GURATAN
Pohon Seho Dalam Ingatan Anak Minahasa
Published
5 years agoon
20 Mei 2020
Oleh: Kalfein Wuisan
Seho adalah sebutan orang Minahasa untuk pohon aren (arenga pinnata). Dalam bahasa Minahasa, Tontemboan, pohon aren disebut A’Kel. Secara harafiah A’Kel berarti ‘pelindung wadah hidup’ atau ‘penjaga wadah hidup’.
SEJAK SD, saya sudah diajarkan untuk dekat dengan pohon Seho. Bahkan saya punya pohon sendiri. Pada pohon itu saya diajarkan bagaimana kelak menjadi seorang tukang ke’et. Diajarkan, mulai dari memukul mayang (tandan buah aren) sampai mengeluarkan saguer dan menyadapnya. Pohon tersebut ada di dekat daseng (pondok), tempat ayah saya membuat captikus.
Seho adalah sebutan orang Minahasa untuk pohon aren (arenga pinnata). Dalam bahasa Minahasa, Tontemboan, pohon aren disebut A’Kel. Secara harafiah A’Kel berarti ‘pelindung wadah hidup’ atau ‘penjaga wadah hidup’. Dari arti tersebut, tentu setiap orang bisa mendefinisikan maknanya. Orang Tua atau leluhur di Tana’ Minahasa memiliki alasan tersendiri ketika menyebut atau menamakan pohon aren dengan A’Kel. Kata ini dipakai sebagai sebuah pemaknaan yang mendalam berkaitan dengan eksistensi hidupnya dengan Tana’ Minahasa.
Pohon seho merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak tumbuh dan banyak diusahakan oleh Tou (manusia) Minahasa sebagai sumber hidup. Pohon seho dapat tumbuh di ketinggian daratan yang sejajar dengan permukaan laut sampai pada 1.400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Namun ketinggian idealnya antara 500 – 1200 mdpl. Dalam bukunya “Pengenalan Dasar Minahasa Dan Sejarah Minahasa (Modul Sekolah Mawale)”, Bode Talumewo menjelaskan soal letak geografis Minahasa. Ia menulis bahwa puncak tertinggi di tanah Minahasa adalah gunung Klabat dengan ketinggian 1.995 mdpl. Sedangkan pemukiman tertinggi berada di Rurukan – Tomohon (930 mdpl) dan di Modoinding (1.050 mdpl). Secara geografis, posisi Tanah Minahasa berada pada ketinggian ideal bagi pohon aren untuk hidup.
Bagi Tou Minahasa, pohon seho memiliki fungsi penting dan kegunaan yang banyak bagi kelangsungan hidupnya. Selain sebagai penjaga keseimbangan ekosistem alam, semua bagian pohonnya (mulai dari akar sampai daun) bisa digunakan. Pohon seho juga menghasilkan sagu dan cairan yang disebut nira. Di Minahasa, nira pohon aren disebut saguer. Sementara di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Tano Batak disebut tuak. Selain untuk diminum dalam acara-acara pesta/duka di Minahasa, saguer merupakan bahan baku pembuatan gula aren/gula batu/gula merah, cuka, dan bahan dasar pembuatan captikus.
Bagi anak-anak keluarga petani captikus, pohon seho sangat familier dengan mereka. Orang tua mereka tentu mengajarkan banyak hal tentang pohon seho. Misal tentang karakteristik, kelebihan, kekurangan, dan terpenting bagaimana mengolah pohon seho untuk hidup. Orang tua juga mengajarkan dan menunjukan aktivitas dan tahapan mengolah pohon seho sampai mendapatkan saguer. Aktivitas ini, dalam bahasa Minahasa, Tontemboan, disebut Make’et. Orang Minahasa menyebut make’et dengan sebutan batifar. Beberapa tahap batifar itu misalnya: membuat tangga untuk pohon (Mema’ Ta’kes), membersihkan mayang pohon aren (Tumatas), memukul-mukul mayang (Mawebel), memotong/mengiris mayang, mempersiapkan bambu (Sincom) untuk menampung saguer hasil sadapan, dan menyadap saguer pada mayang dengan bambu/galon. Tahapan ini dilakukan dan ditunjukkan seorang tukang ke’et (petani seho) kepada anaknya.
Dahulu, aktivitas pertama yang saya pelajari dari ayah yaitu tahap mawebel. Hal ini mungkin karena saya masih kecil dan belum bisa melakukan sepenuhnya mulai tahap pertama. Pohon Seho di dekat daseng tempat membuat cap tikus menjadi tempat saya belajar batifar.
Pohon itu, tinggi. Seingat saya, mungkin, sekitar 10-11 meter. Pohon itu memang sudah tua, pelepah daunnya tinggal beberapa. Ia sudah disadap beberapa kali. Mayangnya pun, sudah tidak tinggi lagi. Tinggal tersisa, mayang yang berada di bagian bawah pohon. Tingginya sekitar 2 meter di atas tanah. Mayang dalam kondisi seperti ini disebut longkai. Sementara mayang dari pohon seho yang baru pertama kali diolah disebut kaweruan. Di mayang longkai itulah saya belajar batifar. Ayah membuat steleng (semacam jembatan kayu) dari tanah menuju ke pohon seho. Saya berdiri pada steleng itu kemudian mengolah mayang.
Usai sekolah, saya dan mayoritas anak petani di kampung, selalu ke kebun. Waktu itu, saya selalu pergi bersama ibu. Setibanya di kebun, sebelum menuju pondok, saya singgah di pohon seho untuk mawebel. Proses mawebel dilakukan sekali sehari, dalam beberapa hari. Sampai kira-kira tandanya sudah bisa dipotong. Proses mawebel bertujuan untuk membuat serat dalam tandan terbuka, sehingga saguer bisa keluar. Bila sudah tiba waktunya, buah aren sudah bisa dipotong. Dipisahkan dari tandannya. Lewat tandan inilah, saguer keluar.
Hal yang membuat saya gembira, di saat melihat mayang berhasil mengeluarkan saguer. Sebab kadang, ada yang tidak mengeluarkan saguer. Itu tandanya pohon tersebut tidak produktif dan akan dibiarkan karena tidak menghasilkan. Saguer yang keluar ini tidak langsung disadap. Namun tandannya harus diris terlebih dahulu. Hingga ia mengeluarkan saguer yang stabil. Saya harus menunggu 2 hari sampai ia bisa disadap. Senang sekali rasanya.
Sampai hari ini, saya masih ingat momen di masa itu. Terutama saat pertama kali menyadap dan menikmati saguer hasil usaha sendiri.
Waktu itu, usai sekolah langsung bergegas ke kebun. Sebelum tiba di daseng, singgahdi pohon seho yang saya olah. Saya langsung mengambil sincom yang sudah dibuat dan dipersiapkan ayah di bawah pohon. Sincom terbuat dari bambu dan digunakan untuk menyadap saguer. Sincom juga dahulu digunakan di kampung untuk menimba air. Sincom tersebut pendek. Mungkin, tingginya sekitar 60-90 cm. Saguer yang disadap, belung langsung bisa dicicipi. Saya harus menunggu beberapa waktu. Sebab saguer yang disadap, keluarnya tidak secepat air keran atau air hujan. Namun ia menetes pelan dan perlahan. Di hari itu, sebelum pulang ke rumah, saya bergegas menuju pohon seho. Penuh semangat. Hendak melihat saguer yang disadap, setelah beberapa jam lamanya. Sayang sekali, saguer yang ada di dalam sincom masih sedikit. Namun karena semangat ingin mencobanya, apalagi hasil usaha sendiri, saya langsung mengambilnya. Saat saguer dikeluarkan dari sincom ke takoi (tempurung kelapa), saya begitu deg-degan. Saguernya ternyata masih sedikit. Hal ini karena waktu menyadap saguernya masih terlalu singkat. Saguer yang didapatkan hanya sekitar setengah gelas. Namun, bagi saya, itu tidak mengapa. Hal terpenting adalah berhasil mencicipi saguer hasil usaha sendiri.
Rasa saguernya begitu manis. Khas saguer dari mayang longkai. Rasanya tidak sekuat saguer kaweruan.
Momen itu, memang tidak akan terlupa sampai mati.
Saat membuka beranda facebook, saya melihat Yosia Rompas memposting foto. Yosia sekampung dengan saya di Wuwuk Barat. Kebetulan juga ia adalah tetangga saya. Ayah kami juga berprofesi sama sebagai petani captikus. Di foto tersebut, nampak ia sedang berada di atas pohon seho yang cukup tinggi. Tangannya memegang mayang pohon seho kaweruan. Ini terlihat dari buah aren (pulinca) yang masih muda. Nampak ia sedang mawebel.
Fotonya itu langsung memantik ingatan tentang pengalaman pertama saya belajar batifar.
Yosia merupakan satu dari sekian pemuda yang pulang kampung karena COVID-19. Pandemi ini membuat anak-anak tukang ke’et, meninggalkan kampus dan tempat kerja. Seperti Yosia. Pulang dan tinggal di kampung membantu orangtua. Batifar. Beking captikus. Simpang doi voor kase klar sekolah. Tambah belajar tentang kehidupan.
Anak petani yang hidup dari pohon Seho, mungkin, punya pengalaman yang sama, namun dengan kisah yang berbeda. Seperti kisah saya dan Yosia, anak petani captikus.
Penulis, Desainer Grafis & Sinematografer
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan