Connect with us

FEATURE

Perjuangan Seorang Pegawai Negeri Papua

Published

on

30 Maret 2019


Oleh: Andreas Harsono


 

Filep Karma, pegawai negeri yang berjuang untuk bangsanya. Dituduh makar dan dicap pemberontak oleh Indonesia.

 

PADA 9 MEI 2015 Presiden Joko Widodo mengunjungi penjara Abepura guna memberikan grasi kepada lima narapidana Papua. Jokowi sebenarnya juga hendak membebaskan seorang tahanan politik namun terganjal dengan persoalan hukum. Jokowi bersedia memberikan grasi kepada Filep Karma namun Karma tak bersedia mengajukan grasi.

Jokowi mengatakan, “Benar bahwa saya mengusahakan pembebasan Filep Karma. Namun, saya maunya proses grasi. Sedangkan dia maunya amnesti. Ini rumit karena harus bicara dengan DPR. Saya nggak tahu apakah DPR akan setuju.”

Di penjara Abepura, Karma mengikuti kedatangan Jokowi lewat berbagai narapidana, termasuk seorang remaja, yang melaporkan bagaimana Jokowi beserta isteri Iriana, sholat di sebuah ruangan kecil dekat ruang tamu penjara.

Kelima orang tersebut juga cerita pertemuan mereka dengan Jokowi kepada Karma.

Siapakah Filep Karma?

Filep “Jopie” Karma kelahiran Hollandia Binnen, sekarang Abepura, pada 14 Agustus 1959. Jopie anak pertama dari tujuh bersaudara: dua lelaki dan lima perempuan. Pada 1959, Nieuw Guinea atau Papua masih berada dalam kekuasaan Belanda. Andreas Karma, bapaknya, seorang birokrat zaman Hindia Belanda. Pendidikannya, administrasi negara.

Keadaan berubah ketika pasukan Indonesia menyerbu Nieuw Guinea pada 1962. Mulanya dari Merauke dengan Operasi Naga pimpinan Kapten Benny Moerdani. Amerika Serikat tekan Belanda agar serahkan Nieuw Guinea ke Indonesia. Belanda menawar dengan minta diadakan “referendum” oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Indonesia dan Amerika Serikat setuju. PBB mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat pada Juli-Agustus 1969 tapi “keamanan” dilakukan oleh pihak Indonesia. Hanya 1,025 orang dipilih untuk memberikan suara. Seratus persen voting setuju Papua bersatu dengan Indonesia. Hasil ini dibawa ke Sidang Umum PBB. Ketika voting diambil, 82 negara menerima resolusi dan 30 abstain. Tak ada satu pun negara menolak resolusi PBB agar Nieuw Guinea dimasukkan ke Indonesia.

Namun invasi dan intimidasi di lapangan menciptakan ketakutan. Ada pengungsian puluhan ribu orang ke Papua New Guinea. Pengungsian ini tak begitu diperhatikan PBB. Andreas Karma termasuk birokrat yang dipercaya oleh pemerintah Indonesia untuk memperbaiki keadaan di Irian Jaya, nama baru New Guinea. Dia diangkat jadi camat di Bokondini, sebuah daerah dekat Wamena. Pada 1971, dia diangkat jadi Bupati di Wamena.

Ini jabatan dengan tanggung jawab berat. Dia menjabat bupati Wamena selama 10 tahun lalu diangkat jadi bupati Serui pada 1980-an juga 10 tahun. Dua puluh tahun jadi bupati. Saya sering tanya secara acak kepada orang Papua. Siapa pejabat Papua yang mereka anggap melayani warganya dengan baik? Nama Andreas Karma dan Gubernur Izaac Hindom termasuk paling sering disebut.

Pada Oktober 1977 militer Indonesia bikin operasi militer dan mengebom kampung-kampung sekitar Wamena. Tujuannya, mengalahkan gerilyawan Papua Merdeka. Namun serangan tersebut dilakukan dengan gegabah. Banyak makan korban sipil mati. Menurut laporan Asia Human Rights Commission, The Neglected Genocide, setidaknya 4000 orang Papua mati dalam operasi tersebut. Saya duga Andreas Karma tahu pembantaian yang terjadi di wilayah Wamena.

Namun dia tak diketahui bersuara. Mungkin dia memilih diam.

Filep Karma sendiri baru berusia 18 tahun. Dia sekolah di SMAN 1 Jayapura. “Jopie sudah naik Jeep,” kata Luna Vidya, temannya. Kekerasan demi kekerasan militer Indonesia, tak lepas dari pengamatannya.

Pada 1979, lulus dari SMA Gabungan, Filep Karma kuliah ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Pulau Jawa. Ini masa ketika pemerintahan Presiden Soeharto sedang kuat-kuatnya. Soeharto baru saja mendapat mandat ketiga kali untuk jadi presiden Indonesia. Gerakan mahasiswa pada 1978 diberangus dengan hebat.

Di Solo, pemuda Karma berhadapan dengan rasialisme anti-Papua, anti-kulit hitam, anti-rambut keriting. Dia mengatakan, “Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah. Jadi bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali kami di kata-katai, ‘Monyet! Ketek!’”

Rasialisme tersebut diterangkan Dr. George Junus Aditjondro dalam sebuah esai pada 1994 berjudul, “Menerapkan Kerangka Analisis Frantz Fanon terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya.” Aditjondro menerangkan bahwa rasialisme anti-Papua menganggap kebudayaan si pelaku lebih tinggi dari kebudayaan si kulit hitam. Ia terjadi bukan saja dalam pergaulan sehari-hari –seperti dialami Karma di Solo– namun juga lewat media massa termasuk suratkabar, kartu pos, radio dan televisi. Orang Papua digambarkan sebagai suku terbelakang, badan bau busuk, suka mabuk, kelakuan kasar, korupsi dan seterusnya. Sekarang pun penjelasan ini relevan untuk menerangkan bagaimana mayoritas orang Indonesia melihat Papua. Entah lewat status Facebook, Twitter atau blog.

Di Solo, Filep Karma merasakan langsung rasialisme tersebut, “Kami yang dari Papua, selalu dianggap setengah binatang. Kami dianggap seakan-akan kami ini evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Namun kami dianggap sebagai proses teori Darwin yang belum selesai. Seakan–akan kami ini setengah manusia, setengah hewan.”

Rasialisme melukai hati Filep Karma.

Dia jatuh cinta dengan seorang perempuan Melayu-Jawa. Namanya, Ratu Karel Lina, seorang fisioterapis, kelahiran 1960 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka kenal di kampus, pacaran dan memutuskan menikah. Pada 1986, ketika Karma berusia 27 tahun dan Lina 26 tahun, mereka menikah. Mereka dikarunia seorang putri, Audryne, kelahiran Solo pada Agustus 1987. Kelahiran Audryne disusul dengan selesainya studi Filep Karma dari Universitas Sebelas Maret. Filep mengajak isteri dan anaknya ke Jayapura. Dia mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Putri kedua mereka, Andrefina Karma, lahir di Serui pada November 1988.

Secara politik, pelanggaran terhadap hak orang Papua tak berhenti pada 1977-1978. Pada awal 1980an, ada gerakan memasukkan bahasa-bahasa daerah Papua dalam musik gereja. Sebuah kelompok musik bernama Mambesak mengumpulkan berbagai lagu etnik dari Sorong sampai Samarai. Mereka rekam lagu-lagu tersebut. Mambesak diproduksi lewat kaset serta bikin siaran lewat RRI Jayapura.

Tokoh Mambesak seorang musikus-cum-anthropolog Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih di Jayapura. Menurut Arnold Ap, Mambesak adalah usaha mempertahankan budaya asli Papua dari cara kerja pemerintah Indonesia di Papua yang lebih mempromosikan seni dari luar Papua.

Namun nasib Mambesak berakhir tragis dengan tuduhan militer Indonesia bahwa Arnod Ap ikut dalam Organisasi Papua Merdeka. Pada November 1983, militer Indonesia menangkap Arnold Ap. Dia disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko, yang dijadikan markas suanggi –istilah orang Papua buat intel—dan belakangan, kasus Arnold Ap diserahkan pada polisi.

Menurut dokumen pengadilan dan kesaksian seorang polisi Papua, pada malam 21 April 1984, seorang penjaga, Pius Wanem, membius dua polisi dan membuka kunci sel. Wanem, Arnold Ap dan empat tahanan lain, naik taksi pergi ke pantai Base-G di Jayapura, menunggu kapal yang akan membawa mereka lari ke Papua New Guinea. Mereka menunggu di sebuah gua. Ternyata ia sebuah jebakan. Arnold Ap mati ditembak tentara di Base-G.

Dalam persidangan, Pius Wanem mengatakan Arnold Ap dan seorang tahanan tewas dalam “operasi Kopassandha.” Kopassandha singkatan dari Komando Pasukan Sandi Yudha, sebuah pasukan khusus Indonesia, kini biasa disebut Kopassus.

Pada Juni 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja mengatakan di Jakarta bahwa Ap dicegat di laut ketika kapal melarikan diri. Patroli minta mereka menyerah. Perahu Ap menembaki kapal patroli, yang menyebabkan patrol menembak balik, termasuk Arnold Ap. Kusumaatmadja menuduh Arnold Ap sebagai “separatis OPM.”

Ini menciptakan ketakutan. Gelombang pengungsi ke PNG mulai lagi. George Aditjondro, yang bekerja di sebuah organisasi sosial di Jayapura serta bertetangga dengan Arnold Ap, termasuk orang yang merasa perlu menyingkir dari Papua. Dia kembali ke Pulau Jawa lantas mengambil Ph.D di Universitas Cornell, Ithaca, New York. Janda Arnold Ap melarikan anak-anaknya dan dia sendiri ke Papua New Guinea lantas tinggal di Den Haag, Belanda. Putra Arnold, Oridex Ap, kini giat kampanye Papua Merdeka di Belanda.

Filep Karma kembali ke Papua ketika suasana pengungsian sudah mereda. Menurut Audryne, mereka melewati masa kecil dengan bahagia. Mereka sering berlibur di villa keluarga Karma di Pulau Biak. Ratu Karel Lina bekerja sebagai fisioterapis di rumah sakit Dok II di Jayapura. Mereka tinggal di rumah kolonial warna putih di Jl. Macan Tutul di Dok V, Jayapura. Ini kawasan elite di Jayapura. Rumah tersebut peninggalan Andreas Karma. Kehidupan keluarga Filep Karma, tentu saja, juga berisi keragaman. Baik dari segi agama maupun etnik. Ada yang Kristen, ada yang Islam. Ada yang kulit hitam, ada yang kulit sawo matang. Semua jalan dengan biasa.

Pada 1997, Filep Karma menerima beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk mengikuti kursus setahun di Asian Institute of Management, Manila. Ini sekolah manajemen elite di Asia. Kampusnya terletak di daerah Makati, daerah bisnis di kota Manila.

Karma merasakan suasana baru, beda dengan suasana yang dia alami di Papua maupun di Jawa. “Di Filipina, saya dihargai sebagai manusia seutuhnya dan tak ada pelecehan, penghinaan atau perlakuan diskriminasi. Itu yang saya rasakan dalam pergaulan maupun ketika saya berbelanja di supermarket atau di pasar. Dalam pergaulan dengan masyarakat di sana, saya merasa dihargai, sebagai sesama seperti mereka. Jadi saya dianggap bagian dari mereka atau dalam istilah Jawa diwongke atau dimanusiakan, tidak seperti yang pernah saya alami di Papua atau di Jawa,” katanya.

“Di sana juga saya menemui kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berbicara, dan penghargaan terhadap pendapat yang kita kemukakan. Ini memotivasi saya. Setelah saya kembali ke Papua, saya lebih berani dalam berbicara, tidak seperti sebelum saya kuliah ke Filipina.”

“Manila juga mengubah konsep perjuangan saya. Tadinya saya berpikir berjuang Papua Merdeka harus masuk hutan dan bersenjata. Tapi ternyata tidak harus demikian. Itu memang salah satu sisi perjuangan tapi ada sisi lain juga yaitu berjuang dengan damai tidak harus membunuh, tidak harus menembak seseorang.”

Ketika terbang ke Jakarta pada Mei 1998, dia melihat protes mahasiswa Indonesia terhadap pemerintahan Presiden Soeharto. Dia hanya dua hari ada di Jakarta ketika aparat keamanan menembak mati beberapa mahasiswa Universitas Trisakti. Karma berpikir kekuasaan di Jakarta sedang goyang. Stabilitas Indonesia terkena hempasan krisis ekonomi Asia. Berbagai kekuatan daerah di Indonesia akan mencari equilibrium baru, dari bangsa Acheh di Sumatra sampai etnik Dayak di Kalimantan, dari kampanye Daulah Islamiyah di Jawa sampai nasionalisme Maluku di Ambon, tak ketinggalan juga Timor Timur. Di berbagai tempat di Indonesia terjadi kekerasan dan kepanikan.

Di Biak, Karma mengatur aksi pro-kemerdekaan dengan bantuan dua orang adiknya, Constantine dan dan Sampari, serta kawan-kawan mereka. Mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 2 Juli 1998. Dia taruh bendera di Tower Air kota Biak. Ia jadi tempat berkumpul orang. Orasi banyak mencurahkan kekecewaan mereka terhadap berbagai kekerasan di Papua.

Pada Januari 2013, ketika berada di Biak, saya wawancara dengan beberapa orang yang bantu “Kakak Jopie” kasih naik bendera Juli 1998. Kesan saya, Filep Karma cepat mengatur orang-orang ikutan. Jaringan lokal serta isu yang tepat sasaran membuat penaikan bendera tersebut jadi pusat perhatian. Ribuan orang berkumpul di Tower Air. Menariknya, pejabat, polisi dan militer Indonesia mendekati pensiunan bupati Serui Andreas Karma. Mereka minta Karma senior membujuk ketiga anaknya, terutama anak sulung, membubarkan acara tersebut.

Karma senior secara halus menolak. Dia memilih diam selama anak-anaknya protes di Tower Air.

“Dorang bilang Filep bukan anak kecil lagi. Dia tidak bisa atur anak yang sudah dewasa,” kata Eklefina Noriwari.

Human Rights Watch dalam laporan Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya melaporkan bahwa seorang sersan polisi masuk ke kalangan demonstran. Dia dianggap hendak provokasi. Dia dipukul dan beberapa gigi patah. Ini menciptakan masalah. Pada 6 Juli 1998, aparat keamanan memutuskan pakai kekerasan. Mereka pakai peluru karet maupun tajam buat bubarkan demonstrasi. Lebih dari 100 demonstran luka-luka, tewas dan beberapa hilang sampai saat ini.

Menurut Audryne Karma, “Bapa saya ditembak di kedua kakinya saat dia sedang berdoa di tempat kejadian. Dia divonis pengadilan enam tahun penjara, namun dua tahun kemudian dibebaskan setelah Gus Dur jadi presiden pada tahun 2000.”

Gus Dur adalah nama panggilan Abdurrahman Wahid. Dia memegang tampuk kepresidenan Indonesia antara Oktober 1999 dan Juli 2001. Dia hanya berkuasa selama 21 bulan. Namun selama 21 bulan tersebut Gus Dur mengatakan orang Papua bebas mengibarkan bendera Bintang Kejora asal disandingkan dengan bendera Indonesia. Gus Dur berpendapat naik bendera bukan kejahatan. Bintang Kejora adalah “lambang kultural.” Dia juga membebaskan semua tahanan politik Papua. Filep Karma bebas pada 20 November 1999.

Di Jayapura, Karma kembali bekerja sebagai pegawai negeri. Pekerjaan Karma terutama melatih calon pegawai negeri di Papua. Dia juga banyak bicara pada mahasiswa. Dia mengatur program pelatihan dimana orang muda belajar soal sistem administrasi, hukum maupun birokrasi Indonesia.

Karma mengenang Gus Dur dengan hangat. “Dia tak pernah menyakiti hati orang Papua.”

 

SUASANA politik Papua jadi hangat lagi sesudah Gus Dur didesak mundur pada Juli 2001. Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur. Empat bulan kemudian, Theys Eluay, ketua Presidium Dewan Papua, dibunuh tujuh prajurit Kopassus.

Ceritanya, pada 10 November 2001, Theys Eluay diundang ke markas Kopassus di daerah Hamadi, Jayapura, guna ikut perayaan Hari Pahlawan. Pulangnya dia diantar oleh beberapa anggota Kopassus. Dalam mobil, dia dicekik hingga meninggal. Sopirnya, Aristoteles Masoka, sempat telepon ke isteri Eluay, Yaneke Ohee, dan kasih tahu bahwa “Bapa Theys” diculik. Namun telepon langsung putus. Masoka sampai sekarang hilang.

Mayat Eluay dan mobil Toyota Kijang dibuang di daerah Koya, luar kota Jayapura. Suhu politik segera naik. Panas sekali. Puluhan ribu orang Papua mengiringi pemakaman Theys Eluay di Sentani. Ribuan pendatang Indonesia memilih keluar dari Papua.

Sehari sesudah pembunuhan, Lt. Kol. Hartomo, komandan Kopassus di Hamadi, bikin pertemuan media. Dia bilang Kopassus sama sekali tak terlibat dengan pembunuhan Eluay.

Hartomo berbohong. Tekanan dunia internasional perlahan-lahan memaksa Indonesia melakukan penyelidikan.

Pada Januari 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menggantikan Gus Dur, juga mengeluarkan Instruksi Presiden memecah Papua dari satu provinsi menjadi tiga provinsi. Megawati dicurigai hendak melemahkan nasionalisme Papua, menurut International Crisis Group dalam laporan Dividing Papua: How Not To Do It. Secara pemerintahan, ia langkah awal yang bikin kacau program Otonomi Khusus di Papua yang dicanangkan parlemen Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001. Pemekaran Papua akan menyedot banyak dana otonomi dalam pembangunan infrastruktur pemerintahan, dari gedung gubernur maupun bupati-bupati baru, sampai berbagai dinas sipil maupun militer. Ia juga membuka banyak posisi pegawai negeri. Pendatang akan makin banyak masuk ke Papua. Ia dianggap menciptakan masalah baru ketika persoalan-persoalan lama belum selesai.

Pada April 2003, pengadilan di Surabaya menghukum tujuh prajurit Kopassus, termasuk Letnan Kolonel Hartomo karena melakukan penganiayaan, yang berakibat kematian Eluay. Namun mereka tak terbukti melakukan pembunuhan. Hukuman penjara tujuh prajurit itu antara dua hingga 3,5 tahun penjara. Hartomo pingsan ketika mendengar dia dipecat dan dihukum penjara 3.5 tahun.

Namun Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu memuji para terhukum sebagai ”pahlawan Indonesia” karena membunuh ”pemberontak”. Tak ada investigasi lebih lanjut untuk mengetahui siapa yang memerintahkan perbuatan itu. Tak ada pejabat senior yang dituntut bertangungjawab. Masoka juga hilang tanpa ada upaya pencarian sampai hari ini.

Pembunuhan ini secara dramatis meningkatkan kekecewaan di Papua. Orang Papua mulai meragukan otonomi khusus dimana dikatakan hak-hak asasi manusia akan dihargai.

Bagaimana bisa percaya otonomi bila Theys Eluay dibunuh?

Bagaimana bisa percaya otonomi bila Megawati pecah Papua jadi tiga provinsi?

Namun pembunuhan Theys Eluay juga menciptakan ketakutan luar biasa di kalangan elite Papua.

Filep Karma sebenarnya bukan pengikut Theys Eluay. Karma mengatakan pada saya bahwa Eluay tak berani mengambil langkah-langkah yang radikal ketika diadakan Kongress Papua II pada 29 Mei sampai 4 Juni 2000. Karma juga kurang suka dengan sikap otoriter Eluay. Sering ambil keputusan sendiri. Namun pembunuhan Eluay membuatnya marah.

Inilah yang mendorong Filep Karma untuk terjun lagi dalam aktivisme. Dia secara terang-terangan memasang bendera Bintang Kejora di sepeda motornya. Dia pasang bendera di saku baju. Mungkin dia terkesan jadi orang aneh. Namun keanehan ini pula yang dilakukan Mahatma Gandhi di India. Di Manila, Karma belajar soal Gandhi maupun Martin Luther King dan Nelson Mandela. Karma memerlukan sesuatu yang lebih besar buat mengatasi suasana takut di Papua.

Momennya? Apalagi kalau bukan peringatan “kemerdekaan” Papua pada 1 Desember 2004 —untuk mengingat deklarasi kemerdekaan Nieuw Guinea pada 1 Desember 1961. Tanggal ini tampaknya jadi keramat. Entah karena sering dipakai buat protes terhadap Indonesia. Entah karena sering bikin paranoid para suanggi di Papua.

Remaja Audryne ingat bapanya suatu malam mengatakan, “Besok Bapa mau pergi kibarkan bendera dan mau orasi sedikit di Lapangan Trikora Abepura, kam dua jaga diri, kalau Bapa dapat tangkap dari polisi tidak usah kuatir, tidak usah lihat Bapa di kantor polisi. Tinggal di rumah saja dan pergi sekolah seperti biasa. Tuhan Yesus jaga kita semua.”

Pada 1 Desember 2004, Filep Karma mengumpulkan mahasiswa di Lapangan Trikora, Abepura. Acara dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua. Dari rekaman You Tube, saya lihat mereka teriak, “Merdeka!” Tak ada panggung. Hanya tanah lapang. Mahasiswa duduk di tanah. Ada dua pendeta menerima “uang persembahan” buat beli minum. Mereka menyerukan penolakan terhadap otonomi yang dinilai gagal.

Puncak acara adalah pidato Filep Karma. Dia pakai pakaian coklat muda, seragam pegawai negeri, jenggotnya lebar, kepala bagian depan botak dan rambut bagian belakang diikat. Saya kira ia pidato yang penting karena Karma secara terbuka bicara soal mengapa orang Papua mau merdeka dari Indonesia. Dia kuatir etnik Melanesia akan habis di tanah airnya sendiri. Mereka banyak dipinggirkan dan kalah kompetisi yang berat sebelah dengan para pendatang. Dia membahas mengapa tuntutan merdeka dijawab dengan otonomi oleh Jakarta. Dia juga bicara soal batasan nasionalisme Papua. Gaya bahasa Karma adalah gaya lisan. Dia seakan-akan bikin tanya-jawab dengan dirinya sendiri. Pidatonya penuh semangat.

You Tube tak merekam apa yang terjadi sesudah pidato Filep Karma. Dari beberapa saksi mata diketahui polisi membubarkan acara itu. Bentrokan pecah dan kerumunan orang menyerang polisi dengan balok kayu, batu dan botol. Polisi melepaskan tembakan. Karma ditahan dan dituduh makar. Dia mengatakan sudah siap dengan hukumannya.

Pada 27 Oktober 2005, pengadilan negeri Abepura menghukumnya 15 tahun penjara. Rekannya, Yusak Pakage, divonis 10 tahun penjara. Mereka banding dan kalah terus sampai Mahkamah Agung di Jakarta. Hukumannya tetap 15 dan 10 tahun.

Maka Filep Karma memulai hari-hari yang panjang di penjara Abepura.

Menurut putrinya, Audryne Karma, “Selama berada di penjara Abepura, Bapa beberapa kali mengalami masalah kesehatan, mulai dari berat badan yang turun dari 60 jadi 49 kilogram akibat sanitasi dan gizi yang buruk di penjara, sakit prostat yang cukup berat, serta radang kronis usus besar.”

“Kami tidak punya banyak uang untuk biaya pengobatan, pemerintah pun tidak dapat menjamin biaya pengobatan, namun beberapa simpatisan individu dan organisasi internasional memberi bantuan sehingga dapat menutupi seluruh pembiayaan,” katanya.

Menurut hukum Indonesia maupun kesepakatan PBB tentang Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment, semua biaya pengobatan dan perawatan seorang narapidana harus ditanggung negara.

Karel Lina serta kedua putrinya, Audryne dan Andrefina, merasakan kepahitan. Mereka sering disindir sebagai keluarga orang OPM. Kedua remaja itu baru umur 17 dan 16 tahun ketika bapanya ditangkap. Karel Lina tak betah tinggal di rumah Jl. Macan Tutul. Ia terlalu sering didatangi suanggi. Dia capek ditanyai orang soal suaminya. Karel Lina memutuskan mengirim kedua puterinya sekolah di Bandung. Mereka beruntung bisa diterima di Universitas Padjadjaran. Rumah warna putih itu pun dikosongkan dan Karel Lina kost di dekat rumah sakit.

Bandung cukup dekat dari Jakarta. Saya sering bertemu mereka. Acapkali bila saya bicara dengan Audryne dan Andrefina, mereka menangis bila ingat masa-masa sulit sesudah bapanya ditangkap. Hubungan Karel Lina dengan suami juga tegang. Karel Lina tak pernah mau bertemu dengan siapa pun, termasuk saya, yang hendak bicara soal suaminya. Constantine di Biak juga pisah dari isterinya. Sampari, adik Filep yang ikut demonstrasi di Biak pada 1998, ditahan ketika dia baru saja melahirkan anaknya. Pada 2008 Sampari meninggal dunia.

Saya kira dengan Filep Karma masuk penjara lagi, keluarga besar Karma lebih dalam kesulitan. Constantine bilang dia dipersulit kredit bank buat bisnis pigura. Keluarga ini cukup cerai berai. Menurut Constantine, Filep minta adiknya tak terlibat politik apapun agar ada yang mengurus keluarga. Saya juga punya kesan walau tertekan, mereka tetap menunjukkan sikap sebagai orang yang punya harga diri. Nene Noriwari adalah perempuan yang kuat menjaga klan Karma. Kesukaannya, menyanyikan lagu-lagu gereja.

Pengganti Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menciptakan sebuah aturan dimana menaikkan bendera Bintang Kejora dinyatakan sebagai kegiatan terlarang lewat Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007. Aturan ini, menurut ketua Majelis Rakyat Papua Agus A. Alua, melanggar UU tentang Otonomi Khusus tahun 2001. Yudhoyono diam saja.

Ironisnya, orang-orang Papua lantas mengetahui bahwa Lt. Kol. Hartomo, yang sudah dihukum penjara 3.5 tahun di Surabaya dan seharusnya dipecat dari militer, ternyata naik pangkat jadi kolonel. Hartomo bahkan menjadi komandan Group I Kopassus di Serang.

Di Papua, polisi, militer, jaksa serta hakim Indonesia terus mengkriminalkan aktivis-aktivis Papua, termasuk anak-anak muda yang bergabung dengan Komite Nasional Papua Barat. Indonesia melarang segala bentuk pengungkapan ekspresi damai di Papua. Namun beberapa tokoh KNPB mulai tak sabar. Saya curiga ada beberapa yang terpancing untuk lakukan kekerasan.

Sejak 2008, setiap bulan saya menerima laporan dari berbagai organisasi di Papua, mulai dari pembunuhan hingga pelecehan seksual. Selama enam tahun memantau Papua, saya kira, persoalan dasar di Papua adalah rasialisme terhadap orang Papua. Saya juga punya kesan banyak orang Indonesia yang tinggal di Papua, termasuk polisi, militer, jaksa maupun hakim, tak mengerti bahwa mereka tidak dipercaya oleh orang Papua. Ada persoalan tidak percaya yang besar sekali terhadap Indonesia di Papua.

Margaretha Hanita dari Kementerian Hukum dan HAM, yang beberapa mendatangi Karma di Abepura, cerita pada saya bahwa Karma dapat kiriman kartu pos dan surat sekitar dua karung setiap minggu. Ini semua diperiksa di sebuah meja pingpong sebelum diberikan ke Karma. Ia tampaknya hasil dari kampanye Amnesty International. Mereka menggerakkan orang buat kirim surat kepada Karma.

Filep Karma cerita pada saya bahwa dia senang membaca surat dan kartu pos. Banyak kartu pos datang dari anak-anak sekolah, mulai dari Polandia sampai Amerika Serikat. Karma mengisi waktu dengan berkebun, membaca buku, memasak dan baca surat. Karma seorang vegetarian.

Pada Juni 2010, Human Rights Watch meluncurkan laporan soal tahanan politik di Papua dan Kepulauan Maluku. Judulnya, Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners. Isinya, profil berbagai tahanan politik di Papua, termasuk Buchtar Tabuni dari KNPB dan Filep Karma, maupun dari Kepulauan Maluku. Mereka ditahan karena protes damai. Mereka tak bakar apapun. Mereka tak bikin bom. Mereka tak lakukan kekerasan. Di Ambon, malah orang yang menari cakalele sambil kasih keluar bendera Republik Maluku Selatan, bisa terkena 20 tahun penjara.

Freedom Now, sebuah organisasi nirlaba di Washington DC, menawarkan diri kepada keluarga Filep Karma untuk gugat penahanannya ke Perserikatan Bangsa-bangsa. Freedom Now adalah organisasi para pengacara. Mereka kerja profesional namun sedia waktu buat bantu kasus hak asasi manusia. Klien mereka termasuk tahanan politik terkenal macam Aung San Suu Kyi dari Ranggon maupun Liu Xiao Bo dari Beijing. Mereka sama-sama pemenang hadiah Nobel Perdamaian.

Pada Januari 2011, Eklefina Noriwari, mama Filep Karma, resmi mengajukan gugatan penahanan anaknya ke UN Working Group on Arbitrary Detention, lengan PBB untuk peradilan tahanan sewenang-wenang, di New York. Sidang berjalan enam bulan lebih. Perserikatan Bangsa-bangsa tentu minta argumentasi dari pemerintah Indonesia.

Hasilnya, pada September 2011, UN Working Group on Arbitrary Detention menyatakan penahanan Karma sebagai pelanggaran hukum internasional. PBB mengatakan Karma tak mendapatkan fair trial serta pasal makar 106 dan 110 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditafsirkan secara “tidak proporsional” oleh pengadilan Indonesia. Ia berlaku dari pengadilan negeri Abepura, pengadilan tinggi Papua maupun Mahkamah Agung. PBB minta pemerintah Yudhoyono untuk “segera dan tanpa syarat membebaskannya. “

Pemerintah Yudhoyono membantah adanya “tahanan politik” di Indonesia. Dalam wawancara dengan ABC Australia, Menteri Hukum saat itu, Amir Syamsudin bilang menurut hukum Indonesia, Filep Karma adalah “tahanan kriminal” bukan ‘tahanan politik.” Dia mengatakan istilah tapol sudah dihapus sejak reformasi 1998. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengundang Amnesty International datang ke Jakarta dan bicara soal tahanan politik. Lagi-lagi debat soal terminologi. Singkatnya, Suyanto bilang Amnesty dan dia “sepakat untuk tidak sepakat.”

Saya kira ia keputusan buruk. Pemerintah hanya bersembunyi di balik terminologi “tahanan kriminal.” Ia tak mencerminkan substansi bahwa memang ada orang-orang di Indonesia dipenjara karena nyatakan aspirasi politik secara damai. Ia mencerminkan ketidakmauan Indonesia taat pada International Convention on Civil and Political Rights, yang sudah diratifikasi parlemen Indonesia, pada 2005. Saya sering bandingkan orang Papua kibarkan Bintang Kejora dengan orang di Jawa bicara soal Darul Islam atau Daulah Islamiyah. Entah berapa banyak orang Jawa dipenjara dengan vonis makar bila praktek di Papua dijalankan di Jawa.

Saya tahu di Papua ada banyak teori konspirasi dan orang-orang Indonesia yang malas berpikir. Isinya, cuma soal “negara asing” campur tangan urusan Indonesia. Entah itu Amerika Serikat, Australia, Belanda, Britania, atau sejak Agustus 2014 … Perancis. Mereka mati-matian menentang pembebasan tahanan politik. Mereka mati-matian menolak akses wartawan internasional ke Papua. Saya tak heran karena di Jakarta pun banyak orang berpikiran sempit. Mereka membenarkan diskriminasi terhadap orang Papua.

Sebaliknya, di kalangan orang Papua, tak kalah banyak yang malas berpikir. Pikirannya, besok akan merdeka. Saya sering geli kalau dengar atau baca orang Papua. Saya mengerti hukum internasional. Saya tahu persoalan mempengaruhi opini negara-negara anggota PBB bukan perkara sederhana. Pada 1967, Papua resmi disetujui PBB disatukan dengan Indonesia. Sekarang ada 197 anggota PBB dan hanya Vanuatu, negara kecil di Samudera Pasifik, yang bicara soal “penjajahan” Papua oleh Indonesia. Tak mudah untuk mendapatkan suara minimal dua pertiga dari PBB buat kemerdekaan Papua. Dan bangsa Papua, hanya sekitar 1.5 juta, termasuk sangatlah kecil bila dibanding dengan kepentingan politik global terhadap Indonesia, yang penduduknya lebih dari 240 juta orang. Saya kadang merasa diri kejam bila bicara realita global soal kedudukan Papua. Saya pribadi, tentu saja, sering jadi bahan gunjingan di kalangan aktivis Papua. Entah dibilang mengambil untung dari riset saya di Papua. Entah dibilang memberi pakaian bekas ke tahanan politik.

Namun kemalasan berpikir ini menjalar ke Jakarta. Saya kenal cukup banyak pejabat tinggi di Jakarta, dari sipil sampai militer, yang punya kewenangan soal Papua. Saya lihat ada keengganan mereka mengeluarkan modal politik buat ambil keputusan yang benar, serta manusiawi, terhadap Papua. Gus Dur adalah perkecualian.

Kemalasan ini takkan membuat orang lain diam. Filep Karma resmi dinyatakan sebagai tahanan politik dengan penolakan Indonesia membebaskannya.

Pada Mei 2012, masalah ini dibahas lagi dalam sidang Universal Periodic Review PBB di Geneva. Belasan negara, termasuk Amerika Serikat, Britania, Korea Selatan, Jepang, dan Jerman, minta tahanan politik di Indonesia dibebaskan. Pemerintah Jerman sebut nama Filep Karma. Lagi-lagi delegasi Indonesia menyangkal adanya tahanan politik.

Pada Juni 2013, saya terkejut ketika membaca berita bahwa 26 tahanan politik di Abepura, termasuk Filep Karma, menolak wacana pemberian grasi kepada mereka oleh Presiden Yudhoyono. Menurut Markus Haluk, seorang pemuda aktivis Papua yang dekat dengan Forkorus Yaboisembut, ketua Dewan Adat Papua yang juga ditahan di Abepura, “Para tahanan makar menolak pemberian grasi oleh Presiden SBY. Mereka tidak butuh dibebaskan tetapi butuh pengakuan dan menuntut bangsa Papua bebas.”

Isi pernyataan tersebut menaruh diri mereka pada posisi yang tak menguntungkan. Filep Karma dan tahanan politik lain memang seharusnya bebas tanpa syarat dan sesegera mungkin. Namun menukar kebebasan mereka dengan kemerdekaan Papua, saya kira, permintaan yang terlalu tinggi.

Ia bikin kaget cukup banyak orang yang selama ini kampanye pembebasan tahanan politik Papua. Pada 1 Desember 2014, Filep Karma menerbitkan bukunya, semacam riwayat hidup ringkas, berjudul, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua. Ia diterbitkan oleh sebuah penerbitan di Jayapura pimpinan Pendeta Benny Giay.

Saya takkan kaget bila dia mulai kecewa dengan kurang dimanfaatkannya penahanannya buat kampanye di Papua. Sudah 10 tahun dia dipenjara tanpa ada perubahan yang berarti terhadap nasib masyarakat Papua yang dibelanya. Dia berkali-kali menulis surat soal kekecewaannya pada aktivis-aktivis Papua, di dalam maupun di luar Papua, yang memelihara ego besar, tak mengembangkan ketrampilan mereka serta sulit bekerja sama satu dengan lain. Karma jengkel dengan orang yang percaya pada gossip.

Zely Ariane, seorang perempuan Aceh yang ikut dalam National Papua Solidarity, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa dia mendukung bila tapol Papua dibebaskan, tapi pembebasan itu tidak dilakukan dalam bentuk pemberian grasi. “Grasi kan mengandaikan bahwa para tapol itu bersalah, lalu mereka mendapat pengampunan. Sementara, para tapol Papua dipenjara karena menyampaikan aspirasi mereka. Dalam konteks negara demokrasi menyampaikan aspirasi bukan sebuah kesalahan.”

Presiden Joko Widodo mewarisi persoalan tahanan politik dari rezim Yudhoyono. Sejak Desember 2014, Jokowi sudah memutuskan akan membebaskan para tapol Papua maupun Maluku. Jokowi melaksanakan pembebasan pertama pada 9 Mei 2015 di Abepura dengan memberikan grasi kepada lima narapidana Papua –Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, and Jefrai Murib. Mereka mengajukan grasi sejak zaman Yudhyoyono. Jokowi hanya melanjutkan. Jokowi berjanji akan membebaskan lainnya lewat amnesti dan abolisi. Jokowi juga mengirim surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan minta dukungan.

Lantas apa peranan Filep Karma dalam politik di Papua?

Saya mendapat jawabnya ketika melihat Facebook milik Victor Yeimo, ketua KNPB yang baru dibebaskan dari penjara Abepura. Dia memasang foto Filep Karma duduk sendirian di halaman penjara Abepura. Karma mogok makan dan duduk “memohon keadilan Tuhan.”

Yeimo menulis, “Satu-satunya perlawanan yang engkau pakai untuk menyadarkan umat manusia yang keji. Katamu: ‘Bila manusia tak mampu memihak, tunduklah di hadapan Tuhan.’ Filep Karma keteguhanmu memartabatkan perjuangan.”

 


Editor: Andre Barahamin


 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *