Connect with us

GURATAN

PPG: Antara Sertifikat dan Spirit Profesionalisme

Published

on

16 Oktober 2025


“Pendidikan bukanlah transfer pengetahuan, melainkan tindakan menciptakan kemungkinan agar manusia dapat menjadi lebih manusia.”


Penulis: Donal Moraka


KATANYA, program Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah gerbang menuju profesionalisme guru. Tapi hari ini, gerbang itu terasa seperti lorong sempit yang hanya dilewati demi selembar sertifikat, bukan kesadaran profesi. Banyak guru berjalan di dalamnya, bukan dengan gairah mendidik, tapi dengan beban administratif dan modul yang tak lagi hidup.

Guru yang dulu belajar dari pengalaman, kini belajar dari template. PPG menjelma jadi ritual formalitas, ada microteaching, ada portofolio, ada asesmen, tapi jarang ada jiwa pendidikan yang tumbuh. Dalam kelas PPG, refleksi pedagogik sering dikalahkan oleh tugas laporan, dan kepekaan sosial digantikan oleh instrumen penilaian kaku.

Di banyak daerah, peserta PPG justru harus berhutang untuk menebus status “profesional”. Ironinya: sertifikatnya naik, tapi kualitas pembelajarannya tidak selalu ikut. Banyak guru pulang dengan rasa lelah, bukan tercerahkan. PPG, yang semestinya melahirkan pendidik merdeka, malah menambah barisan guru administratif yang sibuk mengejar angka kredit.

Paulo Freire pernah berkata: “Pendidikan sejati lahir dari dialog antara manusia yang ingin memanusiakan.” Tapi sistem PPG hari ini lebih seperti monolog negara kepada guru, tentang aturan, bukan nilai, tentang format, bukan esensi.

Guru profesional bukan lahir dari pelatihan singkat, tapi dari pergulatan panjang, membaca realitas murid, berhadapan dengan keterbatasan, dan terus memperbarui diri. Profesionalisme bukan diukur dari sertifikat, tapi dari keberanian untuk mengubah ruang kelas menjadi ruang kehidupan.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya: Apakah PPG benar-benar mendidik guru menjadi pendidik, atau sekadar menyiapkan mereka menjadi pegawai bersertifikat?

PPG seharusnya menjadi laboratorium kemanusiaan, bukan birokrasi pendidikan. Calon guru perlu ditantang meneliti kehidupan murid di lapangan, bagaimana pendidikan berinteraksi dengan kemiskinan, dengan budaya, dengan perubahan zaman. Di sana, mereka belajar bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajar, tetapi menyelamatkan masa depan manusia.

PPG seharusnya berbasis pada komunitas belajar guru. Setiap guru muda mestinya memiliki mentor dari guru berpengalaman di daerahnya. Bukan dosen yang hanya hadir lewat Zoom, tapi pembimbing yang menyaksikan mereka langsung di kelas, di desa, di sekolah terpencil. Di situlah refleksi dan empati tumbuh, bukan sekadar hafalan teori pedagogik.

Selain itu, sistem insentif juga perlu diubah. Jangan lagi menjadikan sertifikat sebagai satu-satunya kunci kenaikan gaji, sebab itu justru menciptakan mental transaksional pendidikan. Gantilah dengan sistem penghargaan berbasis inovasi mengajar, karya sosial, dan dampak nyata di sekolah.

Pendidikan bukanlah transfer pengetahuan, melainkan tindakan menciptakan kemungkinan agar manusia dapat menjadi lebih manusia.

Jika PPG ingin disebut profesional, maka ia harus menciptakan guru yang berpikir kritis, berjiwa sosial, dan berpihak pada murid. Bukan guru yang sibuk mengisi form daring untuk validasi kredit poin.

Sertifikat boleh tetap ada, tetapi biarlah itu hanya simbol. Hal yang utama adalah bagaimana setiap guru pulang dari PPG dengan satu kesadaran baru: Bahwa mengajar bukan pekerjaan, tapi panggilan jiwa untuk memanusiakan sesama.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *