Connect with us

FEATURE

Peristiwa Merah Putih: Provokasi Palar, Surat Ratulangi dan Monumen Terabaikan

Published

on

14 Februari 2019


Laporan: Rikson Karundeng


Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 dalam ingatan orang muda: heroisme dalam kenangan

 

HARI INI, pesona Valentine’s Day kembali memikat “bumi nyiur melambai”. Badai merah muda membungkus jazirah utara Selebes. 14 Februari pun menjadi momen indah memabukkan, terutama bagi para muda-mudi. Hampir tak ada yang luput dari dari euforia ini.

Di sudut Kota Kacang, tampak dua orang pemuda berdiri tertegun. Menatap sunyi sebuah monumen di ujung Selatan Kawangkoan. “Barangkali tinggal beberapa orang muda di Sulawesi Utara kini, yang masih mengingat peristiwa heroik yang terjadi 14 Februari 1946. Euforia valentine memang berhasil mengaburkan ingatan ini,” kenang Kalfein Wuisan dan Rendy Iroth, sembari menggurat kisah di balik monumen peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 yang sedang mereka tatap.

Pemuda Desa Wuwuk Kecamatan Tareren Minahasa Selatan ini berkisah. Ada pemuda-pemuda, pejuang-pejuang luar biasa yang dengan gagah berani melawan pemerintah kolonial yang masih bercokol di Utara Selebes pasca kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 1945. Di antara mereka ada sejumlah tokoh yang memainkan peran penting ketika peristiwa perebutan kekuasaan tersaji jelang hingga pasca 14 Februari 1946. Di antaranya, Bernard Wilhelm Lapian dan Charles Choesoy Taulu. Dua sosok yang diekspresikan dalam bentuk pantung di monumen tersebut.

“B.W. Lapian ketika itu pimpinan sipil. Ia berperan besar pada momen heroik Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado. Ia menggerakkan banyak pejuang ketika perebutan tangsi militer Belanda di Teling Manado. Ia memimpin pasukan pemuda bersama Letkol Ch. Ch. Taulu dan Serda S.D. Wuisan. Ketika itu mereka merobek bagian biru bendera Belanda hingga berkibar bendera merah putih,” kenang Kalfein Wuisan.

Tokoh pemuda Kerapan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) ini mengaku banyak membaca dan mendengar langsung perjuangan B.W. Lapian dalam upaya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

“Buku-buku sejarah mencatat, sejak muda B.W. Lapian telah terlibat aktif dalam upaya kemerdekaan Indonesia . Waktu bekerja di Batavia atau Jakarta saat ini, ia menjadi seorang penulis, jurnalis di surat kabar Pangkal Kemadjoean. Koran yang terkenal tegas sikap nasionalismenya. Lapian banyak menulis soal bagaimana membebaskan warga Indonesia dari cengkraman kolonialisme,” tutur Wuisan.

Diakui, B.W. Lapian pernah menduduki kursi jabatan di era Belanda hingga masa Jepang. Namun hasratnya sangat besar untuk membawa Indonesia pada kemerdekaan. Siakap itu akhirnya  membuat dia dijebloskan dalam penjara. “Lapian pernah jadi anggota Dewan Minahasa tahun 1930 sampai1934. Orang tua kami menceritankan jika masa itu ia tokoh yang dikenal gigih memperjuangkan berbagai pembangunan infrastruktur untuk kepentingan rakyat. Ketika Jepang masuk Sulawesi Utara, Lapian sempat menjadi Gunco atau Kepala Distrik. Ia juga pernah jadi Walikota Manado tahun 1945,” terangnya.

“Ketika Jepang kalah dari Sekutu, NICA (Nederlandsch Indië Civil Administration) masuk Manado. Saat itu Lapian menolak mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada NICA. Makanya pasca peristiwa Merah Putih ia ditangkap dan dijebloskan ke ke penjara di Teling, Manado. Tahun 1947 dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta. Tahun 1948 dipindahkan lagi ke penjara Sukamiskin, Bandung. Beliau nanti dibebaskan pada 20 Desember 1949,” sambung Wuisan.

Perjuangan nyata Lapian ada dalam ingatan masyarakat Sulawesi Utara dan diakui negara. Karena itu, Kamis 5 November 2015, di Istana Negara, Presiden Joko Widodo berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 116-TK-Tahun 2015-4 November 2015, mengangkat B.W. Lapian sebagai Pahlawan Nasional.

“Karena peran-peran pentingnya dalam gerak perjuangan kemerdekaan hingga di masa kemerdekaan, tahun 1950 sampai dengan 1951, Lapian dipercaya untuk menjabat Gubernur Sulawesi. Saat itu, ia masih berjuang untuk menyelesaikan masalah perlawanan pemberontak Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan secara damai. Tahun 2015, setelah melalui berbagai proses persyaratan, kajian, B.W. Lapian diangkat menjadi Pahlawan Nasional,” ucap Wuisan dengan nada haru dan bangga.

Sosok Ch. Ch. Taulu juga tak kalah luar biasa. Semangat melawan kolonial tak pernah berhenti berkobar walau ia sedang memangul senjata sebagai tantara KNIL. “Di KNIL, Taulu selalu menunjukkan antipati terhadap penjajah. Ia selalu terusik dengan perilaku ketidakadilan yang dialami masyarakat sebangsanya. Ia juga mejadi otak dari gerekan-gerakan melawan ketidakadilan di tubuh KNIL. Itu jelas tergambar jelang peristiwa Merah Putih,” kata Wuisan.

Pegiat Mawale Movement ini menuturkan, Ch. Ch. Taulu dikenal sebagai sosok penting dalam usaha perebutan kekuasaan dari tangan penjajah pada 14 Februari 1946. Dialah yang memimpin pemberontakan bersenjata ketika itu. “Rencana pemberontakan itu ternyata sempat bocor. Akibatnya, sejumlah tokoh yang dianggap mau memberontak, ditangkap dan dijebloskan dalam penjara Teling. Tapi api semangat sudah berkobar. Rencana perebutan kekuasaan pun dipercepat hingga peristiwa dini hari 14 Februari itu terjadi,” tutur Wuisan dengan penuh semangat.


Gerak Seirama Palar, Ratulangi dan Lapian Cs

Peristiwa Merah Putih bukan kisah “tiba saat, tiba akal”. Bukan “kecelakaan” tanpa strategi. Momen itu diciptakan. Diawali dari sebuah perencanaan matang tokoh-tokoh pejuang kemerdekan Indonesia dari Sulawesi Utara. Dari yang berjuang menuntut pengakuan dunia internasional di meja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga para ksatria yang mengangkat senjata di tanah kelahirannya.

“Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 tapi daerah Sulawesi Utara baru merdeka 14 Februari 1946, ketika pendahulu kita memenangkan pertempuran heroik melawan Belanda di Manado dan beberapa tempat lainnya di daerah kita. Saya pernah membaca beberapa literatur terkait peristiwa ini, termasuk tulisan Om Ben Wowor dan ulasan wartawan senior Freddy Roeroe. Ada data yang mengisahkan bahwa perjuangan ini diwali oleh provokasi putra Tomohon Lambertus Nicodemus Palar atau Babe Palar dan Om Sam Ratulangi,” jelas Rendy Iroth, pegiat Mawale Movement  yang datang bersama Kalfein Wuisan di monumen B.W. Lapian dan Ch. Taulu di Kawangkoan.

“Jauh sebelum itu, Sam Ratulangi bahkan sepertinya sudah membaca jika Jepang akan segera kalah dari tantara Sekutu. Makanya, ia telah meminta tiga orang pemuda, Wim Pangalila, Oleng Sondakh, Buce Ompi, dan dua orang tantara, Freddy Lumanauw dan Mantik Pakasi, untuk balik ke Manado agar bisa bergerak untuk mengambil momen kemenangan itu. Orang-orang ini memang kemudian kita tahu berperan aktif pada peristiwa 14 Februari,” sambung Iroth.

Menurutnya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dipublikasikan Belanda ke dunia luar sebagai gerakan segelintir orang di pulau Jawa. L.N. Palar, Duta Besar Pertama RI di PBB ternyata menerima dampak negatif dari provokasi itu.

“Babe Palar merasa isu itu mempengaruhi usahanya untuk mendapatkan dukungan negara-negara anggota PBB. Ia kemudian yang meminta pejuang di Manado melakukan perlawanan terhadap Belanda. Semangat pejuang semakin berkobar ketika Tante Nona Politon, istri sejarawan Om F.S. Watuseke, membawa surat Gubernur Sulawesi, Om Sam Ratulangi. Surat itu meminta tentara KNIL asal Minahasa yang pro RI segera melakukan aksi militer di tangsi KNIL, di Teling Manado,” papar Iroth.

Surat rahasia Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi itu dibawa ke B.W. Lapian, seorang politisi, tokoh penting pergerakan ketika itu. Surat yang sama juga sampai ke tokoh militer Ch. Ch. Taulu. Tentara KNIL dan tokoh masyarakat maupun politisi Sulawesi Utara yang pro RI kemudian langsung merancang perebutan tangsi tentara KNIL di Teling.

Peristiwa itu direalisasikan para pejuang pada tanggal 14 Februari 1946 dini hari. Seluruh pimpinan teras tentara di tangsi itu, termasuk seluruh pimpinan Garnizun Kota Manado yang juga bermarkas di tangsi, ditangkap dan disel. Peristiwa itu berlangsung mulai pukul 01.00 Wita hingga 05.00 Wita. Tepat pukul 03.00 Wita, para pejuang menurunkan bendera Belanda. Merah Putih Biru dirobek warna birunya. Bendera warna Merah Putih dinaikkan ke puncak tiang bendera di markas tentara yang disebut-sebut angker karena dihuni pasukan KNIL, pasukan berani mati, andalan Belanda.

Peristiwa itu berhasil memantik semangat perjuangan di seantero wilayah Sulawesi Utara kini. Bendera Merah Putih berkibar dimana-mana. Kisah itu beredar cepat ke seluruh dunia. Harian Merdeka di Jakarta, radio-radio Australia, San Fransisco dan BBC London, menyiarkan tentang perjuangan besar yang digelorakan di Minahasa.

“Kejadian ini tersebar sangat cepat ke Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Peristiwa ini sangat bernilai strategis, sebab hanya beberapa jam kemudian seluruh dunia mengetahui bahwa tidak benar provokasi Belanda. Tidak benar perjuangan kemerdekaan hanya dilakukan segelintir orang di Jawa. Peristiwa ini menjadi penegasan ke dunia luar bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 didukung oleh seluruh rakyat Indonesia,” tandas Iroth.

Iroth ikut mengisahkan, tekad menaklukkan tangsi militer Teling yang juga markas Garnisun Manado dicetuskan tanggal 13 Februari 1946. Tepatnya jam 18.00 Wita di kantin tangsi, seusai apel sore. Gerakan itu dilakukan sekelompok prajurit pemberani yang dipimpin Wakil Komandan Regu I Kompi VII, Mambi Runtukahu.

“Padahal ketika itu, katanya di depan kantin sedang berkumpul sejumlah anggota peleton CPM, namun tidak ada yang berani mendekat karena mengetahui anggota-anggota yang berkumpul di kantin adalah anggota-anggota Kompi VII yang dikenal sebagai kompi macan, kompi pemberani. Pada jam 21.30 Wita, saat apel malam, kelompok pencinta RI itu mulai mempersiapkan diri. Kelompok itu terdiri dari Wakil Komandan Regu I Mambi Runtukahu, Wadanru II Gerson Andris, Wadanru III Mas Sitam, Komandan Verkenner Jus Kotambunan, anggota Regu IV Lengkong Item dan Verkenner Wehantouw. Merekalah yang merancang strategi dan maju langsung ke medan pertempuran dengan gagah berani,” kata Iroth yang mengku mendengarkan langsung kisah-kisah itu dari kakek-kakeknya, pejuang yang mengetahui persis persitiwa itu.


Heroisme Yang Terabaikan

Sejarah perjuangan orang-orang Sulawesi Utara dalam merebut kemerdekaan sering terabaikan.  Bahkan oleh orang-orang Sulawesi Utara sendiri. Generasi mudanya lebih senang merayakan hari valentin di 14 Februari ketimbang mengenang dan merefleksikan kisah heroisme para pemuda dalam peristiwa 14 Februari 1946.

“Fakta hari ini, generasi muda kita lebih suka sibuk mempersiapkan pesta valentin saat 14 Februari dari pada mengelar diskusi atau kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan peristiwa Merah Putih. Ini persoalan serius bagi generasi hari ini,” tandas Wuisan dan Iroth.

Sekolah-sekolah di Sulawesi Utara juga masih banyak yang mengabaikan pewarisan kisah perjuangan 14 Februari 1946 ke anak didiknya. “Di sekolah-sekolah kita diajarkan sepanjang tahun soal perjuangan merebut kemerdekaan tapi peristiwa 14 Februari jarang dibahas. Kami pernah berdiskusi dengan seorang kepala sekolah SMP. Saat kami tanya soal peristiwa Merah Putih, dia sepertinya kebingungan. Yah, bagaimana mau mewariskan kisah perjuangan pendahulu kita itu kalau guru-gurunya saja tidak memahami kisa perjuangan ini,” sindir keduanya.

Sekolah diyakini bisa menjadi ruang efektif untuk menanamkan kisah-kisah perjuangan merebut kemerdekaan yang dilakukan oleh orang-orang Sulawesi Utara. “Kalau yang diceritakan kisah perjuangan kakek-nenek mereka sendiri pasti akan lebih bisa merangsang jiwa patriotisme anak-anak kita. Biarkan generasi kita paham bahwa perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya terjadi di daerah lain di nusantara. Tapi semangat perjuangan juga terukir di tanah kita. Dilakukan oleh oma dan opa kita sendiri. Gelorakan terus semangat perjuangan 14 Februari 1946 lewat cerita-cerita dan kegiatan lain ke siswa-siswa kita di sekolah-sekolah,” pinta mereka.

Peran pemerintah daerah juga dinilai penting. Momen 14 Februari harus dimaksimalkan untuk “meledakkan” kisah perjuangan orang-orang Sulawesi Utara ketika itu. “Pemerintah bisa menjadi motor penting untuk mengelar berbagai kegiatan dalam rangka mengenang dan merefleksikan peristiwa Merah Putih. Jangan pemerintah daerah yang justru jadi motor dan lebih sibuk dengan acara valentine ketika 14 Februari,” ketus mereka.

Mengakhiri kisahnya, Wuisan dan Iroth melontarkan rasa prihatin yang sangat soal kondisi monumen Merah Putih di Kawangkoan. “Tahun 1985, monumen Merah Putih 14 Februari 1946 ini dibangun. Ketua panitia pembangunan waktu itu Bupati Minahasa J. Lelengboto. Sayangnya, belakangan monumen ini terlihat tidak terurus dan terabaikan. Padahal ini salah satu pintu masuk terhadap peristiwa heroik 14 Februari itu. Salah satu tempat di mana generasi kini bisa belajar tentang nilai semangat, keberanian, dan kecerdasan dalam merebut kemerdekaan, yang dimiliki pendahulu kita,” kenang mereka. (*)


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *