nda buang, ngana lia pa kita, patah-patah ngana deng tu senapan itu.”
Mama inspirasi bagi saya menulis, walau saya tidak tahu kapan dia memaafkan saya. Dia ada dalam beberapa catatan saya.
Dia mengingatkan saya pada sejumlah kisah anak manusia melawan manusia, pertempuran di gua-gua primitif di rimba raya, adu jotos a’la kota, hingga cyber-battle yang menderas sampai hari ini.
Membekas, sederet nama dan symbol: Dak To, Battle of Khe Sanh, Bru Montagnard Villages, Operation Pegasus, adalah sejumlah memory pahit bagi bumi.
Desy Arta, di BRILIO NET 21 Februari 2018, mencatat kisah tragis gadis-gadis Jerman yang diperkosa tentara Rusia saat Perang Dunia Kedua.
“Derita pemerkosaan itu terjadi saat Rusia menguasai Jerman pada 2 Mei 1945. Gadis, anak-anak, perempuan tua, biarawati dan perempuan hamil diperkosa tentara Rusia. Perkosaan terjadi massif, sementara pasukan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, ada di sana hanya menonton. Mereka tak mau terjadi keributan sesama pasukan Sekutu karena masalah sepele,” urai Desy Arta.
Mama saya pernah bercerita tentang Nely, temannya yang tinggal di kebun Teneman, diperkosa seseorang ketika pergolakan. “Tu Nely babataria noh, adoh kasiang, adoh kasiang, cuma bagitu jo tu Nely. Maar, so tako laki-laki dia.”
Benci perang, korban perang, trauma, hingga ingin bunuh diri sebab penindasan dan perlakuan tak manusiawi. Bila tak disudahi, perang akan melahirkan perang berikutnya tanpa henti.
Di kampung saya perang antar kampung dianggap biasa. Meletus lalu meredah. Begitu terus seperti tak ada penyelesaian, tak ada solusi. Dendam silam disimpan turun temurun.
Diulang, itu kata mama saya: “Kalu ngoni nyanda brenti bakalae, nyanda brenti baku perang, ngoni trus mo baku rako nyanda brenti-brenti.”
Kenangan tentang mama adalah senyum usai dia marah. Dia senang jika saya pergi memancing ikan dan membawa pulang seberapa saja ikan yang didapat waktu memancing.
Saya tertarik memancing sedari belia. Walau dilarang si mama memancing di Wowolean sebab banyak kakus penghuni bantaran menghadap Wowolean. Nah, itu memang makna Wowolean, tempat untuk menghanyutkan sesuatu.
Musim hujan biasanya ada seberapa orang memancing ikan di Wowolean. Hasilnya mujair, mas punten, payangka, gabus, tergantung keberuntungan. Tergoda melihat pemancing tak jemu menjulur joran ke atas sungai, menunggu sabar kadang merutuk, menarik senar, ikan diangkat, lalu pemancing melepaskan mata kail di mulut ikan.
Pemancing lalu menyelip batang halus rumput parasinen dari samping kepala di mana ada insang dan rumput keluar di mulut ikan, satu demi satu hingga setusuk dirasa cukup. Pemancing pulang membawa hasilnya untuk dimasak.
Duhai, kenang itu sudah puluhan tahun terlewat. Saya ketika marahan dengan mama, kami tak pernah lagi bercerita hingga dia meninggal, dan saya berada jauh dari dia sekian lama.
Di depan jenazah waktu saya pulang, Norma, sepupu saya bilang. “Ngana pe mama bilang, dia paling sayang pa ngana.” (*)
Editor: Denni Pinontoan