OPINI
Perlukah Lembaga Peradilan Pemilu yang Berdasarkan Konstitusi? (Sebuah Analisis Filsafat Hukum Positivistik)
Published
7 months agoon

4 Juli 2024
Penulis: Juan Ray Ratu (Pegiat Demokrasi yang tidak menggunakan hak pilih pada edisi Pemilu 2019 dan 2024)
PUBLIK Indonesia diguncang dengan terbuktinya kasus asusila dari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang putusannya telah dibacakan dalam Sidang Kode Etik Terbuka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pada Rabu (3/7/2024). Dalam kesimpulannya, salah satu poin krusial sidang kode etik ini, adalah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy’ari selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum terhitung sejak putusan ini dibacakan. Salinan Putusannya dapat diakses secara publik/terbuka di laman resmi dkpp.go.id.
Kasus ini menjadi tamparan dari sekelumit perjalanan demokrasi di Indonesia. Meski berdasarkan data dari KPU, presentase pastisipasi dalam Pemilu di tahun 2024, berada di angka 81,78%, data ini menunjukan penurunan partisipasi masyakarat dalam ajang Pemilu sebelumnya pada tahun 2019. Walau demikian, Pemilu merupakan bagian jati diri bangsa Indonesia. Terutama pasca reformasi 1998, penyempurnaan sistemik tata cara untuk mencari pemimpin sesuai kehendak rakyat yang dilakukan secara pemilihan langsung (direct election).
Berangkat dari falsafah orang Manado, “Kalo torang ba manyapu, itu sosapu lebeh dulu musti bersih, kalo nyanda cuma tambah beking kotor”. Inilah yang dipahami oleh hasil dialektika zamannya, sehingga melahirkan lembaga etika bagi Penyelenggara Pemilu, pada tahun 2008. Lembaga itu kita kenal dengan sebutan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan ajudikasi bagi segala hal menyangkut aduan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Dilansir dari laman resmi DKPP, sejarah terbentuknya bermula dari pembentukan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU). Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DK-KPU tersebut bersifat ad hoc, dan merupakan bagian dari KPU. Merujuk dari sumber-sumber terbuka. Dampak sosial yang terjadi dalam menegakan kode etik dalam wilayah penyelenggaraan Pemilu, seperti rekomendasi pemberhentian anggota KPU, pada umumnya para pihak menerima putusan DKPP tanpa syarat. Sebuah kenisyaan peradilan etik dalam bidang Pemilu. Meski masih menyisahkan kritik terhadapnya, itupun kritik untuk penyempurnaan lembaga tersebut.
KPU dan Anggota KPU: Subjek Hukum (rechtsubject)
Secara doktrinal, KPU sebagai Subjek Hukum. Mengacu pada UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa KPU adalah salah satu subjek hukum penyelenggara Pemilu dalam Pemilihan Umum. Sebagai subjek hukum, ia adalah subjek yang dibuat kemudian ditetapkan oleh hukum (rechtspersoon) berbeda dengan orang yang secara alamiah sebagai subjek hukum (naturlijk person). Dan, di dalam KPU ada subjek hukum lainnya, karena diberikan status kewenangan atau status hukum, atau disebut jabatan. Distrukturasikan menjadi ketua, anggota-anggota yang tentunya merepresentasikan jabatan. KPU dan jabatan-jabatan di dalamnya, akibat perintah konstitusi. Berarti mereka lahir lewat konstitusi, untuk itulah mereka harus tunduk patuh terhadap konstitusi.
Mereka sebagai naturlijk person yang mendapatkan status hukum lewat konstitusi. Apakah kenal etika? Menurut UU Pemilu, ada organ DKPP yang bertugas menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU sebagai salah satu penyelenggara Pemilu.
Terminologi pada Etika sebagai Kebiasaan Hukum
Secara historis, etika tidak bisa dimaknai secara tunggal, selalu terjadi pergulatan dalam dialektika perabadan. Dalam tradisi Yunani Kuno, etika dikenal dengan ‘ethos’. Yang bisa berarti karakter. Namun, ethos juga dapat diartikan sebagai kebiasaan. Ke tradisi Romawi, ada term ‘ethikos’ yang merupakan kata sifat dari ‘ethos’, yang diadopsi dalam Bahasa Latin jadi ‘moralis’, yang memiliki arti kebiasaan. Dalam Bahasa Inggris menjadi ‘mores’, yang artinya sama, kebiasaan.
Mengacu pada yang dikaji adalah berkisar dalam hukum, maka pengertian etika sebagai kebiasaan inilah yang dipakai sebagai jembatan analisis. Walau etika dan moral memiliki kesamaan, namun masih terdapat perbedaan, bahwa etika menaruh perhatian pada pribadi dan moral menaruh perhatian pada kepentingan orang lain. Inilah, menjadi diskursus yang biasa kita pelajari di Fakultas Hukum, dari para ahli hukum bermazhab modern seperti Hans Kelsen, John Austin, H.L.A. Hart, Gustav Radbruch, dst. Yang dipetakan pada pemikir hukum aliran Positivis, karena menolak kebiasaan dan memegang pada hukum positif. Para pemikir hukum beraliran positivis tersebut, tidak membahas moral secara mendalam seperti mereka membedah etika. Mereka langsung strike membahas mengenai hukum dan moral.
Bagi mereka, seperti apa hubungan antara hukum dan moral. Karena mereka menarik titik berangkat moral (moralis) secara filosofis guna mendiskusikan tentang kepentingan orang lain dalam bentuk kewajiban. Hakikatnya pun mirip dengan hukum, yang membahas tentang kepentingan orang lain, sambil tegas memikirkan kepentingan asasi atau dalam bentuk hak.
Diskusi filsafat hukum di kalangan mahasiswa hukum, ada perbedaan persepsi terhadap cara pandang hukum sebagai kebiasaan. Atau ‘ethos’ adalah kebiasaan. Di Indonesia, kebiasaan cenderung diartikan sebagai perilaku yang stabil. Pengertian ini sampai saat ini masih ambigu, karena memberikan pandangan sama dengan tradisi. Padahal dalam ilmu hukum, kebiasaan jika dianggap sebagai sumber hukum, berarti kebiasaan-kebiasaan yang dikenal atau dipakai dalam hukum. Kebiasaan ini bukanlah tradisi, bagaikan warisan masyarakat secara turun-temurun. Contohnya kebiasaan peradilan seperti diterangkan Hart dalam The Concept of Law (1997).
Bicara kebiasaan, kembalilah kita ke zaman Yunani Kuno, Aristoteles membedakan kebiasaan menjadi dua. Kebiasaan yang ‘habitual’, suatu kebiasaan yang alamiah. Kebiasaan yang ‘conventional’, yang oleh Aristoteles sebut, ‘nomos’. Kebiasaan ‘habitual’ adalah bagi Aristoteles, kebiasaan yang tidak memerlukan pertimbangan rasional, seperti berjalan, berlari, tidur, makan dan berkembang biak, atau dalam taraf lanjut, menghindari kedinginan, kepanasan, menghindari pemangsa, sebagai dirinya tanpa dilekatkan status dan hukum. Dan untuk‘nomos’, kebiasaan yang lahir akibat olah pertimbangan yang rasional. Kebiasaan inilah yang mungkin menjadi dasar kebiasaan sebagai sumber hukum dari perspektif ahli Indonesia.
Ajudikasi Penyelenggara Pemilu Harusnya Bertumpu pada Konstitusi
KPU dan struktur di dalamnya adalah rechtspersoon, yang lahir karena undang-undang. Rechspersoon tidak memiliki etika atau kebiasaan habitual. Dia harus menggunakan nomos tadi. KPU bukan naturlijk persoon yang memiliki etika atau kebiasaan habitual. Atau mudahnya, karena ia sebagai rechtspersoon dia harus bertanggungjawab pada rechts atau hukum yang berlaku.
Pasal 456 Undang-Undang Pemilu, pelanggaran etika diukur berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menyelenggarakan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Dalam sumpah dan/atau janji itu tidak ada sama sekali rumusan tentang kode etik, sehingga Penyelenggara Pemilu hanya terikat pada peraturan perundang-undangan. Putusan DKPP untuk pemberhentian Anggota KPU misalnya, mesti dikuatkan dengan Keputusan Presiden, sebab dianggap sifatnya rekomendasi. Menjadi pertanyaan putusan DKPP adalah etika atau hukum. Bila etika, mengapa tidak seperti organisasi profesi (advokat, notaris, dokter, dll), putusan tentang pelanggaran kode etik mereka tidak perlu dikuatkan oleh Presiden.
Formalisasi Peradilan Pelanggaran Pemilu
Berseliweranlah usulan ad hoc bagi DKPP dan tidak lagi di bawah atau sekamar dengan KPU. Artinya, DKPP bukanlah lembaga di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung atau Kehakiman berdasarkan Konstitusi. Walau begitu, karena sifat putusannya final dan mengikat, maka DKPP memiliki kekuasaan peradilan. Inilah sering disebut DKPP bercorak kuasi peradilan. Status kuasi peradilan ini, menjadi faktor ketidakpuasan akan DKPP. Hal inilah yang menjadi latar perlunya mengubah peradilan etika dalam Pemilu menjadi ad hoc yang berdiri sendiri.
Bagi orang hukum, memandang kuasi peradilan ini begitu mengganggu, terutama dalam memandang ide Indonesia adalah negara hukum. Dengan ini, Pemilu menjadi jembatan utama dalam tata kelola membentuk peradaban Indonesia. DKPP sebagai kuasi peradilan, berarti merupakan seolah-olah peradilan. Bisa dibayangkan saja, bagaimana suatu peradilan yang seolah-olah ini mengajudikan pelanggaran etika dengan menghasilkan putusan yang final dan mengikat.
Ide kuasi peradilan ini harusnya ditolak. Karena KPU dan jabatan-jabatan di dalamnya dibentuk dan lahir dari konstitusi dan undang-undang. Untuk itu harus adanya peradilan permanen yang mengadili anggota KPU atau insan kepemiluan, yang melalui lembaga formal yang dibentuk oleh undang-undang. Bisa di bawah badan-badan peradilan resmi yang telah ada semisal Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dapat mengadili atas perkara Onrechtmatige Overheidsdaad (Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah).