Connect with us

ESTORIE

“Post-truth” dan Sejarah Kebohongan dalam Politik

Published

on

11 November 2019


Oleh Denni Pinontoan


 

Ini tentang sejarah ‘kebohongan’ yang diproduksi dan direproduksi dalam politik lalu menjadi kebenaran bagi publik

 

INI hari pertama Daniel Ellsberg (lahir pada 7 April 1931 di Chicago, Illinois), seorang ahli strategi militer bekerja di Pentagon. Hari itu, 4 Agustus 1964. Secara kebetulan, pada hari ini beredar kabar bahwa kapal-kapal perang Vietnam Utara telah menyerang kapal perusak Amerika, Maddox dan Turner Joy.

Informasi tidak jelas itu telah membuat Presiden Lyndon B. Johnson meminta kongres untuk mengeluarkan resolusi Teluk Tonkin. Presiden Johnson kemudian memperoleh izin untuk meningkatkan keterlibatan militer AS dalam perang Vietnam Utara. Padahal sesungguhnya tidak pernah ada serangan pada tanggal 4 Agustus itu.

Maka lahirlah sebuah keputusan besar yang tak berdasar fakta,  bahkan kebohongan yang sengaja.

Tugas Ellsberg di Departemen Pertahanan adalah menyusun rencana rahasia untuk meningkatkan perang Vietnam. Tapi secara pribadi, Ellsberg sebenarnya menolak rencana itu. Bagi dia rencana itu “salah dan berbahaya”. Dia bahkan berharap, itu takkan terjadi. Demikian tertulis pada situs The Biography.com

Tahun 1965 Ellsberg  pindah ke Vietnam untuk bekerja pada Kedutaan Besar Amerika di Saigon mengevaluasi upaya pengamanan di garis depan. Tapi Juni 1967 dia harus meninggalkan Vietnam, pulang ke Amerika setelah terkena hepatitis.  Setelah pulih dari sakit, ia tidak lagi bekerja di Departemen Keamanan.

Nurani ternyata sedang menuntun Ellsberg untuk melakukan sesuatu yang besar bagi sejarah Amerika dan sejarah dunia. Dia kemudian membuktikan apa yang pernah diyakininya, bahwa rencana Amerika terhadap Vietnam Utara itu adalah salah dan berbahaya sehingga mestinya tidak boleh dilaksanakan.

Ellsberg kembali bergabung di Rand Corporation, tempat dia bekerja sebelum di Departemen Keamanan. Di sini dia mengerjakan sebuah laporan rahasia berisi sejarah kebijakan Amerika terhadap Vietnam tahun 1945 sampai tahun 1968 .

“Isinya menguatkan penolakan Ellsberg terhadap perang,” tulis Michael Ray pada Encyclopedia Britannica.com.

Dari 7000 halaman dokumen itu, selama 18 bulan Ellsberg berhasil memfotokopi sebanyak 47 volume, yang terdiri dari sekitar 3.000 halaman narasi dan 4.000 halaman dokumen. Ia pernah mencoba membagikannya kepada beberapa anggota kongres tapi tidak ada yang menindaklanjutinya.

Tahun 1970 Ellsberg kemudian meninggalkan RAND untuk menduduki suatu jabatan di Massachusetts Institute of Technology. Ia kemudian membocorkan dokumen rahasia itu ke The New York Times. Dokumen rahasia ini kemudian dikenal dengan sebutan Pentagon Papers.

Pada 13 Juni 1971, The New York Times mulai menerbitkannya. Laporan pertama muncul dengan nama reporter Neil Sheehan. Beberapa hari kemudian diterbitkan oleh Times. The Washington Post juga memberitakan dokumen itu.

Segera publik Amerika geger. Rahasia yang ditutup rapat oleh pemerintahnya bertahun-tahun terbongkar. Selama ini publik Amerika ternyata menikmati kebohongan-kebohongan dari pemerintahnya. Kebohongan-kebohongan yang diproduksi untuk menjadi “kebenaran politik”.

 

***

Tanggal 18 November 1971 terbit artikel Hannah Arendt berjudul Lying in Politics: Reflections on The Pentagon Papers.  Bagi Arendt, publikasi Pentagon Papers, yang paling penting artinya adalah, bahwa kebijakan yang bohong terutama telah dihadirkan untuk publik dalam negeri Amerika. Dia antara lain menunjuk pada kebohongan Insiden Teluk Tonkin. Sebuah insiden yang diproganda nyata, tapi sesungguhnya tidak pernah ada.

Hannah Arendt adalah seorang teoretikus politik asal Jerman. Ia digolongkan sebagai salah satu filsuf abad 20, meski ia sendiri menolak predikat itu.

“Apa yang Pentagon Papers laporkan adalah ketakutan yang menghantui tentang dampak kekalahan, bukan pada kesejahteraan bangsa tetapi ‘pada reputasi Amerika Serikat dan Presidennya’,” tulis Arendt.

Demi itu, kebohongan demi kebohongan diproduksi, dipropagandakan dan disebarluaskan ke publik dalam negeri dan seluruh dunia.

Tentang terungkapnya kebohongan-kebohongan itu melalui publikasi media, Arendt mengatakan, para pembohong, seperti yang terungkap dalam Pentagon Papers, telah berusaha melakukan yang terbaik untuk memenangkan pikiran orang-orang dengan cara manipulasi. Tapi karena mereka berada di negara yang bebas, yang menyediakan segala jenis informasi, para pembohong itu tidak benar-benar berhasil.

Akhirnya, benar bahwa tidak pernah ada ‘kebenaran tunggal “ di setiap tempat dalam sepanjang sejarah peradaban manusia. Demikian pula, tidak pernah ada kebohongan yang abadi.  “Kebenaran” dari “politik kebohongan” akan dilawan dengan kebenaran alternatif. Pihak penguasa, agama atau kerajaan dan kemudian negara, senantiasa menetapkan kebenaran menurutnya, namun selalu saja ada kebenaran alternatif di kalangan filsuf, ilmuwan, sastrawan, dan siapa saja yang kritis.

Sepanjang abad pertengahan dalam sejarah Eropa, cara berpikir dan bertindak orang-orang kebanyakan ditentukan oleh “kebenaran doktrinal” gereja. Yaitu, rumusan-rumusan doktrin elit gereja yang diajarkan, disebarluaskan, dan dengan cara yang khas dipaksakan untuk menjadi keyakinan dan kepercayaan banyak orang.

Namun, di kalangan tertentu ada alternatif-alternatif kebenaran dan cara menemukannya. Renaisans justru muncul dari  upaya-upaya menemukan alternatif pemikiran dan kebenaran di abad pertengahan.

John H Arnold, profesor sejarah abad pertengahan di Birkbeck, University of London menuliskan, intelektual abad pertengahan beberapa di antaranya mengembangkan pengetahuan kritis-ilmiah.

“Ini terjadi pada abad ke-12, dan sangat tergantung pada transmisi karya-karya Aristoteles dan penulis klasik lainnya melalui para filsuf dan penerjemah Arab,” tulis Arnold dalam artikelnya di Historyextra.com.

Ann Giletti yang sedang mengikuti program Marie Curie Fellow di Universitas Oxford menuliskan dalam artikelnya berjudul Double truth: medieval story reveals how you can believe two conflicting positions at once (termuat di Theconversation.com, 10 Juli 2018) menulis, dominasi kebenaran gereja dengan ilmu pengetahuan oleh para ilmuwan menghasilkan apa yang disebut “double-truth” atau kebenaran ganda.

Giletti menggunakan istilah yang digunakan oleh para sejarawan untuk menunjuk pada fenomena abad pertengahan, bahwa pada satu pihak para ilmuwan berusaha untuk melakukan penelitian dan eksperimen ilmiah, namun terkadang hasilnya bertentangan dengan doktrin gereja. Jadi, di masa itu terjadi pertentangan antara kebenaran ilmiah dan kebenaran doktrin gereja. Misalnya teori tentang keberadaan dunia ini.

“Sebagai ilmuwan, mereka menganggap teori itu benar secara ilmiah, tetapi sebagai orang Kristen, mereka percaya pada penciptaan,” ungkap Giletti.

Sejarah kelam Jerman di masa Adolf Hitler berkuasa, orang-orang dipaksa untuk menerima kebenaran doktrinal yang sejatinya adalah ‘kebohongan’ itu melalui otoritas struktural NAZI untuk memusuhi orang-orang Yahudi. Maka jadilah sebuah bencana besar peradaban. Namun, mengapa Hitler begitu kuat dan NAZI begitu berkuasa, ya karena ‘kebohongan’ telah berhasil mengubah kesadaran banyak orang, tentu dilakukan secara paksa.

Setelah semua itu sukses, jadilah ia “kebenaran brutal”, bahwa adalah benar membantai orang lain. Doktrin ini dianut oleh rezim-rezim diktator sepanjang sejarah manusia.

Tapi, ada sekelompok orang yang menolak apa yang menjadi keyakinan Hitler yang kemudian dilembagakan dalam NAZI. Salah satunya seorang pendeta dan teolog Lutheran Jerman, Dietrich Bonhoeffer. Karena pemikiran dan gerakan bersama kelompoknya kebohongan Hitler dan NAZI tidak menjadi absolut.

Pasca perang dunia kedua, muncul dua kekuatan besar global, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sejarah kebohongan Amerika yang diungkap oleh Pentagon Papers tersebut adalah bagian penting dari sejarah Perang Dingin ini.

Masing-masing melandasi agenda-agendanya dari kebenaran doktrinal (ideologi) yang dianut. Ancaman bom atom dan penggunaan teknologi militer yang canggih antar kedua negara ini mempengaruhi kehidupan masing-masing negara dan juga masyarakat global. Inilah yang disebut oleh George Orwel, penulis Inggris pada tahun 1945 sebagai “Cold War”, perang dingin.

Di Indonesia ada masa pertarungan sengit kebenaran doktrinal, istilah lain dari pertarungan ideologi. Kelompok nasionalis, sosialis dan agama membentuk kekuatan dan partai-partai politik untuk meraih pengaruh massa demi kekuasaan politik.

Setelah semua itu, datang era orde baru. “Kebenaran struktural politis”, atau aslinya ia adalah kebohongan yang dipaksa diterima dan menjadi kesadaran palsu, mendominasi semua gerak kehidupan negara.

Lalu, rezim itu tumbang. Tidak lama kemudian secara global terjadi perubahan yang signifikan pada teknologi komunikasi. Inilah era digital. Era new media. Lebih banyak orang dapat mengakses informasi, tapi juga lebih banyak orang memproduksi informasi. Tidak semua informasi adalah “berita”.

Bill Kovach dan Tom Ronsentiel menyebut ini era “information overload”. Informasi membanjiri ruang-ruang publik dengan sangat cepat, mudah dan beragam. Ini membuat masyarakat konsumen informasi tidak lagi dapat memverifikasi kebenaran faktual dari setiap informasi yang dikonsumsi.

“Kebenaran” di era banjir informasi yang dimaksud oleh Kovach dan Ronsentiel adalah kebenaran faktual. Bukan kebenaran agama, bukan kebenaran mitologis, dan juga bukan kebenaran.

“Hanya ada satu konsep untuk memandu pencarian kebenaran. Para ilmuwan, praktisi hukum, intelektual profesional, dan jurnalis berbagi definisi tentang arti ‘kebenaran’. Bagi mereka, kebenaran adalah tentatif, yang juga empiris,” tulis Kovach dan Rosentiel dalam Blur (2010).

“Hal inilah pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional,” kata Andreas Harsono memperjelas maksud gurunya itu dalam A9ama Saya adalah Jurnalisme (2010).

Kebenaran jurnalisme adalah kebenaran yang tidak mutlak, tentatif, dapat diverifikasi, dan dapat diperdebatkan.

Pada era digital, era ‘information overload’ jurnalisme mendapat tantangan hebat. Kebenaran jurnalisme, semata-mata hanyalah ‘fakta’. Di era ini justru kebohongan-kebohongan menyebar massif.

 

***

Problem tentang kebenaran sudah sejak lama berkaitan dengan identitas. “Identitas dapat memaksa Anda untuk menolak kebenaran – bahkan ketika Anda memiliki bukti yang membuktikannya,” kata Giletti masih dalam artikelnya di  Theconversation.com itu.

Tapi kemudian ia terkait dengan politik kekuasaan. Kebenaran selalu berhubungan dengan siapa yang memiliki otoritas memproduksi dan menyebarkan kebenaran. Di dalam praktek politik kekuasaan, ‘kebohongan’ dapat ‘ disulap menjadi ‘kebenaran.’

Tahun 1992, atau 21 tahun sejak Pentagon Papers dipublikasikan oleh media-media di Amerika tahun 1971, terbit artikel Steve Tesich di  Nation berjudul The Goverment of Lies.  Artikel ini kembali mengingatkan publik tentang skandal watergate, Perang Vietnam hingga Perang Teluk invansi Irak ke Kuwait.

Politik kebohongan masih berlanjut. Seolah ia adalah patologis dalam kekuasaan rezim-rezim besar.

Tesich masih menyoal politik kebohongan Amerika. Ia sangat risau, mengapa politik kebohongan masih dapat dipercaya oleh publik Amerika, negara bebas itu.

“Dengan cara yang sangat mendasar, kita, sebagai orang bebas, telah dengan bebas memutuskan bahwa kita ingin hidup di dunia pascakebenaran,” ungkap Tesich.

Menurut Tesich, propaganda-propaganda penuh kebohongan oleh pemimpin-pemimpin Amerika yang telah diterima dan dipercayai sebagai kebenaran oleh banyak orang adalah kehidupan di dunia post-truth, pascakebenaran.

Tesich mengambil contoh pidato Presiden Bush pada tanggal 27 Mei 1991. “Dimensi moral kebijakan Amerika mengharuskan kita untuk … memetakan jalan moral melalui dunia kejahatan yang lebih rendah.Itulah dunia nyata, bukan hitam dan putih. Sangat sedikit moral yang absolut,” kata Bush.

Politik kebohongan telah mengambil rupa dalam wacana moralitas.  Kata Tesich, dunia dengan kemutlakan moral memiliki daya tarik universal dan nyaman. Moral tersebut mengajarkan, bahwa “semua dapat hidup berdampingan dengan bahagia di dunia yang memiliki beberapa kemutlakan moral.”

“Hanya di dunia seperti itulah kita bisa berperang melawan Saddam Hussein, yang oleh Presiden kita disebut ‘Hitler di zaman kita’. dan pada saat yang sama mendukung dengan uang dan senjata monster genosida Kamboja, Pol Pot,” tegas Tesich yang bermaksud mengatakan tentang kebohongan di balik wacana moralitas itu.

Itulah klaim kebenaran moral yang menyembunyikan kebohongan dan nafsu berkuasa. Dengan wacana moral ini, ia kemudian direproduksi menjadi nasionalisme, heroisme dan patriotisme yang telah mengantar anak-anak muda ke medan perang untuk membunuh dan dibunuh. Ia juga yang telah menyebabkan kemelaratan dan kematian massal di banyak tempat.

Jadi Tesich mau mengingatkan kita untuk bersikap waspada terhadap wacana moralitas para penguasa. Sejarah telah menunjukkan, di baliknya banyak kepalsuan dan kebohongan tersimpan.

Pada akhirnya semua itu ternyata adalah “kebohongan”.  Jadinya, yang sesungguhnya di soal oleh post-truth bukan “kebenaran” melainkan “kebohongan” yang ‘belum’ terverifikasi dengan macam-macam alasan.

Dengan begitu, post-truth adalah tentang situasi kehidupan yang digerakkan dan dikontrol oleh politik kebohongan para rezim berkuasa. Kebohongan-kebohongan yang tidak dilawan akan memperanakan kejahatan-kejahatan.

Situasi ini ada di mana saja, di sana, juga di sini, di sekitar kita. Sejarah mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan wacana klaim kebenaran moral dari para elit apapun.  (*)

 


Editor: Rikson Karundeng


 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *