Connect with us

ECONEWS

Perusahaan Tambang Emas Datang, Nyawa Manusia Tak Berharga

Published

on

Jull Takaliuang

13 November 2023


“Tidak ada tambang yang ramah lingkungan. Meski itu tambang legal, tambang ilegal, atau tambang apa pun, pasti akan merusak lingkungan. Mau dipaksakan dengan berbagai teori apapun, di mana-mana di dunia ini, tidak ada tambang yang ramah lingkungan.”


Penulis: Hendra Mokorowu


DAERAH Nyiur Melambai mulai dikenal dengan pertambangan emas sejak ekspansi PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Lokasi kerja perusahaan berada di wilayah Ratatotok, Minahasa Tenggara. Diketahui, PT NMR mulai memproduksi emas sekitar tahun 1996. Berselang dua tahun pasca produksi emas, berbagai persoalan mulai meresahkan warga lingkar tambang. Kesehatan dipertaruhkan dan kehidupan pun terancam. Sedikit yang melek, banyak nyawa rakyat tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan racun perusahaan tambang emas.

Aktivis Lingkungan Sulawesi Utara (Sulut), Jul Takaliuang, mengisahkan kepedihan yang dialami masyarakat Buyat Pantai, pasca PT NMR beroperasi. Perjuangannya dimulai tahun 1998, kala itu dia bergabung ke Yayasan Suara Nurani (YSN) dan mengerjakan program perempuan. Di tahun yang sama, YSN melakukan pendampingan kepada perempuan Buyat Pantai.

Tahun 2003-2004, YSN melaksanakan pengobatan kepada warga di Buyat Pantai. Hal ini dikerjakan lantaran kehebohan mengenai penyakit aneh yang dialami masyarakat mulai tahun 1998. Dari proses pengobatan itu akhirnya diketahui bahwa masyarakat keracunan. Setelah diteliti, penyakit itu timbul karena mengonsumsi ikan yang terkontaminasi logam berat. Tubuh ikan-ikan di Teluk Buyat didapati banyak benjolan. Kondisi masyarakat Buyat Pantai juga memprihatinkan. Pada tubuh warga didapati benjolan-benjolan seperti yang ditemukan di ikan. Banyak anak yang sakit-sakitan. Ada ibu-ibu yang mengalami kelumpuhan. Menyusul hebohnya pembuangan limbah tambang, tailing PT NMR ke pantai dan terjadinya “penyakit minamata”.

“Saya pikir, ini sesuatu hal yang aneh. Karena sekitar 73 keluarga di Buyat Pantai itu mengalami penyakit yang mirip. Saat kegiatan pengobatan kepada 100 orang kala itu, kami dibantu dokter Jeane Pangemanan. Dia menyimpulkan bahwa 90 persen masyarakat mengalami keracunan. Tetapi soal racun apa, itu belum bisa dipastikan,” kisah Takaliuang.

Langkah selanjutnya, Takaliuang dan para aktivis yang mendampingi masyarakat memeriksakan kuku tangan setiap warga, mulai anak-anak sampai orang tua. Pemeriksaan berlangsung di Laboratorium Perindustrian Manado. Hasilnya, kelihatan kadar arsenik merkuri dalam tubuh masyarakat melebihi ambang batas. Dipahami, ini akibat rantai makanan warga diduga tercemar limbah beracun.

Kondisi fatal seperti itu memang menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi posisi tempat tinggal masyarakat di pesisir pantai. Sedangkan lokasi aktivitas PT NMR berada di atas pegunungan. Pipa pembuangan limbah perusahaan mengalir sampai sejauh 900 meter di Teluk Buyat dengan kedalaman kira-kira 82 meter. Setiap hari, sekitar 2.000 metrik ton limbah yang dibuang. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun.

“Perjuangan kemanusiaan YSN bersama LSM terkait pencemaran lingkungan PT NMR kala itu, sempat dituduh seperti orang yang tidak ada kerjaan. Penyebar isu menuduh kami telah menangkap ikan dan menyuntiknya dengan tinta suntung (cumi) atau tinta printer, kemudian dilepas ke laut. Ini tuduhan yang disuarakan para pakar, akademisi Unsrat di masa itu,” sesalnya.

Suara-suara memperjuangkan nasib anak negeri akhirnya mendapat perhatian di tingkat nasional. YSN pun bekerja sama dengan Yayasan Kelola mengadakan seminar di Unsrat. Di momen itu, diceritakanlah fakta-fakta yang terjadi di masyarakat Buyat Pantai. “Berselang waktu kemudian, kami membawa anak-anak dan ibu-ibu dari Buyat Pantai ke Jakarta,” katanya.

Kapitalis Tambang Rampas Kewibawaan Negara 

Sampai PT NMR angkat kaki dari Bumi Nyiur Melambai, tak pernah Takaliuang melihat ada masyarakat yang menjadi kaya karena aktivitas perusahaan itu. Hal yang justru ia pertanyakan, kalau pertambangan itu membawa dampak positif buat masyarakat, kenapa PT NMR harus membangun rumah sakit di Ratatotok? Kenapa bukan hotel atau membangun sesuatu yang bisa mendorong perekonomian masyarakat?

Menurut dia, ini menandakan bahwa PT NMR memang tahu banyak warga di lingkar tambang sakit akibat pencemaran dari aktivitas perusahaan. Diketahuinya, rumah sakit itu memiliki program pertama, yaitu tindakan operasi benjolan. Masyarakat pengidap benjolan-benjolan dioperasi secara gratis.

Ketika perusahaan dan pemerintah sudah bersatu, keduanya pasti akan saling melindungi. Tidak sedikit oknum dokter yang menjadi konsultan kesehatannya PT NMR. Puskesmas Ratatotok pun sangat berpihak pada PT NMR. Diakui Takaliuang, dia pernah dikejar Kepala Puskesmas Ratatotok lantaran membawa anak-anak Buyat Pantai ke RSUP Prof Kandou Manado. Dirinya dituduh mencari sensasi dan hanya suka masuk ke media. Padahal Takaliuang bertujuan memeriksakan anak-anak karena menderita sesak nafas, menangis darah, pendarahan dan benjolan-benjolan di tubuh.

“Nah, ketika kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan sudah demikian kental karena uang, maka kalau seandainya mereka bisa menciptakan tsunami, rakyat korban pasti akan dikirimi tsunami. Sudah sedemikian rupa gambaran fakta kejahatan yang kemudian akan terjadi,” ucap Takaliuang.

Penerima penghargaan N-Peace Award 2015 ini membeberkan, untuk kasus Buyat Pantai, ada tiga kali rekomendasi dikeluarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM). Telah terjadi pelanggaran HAM di bidang kesehatan, karena warga meminum air yang kadar arseniknya melebihi baku mutu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI) memeriksa enam sumur di Buyat. Empat di antaranya, kadar arseniknya melebihi baku mutu. Airnya tidak bisa dipakai untuk mencuci, mandi, apa lagi dikonsumsi. Sementara, masyarakat tidak punya pilihan selain terus menggunakan dan mengonsumsi air sumur. Akhirnya warga satu kampung mengalami penyakit aneh. Bahkan hingga meninggal dunia satu persatu. Ada bayi yang lahir dengan berbagai macam jenis penyakit. Termasuk lahir dengan dengan kulit bersisik. Ini bukan cerita yang hanya dilihatnya dari sebuah foto saja.

Akibat menyaksikan kengerian itu, Takaliuang mengalami traumatis. Ia melihat langsung ada perempuan yang sedang membawa ikan, tiba-tiba jatuh mengalami kelumpuhan. Ada anak Kelas 3 Sekolah Dasar, pintar membaca. Tetapi ketika naik ke kelas 5, sudah tidak bisa membaca sama sekali karena kemunduran intelektual. Ini lantaran mengonsumsi ikan yang terkontaminasi dengan logam berat.

“Pihak yang menyatakan ada pencemaran di Buyat Pantai adalah Laboratorium Forensik Mabes Polri, bukan Jull Takaliuang atau ahli dari mana. Tapi lihatlah negara ini, Laboratorium Forensik Mabes Polri pun kemudian akhirnya dinyatakan tidak terakreditasi. Bayangkan wibawa negara ini akibat yang namanya modal, eksploitasi ekstrativisme seperti itu, jadi rendah. Atas nama investasi, negara kita kehilangan martabat,” singkap Takaliuang.

Pasca diumumkan hasil Laboratorium Forensik Mabes Polri, KLHK menggugat PT NMR sebesar 17 triliun rupiah. Tetapi, anehnya Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat (Kesra) RI, Abu Rizal Bakrie justru memediasi KLHK dan PT NMR di Pengadilan Jakarta Selatan dengan putusan berdamai. PT NMR pun hanya membayar 30 USD kepada Pemerintah RI sebagai dana kompensasi. Hal ini pun sangat disayangkan Takaliuang. Sudah jelas terbukti bahwa ada pencemaran dari PT NMR, tapi terkesan dibela Menko Kesra yang waktu itu membawahi Kementerian ESDM, KLHK, Kementerian Kelautan Perikanan dan lain-lain.

“Melalui dana kompensasi 30 USD itu, lahirlah Yayasan Sulut Berkelanjutan. Dana turun dari Jakarta ke Provinsi Sulut. Kemudian turun lagi ke lokasi perusahaan tambang, termasuk di Buyat, yang tidak tahu berapa jumlahnya. Dua puluh lima persen dari dana itu digunakan sekelompok akademisi yang menamakan diri Panel Ilmiah Independen (PII). Mereka melakukan penelitian dan hasilnya selalu sama, yaitu 3B. ‘Buyat Bay Bagus’,” bebernya.

Di waktu itu, siapa pun tidak bisa menyangkali bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan yang luar biasa masif di Ratatotok, lokasi PT NMR. Bukan hanya lingkungan, tapi seluruh aspek kehidupan yang ada. Misalnya hubungan harmonis keluarga, kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, termasuk tenaga kerja. Pastinya akan direkrut tenaga murah dari luar dengan etos kerja dan skill yang lebih dari warga lokal.

Pihak Takaliuang menyoroti soal penanganan masyarakat yang menjadi korban. Bukannya menolong korban, perusahaan malah berusaha menghapus fakta bahwa ada korban. Ketika ada persoalan kemanusiaan, bukan pertolongan yang datang, tapi bagaimana cara menghilangkan barang bukti.

Dirinya juga mempertanyakan independensi para pakar atau profesionalitas PII. Ketika bobroknya sudah mulai terungkap semua, sempat dilakukan konferensi internasional di Sulut. PT NMR mendatangkan pakar-pakar dari Jerman, Australia, Amerika dan wartawan luar negeri. Di waktu itu, ada jurnalis asal Jerman yang lolos sampai ke Buyat Pantai dan menyaksikan langsung fakta kengerian yang terjadi.

“Jadi ke depan, saya tak mau lagi melihat masyarakat Sulut akan mengalami hal yang sama dengan warga Buyat Pantai. Karena yang namanya investasi untuk aktivitas pertambangan, semuanya adalah tipu,” tegas Takaliuang.

Belajar dari kasus-kasus akibat aktivitas PT NMR, dia berkesimpulan bahwa tidak ada tambang yang ramah lingkungan. Meski itu tambang legal, tambang ilegal, atau tambang apa pun, pasti akan merusak lingkungan. Mau dipaksakan dengan berbagai teori apapun, di mana-mana di dunia ini, tidak ada tambang yang ramah lingkungan.

“Coba lihat PT MSM (Meares Soputan Mining) sekarang di Likupang, Minahasa Utara. Di atas (pegunungan lokasi tambang, red) sudah terjadi kolam-kolam besar. Tunggu saja musim hujan. Sebuah bencana besar sedang mengintai perkampungan yang berada di lokasi lebih rendah dari tambang. Ada jalan yang patah dan ambruk. Ini tanda, detik-detik penantian Tinerungan dan Pinasungkulan akan rontok,” ungkapnya.

Keberadaan masyarakat lingkar tambang memang sering diabaikan. Hal ini diakui Direktur Lembaga Bantuan Hukum Manado, Satriano Pangkey. Sesuai pengamatannya, hampir semua kasus di wilayah perusahaan tambang, menuai keluhan masyarakat. Ketika warga melakukan perlawanan, pasti ada praktik-praktik kriminalisasi dari perusahaan. Masyarakat di lingkar tambang pun selalu menjadi korban dari skema-skema perusahaan untuk mengkriminalisasi.

“Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, ada jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat yang melakukan kerja-kerja advokasi untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup agar sehat. Ini tidak bisa digugat secara perdata maupun pidana,” lugas Pangkey.

Terkait kriminalisasi, sudah pasti terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). LBH Manado melihat dalam perspektif HAM, ada dimensi-dimensi yang marak dilanggar perusahaan tambang. Paling sering adalah hak untuk hidup, hak lingkungan bersih, hak mendapatkan pekerjaan.

“Pelanggaran HAM juga akan berimbas pada hak-hak di bidang lain. Misalnya hak kerja, hak pendidikan, hak kesehatan dan lain sebagainya. Inilah yang kami lihat sering terjadi pada isu-isu pertambangan selama ini,” akunya.

Konsekuensi adanya perusahaan tambang, pasti akan ada perampasan ruang hidup. Informasi yang LBH Manado terima, PT MSM Likupang akan memperluas wilayah eksplorasi. Satu desa dipastikan akan tergusur. “Ini contoh perampasan ruang hidup masyarakat,” kunci Pangkey. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *