Published
6 years agoon
By
philipsmarx28 Februari 2019
Oleh: Dandhy Dwi Laksono
MENTERI KOORDINATOR (Menko) Kemaritiman, Jenderal (Purnawirawan) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku hanya menguasai 6.000 Ha tanah untuk penambangan batu bara.
Namun Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) membantah dengan data-data ini. Menurut JATAM, Luhut menguasai 21.000 hektar, di luar perkebunan kelapa sawit di mana ia menjadi pelobi pemerintah Indonesia untuk membuka pasar Eropa yang mulai meninggalkan biofuel karena bukan energi ramah lingkungan (green energy).
Sebagai pejabat negara, Luhut juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras terkait hal-hal yang dianggap mengganggu kepentingan bisnis sawit.
Ia pernah menyatakan kementerian yang tidak mendukung kelapa sawit, “dibuldozer saja”. Atau sesumbarnya yang akan mengaudit Greenpeace Indonesia karena organisasi pembela lingkungan internasional ini melakukan aksi protes menduduki kapal tanker minyak sawit milik Wilmar (Singapura).
Selain Luhut, Jatam juga akan membuka satu per satu penguasaan lahan untuk tambang dari beberapa pengusaha, pejabat, dan politisi di kedua kubu capres. Hari ini di akun Twitter-nya, Jatam baru memulai dengan empat orang di lingkaran Presiden Joko Widodo.
Ini adalah gambaran bagaimana koalisi politik dibentuk, berkubu, dan berkelindan dalam memproduksi kebijakan-kebijakan pembangunan yang akan saling menguntungkan.
Misalnya, dalam soal listrik, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama masih akan mempertahankan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit sampai di atas 50 persen hingga tahun 2050.
Bulan lalu (Januari 2019, – red) saya menghadiri sebuah sesi di Hotel Le Meridien Jakarta, di mana kedua kubu memaparkan konsep pembangunan energi mereka. Menonton paparan ini seperti melihat dua orang yang sama-sama ingin ke Surabaya, namun berdebat sengit lewat mana yang paling cepat.
Bukan debat substansi, benarkah kita memang akan pergi ke Surabaya.
Padahal batu bara sendiri mulai ditinggalkan banyak negara karena selain mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan, juga menimbulkan konflik sosial di mana-mana. Dari mulai lokasi penambangan, jalur pengangkutan dengan tongkang, hingga lokasi berdirinya PLTU.
Tapi dengan data-data penguasaan tambang ini, kita paham mengapa kedua capres dan partai-partai politik manapun sama sekali tak punya program terobosan untuk penggunaan energi bersih dan terbarukan.
Yang terlihat di permukaan adalah keributan yang sama sekali tak substansial namun diminati para pendukungnya, seperti jargon-jargon agama, nasionalisme, asing-aseng-abud, Prabowo Jumatan di mana, Jokowi keturunan siapa, isu kriminalisasi ulama, fitnah tentang adzan tak akan diperbolehkan, pernikahan sesama jenis kelamin dilegalkan, kebangkitan komunisme, dan sampah informasi lainnya.
Urusan-urusan pribadi (privat) jadi bahan gunjingan dan amunisi politik, sementara hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, lebih baik tak dibicarakan.
Dari rezim ke rezim, batu bara, kelapa sawit, dan properti, adalah uang cepat untuk menggerakkan mesin politik. Baik itu 01, 02, 86 atau 69. Tak heran jika partai seumur jagung seperti PSI, pagi-pagi sudah bicara membela sawit, misalnya. Atau para kadernya mendukung reklamasi di Teluk Jakarta, dan politisi Gerindra dicokok KPK karena uang suap dari proyek yang sama.
Sementara polisi dan tentara digunakan sebagai instrumen di lapangan, hingga posisi-posisi komisaris perusahaan untuk para pensiunan jenderal.
Adapun elit agama seperti Ma’ruf Amin di kubu Jokowi atau Rizieq Shihab di kubu Prabowo adalah mesin pengumpul suara untuk segmen mayoritas. Tak pernah lebih.
Yang punya posisi tawar lebih tinggi justru pengusaha yang juga pemilik media-media seperti Surya Paloh (Media Group) atau Hary Tanoe (MNC Group) yang bisa gonta-ganti afiliasi politik dengan entengnya.
Sama seperti Abu Rizal Bakrie dan tvOne atau Viva Group-nya saat Pemilu/Pilpres 2014.
Mereka punya uang, punya mesin partai, mengendalikan pasukan di parlemen, serta ikut menentukan apa berita esok hari.
Semua ini menuntun kita pada satu pertanyaan: benarkah Jokowi dan Prabowo adalah pemain kunci dalam sistem oligarki ini?(*)
Editor: Andre Barahamin