CULTURAL
Perempuan Penjaga Harta Hutan Topa’
Published
2 years agoon
30 Maret 2023
“Saya sangat kasihan melihat mereka. Karena melarang anak-anak ke hutan, sama saja menghilangkan atau menghapus kekayaan pengetahuan yang mereka punya.”
Penulis: Rikson C. Karundeng
RABU, 4 Januari 2023. Hari tersenyum cerah. Suasana hati pun semakin yakin, ini hari yang tempat untuk memancing di sungai.
Pukul 13.00 WIB, makan siang baru usai. Empat orang pemuda perempuan bersua di depan rumah Dessy. Ada Delly, Cecel, Elis, dan tentu saja Dessy.
Bukan kebetulan bertemu. Beberap hari sebelumnya, mereka sudah janjian untuk ke sungai dan ngael bersama.
“Kita memang biasanya sudah janjian beberapa hari sebelumnya. Tapi, kadang pas ketemu, ingat untuk memancing, langsung kita saling mengajak untuk ke sungai,” kata Dessy.
Sebelum memancing, ‘ritual awal’ yang harus dilakoni adalah mencari cacing untuk dijadikan umpan. Berburu cacing hanya dilakukan di seputaran rumah.
Kali ini, semua sepakat akan memancing di Sungai Topak’. Sungai ini dekat dengan ladang masyarakat. Tapi mereka akan memulai lebih dahulu dari hulu, di wilayah hutan.
“Kami ke Sungai Topak’. Sungainya dinamai Topak’, karena berada di wilayah hutan yang kami sebut Topak’,” sebut Dessy.
Mereka berempat sahabat yang sehari-hari bergiat dalam pendidikan adat di Sekolah Adat Arus Kualan. Sebuah ruang belajar seni tradisi dan berbagai pengetahuan warisan leluhur bagi anak-anak komunitas adat Dayak Simpakng. Tepatnya di Desa Balai Pinang, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.
Dessy anak sulung dari empat bersaudara. Nama lengkapnya, Plorentina Dessy Elma Thyana. Usianya 26 tahun. Delly, adiknya nomor tiga yang dikenal cerdas, pemain sape handal dan memiliki segudang prestasi. Kalau kakaknya, tak perlu ditanya lagi.
Di kampungnya, anak pasangan Julianus dan Kristina Yuliamara ini biasa dipanggil Damia. Itu gelar yang diberikan masyarakat untuknya. Di Balai Pinang, orang-orang memang sering dilekatkan gelar tertentu. Gelar itu diambil entah karena peristiwa khusus yang terkait dengan diri orang itu, atau karena sesuatu yang ia miliki dalam dirinya. Nama baru itu perlahan akan menjadi akrab dalam masyarakat. Tak jarang, orang akan lebih mengenal nama julukannya ketimbang yang diberikan orang tua sejak lahir.
Damia sendiri adalah salah satu karakter perempuan dalam sebuah cerita rakyat Dayak Simpakng. Menurut kisah, Damia seorang perempuan yang rajin dan cantik. Ia sosok yang rajin bekerja dan pergi ke hutan untuk mencari sayur.
“Ada juga Damia pemimpin. Damia itu sosok yang jadi role model dalam masyarakat kami,” kata Dessy, sosok yang meraih penghargaan pemimpin muda dari Tribal Gathering of Philipines tahun 2018.
Ia pendiri sekaligus pengelola Sekolah Adat Arus Kualan. Wadah pendidikan adat bagi anak-anak ini telah hadir dan terawat hampir 9 tahun.
“Dulu kami hadir tanpa nama. Pokoknya beraktivitas saja. Sampai ketemu Ka’ Wisa (Modesta Wisa, penggerak Sekolah Adat Samabue di Kabupaten Landak) tahun 2017. Saat berbagi cerita, kita ternyata punya aktivitas yang sama. Sejak itu, saya terinspirasi untuk menamai pendidikan adat yang kami jalani di kampung,” ungkap Dessy.
Arus Kualan adalah harapan. Arus bermakna arus yang mengalir di sungai. Dalam bahasa Dayak Kanayan, kata ini juga berarti ‘amin’. Sedangkan Kualan merupakan nama salah satu sungai di kampung Balai Pinang.
“Harapannya, ketika diberi nama Arus Kualan, aktivitas kami bisa terus mengalir seperti arus Sungai Kualan,” ucapnya.
AKRAB DENGAN LADANG DAN HUTAN
Perlahan Dessy dan sahabat-sahabatnya mulai berjalan menyusuri jalan di antara ladang warga. Hati riang menikmati pemandangan, tanaman padi, hingga hutan yang tak jauh dari pemukiman penduduk.
Setelah menempuh waktu selama 18 menit dengan berjalan kaki, lokasi yang dituju akhirnya bisa dicapai. Mereka akan mulai memancing dari hulu, di hutan Topak’, dan berjalan menyusuri sungai ke arah hilir.
Sejak kanak-kanak, Dessy dan adik-adiknya memang sudah akrab dengan wilayah itu. Sebab sejak dulu mereka sudah biasa mendatangi hutan dan sungai Topak’. Jaraknya dianggap tidak terlalu jauh. Hanya berada persis di dekat ladang warga.
“Sejak dulu kami biasa memancing di Sungai Topa’. Sebab dekat dengan ladang yang kami datangi sejak kecil. Saya sering melakukan berbagai aktivitas di ladang dengan orang tua dan masyarakat di kampungku secara bersama-sama,” kata Dessy.
Masyarakat adat Dayak di wilayahnya, biasa mengerjakan lahan pertanian secara gotong royong. Mulai dari minu, menebang pohon-pohon di lokasi yang akan ditanami. Kemudian nyucol atau membakar. Sesudah nyucol, baru tamurok’.
“Bahasa Dayak umumnya disebut nugal. Tamurok’ itu bahasa kami, Dayak Simpangk. Artinya menanam,” sebut Dessy.
Mengerjakan ladang dilakukan secara bersama, perempuan dan laki-laki. Saat proses tamurok’ misalnya. Laki-laki akan menancap-nancapkan kayu untuk membuat lubang-lubang. Kemudian perempuan akan memasukkan benih padi di lubang itu.
Setelah padi mulai tumbuh, warga akan melakukan tahapan yang disebut menyobuh. “Menyobuh itu membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar tanaman padi. Tahap terakhir, warga akan bergotong royong untuk ngotum atau panen,” jelasnya.
Ladang dan hutan memang akrab dengan masyarakat adat Dayak Simpakng. Anak seperti Dessy, sejak kecil sudah dikenalkan dengan ladang, sungai, hutan, dan segala aktivitas yang bisa dan tak bisa mereka lakukan di wilayah itu.
Memancing di sungai adalah sebuah kebiasaan sehari-hari. Aktivitas yang sering ditemui di masyarakat. Karena itu, tak ada yang menyuruh Dessy dan sahabat-sahabatnya untuk pergi memancing. Keinginan itu muncul sendiri. Orang tua tidak melarang mereka, sebab itu kegiatan biasa yang dilakukan anak-anak dan para pemuda di kampungnya.
Tidak hanya siang hari, warga juga biasa melakoni aktivitas itu di malam hari. “Ada juga yang memancing malam. Saya dan teman-teman sering juga memancing di malam hari,” ujar Dessy.
Tak ada rasa takut sedikit pun di benaknya. Hanya saja, mereka butuh teknik khusus untuk bisa mendapatkan ikan di sungai pada malam hari.
“Kami harus mematikan lampu kalau memancing malam hari. Sebab ada jenis ular yang aktif di malam hari dan yang suka cahaya lampu. Jadi kita menyalakan api atau lampu hanya saat akan memasang umpan. Setelah itu, harus dimatikan,” terang Dessy.
MENIKMATI KERIANGAN BERSAMA
Perjalanan tak cukup menguras tenaga, sebab wilayah itu datar-datar saja. Sampai di lokasi yang diinginkan, alat-alat pancing langsung disiapkan. Ada umpan dan joran.
Di kampungnya, warga biasa membuat joran dari batang linsum. Sebuah tumbuhan, sejenis palem. Batangnya bisa bertahan lama, sehingga dapat digunakan sebagai alat pancing dalam waktu yang cukup lama.
Semua peralatan sudah siap, tapi tak bisa langsung memancing. Sungai terlalu bersih. Dessy pun berinisiatif untuk nyemplung ke sungai untuk membuat airnya menjadi keruh.
“Ini agar ikan tidak malu-malu kucing kalau memakan umpan kita,” jelasnya.
Air sudah keruh. Saatnya memancing. Rahasia penting lainnya, mereka harus sabar menunggu. Tetap tenang sampai ikan memakan umpan yang disodorkan.
“Kalau sabar, pasti kita bisa mendapatkan ikan,” kata Dessy dengan nada penuh keyakinan.
Suasana hening. Hanya terdengar gesekan daun dan dahan yang diterpa angin. Sesekali terdengar suara burung dan binatang hutan lainnya.
Tiba-tiba mereka terkejut dengan suara Delly yang sangat kencang. Ia teriak riang karena berhasil mendapatkan seekor ikan seluang. Wajahnya benar-benar terlihat gembira. Saking senangnya, ia sampai joget-joget.
Di sungai Topa’ hidup ikan riye’, mangas, kulangkaling, tempala’, seluang, dan kole atau lele. Ikan-ikan ini biasa dikonsumsi masyarakat.
Dari hutan Topa’, mereka terus menyusuri sungai. Mengikuti arah aliran air. Sekira pukul 15:00 WIB, tiba-tiba hujan mengucur dari langit. Ekspresi alam itu tak membuat Dessy dan sahabat-sahabatnya beranjak. Mereka justru menikmatinya.
“Hujan, asyik saja. Kami tetap mancing. Malahan suasana makin seru,” ucapnya.
Sesekali mereka menghentikan gerak. Sejenak istirahat sambil menikmati kue yang ditaruh di dalam pengambin atau keranjang yang disebut toming. Toming terbuat dari anyaman rotan.
“Kalau ragka’ itu kecil. Kalau toming itu keranjang yang dianyam agak tinggi. Itu yang biasa dibawa ke hutan untuk tempat apa saja. Bisa bekal, bisa juga diisi sayur yang dipetik di hutan dan ladang,” jelas Dessy.
HUTAN MENYEDIAKAN BERKAT
Asyik memancing, menyusuri sungai, kegembiraan kembali menyeruak. Mata Dessy seperti menangkap sesuatu yang tak asing. Mereka menemukan jamur di pohon yang sudah tumbang. Secepat kilat mereka berhamburan, menyasar jamur-jamur yang telah menanti untuk dipetik.
“Namanya kurat korang. Kurat itu artinya jamur. Jamur ini biasa kami makan,” terang Dessy.
Mereka tahu persis, jamur itu bisa dikonsumsi. Ia juga biasa tumbuh di pohon-pohon yang sudah tumbang. Pengetahuan itu mereka dapat sejak kecil. Ketika bersama orang tua di hutan, menemukan jamur seperti itu, selalu diambil untuk dimasak dan dimakan bersama. Rasanya sangat enak dan tentu bergizi.
Perayaan kegembiraan sepertinya belum cukup, tapi hari sudah mulai gelap. Waktu telah menunjukkan lebih pukul 18:00 WIB. Dessy pun berinisiatif untuk segera mengajak sahabat-sahabatnya untuk pulang.
“Masih asyik, tapi saya langsung ajak pulang. Takut adik-adik dicari orang tuanya, karena hari sudah mulai gelap,” tuturnya.
Keseruan tak sampai di situ. Saat pulang, Dessy dan sahabat-sahabatnya singgah memetik pakis, dan sayuran lain untuk dilalap.
“Pas di jalan pulang, kita ketemu modang piawas. Ya, langsung kami petik,” ujarnya.
Bagi masyarakat Dayak Simpang, selain dilalap, modang piawas juga dijadikan bumbu masakan.
“Kalau saya langsung dilalap. Tapi biasanya orang kalau masak daging, mereka taruh modang piawas,” kata Dessy.
Jenis sayuran ini sering dimasak khusus untuk ibu-ibu yang baru habis melahirkan. Ia dijadikan bumbu. Manfaatnya sangat baik untuk kesehatan tubuh, terutama mereka yang baru selesai melahirkan.
Cara mengolahnya, modang piawas ditumbuk dengan jahe. Kemudian dicampur ke daging ayam. Proses memasaknya, modang piawas dan ayam yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar hingga matang.
“Kata orang tua, makanan itu sangat membantu untuk membersihkan kotoran dari dalam rahim usai melahirkan,” sebut Dessy.
NILAI HIDUP WARISAN LELUHUR
Hari itu sungguh seru. Penuh tawa. Tiba di kampung, mereka kembali ke rumah masing-masing. Gembira pulang membawa ikan mangas, kulangkaling, riye’, seluang dan sayur-sayuran untuk dinikmati di rumah. Lebih dari itu, mereka bisa membawa bekal hidup yang tak ternilai harganya.
Bagi Dessy dan sahabat-sahabatnya, aktivitas ke hutan, memancing di sungai dan memetik sayur bersama-sama banyak manfaatnya.
“Sekarang banyak isu-isu seperti mental health. Banyak orang yang bermasalah dengan mental. Tapi kalau ada kegiatan seperti yang kami lakukan, orang-orang tetap merasa bahagia dengan aktivitasnya,” sebut Dessy.
Selain menikmati kebahagiaan, kegiatan seperti yang mereka lakukan diyakini akan mampu memupuk rasa kebersamaan. Menurutnya, kalau kegiatan seperti ini masih tetap dijalankan, maka nilai-nilai kebersamaan yang identik dengan masyarakat adat, yang sejak dahulu diwariskan oleh para leluhur, para orang tua, akan tetap hidup. Kebersamaan akan tetap terjalin.
“Kalau misalnya aktivitas itu tetap dilakukan, maka orang-orang selalu sadar bahwa hutan, alam bukan sekadar hutan dan alam yang kita lihat, hanya berdiri pohon. Tapi hutan dan alam itu hidup,” ucap Dessy.
Baginya, banyak hal yang didapat dari keseruan separuh hari mereka. Selain kebahagiaan, yang tadinya hanya ingin pergi memancing, mereka juga bisa mendapatkan jamur, sayuran. Semuanya gratis, disediakan oleh alam, hutan dan segala isinya.
“Kalau orang sudah tidak melakukan aktivitas ini, berarti mereka sudah tidak peduli lagi dengan sesama, tidak peduli lagi dengan kebersamaan. Kalau orang sudah tidak ada kebersamaan, ia akan menjadi individualis dan akan lebih mudah untuk stres,” tuturnya.
Bagi masyarakat adat Dayak Simpakng, kegiatan seperti yang dilakukan Dessy dan sahabat-sahabatnya adalah salah satu cara untuk merawat nilai-nilai kebersamaan. Tradisi turun-temurun warisan para leluhur ini terus terpelihara, karena itu nilai-nilai positif yang dibawanya pun masih tetap hidup di tengah masyarakat.
Walau demikian, Dessy mengaku kini sudah ada orang tua tertentu yang mulai melarang anak-anaknya pergi ke hutan dan sungai. Alasannya, mereka ingin menjadi orang yang modern. Ia melihat, ada orang tua yang mulai berpendapat jika aktivitas anak-anak ke hutan sangat kampungan.
“Saya sangat kasihan melihat mereka. Karena melarang anak-anak ke hutan, sama saja menghilangkan atau menghapus kekayaan pengetahuan yang mereka punya,” ucap Dessy. (*)
*Tulisan ini sudah dimuat dalam Majalah “Gaung AMAN” edisi Januari-Maret 2023.
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan